Data
buku kumpulan puisi
Judul : Cinta yang Marah
Penulis : M. Aan Mansyur
Cetakan : I, April 2009
Penerbit : Bejana, Bandung (distribusi PT
Kiblat Buku Utama)
Tebal : 71 halaman (21 puisi)
Perancang kulit muka : R. Ayi Sacadipura
Catatan penutup : Nurhady Sirimorok
Beberapa pilihan puisi M. Aan Mansyur dalam Cinta yang Marah
SUATU SIANG DI SEBUAH KAMAR AKU DIAM
DI DEPAN SEPASANG JENDELA KEMBAR
YANG MEMBAGI LANGIT BERWARNA BIRU CERAH
MENJADI DUA SAMBIL SEKALI LAGI
MENDENGAR KAU MERENCANAKAN PERPISAHAN
aku membayangkan sepotong langit akan menyerap
airmata kau, sementara airmata aku akan menguap ke
langit yang sepotongnya lagi. sesaat kemudian hujan
berjatuhan karena sedih
membuat kau batal meninggalkan kamar, membuat kau
gagal meninggalkan aku
SEKIRANYA AKU PABLO NERUDA
DAN KAU PEREMPUAN YANG DICINTAINYA,
PERISTIWA SEDERHANA DI RUANG TENGAH ITU,
SEHARI SEBELUM KAU MATI, SAAT RIBUAN
BURUH BERJALAN TANPA ALAS KAKI DI ATAS
MATAHARI YANG MELELEH DI JALAN RAYA
SAMBIL BERTANYA DENGAN MARAH
PERIHAL LAPAR MEREKA, KELAK AKAN
BERUBAH MENJADI EPITAF INDAH DI NISANKU
aku berbaring di atas halaman korang yang dipenuhi kabar
kenaikan harga, perceraian dan perselingkuhan artis,
pembunuhan dan korupsi. kau berbaring di atas kertas-
kertas yang tak bertuliskan apa-apa kecuali tubuh kau yang
telanjang, seolah kau mau mengatakan tubuh kaulah kata-
kata, tubuh kaulah puisi
aku yang lahir dari rahim petani membayangkan tubuh
kau sebagai ladang semata. aku tebarkan bebijian di sana
sambil berdoa mereka akan tumbuh dan berbuah kelak
sebab tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir kita
yang gemetar hari itu, aku tak tahu apakah karena itulah
kau menanam tubuh kau di kedalaman makam sebulan
setelahnya?
(aku terus beroda sambil membayangkan suatu hari ada
pohon tumbuh dan berbunga dari perut kubur kau)
APAKAH AKU HARUS BETUL-BETUL MELUPAKAN
KAU AGAR AKU BISA BETUL MENCINTAI KAU
ATAU MENGIKUTI AJAKAN ORANG-ORANG
UNTUK MENYEBUT NAMA KAU MERAYAKAN
HARI KEMATIAN KAU (HARI YANG NAMPAKNYA
MENGHENDAKI KEMATIAN AKU JUGA)
SEBAB SUNGGUH AKU TELAH BERUSAHA MENEPI
DARI RIUH NAMA KAU SAMBIL UNTUK TERAKHIR
KALI MENGUCAPKAN APA YANG PERNAH
KAU KECUPKAN KE BIBIR AKU?
aku menutup telinga aku,
menutup semua telinga aku,
namun masih hingar aku
dengar nama kau diteriakkan
mikrofon. hei, sejak kapan
nama kau berbiak begitu
banyak? jadi belukar nama
seperti warna bendera partai.
kau mati, dimasukkan ke
dalam peti, lalu ditanam tetapi
kau malah tumbuh jadi
nama-nama
kadang-kadang aku dengar
nama kau bergulir jadi munir.
kadang-kadang aku dengar
tumbuh jadi thukul. kadang-
kadang terdiri dari
sejumlah huruf aneh dan selalu salah
disebutkan. kadang-kadang
nama raja yang mati jatuh dari
kursi. kadang-kadang keren
seperti nama mahasiswa yang
punya obsesi jadi model
iklan atau bintang film. kadang-
kadang pahlawan.
kadang-kadang messiah. kadang-kadang
hanya jargon
bagaimana caranya aku
mencintai kau yang banyak?
bagaimana caranya mencintai
kau yang semakin banyak
yang tinggal di masa lalu?
aku tiba-tiba bingung
mencintai kau. aku tiba-tiba bingung
mencintai aku.
aku juga. aku juga. aku
juga.
