Data buku kumpulan puisi
Judul : Parewa
Penulis : Rusli
Marzuki Saria
Cetakan : I, 1998
Penerbit : PT Grasindo, Jakarta.
Tebal : 116 halaman (148 puisi, 33 puisi di antaranya tanpa judul)
ISBN : 979-669-327-5
Desain sampul:
Yusrizal KW, Padang
Parewa terbagi atas 6 (enam) bagian/kumpulan, yaitu Pada Hari Ini Pada Jantung Hari (21
puisi), Tanpa Judul (18 puisi tanpa
judul), Tema-tema Kecil (45 puisi), Sendiri-sendiri Sebaris-sebaris dan
Sajak-sajak Bulan Pebruari (18 puisi),
Ada Ratap Ada Nyanyi (40 puisi),
Ketemu Umbu Landu Paranggi (6 puisi)
“Bila
senja hitam ibu terisak dan menangis/Kutekurkan kepala dan ingin berbagi
duka/Ibu menciumku dalam berbisik: engkau anak laki-laki perasa”
(dari Sajak Terkenang
Kembali, Rusli Marzuki Saria)
Beberapa pilihan puisi Rusli Marzuki Saria dalam
Pada Hari Ini Pada Jantung Hari
Mereka Bawa Getah Nangka dan Senjata
hunjamkan ke hulu hati parewa lembing tajam
ketika kemarau meretak ekor kerbau, cabutlah!
di pintu rumah gedang bunda silangkan
kapur sirih tigakali
air mata duka tetes satu-satu
bunda kenangkan kepergian anak laki-laki buah
rimbang
tengadah ke langit dan gerutu:
“mereka bawa getah nangka dan senjata.”
1965
Parewa: menurut KUBI, penjahat –
perusuh. Dalam masyarakat Minangkabau, parewa
artinya yang positif, pembawa pembaruan, lebih inovatif dan penantang arus.
Sebuah Kehadiran
kepada leon agusta
I
rumah dengan sarang panah
unggun bermula dari kekinian
padaku datang rangsang berbenah
tapi aku waspada jalan keyakinan
II
berburu di padang-padang rimba sasapan
tahu kau. anjing setia musang lapar
dan gagak-gagak terbang lalu hinggap di dahan
akankah kubidik, lembing kulempar.
III
di bawah langit kelahiran tercinta
di pinggang bukit penantian
kuhitung usia kuhitung dosa
jangan bilang – aku buat balas
IV
putih mata mekar harapan
lewat jalanan babi luka
batu cadas jalan sulit di penurunan
lagu musim di mulut terbuka.
V
kalau guruh datang tengah hari
gabak pun datang dari utara
langkah tergesa getar jejari
wahai, di tubuhku luka tak bertara
VI
peot juga muka tanda tua
gelitik ilalang ditiup angin
di halaman anak-anak mengeja membaca
mataku diterpa angin
VII
tahu kau. generasi demi generasi
berdatangan dan menemu ajal
aku bawa api kau bawa api
jalan kita, bukit ini terjal.
VIII
kepala belanga ragi
dada selempang pelangi
biuskan mereka pada kekinian hari
tanpa mulut berbusa tanpa dosa jadi.
IX
istilah dan sejarah
silsilah dari sebuah republik
jubah pemimpin pemurah
kita punya tikar dan lapik
X
kamar dan rak buku terlantar
dinding selalu menagih kerja
tak menidurkan tubuh resah terlantar
hujan sama jatuh di samar senja.
1965
Nukilan
kepada rainer maria rilke
setelah aku mengenal miang kata-katamu
suaramu mendesis di padang-padang pengembaraan
gema busa kata pada kematian,
aku bertanya, sampai di sini saja?
petualang ini dambakan pintu malam ke dadanya
remah-remah padi bagai permata Sulaiman
kemilau dan bergalau
ah, aku sendiri sambil merapatkan pipi pada
pipimu
palangkan tembilang di dadaku bila tanah
sengketa sudah
kita
punya
perciki air tawar limau tujuh ragam doa bunda
subuh-subuh bunda buka pintu – anakku malang:
– ini sarong lekas sembahyang!
bila padang-padang tualang sudah lengang dari
mambang
kubuka mata, aku bertanya: sampai di sini saja?
aku percaya kita bersalaman dan pergi
tapi, ingat sayangku, gema busa kata tak
berakhir pada
kematian?
1965
Beberapa pilihan puisi Rusli Marzuki Saria dalam
Tanpa Judul
***
kita berdatangan dengan ragi duka
menjalani jalan desa dan kota
meliuk lengang
kita hidupkan unggun cinta
kita remas cemas
waktu kemalangan datang timpa menimpa
waspada, hantu terkekeh batuk mendekeh
kita sudah antarkan prajurit terlantar
ke rumah ibunya
kita sudah pahatkan secuil sejarah
di loteng-loteng rumah
jauh dari menepuk dada, atau
selama ini kalender mengigau
1966
***
kuminta hari-hari berani menguakkan daun pintu
terjang angin kijang lari putih matamu
di gua pertapaan ngalau zaman – amboi
semua cemas kepadaku menggigil lampu
ilalang mersik tengah padang lengang
dedaun tua gugur berisik berbisik
di tujuh puncak bukit tualang terkenang
danaumu biru airnya biru kutatap asyik
1966
Beberapa pilihan puisi Rusli Marzuki Saria dalam
Tema-tema Kecil
Berkelok Jalan ke Maninjau Danau
Berkelok jalan ke Maninjau, danau
Tak kulupa wajah orang tua yang rawan
Masa mudanya dihabiskan di rantau o, rantau
Awan senja pun turun, biru air danau hijau
perbukitan
Pisau lempagi di saku terasa meronta ingin
ditikamkan
Perantau ingin menulis riwayat selama kembara
Pengalaman bagai danau o, danau
Kiranya ditimba selalu bila ‘kan keringnya
1962
Interpretasi
Sajak adalah tangan-tangan yang bekerja
Sajak adalah parang penebas hutan
Sajak adalah cerana
Sajak adalah kelapangan
Sajak adalah kerendah-hatian
Sajak adalah angin menepuk kuping
Sajak adalah suara jengkerik malam hari
Sajak adalah kabut di pelupuk mata
(In
Memoriam Boris Paternak)
1966
Jalanan Kampung
Jalanan kampung
Gonjong surau kampung
Di pintu garin mencibir
Di mulutnya kumat-kamit takbir
Jalanan kampung
Kias kata memercik di telinga
Gadis rumah gadang ini melambaikan tangannya
Pejalan ini bertanya: – Adik ini siapa
jodohnya?
1963
Menara
Bila bulan tanduk kerbau mengintai di balik
pintu surau
Bergegaslah nenek menyandang telekung suaranya
parau
Hari-hari diburu kerja, ke sawah dan ke
ladang
Dalam dera kenang dilusuhkan usia dihimpit
jenjang.
Anak-cucu berkecambah rumah tinggal berdebu
Karena panggilan rantau yang tak dapat
dielakkan
– Kalian tinggal rebut sawah dan ladang
Bergunjing di atas pematang, kapan kalian
meneruka?
Kiranya adat diadatkan di sisi adat limbaga
Anak-cucu bermimpi masa depan penuh cahaya
1964
Yang Tak Lupa
Bagai kelambu nestapa diriku dalamnya
Berharap kepadanya dengan semua bengkalai kerja
Kugenggam sajak kehidupan
Tak bisa tumpas lapar tapi nanar oleh kata
Bila diriku siuman dari pemberontakan
Tidak terkatakan sesal sebab kemalangan
Kudukung di punggung lainnya berceceran
Semua takdir kita yang punya
1963
Kotaku Sayang Wahai Kotaku
Kotaku sayang, wahai kotaku
Kota punggung kaki Merapi dan Singgalang
kuingat
namamu
Berselendang awan mayang tumpas girang
Kotaku sayang, atas namamu telah undang
: bencana perang saudara
Pada tahun-tahun pertama, ya pada tahun-tahun
pertama
Lewat gang-gang kota, jalan Kumidi, Pasar
bawah, los
daging
pasar
Teleng, betapa sepinya.
Kiranya kutahu ia sedang hamilkan sesuatu
Seperti Merapi yang berasap
Singgalang bertelaga.
Dengan celana pendek bertambal tanpa alas kaki
Kujalani lagi jalanan dulu dengan rindu
Bendi-bendi mendaki pedati-pedati yang
merangkak
Kuda dan kerbau sudah jadi tua
– Wahai, sudah pulang petualang
Muka keriput gigi ompong makin tua.
Dengan terima kasih yang dalam sehabis rinai
Kutegur jam gedang bertahan dalam limbubu waktu
Senyum empuknya tak kenalku lagi
Pukul satu.
Kukenal engkau kotaku, kukenal engkau
Barisan murid-murid sekolah, pawai kemenangan
Tugu dan Taman
Museum tak lagi bercerita seperti dulu:
Sitinjau laut
Sibayau-bayau
Rumah gedang penanti tamu.
Kotaku, kusebut namamu
Kota pendiam dalam sejarah
Bagai de Kock dulu bangun benteng
Dan Westenenck minta blasting anak negari
Pembeli mesiu
Tapi engkau lestari kotaku
Terlalu pemalu dan sangat maklum.
Idzinkan aku, kota kesayangan
Menyebut namamu sebagai ibu tak pendendam
Terima kembali gundahan rinda perjaka
Salam…
Kukenal engkau kotaku, kukenal engkau
Di tahun-tahun terakhir ini juga aku bersamamu
Di tiap tikungan jalanmu tergantung slogan
Kita sudah mamah slogan itu?
Kita sudah ditidurkan slogan itu?
Kota peramah kota pendiam, kotaku sayang
Adakah ia catat mulut dibungkem senjata
Adakah sejarah menyuruh diam?
Ah, kotaku hamilkan sesuatu
Bagai ibu, kekasih sedang menunggu
Tapi, awan-awan bulu ayam pun bergantungan
Di tiap jendela dan pintu.
Kota peramah kota pendiam, kotaku sayang
Jalan menanjak jenjang-jenjang kota
Nafas kuda bendi tinggalkan kandang
Engkau telah maklum makin pendiam
Salam padamu dari wargamu yang kesekian…
1966
Beberapa pilihan puisi Rusli Marzuki Saria dalam
Sendiri-sendiri Sebaris-sebaris dan Sajak-sajak Bulan Pebruari
Sendiri-sendiri
Sebaris-sebaris
Hari Jumat yang tenang belibis turun berenang
Tuhan berfirman dalam Qur’an
Muhammad berpesan dalam Hadits
Kita merunduk hingga lutut.
Hari ini alam telentang di rumput. Bernafas
dalam. Kita bernafas dalam. Terhempas
dari gurun sepi
Sendiri-sendiri
Malaikat hinggap di sini
Di daun meja tulisku
Jatuh sajak di tengah malam yang rawan
Sebaris-sebaris.
***
Dinihari hujan
Sebuah vas bunga. Angin tergerai rawan
Bunga. Angin. Sepi di ujung jalan
Di luar jalanan. Rasul-rasul berjalan
Zaman emas kenabian.
Dinihari hujan
Kita bersarong. Kedinginan
Bunga. Angin. Usia menggelai di lutut
Jalan, di luar kain pintu melambai
Bukittinggi – Padang sama menunggu.
***
Kita makin tua rumah ditumbangkan angin
Dan tahun-tahun sudah tak kita punya
Kau usap pipiku bergaris
Kita tidak ‘kan diterima laut kembali
Angin berpusar-pusar badai menggila
Rimba perburuan telah lupakan kita
Di pematang hutan ini kita usap mata bagai
sudah mimpi
Di tubir tanah tapakkan babi hutan dulu
Sajak-sajak Bulan Pebruari
(Song of myself – W.W)
7
Aku terlintas di Berlin dan Hongaria
Ketika dikejar-kejar senjata
Pembersihan.
Aku berontak terhadap politik apartheid di
Afrika
Belajar mengepalkan tangan di gang-gang
pencakar
langit Amerika.
Restauran bagi bercinta abad ini
Café-café sepanjang Walstreets, Broadway,
Kedai diskusi Monmarte Paris
Aku pecinta serius kepadamu. O, Tanah Airku
Seperti sebelum kawin
Merangkak di malam buta, nyelonong sepanjang
jalan becek
Remukkan kemeja ke dinding putih warna
Remaskan jemari terkulai di atas meja
Berbincang dengan merdeka mengelelawa
Pegang cangkir kopi, merenung dalam
Melambai dengan sapu tangan.
Aku terlintas di Vietnam
dalam demam harap kemanusiaanku
Ketika di Kongo terjadi keributan
Ketika di Cyprus terjadi keretakan
Aku seorang pecinta di atas segala-galanya. O,
Tanah Airku
Berangkat ke Tahiti, teluk Kuba, memancing ikan
di sana
Juga aku pendoyan perang:
Spanyol dulu di Eropa Selatan
Adu jawi, termidor-termidor abad tengah
Babel Perjanjian lama
Nabi yehuda selera laiknya
Aku nyaris jadi kayu api dendam padamu
Ketika jadi anak tanggung 20-an
Belajar berontak, belajar menghafal
diktum-diktum
Garis bawahi buku-buku
Dalam cemas ujian penghabisan
O, Fitri Erlin Denai, Fitrat Sejati dan
keluargaku
Baris-baris kata lantunkan aku pada cinta
bernyala-nyala
Tanah Air 3000 pulau
Lautan Indonesia
10
Seperti aku menyebut-nyebut Tuhan selalu
Aku pun titipkan gundah kepada angin lalu
Remang bagai jam 2 malam
Dingin dan kaku
Kalian panggil namaku: Rusli Marzuki Saria
Aku pun mengangguk bagai merpati bercanda
Disinar matahari pagi disinar surya
O, hari-hari yang nyaman sepanjang kita
menghayatinya
Setelah itu aku minta pamit kepada kalian
Aku jadi terhenyak sendiri kepalkan tinju
Kepada diriku.
Kalian melambai aku diam saja
Seperti seorang bapak pemaklum dan jatmika
Dari sebuah rumah tangga
: Rumah tangga Dunia (dengan D besar).
17
Adakah kita anak selir zaman ini?
Tak tercatat dalam akte kelahiran
Seperti da Vinsi rindu ibu.
Kita tergelai
Kita diteror ambisi kita sendiri
Kasih sayang (tungku yang panaskan tubuh kita).
Padang, 16-23 Pebruari 1968
(nb. Sajak-sajak Bulan Pebruari terdiri dari 23
sajak, ditandai dengan angka 1-23)
Beberapa pilihan puisi Rusli Marzuki Saria dalam
Ada Ratap Ada Nyanyi
Beri Aku:
Beri aku cinta yang sederhana, sayang
Cinta yang tergantung di daun-daun
Cinta yang menyembul di runcing-runcing ilalang
Cinta yang mengalir di sungai-sungai gunung
Beri aku senyum yang sederhana, sayang
Senyum perawan yang bergayut awan di lembah
Senyum hutan-hutan tegalan yang telanjang
Senyum ladang-ladang harum dari jagung bakar
merkah
Beri aku kata-kata sederhana, sayang
Kata-kata yang keluar dari mulut petani sesudah
panen
Kata-kata celoteh nelayan dari laut sesudah
subuh
Kata-kata ajaib dari tukang sadap nira yang
berbisa
Beri aku pikiran kecil yang bisa dimengerti
semua orang, sayang
Pikiran yang tidak berganda, tapi jujur tanpa
apa-apa
Pikiran yang lahir di mata-air lembah gunung
Pikiran yang dilahirkan satu tambah satu hanya
dua
Beri aku kebutuhan yang sederhana, sayang
Kebutuhan yang wajar, tidak usah berlebih-lebih
Kebutuhan manusiawi sedikit reliji alam yang
ramah
Kebutuhan orang-orang biasa dalam kerja
1969
Ada Ratap Ada Nyanyi
Di kedai-kedai kopi tua
Sepanjang jalanan kecil desa
Ada ratap ada nyanyi
Di kedai-kedai kopi tua
Sepanjang jalanan kecil desa
Ada ratap ada salung
1962
Laki-laki yang Pergi Rodi dalam Cerita Kepala
Si Talang*)
Ketika engkau berangkat yang tinggal hanya
aroma. Di atas bendul rumah gedang – jejak
cakar
ayam. Bintik-bintik kapur sirih dan secarik
kain hitam.
Aku tahu kau tidakkan kembali. Karena membangun
jalan
di musim rodi. Laki-lakimu yang berurat kawat
dan
bertulang besi telah dikirim. Menyudahkan jalan
di negeri ini.
“Wahai, Kepala si Talang! Banyak para istri
yang tinggal di kampung ini, boleh kau pulangi
malam hari. Sementara para suami mereka kerja
rodi
di rantau orang.”
Ketika engkau berangkat kucatat dengan arang
dapur
berbilang hari, berbilang bulan, kemudian
berbilang tahun
engkau tidak kembali. Telah sekian musim durian
masak
telah sekian musim manggis berbuah, telah
sekian musim
tebu
dikilang. Namun engkau tidak nampak puncak
hidungmu!
Langit mengandung pelangi. Hujan rinai, hujan
panas
Aku rindu padamu. Rindu burung punai kepada
getah,
rindu uir-uir minta getah!
Kusilang batu telapak di halaman. Kusilang anak
jenjang
setiap hari.
Kucuci destarmu dalam angin. Tidak kututup
pintu bila
malam
Ketika engkau berangkat yang tinggal hanya
aroma. Bau peluh lelaki yang tinggal di baju usang
Di atas bendul rumah gedang – jejak cakar
ayam. Bintik-bintik kapur sirih dan secarik
kain hitam!
*) dari cerita rakyat Minang, Kepala si Talang
Non Tematis
Asal kata bermula dari desis
kemudian membuat tema
kecil saja.
Kata ramai-ramai diberi muatan. Desis
terbungkuk-
bungkuk
dan batuk.
Desis…
desis itu keluar dari mulut
ular berbisa. Aku takut desis ular
yang punya tema.
Aku menggigil dalam perangkap
tema.
aku tak suka pada tema
seperti hidup sehari-hari
orang-orang sederhana
tidak punya tema.
: Halo, non tematis
di sini!
1974
Terkenang Kembali
Seperti Hamlet. Kuda-kuda telutuk mainan masa
kanakku
Terlantar dari rumah ibutiri yang satu ke rumah
ibutiri yang lain
Beban nasib malang alangkah garangnya
Tapi bapak seorang yang keras tak bisa ditakik
bagai batu
Bapak punya kuda si belang dan sebuah sado
Bugis
Bila senja hitam ibu terisak dan menangis
Kutekurkan kepala dan ingin berbagi duka
Ibu menciumku dalam berbisik: engkau anak
laki-laki perasa
1966
Tetaplah Bersamaku
Tak ada yang lebih baik dari menyinta
Dalam rimba perburuan. Kijang pun telah tua
Tetaplah bersamaku: jalan rintisan, lembah dan
ngarai
Cemara di puncak-puncak bukit tergerai
Mungkin kita berpisah. Aku dan kau tengadah
menyebut
Tak’kan menanti. Kerna angin meniup kabut
Matahari sore lindap bisu
Bedil tersandar anjing mati di sisiku
1968
Sajak-sajak Parewa
jangan bersedih parewa
bila ayammu tewas di medan laga
simpanlah taji
bawa pulang kembali emas di pura
“tidak,tidak! aku tidak bersedih
karena laut gemuruh
gunung-gunung menanti aku
gadis dengan mata taji ayam
perawan dengan perawas ranum
menanti aku!”
(di kendi-kendi tuak tua
di perian air jernih gunung
di sana dahaga kulepaskan
di balik purnama)
“aku ingin rumah yang tenang
di balik bukit
bila matahari tenggelam
aku ngintip jejak yang lekang.”
“ayamku sudah tua
kalah bertarung di medan laga
tajiku sudah mundu
kilatnya, wahai karat maut di sana!”
jangan dendam parewa
tua datang tak diundang
tuak tua banyak raginya
kelapa tua banyak minyaknya
“aku tidak takut hantu hutan
aku tidak takut jumlang lapar
nantikan aku di kelok-kelok jalan hutan
jangan sapa kudaku si hitam besi.”
(gadis-gadis menanti aku
dan kemarau datang di hatinya
perempuan-perempuan menantiku
gabak bertakhta di pelupuk mata.
kubawa nasib hitam nenek-nenekku
kubawa tembilang ayam jantanku
kudaku meringkik
ditelan udara
pip
pip
po
po,
po
pip
pip
po
po,
po
merdunya
burung kecil
ditelan sipongang
lembah)
jangan bersedih, parewa
bila ayammu tewas di medan laga
simpanlah taji
bawa pulang kembali emas di pura!
**
beri aku kuda si gumarang
beri aku ayam jantan si kinantan
beri aku kerbau jantan si binuang
beri aku petir dan guruh tengah hari
beri aku gabak hitam di hulu
beri aku cewang di langit!
beri
aku darah yang jalang
beri
aku anak si ngiang-ngiang rimba
beri
aku sekeranjang kacang miang
beri
aku hutan penuh penyamun
beri
aku perompak lanun
beri
aku gergasi dan garuda
beri
aku si mambang dan peri
beri
aku jin baik dan jin buruk
beri
aku gagak-gagak
beri
aku elang-elang
beri aku putri lindung bulan
beri aku putri gelang banyak
beri aku putri duyung
beri aku putri si bunian
beri aku
beri aku!
senandung masakanak
wahai, tidak menidurkan tubuhku
perempuan-perempuan pulang mandi
di pancuran tujuh gunung
di kaki bukit
senandung masakanak
lebatnya hutan
parewa yang angkuh
membunuh bapaknya
parewa yang angkuh
membunuh ibunya
**
laut gemuruh
badai berembus
ketika itu
elang laut juga yang berkulin
tiga kali
si malin kundang
tidak jadi batu
si malin kundang tidak durhaka kepada ibu
laut gemuruh
badai berembus
tiang dan temali
nakhoda laut gemuruh
campakkan usia muda tualang
amboi, di rumah berguna belum
“keratau madang
di hulu
berbuah berbunga
belum.”
ketika itu
elang laut juga yang berkulin
berapa kali
laut gelisah
badai bergulung-gulung
menggunung
si malin
tidak durhaka
tidak jadi batu
karena gelisah laut
karena menggunung badai
dalam gelita
si malin kundang
kitalah si malin kundang itu
engkaulah si malin kundang itu
dialah si malin kundang itu
akulah si malin kundang itu!
di manakah engkau yang
bernama kegelisahan
itu?
di sini
di dada ini
di hati ini
di jantung ini
barangkali
laut gemuruh
badai berhembus
ketika itu
kutiduri ibuku sendiri
dalam mimpi
elang
laut berkulin
berkulin
berkulin!
**
kau bunuh bapakmu
kau tiduri ibumu
puting susu
bunuh bapak
rasa bersaing
di balik topeng
angka lima Arab
sebatang rokok
yang disulut
di suatu sore berhujan
resahku
resah dia
resah kita
jangan mendekat
itu kelelawar senja
di gua-gua hitam
relung hatiku!
si Juki yang kalah main
ampok, ampok, ampok itu judi
di sini juga ada si sangkuriang
yang tiduri ibunya
ketika badai
di bawah pusar
adakah ia
bernama bujang Selamat
terbang enggang dari laut
hinggap di pucuk kelapa gading
hamilkan si Bunda Kandung
serta inangnya
perbukitan hitam
bagai ular tidur
kujamah mimpimimpi
di bawah bantal tua
inang, inangku
perempuan-perempuan pulang mandi
dari pancuran air bersih gunung
dadanya, wahai dadanya
puncak Singgalang berkabut
aku tidur di dadanya
dalam selimut awan putih
“bapak, bapak kataku dalam ngigau
mana kuda putihku
mana kuda hitamku
jumbalang lapar
aku ingin ngigau
di perut subur
yang lahirkan aku!”
topeng itu
angka lima Arab
mengajarku mimpi
ku kejar mimpi
(tetapi lelaki berhutan lebat itu: Freud
dalam mimpi
kau bunuh bapakmu
kau tiduri ibumu)
1972
Dialog Seorang Anggota DPR-GR Daerah dengan
Seorang Penulis Sajak Tahun 1964
Ketika itu di atas sebuah oto reyot
dan jalanan bagai ular lapar
Bapak itu wakil karyawan seniman di DPR-GR
daerah
ini tahun 1964
Ia mulai buka mulut
“Bung, puisi sekarang sangat sukar
Apakah penyair berdiri di awang-awang?”
Sang penulis sajak menjawab:
“Itu baik, karena sajak sekarang telah ditulis
dengan
maksud
baik
dan ini jelas.”
“Bapak akan bertanya tentang sesuatu. Dan umpamakan
saja bentuk
sebentuk pelangi buat apa ia ada.”
Lalu ia menukas tiba-tiba:
“Kalau begitu, sajak Bung takkan dimengerti
rakyat.
Juga oleh pemimpin negeri ini.”
“Jadi bapak mengikuti juga sajak-sajak saya.”
Sang penulis sajak angkat bicara.
“Tentu. Tentu .
Ini kerja saya di DPR.”
(Sang penulis sajak bertanya pada dirinya:
“Kalau tak salah bapak ini seorang tokoh
politik yang gagal,
dulunya.”
“Atau mungkin juga dia kesayangan gubernur, dan
pernah
berjasa
padanya.”
“Kesempatan baik pun ada jadi anggota DPR-GR
daerah
dari
karyawan seniman titik.”)
jalanan kampung sesudah perang saudara
Makin ruyak. Makin jadi rawa. Oto mengangguk
terbatuk-
batuk.
Perjalanan makin sukar
Sang bapak ini tertidur mengangguk bagai oto.
(Antara kantuk, bapak ini kembali mendesis
dengan kata-kata indoktrinasi yang tinggal di
sasis
sambil berusaha meyakinkan penulis sajak.
Katanya:
“Tulislah kalimat-kalimat bagus yang
merangsang.”
“Tulislah sajak tentang perang negeri ini
melawan Belanda.”
“Tulislah sajak tentang kepahlawanan rakyat
berjuang.”
“Dan berikanlah pada saya. Nanti diusahakan
penerbitannya.”)
Di sela-sela tamparan angin
Sang penulis sajak memberi tahu:
“Bagus juga niat bapak.”
“Pesanan demi pesanan ada janggalnya.”
“Apakah ini tidak pekerjaan seorang tukang?”
“Itu betul. Betul sekali,” jawab sang bapak
itu.
“Toh kalian semacam dengan – insinyur jiwa,
menurut
versi
Stalin.”
“Sebab itu tulislah sajak. Dan menangkan kelas
yang
berkuasa!”
“O, maaf saja, pak.
Puisi sekarang tak didikte dari atas. Tapi juga
tak didikte
orang
lain.”
Senja pun turun dengan kabut pegunungan
Oto mengantuk jalan menanjak para penumpang
telah jadi
lesu.
Otot-otot jadi kaku puncak bukit hitam ungu
Perkampungan ini terlihat lesu pada
Bapak pemimpin yang tak pilih rakyat ini
dan berkata pada sang supir:
“Di sini saja. Di pengkolan simpang itu!”
Kepadaku dia menoleh dengan senyum mata pisau
“Sampai jumpa lagi penulis sajak terkutuk.”
Aku pun mengangguk. Tanpa sadar
Aku pun mengangguk. Tanpa sadar
dan tenggelam dalam fikiran sendiri:
O, Tuhan. Berikan padaku lagi telapak kaki yang
tabah!
1966
Beberapa pilihan puisi Rusli Marzuki Saria dalam
Ketemu Umbu Landu Paranggi
Ketemu
Umbu Landu Paranggi
di denpasar
berjumpa umbu
anak sumba
lama di yogya
hei, apa kabar
– baik-baik saja
saya sudah punya istri
insinyur pertanian
tapi kini jadi guru
di sma sumba
aku senang
senyumnya
giginya yang pepatrata
rambutnya
masih panjang
lurus
– sudah lama
tak jumpa
2 orang
puteraku
sekarang!
lalu diam!
– rusli, katanya
harituaku
ingin kuhabiskan
bersama kuda-kuda
di tengah savana
dalam diam
kami berpisah
– puisi
kuda-kuda liar
di padang-padang
savana
denpasar,
bali, 24/4/1981
***
aku ingin sendiri lagi
menyimak angin
menyimak layang-layang
tengah hari
kukemas padang-padang
luas terbentang
ku berkemas
ketika senja datang
salam buatmu
salam sore hari
24/3/1981
Tentang Rusli Marzuki Saria
Rusli Marzuki Saria lahir di Kamang, Bukittinggi, 26 Februari 1936.
Menamatkan SMA bagi. A tahun 1957. Menulis puisi sejak 1955, dimuat di berbagai
media massa kala itu. Pernah menjadi agen polisi kepala (Brimob), anggota DPRD
tk. II, Padang dari Fraksi Karya Pembangunan. Dan sejak bulan Mei 1969, menjadi
wartawan Koran Haluan Padang sampai sekarang. Kumpulan puisinya: Pada Hari Ini, Pada Jantung Hari
(Penerbit Genta, Padang, 1996), Antologi
Monumen Safari (Penerbit Genta, Padang, 1996), Ada Ratap Ada Nyanyi (Penerbit Puisi Indonesia, Jakarta, 1976), Tema-tema Kecil (Penerbit Puisi
Indonesia, Jakarta, 1979), Sendiri-sendiri,
Sebaris-sebaris dan Sajak-sajak Bulan Pebruari (Penerbit Puisi Indonesia,
Jakarta, 1976) dan Sembilu Darah (Dewan Kesenian Sumatra Barat dan Pustaka
Sastra, Jakarta, 1995)
Catatan
Lain
Di sampul belakang buku ada 4 orang yang memberi kesaksian, yaitu Taufik
Ismail, Idroes, Korrie Layun Rampan dan Darman Moenir. Kata Korrie Layun
Rampan: “Beberapa sajak dalam kumpulan
ini menyajikan petikan peristiwa masa lalu, masalah sosial, seperti kemiskinan,
suasana pedesaan, dampak perang saudara – PRRI-Permesta – yang memberi bekas
pada sebagian besar rakyat pedalaman.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar