Data
buku kumpulan puisi
Judul : Museum Penghancur Dokumen
Penulis : Afrizal Malna
Cetakan : I, April 2013
Penerbit : Garudhawaca, Yogyakarta
Tebal : 110 halaman (53 puisi)
ISBN : 978-602-7949-01-0
Foto cover : Sartika Dian Nuraini
Beberapa pilihan puisi Afrizal
Malna dalam Museum Penghancur Dokumen
daftar indeks
dan berjalan. Dan tidur. Dan melupakan. Dan menyapu. Dan makan.
Dan mengambil jemuran. Dan memotret pernikahan orang lain di
sebuah kafe di Shanghai. Dan membaca. Dan memotong kuku. Dan
memotret kucing kawin di rumah Lely. Dan menengok kuburan
temanku di surabaya. Dan anaknya sudah kuliah. Dan anaknya men-
girim sms, siapa bapakku? Dan anaknya tidak tidur dalam kamar
ibunya. Dan namanya Dya Ginting. Dan membakar sampah. Dan
memotong rumput. Dan mengambil kantong plastik yang dibuang
orang di pinggir jalan. Dan mencium anak anjing. Dan menengok
teman yang menangis di depan laptopnya. Dan ingin hidup dalam
suara Maria Callas. Dan tak punya uang. Dan menunggu honor dari
puisi. Dan bertemu mayat Caligula dalam bahasa. Dan mandi. Dan
ingin mengatakan padamu bahwa aku sudah mengatakannya.
Antri Uang di
Bank
Seseorang datang menemui punggungku
Membicarakan sesuatu, menghitung sesuatu,
seperti kasur yang terbakar dan hanyut di sungai.
Lalu ia meletakkan batu es dalam botol mineralku
Seminar Puisi di Selat Sunda
Untuk Goenawan Mohamad
Sebuah meja malam dari
kayu, bekas puntung rokok
yang hangus di
permukaannya. Kita makan bersama.
Malam yang samar-samar di
tengah kota. Sebuah
revolusi yang berganti
kaki, di atas sebuah kapal
perang yang diparkir di
Selat Sunda. Sebuah
perundingan untuk menjemput
diri sendiri: Kaki-kaki
kanan buntung – kaki-kaki
kiri buntung. Tidak tahu,
atau berjalan atau tidak
berjalan. Tidak tahu, atau
duduk atau berdiri. Bau
belerang dari punggung
krakatau, melukis kembali
peta-peta di atas kata-kata
yang menggerutu.
Sebuah kemerdekaan tidak
dirancang dengan
berteriak: musuh sudah ada
di luar pagar, tetapi juga
sudah ada di dalam pagar.
Sebuah republik yang
terbayang di pintu
belakang. Seorang lelaki di pintu
kaca: tidak tahu, apakah ia
berjalan keluar atau
berjalan masuk. Hilir-mudik
para peneliti Indonesia
yang kurang tidur, dalam
bahasa Indonesia yang
lelah. Sebuah bank di
antara tentara-tentara
perdamaian. Aku bersamamu,
dalam satu mobil
tua, lelaki seperti pohon
nangka itu, saling menatap
tetapi tidak saling
melihat. Sebuah buku puisi,
di pangkuan seorang
perempuan.
“Di manakah kita, melihat
kata, sebagai kematian
seorang ibu.”
Sebuah pintu, entah di
belakang rumah entah di
depan rumah. Sebuah pintu
kaca untuk melihat
ke luar untuk melihat ke
dalam. Sebuah kata untuk
membungkam selogan. Seorang
Sukarnois yang me-
nyimpan kartu pos patung
liberty di saku
mantelnya. Sebuah nyanyian
cinta dari Leonard
Cohen yang parau: Dance me to the end of love.
Asap rokok tentang
pendidikan para pemimpin, di
antara korek api dan badai
sebuah pesta. Seorang
lelaki yang menggenggam
tangisnya di sudut sebuah
restoran. “Aku melangkah
dari sebuah koran lokal,
sejak masa remajaku, di
sebuah desa, antara revolusi
3 kota. Dan sebuah novel
tentang kejahatan tentara
gerilya, di halaman-halaman
yang dipasangi alarem.”
Sebuah poster pertunjukan.
Di luar atau di dalamkah
pertunjukan itu
berlangsung? Bagaimanakah Kunti
menghanyutkan anaknya? Karna, bagaimanakah,
Karna?
Bagaimanakah matahari menciptakanmu
dari anak-anak panah, dan
menjemputmu kembali
di sebuah pagi yang merah.
Bagaimanakah Caligula
membenamkan akal sehat ke
dalam keuangan
negara? Ceritakanlah sekali
lagi, Caesonia, bagaimanakah
aku menitipkan cinta dalam
pelukanmu, ketika semua
telah menjadi gila di
tangan suamimu. Kekuasaan
telah mengambil cahaya
bulan dari ladang pikiran
kita. Bagaimanakah puisi
membuat kita bisa berjalan
bersama bayangan sendiri,
melewati diri kita sendiri
yang masih tertidur di
sebuah kereta.
Seorang penjaga tiket
pertunjukan, juga seorang
penjual air bersih di
sebuah kantor majalah. Seorang
wartawan yang membidik
dengan kata. Sebuah
kamera di dasar bahasa. Dan
seorang lelaki di jen-
dela kaca. Sebuah kantor
majalah yang
kontruksinya tertanam di
abad 19, sebelum perang
dunia, sebelum menukar
rempah-rempah dengan
sebuah bangsa. Jalan gula
yang membuat jalur kereta
dari Klaten ke Amsterdam.
Lelaki itu, bayangannya
di luar dan bayangannya di
dalam. Bau tembakau
mengubah kenangan tentang
mantel yang dikena-
kannya, antara warna tanah
dan lebih kelam lagi dari
warna pasir. Warna yang
mengecat sejarah kembali
ke warna yang sama. Bau
tembakau yang menggeng-
gam kesedihan dalam sebuah
lubang pentilasi.
“Apakah aku telah
berdurhaka padamu, ibu, agar
kau tidak lagi melahirkan
seorang pembunuh.”
Udara AC jam 2 malam
mengingatkannya tentang
sebuah hutan kata-kata.
Sebuah republik di lantai
dua, bukan? Dan
pertengkaran tentang di mana letak
tangga itu untuk naik ke
lantai dua, antara musim
hujan dan perkebunan tebu
yang sudah kita bakar.
Sebuah revolusi di antara
kaki-kaki yang berganti.
Sebuah malam yang aku
sisipkan dalam buku sejarah
puisi Indonesia modern. Dingin yang tak tercatat di
halaman itu. Dan sisa-sisa cahaya bulan sebelum
gerhana. Cukup dengan 1000
slogan untuk
menggenggam kesedihan yang
menggenang di lantai
dua. Cahaya matahari pagi
bertahan di atasnya.
Untuk harapan, untuk
ibu-ibu penjual nasi bungkus
di pasar rakyat. Apakah.
Apakah materialisme sejarah
telah mati, dalam sebuah
mata kuliah psikologi
tentang kelas sosial?
Apakah. Apakah revolusi telah
dihapus, dalam sebuah kapal
dagang yang berlayar
di jalur api? Menciptakan
milisi jadi-jadian untuk
meruntuhkan daya hidup
bersama. Apakah. Tentang.
Tetapi.
Lelaki itu berdiri di atas
tangga dan turun ke lantai
bawah. Dia seperti terus
berjalan di tangga itu. Setiap
dia melangkah, anak-anak
tangga itu seperti terus
bertambah, hampir lebih
cepat dari langkahnya sendiri.
Langkah yang menciptakan
anak-anak tangga
daripada melalui anak-anak
tangga itu sendiri.
Apakah dia sedang turun –
apakah dia sedang naik.
Menambahkan waktu dalam
sebuah kereta pada
setiap langkahnya. Berikan
aku sebuah kata, untuk
tidak mengatakan apapun
tentang luka yang
tumbuh di halaman pertama
sejarah kebangsaan.
Dan tentang diriku sendiri
yang masih mencium bau
pikiran dari topi yang
pernah kau kenakan. Pikiran
yang berusaha mengubah
sebuah tangisan menjadi
gerimis, sore yang
samar-samar di antara daun-daun
yang tumbuh merambat.
Kebebasan yang dirawat
dalam sebuah perjudian
antara Duryudana dan
Yudhistira.
Aku mengenal lelaki itu. Seseorang
yang berjalan
seperti dengan suara kertas
koran yang diremas.
Suara antara puisi dan
puing-puing kata. Dia seperti
sebuah pagi, di antara kerumunan
malam yang
samar-samar. Dia ingin
menjemput kembali revolusi
itu, dengan sebauh opera
tentang kesunyian.
“Kita telah melihat,
seorang ibu membuat sebuah
luka di mulut seekor
harimau.” Untuk para sahabat,
dan sebuah kata yang tidak
bisa mengatakan: angin
yang mengirim garam,
menjaga musim hujan di
Utara. Di sini.
Menggoda Tujuh Kupu-kupu
Aku tidak berjalan dengan
mata melek. Kau pergi dengan mata
tidur. Orang di sini
membawa beban berat. Bukan soal melihat.
Dalam beban itu isinya
sampah. Bukan pergi dan tidak tidur. Kita
sibuk mencari tempat
membuang sampah itu untuk mengisinya
kembali dengan sampah. Kau
pergi dengan mata tidur. Aku tidak
berjalan dengan mata melek
dan tidak mengukur yang terlihat.
Kau latihan yoga dan
menjadi tujuh kupu-kupu. Aku melihat kau
terbang dan tidak bisa ikut
masuk ke dalam kupu-kupumu. Ke-
adaan seperti gas padat
dalam lemari es. Tetapi tidak ada ledakan.
Aku tidak mendengar suara
ledakan dalam puisi ini. Di sini hidup
menjadi mudah, karena
memang hidup sudah tidak ada. Menjadi
benar oleh
kebohongan-kebohongannya. Menjadi indah oleh
kerusakan-kerusakannya. Aku
di dalam pelukanmu dan di luar
terbangmu. Membayangkan
tujuh kupu-kupu mulai menanamkan
sayapnya dan menanamkan
terbangnya. Mengganti bumi pertama
dengan rute sungai Marne
yang membelah mimpi-mimpimu.
Di Seberang Selembar Daun
Aku bukan seluruh daun di
pohon ini. Aku hanya
selembar daun di pohon ini.
Hanya pohon ini dan
hanya selembar daun. Aku
hanya selembar daun
yang tumbuh di leherku.
Hanya berwarna hijau sep-
erti selembar daun. Aku
hanya selembar daun yang
berbicara menggunakan
mulutku. Maksudku,
mulutku adalah selembar
daun yang berbicara
menggunakan mulutku.
Maksudku, aku hanya
selembar daun yang selembar
daun. Jangan rayu aku
untuk menjadi pohon walau
kau berikan tuhan kepa-
daku. Jangan rayu aku untuk
menjadi seluruh daun
pada pohon ini walau kau
berikan janji kematian pa-
daku. Aku bukan soal
kematian dan soal tuhan. Aku
mirip, maksudku mirip
dengan pertanyaan aku hidup
bukan untuk seluruh yang
kau katakan setelah
kematian. Setelah kematian
aku bukan hidup dan ke-
matian bukan selembar daun
yang mewakili seluruh
daun di pohon ini.
Aku hanya selembar warna
hijau dari pohon yang
aku tak tahu namanya. Pohon
yang membuat aku
tahu aku berada di sini dan
hidup di sini. Maksudku,
jangan kau takuti aku
seperti kanak-kanak yang
berlari di seberang
kematian. Aku mengingatnya,
waktu-waktu, dan, lihatlah
di luar sana, lihatlah
orang-orang berjalan dengan
kakinya, pohon-pohon
tumbuh, anak-anak bermain
merasakan kebahagiaan
memiliki tawa, langit yang
dibuat dari rambut
perempuan. Aku adalah
selembar daun yang dijahit
pada sebatang pohon.
Proposal Politik Untuk
Polisi
“Toean-toean, saja mendjamin bahwa pemerintahan kita
tidak lagi popoeler, baik di antara rakjat ketjil maoepoen
pedjabat boemiputra rendahan ataoe pedjabat tinggi …
rasa tidak puas jang merebak, baik di kalangan para bang-
sawan maoepoen rakjat djelata, terhadap bagaimana tjara
pemerintah dikelola dan keadilan ditegakkan. Sedjak akhir
1900, muntjul sematjam gerakan terorisme … ataoepoen
gerakan perlawanan terhadap pemerintah. Tampaknja di
pusat birokrasi pemerintahan tidak memahami makna ini
semua.” (P.J.F. van Heutsz, 1904-06)
Aku dilanda kedatangan
diriku sendiri, di sana dan di sini. Melihat
kegagalan yang terus-terang
di setiap yang kuciptakan. Antara
mesin-mesin dan sistem
dalam lubang kesunyian, pembelian dan
penjualan yang saling
membuang. Hiburan dan barang-barang
yang dibeli di sana dan di
sini. Kenangan dalam puing-puing
perubahan. Sisa-sisa hutang
dalam peti mati tak terkunci. Pidato
musim hujan di semua
saluran keadilan yang tenggelam. Tanah
dan suara api di atas meja
makan. Kau dan aku berdiri di sini.
Tetapi tidak pernah berdiri
bersama.
Aku memotret telapak
tanganku sendiri, seperti memotret sebuah
kepulauan terbuat dari
bubur kertas. Pengeluaran terus-menerus
di sana dan di sini, lebih
panjang dari jalan yang kulalui ke depan
dan ke belakang. Suara
gesekan butir-butir beras dalam panci,
seperti data-data ekonomi
yang kehilangan mesin hitung. Hatiku
tenggelam dalam permainan
sejarah dan baju untuk masuk surga.
Laporan keuangan yang
berjalan-jalan di akhir tahun. Daya hidup
yang menjadi puing-puing
dalam perdagangan ilmu pengetahuan,
data-data di sana dan di
sini. Kesehatan yang diramalkan vitamin C
dan sikat gigi. Aku dilanda
kedatangan diriku sendiri,
untuk membeli kesunyian,
udara bersih dan lapangan
kerja.
Tuan-tuan, bisakah
kegagalan dipotret, untuk melihat
bagaimana caranya kita
tertawa dan tersenyum.
Bisakah kita memotret sikat
gigi di tengah puing-
puing daya hidup yang terus
digempur dari sana dan
dari sini. Daya hidup yang
menjadi mainan pendaya-
gunaan kekerasan. Laporan
pertumbuhan penduduk
yang menjadi api pada jam
makan malam kita.
Tuan-tuan, bisakah kita
membaca sekali lagi, dari
huruf-huruf tak bermakna.
Dan mereka menciptakan
bahasa, dari setiap
kegagalan, dari setiap sejarah luka
di sana dan di sini, dari
dansa perpisahan di malam
minggu. Berdirilah kita di
sini, seperti tanaman yang
menunggu tukang kebun.
Tidak membiarkan sebuah
kepulauan menjadi saluran
got bersama.
Tuan-tuan. Di sana dan di
sini. Musim hujan yang
telah berwarna biru di
kotamu.
Mesin Penghancur Dokumen
Ayo,
minumlah. Tidak. Saya tidak sedang es kelapa
muda. Makanlah kalau
begitu, tolonglah. Tidak. Saya
tidak sedang nasi rames.
Masuklah ke kamar mandi
saya, tolonglah kalau tidak haus, kalau tidak lapar,
kalau bosan makan.
Perkenankan aku memberikan
keramahan padamu, untuk
seluruh kerinduan yang
menghancurkan
dinding-dinding egoku. Bagaimana
aku bisa keluar kalau kamu
tidak masuk.
Kamu bisa mendengar kamar
mandiku memandikan
tata bahasa, di tangan
penggoda seorang penyiar TV.
Perkenankan aku membimbing
tanganmu. Masuk-
lah di sini yang di sana.
Masakini yang di masalalu.
Masuklah kalau kamu tak
suka tata bahasa. Tolonglah
kalau begitu, ganti bajumu
dengan bajuku. Mesin
cuci telah mencucinya
setelah aku mabuk, setelah
aku menangis, setelah aku
bunuh diri 12 menit yang
lalu. Bayangkan tubuhku
dalam baju kekosongan itu.
Tolonglah
bacakan kesedihan-kesedihanmu:
“Kemarin aku bosan, hari
ini aku bosan, besok akan
kembali lagi bosan yang
kemarin.” Apa tata bahasa
harus diubah menjadi museum
es krim supaya kamu
tidak bosan. Tolonglah. Semua yang dilakukan atas
nama bahasa, adalah topeng
api. Pasar yang
mengganti tubuhmu menjadi
mesin penghancur
dokumen. Tolonglah, aku hanya seseorang dalam
prosa-prosa seperti ini,
seorang pelancong yang
meledak dalam sebuah kamus.
Sebuah puisi murung
dalam mulut mayat seorang
penyair.
Tolonglah,
tidurkan aku dalam kesunyianmu yang
tak terjemahkan. Mesin
penghancur dokumen yang
sendirian dalam
kisah-kisahmu.
Mantel Hujan Dua Kota
Kota itu telah jadi
Semarang sejak air laut ingin
mendaki bukit, dan pesta
tahun baru di ruang dalam
bangunan-bangunan kolonial.
Minum persahabatan
dan melukis fotomu pada
dinding musim hujan.
Sepanjang malam ia
mengenakan mantel dari listrik:
kota yang mengapung 45
derajat di atas sejarah.
Dalam mantelnya, rokok
kretek dan kartu atm.
Mahasiswa bergerombol di
warung kopi, mengambil
ilmu sastra, ilmu
komunikasi, antropologi dan
jam-jam belajar dari
pecahan kaca. Akulah anak
muda yang bisa memainkan
bas elektrik, blues
dengan sisa-sisa kerusuhan
dan sisir yang patah. Aku
telah banjir di lapangan
kerja dan kenaikan gaji
pegawai negeri. Para
arsitek yang membuat desain
kota bersama air laut dan
hujan.
Biarlah aku sampai ke batas
tepi ini, untuk jejak yang
membuat lubangnya sendiri.
Kereta keluar dari mulut
stasiun Yogyakarta, bau
tembakau dari pesta seni
rupa dan sapi goreng. Aku
kembali bernapas setelah
ribuan billboard kota
adalah mataku yang terus
berputar, waktu yang
terasa perih. Rel kereta
api masih menyimpan saham-
saham VOC sampai Semarang.
Tanah keraton yang
menyimpan telur ayam,
mantel biru masih
menyanyikan keroncong
Portugis. Bau tebu, bau padi,
bata merah yang dibakar.
Aku telah Yogyakarta
setelah berhasil menjadi
orang sibuk tidak mandi 2
hari, menggunakan excel untuk agenda-agenda
padat. Dan bir dingin di
antara janji-janji.
Aku telah dua kota dalam
perjalanan dua jam
bersambung sepeda 6 jam
pagi. Biarlah aku sampai
ke batas tepi ini. Sebuah
kota yang terbuat dari jam
6 pagi, dan aku
mempercayainya seperti genta yang
berbunyi tanpa berbunyi,
bayangan gunung sebelum
biru dan sebelum kelabu dan
sebelum di sini.
Teknik Menghibur Penonton
Kebahagiaan peti mati
mengucapkan selamat tahun baru.
Maksudku, peti mati dan tahun baru.
Kata-kata melintasinya dan
jatuh seperti burung yang
ditembaki dalam mata
pelajaran biologi.
Intelektualitas yang merasa
bisa menjadi mediator
antara tubuh dan realitas,
terjungkal dari rak buku.
Maksudku terjungkal dan rak buku.
Titik dan koma tersesat
dalam perangkap titik dan koma.
Kata-kata telah ditundukkan
oleh badai kamus.
Dipisahkan lagi antara badai dan kamus.
Sebuah bossanoba di tengah
api perpustakaan.
Dipisahkan lagi antara musik dan api dalam perpustakaan.
“Tuan penghibur,” kataku,
untuk melihat rohku
di antara kumpulan harga
apartemen dan tiket
pertandingan sepak bola.
Baskom dalam timbunan
penduduk kota.
Tepuk tangan para pembuat
parfum
dan mesin pencetak dari
rumah sakit.
Thank you.
Tuan penghibur.
Thank you.
Tubuh Lublinskie di Lorong
Es Hitam
Untuk gas
Musim panas berjalan-jalan
di luar bajumu.
Dari seluruh warna merah
yang dipadatkan.
Baju dengan jahitan tentang
ketakutan
dan kesedihan. Lorong es
hitam pelarian Yahudi
di Grodzka, jadi jalan
turis.
Musim panas yang masih
menjahit gerimis,
setiap jendela cuaca
dibukan dan ditutup.
Tidak tentang yang terkunci
di luar atau di dalam.
Tentang bibirmu
meninggalkan biji cengkeh
di lidahku.
Membisikkan puisi-puisi
Wislawa Szymborska,
dengan tas koper terus
memunguti bayangan kita
di belakang. Tidak
memisahkan kalimat dengan koma,
setelah masa lalu dan masa
kini.
Kita meminjam sayap burung
untuk tidak
berbahasa lagi seperti
manusia.
Terbang.
Seperti dalam ruang di luar
suhu kematian.
Seperti matahari menawarkan
ilusi tentang bayangan,
dan sebuah bis yang membawa
malam ke Warsawa.
Malam yang terus direnovasi
dalam lampu-lampu
kota yang sedih.
Menggeser musim panas ke
tangga menuju
kastil-kastil kesunyian,
kafe-kafe yang
menyembunyikan teriakan
dari tenggorokan terluka.
Mata lelaki dalam kantong
plastik
mulai berkerumun di taman
kota.
Pelayan kafe membawa menu
sejarah,
secangkir kopi dan ice
cream tentang kita.
Lukisan sejarah perang dan
kunci besi
di Museum Lublinskie.
Kita berjalan di sebuah
kota yang telah menjadi
selembar menu makanan.
Deru pesawat dan kereta
masih merenovasi pelukan
kita, antara passport, peta
perjalanan dan gereja-
gereja tua. Aku tidak tahu
lagi bedanya antara
memeluk dan bersujud memuja
kesedihanmu.
Di tas koperku masih peti
mati yang meminta visa
untuk kebebasan bernapas.
Sayangku, tidur tidak bisa
mengecat mimpi kita.
Lublin telah menjadi piano
kesunyian di luar malam.
Workshop 5: Tawanan Aku
gema suaranya kembali lagi
membuat dinding bunyi
dari suaranya
berdiri melingkar
di depan bulatan penuh
perangkap waktu
jari-jari yang menggenggam
tikus
dan perangkapnya di
belakang membuat makan malam
seperti bayangan yang
meninggalkan bentuknya
memecah, tertawa,
kisah-kisah perang yang
dimuntahkan kembali dari
ketakutannya
cermin yang menjadi buta
ketika melihat
dinding di dalamnya
dan selembar rambut di atas
koran pagi
air yang menyeberang di
atas jembatan
melintasi sungai
melintasi tetesannya
tanpa prasangka di hadapan
daun kering yang
menyimpan gema dari
hutannya
Jembatan Rempah-Rempah
Adas manis · Akar wangi ·
Andaliman · Asam jawa ·
Asam kandis · Bangle ·
Bawang bombay · Bunga la-
wang · Bawang merah ·
Bawang putih · Cabe · Ceng-
keh · Cendana · Damar ·
Daun bawang · Daun pandan
· Daun salam · Jembatan
dari bumbu dapur ke darah
Colombus · Gaharu · Gambir
· Jahe · Jeruk limo · Jeruk
nipis · Jeruk purut ·
Jintan · Kapulaga · Kayu manis ·
Kayu putih · Kayu mesoyi ·
Kecombrang · Kemenyan ·
Kemiri · Kenanga · Kencur ·
Kesumba · Ketumbar · Ko-
pal · Kunyit · Lada ·
Jembatan dari parfum ke darah
Vasco da Gama Tabasco ·
Laurel · Lempuyang · Leng-
kuas · Mawar · Merica ·
Mustar · Pala · Pandan wangi ·
Secang · Selasih · Serai ·
Suji · Tarum · Temu giring ·
Temu hitam · Temu kunci ·
Temu lawak · Temu mang-
ga · Temu putih · Temu
putri · Temu rapet · Jembatan
dari obat-obatan ke benteng
perempuan berkalung
mawar merah · Adas manis ·
Akar wangi · Andaliman ·
Asam jawa · Asam kandis ·
Bangle · Bunga lawang ·
Bawang putih · Cabe ·
Cengkeh · Cendana · Damar ·
Temu tis · Vanila · Wijen ·
Jembatan dari Diogo Lopes
de Mesquita ke darah
Ternate · Gaharu · Gambir ·
Jahe · Jeruk nipis · Jintan
· Kapulaga · Kayu manis ·
Kayu putih · Kemenyan ·
Kemiri · Kenanga · Kencur ·
Kesumba · Ketumbar · Kunyit
· Lada · Jembatan api
yang terus mengirim kapal
ke arsip-arsipmu.
Tentang Afrizal Malna
Afrizal Malna lahir
di Jakarta, 7 Juni 1957. Sejak menamatkan SLA pada tahun 1976, Afrizal Malna tidak
melanjutkan sekolah. Pada tahun 1981, ia belajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta, sebagai mahasiswa khusus hingga pertengahan dikeluarkan pada tahun 1983. Pada usia 27 tahun,
Afrizal Malna menikah. Selama kurang lebih sepuluh tahun ia pernah bekerja di
perusahaan kontraktor bangunan, ekspedisi muatan kapal laut, dan asuransi jiwa.
Sekarang lebih banyak berkiprah di bidang seni, sebagai sutradara pertunjukan
seni, kurator seni instalasi, penyair dan penulis. Bukunya antara lain: Abad Yang Berlari (1984), Perdebatan
Sastra kontekstual (1986), Yang Berdiam
Dalam Mikropon (1990), Arsitektur
Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Kalung Dari Teman (1998), Sesuatu
Indonesia, Esei-esei dari pembaca yang tak bersih (2000), Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan
Manusia, kumpulan prosa (2003), Dalam
Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003), Novel
Yang Malas Menceritakan Manusia (2004), Lubang
dari Separuh Langit (2005). Penghargaan yang pernah diterima: Kincir
Perunggu untuk naskah monolog dari Radio Nederland Wereldomroep (1981), Republika
Award untuk esei dalam Senimania Republika, harian Republika (1994), Esei
majalah Sastra Horison (1997), Dewan Kesenian Jakarta (1984).
Hal Lain
Ini kata-kata yang
terdapat di sampul belakang buku: “Kumpulan buku puisi Afrizal Malna ini
terdiri dari 3 bagian. Puisi yang tertunda-tunda untuk diterbitkan. Afrizal
sendiri merasa ragu untuk menerbitkannya. Ia menganggap banyak kekosongan di
dalamnya, sesuatu yang berjatuhan, kehilangan pengikatnya. Tetapi akhirnya
diterbitkan. Judul Museum Penghancur
Dokumen, juga sebenarnya lebih sebagai reaksi terhadap puisi-puisinya
sendiri.”
Maka tugas saya melengkapinya: 3
bagian yang dimaksud adalah Di Bawah
Penggaris Kata (10 puisi), Bayangan
Arsip (24 puisi), dan Suara yang
Berjalan di Atas Kaca (19 puisi). Jadi total ada 53 puisi. Lalu ada esai
penutup di bawah judul “Catatan di Bawah Bayangan”. Dalam tulisan itu Afrizal berkata:
“Hujan merupakan personifikasi saya dalam menulis, personifikasi aku-natur
melalui sebuah tabrakan dalam aku-kultur.” Bla bla bla dan penjelasan lain yang
tidak semua orang sanggup menangkapnya. Bagi saya sendiri, barangkali, hanya
paragraf terakhir dari tulisan itu yang nampak terang, tidak njlimet, tidak
mengerutkan kening, sebuah antiklimaks yang indah: “Beberapa kali saya
berpapasan dengan orang-orang yang saya kenal, teman-teman, di pesawat atau di
tempat lain, saya berusaha menyembunyikan wajah saya agar tidak dikenali.
Menghindar dari terjadinya pertemuan. Saya seperti terus berjalan mundur
menjadi seorang “pendiam”. Masuk ke lubang internal saya. Sebuah gudang di mana
bayangan kesunyian terasa pekat. Mengusir setiap kehendak mengalami diri saya
sebagai seseorang. Mencoba mengalami lagi rasa sendiri, sedih. Melakukan
sesuatu untuk mengosongkan, bukan untuk mengisinya. Begitu terus-menerus,
seperti membersihkan kaca yang sudah bersih.” Nah, barangkali inilah yang
menjadikan kumpulan puisi ini memiliki banyak kekosongan, berjatuhan dan
kehilangan pengikat. Sebuah kumpulan puisi yang disusun dan diterbitkan dalam
mood seseorang yang mundur menjadi “pendiam”.
Buku
punya Hajri ini tergolong buku yang baru di rak Hajri. Tak ada keterangan harga
atau catatan kapan dan di mana belinya.
hebat
BalasHapussaya juga menikmati puisi-puisi Afrizal Malna, Berlin Proposal karya beliau juga saya suka.
BalasHapussila berkunjung ke http://willy-akhdes.blogspot.com untuk melihat kumpulan puisi saya.