Data
Buku Kumpulan Puisi
Judul :
Kota yang Bersiul
Penulis : Ariffin Noor Hasby
Cetakan
: I, Juli 2012
Penerbit
: Tuas Media, Kertak Hanyar, Kalimantan Selatan.
Tebal :
xviii + 90 halaman (85 puisi)
ISBN :
978-602-7514-15-7
Editor /
Desain Isi : Zurriyati Rosyidah
Desain
cover : Dian Arlika
Ilustrasi
sampul : Ananda Perdana Anwar
Desain
sampul : Tim Tuas Media
Pengantar
: Tajuddin Noor Ganie
Beberapa
pilihan puisi Ariffin Noor Hasby dalam Kota yang Bersiul
Kenangan
Biru Kepada Guru
siapakah
mereka
yang
membalikkan mimpi-mimpi bocah
di
dinding-dinding sekolah
dan
menatap langkah-langkah kecil
di tiap
pelataran negeri ini:
aku
sangat merindukan mereka
ingin
menganggukkan kepala
sebagai
tanda hormat padanya
di
tengah belantara, kudengar sayup
anak
pedalaman selalu memanggil mereka
dengan
suara lantang dan bangga
bahkan
di sepanjang lautan
suara
penuh harap
seakan
mendekap batu karang
dan
menggemakan lagu masa depan
dari
setiap rumah tangga
pernah
kutangkap percakapan
tentang
orang-orang memberi salam
kepada
mereka
sepanjang
jalan cita-cita!
Lanskap
Laut
seribu
laut memantulkan rindu di garis pantai
membagi
bayang-bayang dan kenangan
pada
cakrawala, angin dan ombak yang gairah
dalam
gigil malam yang mengusik sukma
sementara
kucoba mengeja gemuruh ombak
yang
menjulang, rindu berarak di dalam jiwa
rapuh.
oh, serapuh daun-daun gugur, rinduku
terseret
arus ke berbagai penjuru mata angin!
Banjarbaru,
5 Agustus 1984
Kota
Sungai
kota
sungai inilah yang
mengalirkan
rinduku ke bandar-bandar
jauh.
Rinduku yang liar dihempas
ombak
besar;
ia
mengalir tanpa kapal sambil
mengusik
lanting-lanting kenangan
yang
menghilir dari pedalaman
Dan
akhirnya rinduku menjelma anak sungai
di mana
sampan purba melintas sunyi
mimpi-mimpi
jadi kayuhnya
kota
sungai inilah kota prahara
yang
menghanyutkan rinduku
ke tepi
dunia; di mana jejak
kita
kehilangan tujuan
karena
jalan-jalannya tanpa nama
inilah
kota yang senantiasa
menatap
sibuk dan galauku
karena
rindu yang malang
selalu
datang dan pulang
di sini;
kota sungai
yang terpencil
di lubuk
jiwa
tempat
sampan-sampan merapat
bila
rindu tiba atau berangkat
Banjarbaru,
Juni 84
Sumur
Jiwa
kuturuni
sumur jiwaku sedalam-dalam
keyakinan.
Kucari makna kedalamannya
di
kebeningan sinar nurani yang memancarkan
rahasia
suara. O, perlahan kurayapi tepi-tepinya
ada
dingin langit dalam sunyi yang melingkari
gerak-gerikku.
Angin terjatuh di tanganku yang
bergetar,
menyaksikan kulit jiwa terbakar
di
sepanjang jejak suara: menyebut kebesaran-Mu
yang
Maha!
Banjarbaru,
Sept 1991
Ekstase
Kota
menerjemahkan
mabuk kota dalam igauan manusia
huruf-huruf
jiwa menyala di belantara jalan
jejak-jejak
suara menirukan gerak fikiran
barangkali
kita mesti meluruskan keyakinan
keterasingan
bukanlah bahasa taman hiburan
tapi
isyarat yang dibentuk dalam rahasia tatapan
dan
gairah pertemuan
memihak
pada siapakah cakrawala, o matahari
bila
keyakinan kita dimabukkan kesempatan
mereguk
darah kota yang meluap di jalan-jalan
menerjemahkan
mabuk kota dalam igauan manusia
huruf-huruf
ingatan berlompatan di luar percakapan
orang-orang
pun diam-diam ditusuk kesimpulan
kota
masih mabuk dalam perjalanan!
Banjarbaru,
Maret 1991
Surat
Perahu
Surat
perahu dibaca di sungai-sungai termangu
beratus
kalimat meriak dalam jantungku
menyimak
sekian irama di dalamnya
memanggil:
"ibu, ibu! Ikan telah menjadi batu"
surat
perahu mengajakku berbincang
tentang
kayu dan cinta yang membesarkan waktu
betapa
manis matahari masa lalu, katanya
ketika
kilau sungai dengan riangnya
merenangi
pagi hari
sebelum
kita berangkat mandi
surat
perahu ditulis karena rindu, katanya
telah
mengubah wajah sungai
selalu
gelisah menatap waktu
surat
perahu renungkanlah di tanah negeri
sebelum
rumah berangkat mengejar hari
barangkali
engkau pun akan mengerti
suara
yang mengayuhnya adalah hati nurani
Banjarbaru,
01 Desember 1989
Fragmen
Kota
kota
yang liar
batu-batu
jalanan memendam gemuruhnya
dalam
dingin rindu
setelah
kabut pertama
merobek
pandang kembara
ngilu
angin kemarau
menjalari
tulang-belulang kota yang liar
jalan-jalan
menemukan belantara terbakar di sana
ketika
anak-anak aksara tersesat
dalam
belukar pikiran kita
setelah
pengalaman itu, kita mengadukan
sungai-sungai
yang menghanyutkan cintamu
padahal
kota yang liar ingin menghilirkan
kenangannya,
ke muara waktu
dan kita
mengiringnya dengan tatapan cinta!
Kota
yang Bersiul
kota
yang bersiul di malam hari itu
mengingatkanku
pada rimba kenangan
tanah
leluhur yang memikul gemuruh peradaban
bayang-bayang
rindu yang biru
menggenapkan
makna perjalananku;
sepi
yang panjang!
sementara
beribu catatan purba
tentang
riak budaya, pijar belantara
dan
misteri manusia
seperti
terbuka sendirian
menantang
wajah sejarah yang merah padam
o,
siapakah yang terjaga
dalam
barisan kata-kata yang bertulang itu
cakrawala
tak mengirimkan isyarat kepadaku
walau
kota senantiasa bersiul malam hari
mengalunkan
kesetiaan tak bosan-bosan
entah
mengapa aku tak juga dapat mengerti
kapan
suara itu tiba atau berangkat
dari
pintu pendengaran?
FISIP
Unlam, Agt 1987
(nb.
pernah dimuat di SKH Pelita Jakarta, Minggu, 13 September 1987)
Monolog
Belantara
akulah
hutan yang meminum gelombang
belantara
yang mengajakmu berfikir menyiasati
pasang
surut lautan
sebelum
musim manusia berzikir ketakutan
walau
tak mengerti gelisah cuaca di seberang mata
kurenungkan
juga kota-kota yang bersiul keasingan
kubayangkan
betapa sukarnya membaca tanda-tanda
rimba
di depan
rumah-rumahnya
akulah
hutan yang selalu gelisah membaca surat perahu:
bercerita
tentang kayu yang hanyut ke hulu waktu
membawa
kenangan burung-burung bersayap murung
seandainya
cuaca mengizinkan akan kutulis surat balasan
mengabarkan
tentang anak sungai yang tak lagi
mampu
merenangi pagi hari, ikan-ikan yang bersisik
kecemasan
sepanjang
hari, atau pantai yang berpasir kesepian
di bawah
matahari
akulah
hutan yang setia mengasuh perkampungan tak
bernama
sampai
ia dewasa lalu pergi mengembara entah ke mana
begitulah
aku pun kecewa ketika suratnya tiba:
aku akan
ditawarkannya ke jantung kota!
berulang
kusimak maknanya penuh tanda tanya
kehidupan
tanda
tangannnya mengingatkanku pada lekuk gelombang
yang pernah kuminum di gelas
kenangan
(nb.
pemenang III Lomba Puisi Indonesia 1989/1990)
Kesaksian
kesaksianku
atas kota ini adalah
kesaksian
yang berpuluh tahun menyimpan
luka
kemiskinan. Berat dan ringan impian
selalu
jadi pertimbangan pengembaraan
membaca
fikiran di keriuhan jalan
kesaksianku,
seperti yang tertulis di batu-batu
menjadi
nyanyian keterasingan
air mata
pun tergadai di lipatan waktu
menunggu
kedatangan sapaanmu
atas
nama kerinduan pada masa kanak kotaku
kuterjemahkan
tengadah wajahmu pada keluasan sunyi
langit
masih demikian sulit dibaca
kalimat
demi kalimatnya selalu saja tak selesai
mencatat
kesaksianku
Banjarbaru,
1991
Tanah
tak Bermusim
Di tanah
tak bermusim itu pabrik-pabrik mengucapkan
gelisah
hutan
yang
bertahun menyesatkan muara sungai
sampai
kudapat kabar tentang rumah-rumah perahu
letih
menunggu janji-janji percakapanmu
tapi
kota-kota yang menderaskan hujan polusi
tak
habis menggenapkan warna darah matahari
Di tanah
tak bermusim itu kaukah yang memindah batas
hutan-hutan
yang mabuk gelisah
sebelum
nyanyian langit mengeruhkan airmataku
o,
betapa letih tanah moyang kita
menggambarkan
ingatan hutan berabad ketakutan
pada
pohon-pohon yang disihir jadi baja dan beton
Banjarbaru,
Oktober 1992
Pada
Sebuah Taman
Pada
sebuah taman kulihat gadis-gadis sebaya
bercakap
tentang cinta, masa depan dan kerja.
Bunga-bunga
yang mendengarnya membaca nama-nama
lelaki
di hatinya.
"Ada
namamu disebutnya," ucap bunga pada kekasihnya.
Aku
terkejut mendengarnya, lalu pingsan
Tak
sempat menyimpan kecemburuan...
Pada
Sebuah Kantor
Pada
sebuah kantor kutemukan ruangan-ruangannya
termenung
sendirian. "Karyawannya sedang keluar
mencari
sesuap nasi," ucapnya. Aku cuma mendengarkan
dengan
hati yang perih. Tak kusadari, di pintunya
tertulis
sepotong sunyi: dicari pekerja
yang tak
mengerti makna korupsi
Nyanyian
Kecil
menggenapkan
hari-hari rindu, o, laut
seperti
gelombang aku di sini
menghempas
kenangan demi kenangan
di muara
mimpi kudapatkan sisa tatapan
entah
siapa yang menyimpan rahasianya
tak
kuhiraukan kantuk atau jaga
terus
kugenapkan hari-hari rindu
walau
tak pernah mengerti siapa yang mesti
kurindukan
bayangan
manismu o, laut
adalah
pantulan kilau bianglala
yang
menggelisahkan perjalanan
diburu
bayang perpisahan
Banjarbaru,
1989
Tentang
Ariffin Noor Hasby
Ariffin
Noor Hasby lahir di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, pada
20 Februari 1964. Mulai menulis sejak 1982. Tersebar di berbagai media massa
lokal dan nasional. Juga terdapat di berbagai antologi bersama, beberapa yang
tercatat terbit di luar daerah al. Pariwisata Indonesia dalam Puisi (Jakarta,
1991), Cerita dari Hutan Bakau (Jakarta, Jakarta 1004), Jakarta dalam
Puisi Mutakhir (Jakarta, 2000), Narasi 34 Jam (Jakarta, 2001), Perkawinan
Batu (Dewan Kesenian Jakarta, 2005), Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Medan,
2005), Pedas Lada Pasir Kuarsa (Bangka Belitung, 2009). Kota yang
Bersiul adalah kumpulan puisinya yang pertama. Salawat Laut adalah
kumpulan puisinya yang kedua.
Catatan
Lain
Buku
ini, terbit setelah 30 tahun Ariffin Noor Hasby malang melintang di dunia
sastra Indonesia. Menurut penuturan penulis, semua puisi dalam buku ini pernah
dipublikasikan di media cetak dalam kurun waktu 1982-1992. Saya pada 2007,
ditemani Harie Insani Putra, pernah berkunjung ke rumah penyair ini dan sejak
itu beberapa kali bertemu. Tapi saya yakin, penyair ini tak kenal saya karena
saya bukan seorang aktifis sastra. Saya bukan orang panggung, saya menikmati
dan mencintai puisi dari dalam kamar.
assalamualikum, min apa judul buku puisi yg paling bagus?
BalasHapus