JIKA MUNGKIN, HARI INI, DI
HARI LAHIR
KEMATIAN KAU INI, AKU TAK
AKAN BICARA
PERIHAL KAU LAGI DAN HANYA
BICARA PERIHAL
AKU YANG KAU TINGGALKAN
DENGAN MASALAH
YANG TAK MAU BERHENTI
MEMANJANG,
BERCABANG-CABANG,
BERLUBANG-LUBANG,
YANG KADANG-KADANG AKU
BAYANGKAN
SEPERTI ULAR PALING PANJANG
ATAU JALAN-JALAN ATAU
PERJALANAN
YANG TAK PERNAH MENEMUKAN
UJUNG
ATAU KELELAHAN SAMBIL
MENCURIGAI KAU
SEBETULNYA MATI BUNUH DIRI
SEUSAI MENCURI NAMA AKU DAN
SELURUH
PERSEDIAAN NAMA UNTUK MASA
DI DEPAN AKU
hari ini aku yang tanpa
nama berjalan terkatung-katung di
antara jutaan aku lainnya
yang juga tanpa nama membawa
cinta yang marah dan pisau
ke mana-mana
sambil memikirkan semua
rencana yang pernah kau
katakan, semua janji yang
pernah kau sumpahkan, semua
cita-cita yang pernah kau
ucapkan. semuanya. yang masih
rencana, yang masih janji,
yang masih cita-cita
sambil mengenang perpisahan
aku dan kau, saat nafas
lepas dari tubuh kau dan
masuk memenuhi tubuh aku
sambil mencari jam yang
tepat untuk merasakan
bagaimana pisau melepas
nafas kau dari tubuh aku
jika mungkin
2009
KELAK SUATU HARI SEBELUM SALAH SATU
DI ANTARA AKU DAN KAU TERSANGKUT MAUT,
DI HARI ULANG TAHUN KAU, SAAT TIDAK ADA
PEKERJAAN KANTOR YANG MELARANG KAU CUTI,
AKU AKAN MENGAJAK KAU MENJADI TUA RENTA
LALU MENGAJAK KAU KEMBALI
MENJADI ANAK-ANAK
aku akan mengajak kau
menginap semalam di salah satu
panti jompo, tempat
orang-orang yang punya anak-anak
terlalu sibuk, tempat
orang-orang merasa dekat sekali
dengan makam, tempat
orang-orang susah payah
mengingat bagaimana caranya
tersenyum. di sana aku dan
kau akan membaca
sajak-sajak cinta kepada mereka.
dengan begitu kita bisa
membayangkan bagaimana kelak
kalau kita sudah tua,
bagaimana rasanya berjalan-jalan di
tepi jurang maut
besoknya, aku akan membuat
sepasang layang-layang.
kemudian akan aku ajak kau
ke sebuah padang. jika aku
susah menemukan padang, aku
dan kau akan memanjat
ke atap gedung yang
menyerupai tanah lapang, di mana
seseorang sering memarkir
pesawatnya. di sana kita akan
bermain layang-layang
sepuasnya. mungkin aku dan kau
sepasang tubuh dewasa yang
tak lagi memiliki jiwa kanak-
kanak. siapa tahu
layang-layang menerbangkan aku dan
kau kembali ke masa
kanak-kanak, saat senja masih
bening, saat pohon-pohon
masih hijau, saat cinta belum
terlalu rumit buat
dipahami.
PAGI INI, DI HARI ULANG TAHUN KESEPULUH
KEMATIAN KAU, DENGAN BASAH LUMPUR PASAR
DI TUNGKAI AKU DUDUK DI HADAPAN BAYAM,
KACANG PANJANG, WORTEL, TOMAT, CABAI
DAN BAWANG YANG BELUM DIPOTONG
JUGA PISAU YANG LUPA DIASAH SAMBIL
MEREKA-REKA KABAR KAU DI DALAM AKU
masih. aku melihat kau
masih ada di dalam aku. alangkah
pulas kau tertidur seolah
tak punya keinginan untuk
bangun dan mengucapkan:
selamat pagi, sayang!
ingin sekali aku
membisikkan mimpi ke bibir kau, agar
kau juga bisa mengeluh
tentang mall yang semakin banyak
dan harga-harga barang yang
bengkak, tentang jalan-jalan
yang dibangun untuk mesin
cuma, tentang tayangan
hiburan tivi yang
menyengsarakan. agar kau tahu betapa
susah bertahan mencintai
seseorang di tengah semua
itu
agar kau tahu aku masih
mencintai kau
(bayam, kacang panjang,
wortel, tomat, cabai dan bawang
belum juga diiris. pisau
itu mengapa berdiri begitu dekat
dengan urat nadi aku?
tiba-tiba airmata menyentuh bibir
aku membuat aku sadar
seperti biasa aku lupa lagi
membeli garam)
DI SEBUAH UJUNG KEMARAU, BEBERAPA HARI
SEBELUM KAU PERGI, SAAT PETANI DI KAMPUNG
SEDANG MENCIPTAKAN MUSIM HUJAN,
BENDUNGAN DAN IRIGASI DI MATA MEREKA,
KAU MEMINTA AKU MENDONGENG
SAMBIL BERHARAP KAU BISA TERTIDUR
DAN MEMIMPIKAN SESEORANG DARI MASA LALUMU,
MAKA AKU BERTANYA: TAHUKAH KAU KENAPA
LELAKI ITU SENANG BERMAIN HUJAN?
suatu hari, di bawah langit
bermata teduh, di wajah sungai
yang keruh seorang anak
sejenak berkaca hendak mencuci
wajahnya yang belepotan airmata.
sungai menangis tersedu
diseduh wajah sedih anak
itu
sungai itu menangis semakin
deras, lewat sepasang mata
anak itu, sungai
menyaksikan wajahnya yang keruh. dan
sungai itu pelan-pelan
jernih, dijernihkan airmatanya
sendiri
anak itu semakin deras
menangis. sedihnya tidak hendak
sudah melihat sungai ikut
tersedu. dan wajah anak itu
pelan-pelan bersih,
dibersihkan airmatanya sendiri
langit bermata teduh goyah
hampir jatuh menyaksikan
peristiwa itu
bertahun-tahun kemudian,
anak itu sudah gadis dan
sungai itu sudah panjang,
keduanya sungguh-sungguh
bening, bertemu kembali.
mereka bermandian, gadis
mandi di mata sungai,
sungai mandi di mata gadis, sampai
tubuh mereka tembus pandang
sampai tubuh mereka
menghilang
langit bermata teduh yang
sejak lama hampir jatuh
menyerah menyerap tubuh
mereka yang menguap itu
MUNTAH-MUNTAH KARENA TAK TAHAN
PENDINGIN UDARA ADALAH SALAH SATU ALASAN
KENAPA AKU BERKERAS BERTAHUN-TAHUN
MENCINTAI KAU BAHKAN SETELAH BERJALAN
MENGGOTONG KERANDA MAYAT KAU
BERKILO-KILO METER DARI RUMAH
KE PEKUBURAN DI ANTARA KERAMAIAN HUJAN
YANG MENANGIS DERAS
sekarang aku yakin kau bisa
menikmati ruangan paling
nyaman sebab kata seorang
pengkhutbah yang suka marah
dan punya anak kembar lucu
bernama haram dan halal, di
sana tak ada toko yang
menjual alat pendingin ruangan.
yang ada hanya tungku
pemanas dan kolam tempat
banyak buah dan susu
berenang bersenang-senang
dan kau tak perlu khawatir,
aku tak akan pernah berpikir
membayar salah satu partai
agar gambar wajah aku bisa
dipasang di pinggir-pinggir
jalan membuat sebagian orang
tertawa dan sebagian lagi
kecewa kemudian membuangnya
di kotak suara. sebab aku
tak mau menyiksa tulang-tulang
kau di dalam daging aku.
sebab aku tak mau
memuntahkan jantung kau
yang tambah tumbuh dari
tubuh aku
aku tak mau punya ruangan
dan mobil yang beralat
pendingin yang wajib
dimiliki para anggota dewan
aku tak mau. meski dulu
setiap malam di tempat tidur kau
bilang pada aku: sampai
mati, sampai hidup kembali, aku
pilih kau!
MENJELANG SEBELAS TAHUN KEMATIAN KAU,
SAAT USIA BANGUN AKU (ATAU TIDUR AKU
TAK ADA BEDANYA) SUDAH SEABAD LEBIH
SETAHUN, AKU SEMAKIN BANYAK MENGINGAT
KAU, SEMAKIN BANYAK MENGULANG
KALIMAT KAU, SEPERTI KALI INI AKU
MENGATAKAN SEKALI LAGI YANG KAU SEBUTKAN
DI UJUNG NAFAS KAU (YANG MUNGKIN WASIAT)
jangan! jangan terlalu
banyak kau panggil nama aku. orang
mati tak membutuhkan nama.
nisan itu untuk orang
hidup, bukan untuk orang
mati. atau untuk orang mati
yang masih hidup. aku ingin
jadi orang mati yang sangat
mati. biarkan aku lepas
dari belit belut masalah. begitu
harusnya kau mencintai aku!
semakin sering kau sebut
semakin subur nama aku.
semakin subur nama aku
semakin kerdil nama kau.
semakin kerdil nama mereka
yang kecil. semakin kecil
(kalimat kau patah di situ.
lalu jadi gema. cuma gema.
gema)
Tentang M.
Aan Mansyur
M. Aan Mansyur tinggal di
Makassar. Mendirikan dan bekerja sebagai relawan di lembaga literasi bernama
Kafe Baca Biblioholic. Di sela kesibukan menulis, sesekali ia membuat film
dokumenter. Bukunya yang sudah terbit: Hujan Rintih-rintih (kumpulan sajak,
Ininnawa, 2005), Perempuan, Rumah Kenangan (novel, InsistPress, 2007) dan Aku
Hendak Pindah Rumah (kumpulan sajak, Nala Cipta Litera, 2008 – masuk longlist
Khatulistiwa Literary Award 2008).
Hal Lain
Nurhady Sirimorok,
dalam catatan pembacaannya, menulis: “Baru di sajak kesembilanbelas saya
betul-betul yakin Aan telah mengerjakan sebuah proyek yang sangat serius. Di
samping judul sajaknya yang panjang-panjang, dia sedang menjalin narasi.
Sajak-sajak dalam Cinta yang mrah ini adalah sebuah sekuel. Sebuah cerita
bersambung yang disusun secara kronologis…… Menurut saya, Aan telah membangun
sebuah narasi versinya mengenai apa yang banyak dikenal orang Indonesia sebagai
‘kebangkitan nasional’ dan ‘reformasi’. Terutama tentang manusia-manusia apa
yang berseliweran di dalam ruang dan waktu ketika negeri ini dibayangkan sedang
atau telah mengalami reformasi.”
Lanjut Nurhady: “Membaca kumpulan
sajak ini sebagai dokumen politis narasinya melawan kerja media massa mainstream – terutama yang berbasis
Jakarta – yang cuma mengelus-elus tokoh-tokoh antagonis dan protagonis
‘reformasi’ di ‘pusat’. Aan tak tenggelam dalam debat apakah Soeharto harus
dimaafkan atau tidak, apakah Rama Pratama atau Budiman Sujatmiko mesti dicap
pahlawan atau pengkhianat, dan orang-orang hilang harus ditunjuk sebagai martir
atau tidak. Berdiri di luar Jakarta dan media yang mengirim kabar dari sana,
dia menerobos ke dalam sukma debat tersebut. Bahwa di masa reformasi atau
transisi, di mana pun, selalu menyembul harapan akan hidup yang lebih baik,
surga yang menunggu dipersembahkan oleh para Ratu Adil. Sementara mereka yang
masih ditindas oleh tiran yang berganti-ganti ujud, hanya menjadi
batu-pasir-semen anonim yang menopang para pahlawan.”
Di sampul belakang, ada komentar
dari Zen Hae, Hasan Aspahani dan Aslan Abidin. Buku kumpulan puisi ini
dipersembahkan kepada Diah Mashitah dan orang-orang tanpa nama!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar