Data Kumpulan Puisi
Judul buku: Ambang Korona
Penulis: Faruk
Penerbit: Gadjah Mada University
Press, Sleman, DIY.
Cetakan: I, Mei 2021
Tebal: xxiv + 154 halaman
Editor: Nindy
Desain Sampul: Aliem Bachtiar
Tata Letak Isi: Epic Akbar
Kingpin
Digitalisasi: Irwan dan Maarif
ISBN: 978-602-386-971-8
Pengantar: Dr. Wening Udasmoro
(Dekan F. Ilmu Budaya UGM)
Prolog: Tia Setiadi (Jarak dan
Melankolia Ikhtiar Memasuki Kumpulan Puisi Huma
Maya dan Ambang Korona Karya
Faruk)
di rotterdam aku berdiri
menahan gulungan abad
dengan ribuan kapal di pundak
mandi rempah dan darah
di pelabuhan itu aku membisu
tertambat dalam kenang
tentang rawa, tanah basah
jejak yang begitu cepat membekas
begitu lekas terbenam dan luluh
larut dalam genang
aku tahu, aku tak mungkin kembali
karena masa lalu pasang dan surut
seperti kapal api gandengan dua
tak pernah membawa yang serupa
lebur dalam samudera lalu menjelma
ikan seluang, lundu, baung, dan patin
terdampar di sela batang perdu
menjadi haruan dan papuyu
di pelabuhan itu aku hanya bicara
dengan kata entah siapa yang punya
antara ombak dan tubuh ulinku
sejarah, cerita, dan masa lalu
hari ini kita kembali bertemu
serentak seribu kenang menyerbu
masa lalu yang bergerak cepat
menyisakan debu campur rindu
dan aku yang tertinggal di belakang
terus berkejaran dengan waktu
selalu ada yang berulang
selalu ada yang baru
dari album yang usang
terasa ada yang terbang
menjadi kupu-kupu
kita terperangkap
dalam web of the web
meski tak pernah tahu
apa beda yang satu
dari yang lain
siapa yang mencipta
siapa yang dicipta
hanya jaring berlapis
satu dalam lainnya
kita meraba-raba
kita mengingat-ingat
membaca dan menulis
tertawa dan menangis
penuh harap dan putus asa
memaki entah apa
apakah maya atau nyata
mati hidup tak beda
tak ada lagi yang bisa
bertanya jam berapa
karena diri adalah jarum
yang memutari angka-angka
serupa takdir dari tuhan
yang tak pernah ada
aku pun terdampar di sini
untuk segera pergi lagi
bersama yang lain
yang bergerak pelan
dan terperangkap
dalam lingkar
yang sama
aku pernah di sini
di malam gulita
di tempat yang tak percaya
semua akan baik-baik saja
aku pernah di sini
di sebuah pantai waktu senja
ketika banyak orang berwisata
sedang di semak tak jauh darinya
harimau mengintip dengan tajam sorot mata
mengira mereka adalah pemburu
aku pernah di sini
di sebuah mimpi
tentang masa lalu
ketika manusia diburu
dan nyawa tak ada harga
aku pernah di sini
di bawah matahari
dan bayang sendiri
menikam dari belakang
aku pernah di sini
dan tak ingin kembali
sebelum mengucap satu kata
meski makna tersesat
dalam puisi
kata adalah semesta
kau bisa membangun
rumah aneka warna
serupa jaring laba-laba
atau tenun jerami yang lembut
bisa juga sekedar goa
yang penting kau bisa
merasa nyaman di dalamnya
kata adalah milik kita semua
lebih luas dari samudera
lebih terbuka dari udara
bila ia tampak sempit
mungkin hanya karena
kau meras cuma dirimu
pemiliknya
sorga dan neraka ini
sudah tumbuh di pekarangan
tak lagi hanya di langit
ataupun di kuburan
karena dunia, kawan
tak hanya menyempit jadi kampung
tapi juga meluas sampai jauh
ke balik kematian
tapi apakah jauh-dekat
siapa yang melangkah maju
siapa pula yang surut
siapa asing siapa intim
karena cinta, kawan
telah bersegi banyak
bercampur aduk
dengan khianat
baik, mari terima takdir ini
karena rumah sudah jadi mimpi
keris pusaka tak lagi khidmat
bisa ditukar dengan duit
ajari aku
menangkap yang bergerak
dalam diam. mendengar suara
lebih lirih dari bisik. saat kembang api
meledak di biru langit. saat hati
terpikat oleh cahaya dan warna
saat cinta membuat hidup menyanyi
ajari aku
menangkap ketukan pada pintu
ketika kau akan datang berkunjung
seperti kupu-kupu
adakah kau sepertiku
iseng sendiri di gelap malam
ketika semua lampu padam
iseng sendiri di dalam sunyi
ketika semua suara terhenti
menatap terpaku ke langit
mencoba menangkap
cahaya yang berkilat sesaat
atau bisik yang penuh harap
terus menunggu hingga jadi abu
dan sirna bersama deru
pusaran itu, sayang
selalu memanggil kita
kembali padanya
sampai yang tersisa
hanya air yang keruh
seperti sebelum
seperti sesudah
roh merasuk
ke tanah
aku melangkah tanpa jejak
menuju batas tak berpandang
tempat puisi tinggal bayang
ketika cahaya sudah hilang
sustainabilitas tahi
baru bisa didapat
bila kau berak
dalam air
(begitu kebijakan lokal
orang banjarmasin)
di sini aku merdeka
dalam ruang tak bertepi
gurun pasir dan batu karang
deru angin dan debu beterbangan
kata, gambar, dan citra kehidupan
musik gambus, seriosa, dan klakson
sumpah serapah berserta air mata
cinta, seks, politik tak saling sapa
seribu maaf dan jutaan penjara
persahabatan dan kebencian
dijual murah seribu tiga
di sini aku merdeka
tersengat rindu pada penjara
chairil anwar ronggowarsito
eling waspada mari berlupa
mudik kali ini
bukan untuk berbagi
karena ada saatnya
kita kembali
ke rahim ibu
sebagai janin
yang tak berdaya
makan dan minum
dari perutnya
juga bernapas
juga berlindung
dari tubuhnya
mudik kali ini
hanya karena dia
masih kita pelihara
sepanjang masa
tanda tak lupa
eling waspada
aku rindu pada pangkal
ketika bertemu dengan ujung
seperti bulan yang bulat sempurna
seperti tumbu menemukan tutup
aku rindu pada rindu membara
membakar semesta sampai sirna
hingga bertemu ruang kosong
seperti angka nol tak berbatas
hingga hidup menjadi mudah
rumus matematika sederhana
di mata anak sekolah rendah
telah berapa lama
aku tak pergi ke kantor
tak menghabiskan hari
sama mahasiswa
atau kolega
tapi aku tetap kerja
mengurung diri di kamar
mengajar online
terima bimbingan
menilai tugas
mengedit buku
menulis artikel
tentu dengan membaca
meringkas isi buku
kadang menerjemah
sesekali menjenguk
hiruk-pikuk kabar
di media sosial
tulis status
jawab komen
kadang ngechat teman
untuk satu urusan
dari listrik padam
sampai tagihan
tak terbayar
atau hanya kangen
berbincang sebentar
lalu masing-masing
kembali ke kamar
istri terkadang tidur
di depan televisi
cucu memanggil
mengajak maik
aku tetap suntuk
seperti mummy
di ruang ini
ada enaknya di rumah
tak ada cappucinno
tak ada roti mahal
cuma rokok makin banyak
membuat kamar berkabut
kadang jam 12 bisa tidur
kadang pikiran mengembara
sampai menjelang fajar
hingga burung dan ikan
juga kura-kura
terlambat makan
sekarang dekat puasa
ingat ibu di makam
seudah setebal apa rumput
mungkinkah jadi belukar
tapi kemudian terbayang
adakah makam baru
dari dia yang jadi korban
dan masih menyisakan
wabah di daun-daun
atau di batu nisan
ingat juga sama mereka
yang selalu menyongsong
berebut membersihkan
demi sejumlah uang
apakah mereka juga
sudah beli masker
yang harganya
tentu saja mahal
atau seperti mudik
kewajiban nyekar pun
perlu ditunda
Faruk lahir di Banjarmasin pada 10 Februari 1957. Lulus sarjana muda tahun 1978, Sarjana 1981, Magister 1989, dan Doktor pada 1994. Semuanya di UGM. Menjadi dosen di almamaternya. Bukunya antara lain: Strukturalisme-Genetik dan Epistemologi Sastra (1983), Elemen-elemen dan Strategi Naratif Karya-karya Realisme Magis Eka Kurniawan (2020), Ngelmu Kahanan (2020).
Tia Setiadi menulis prolog sepanjang 15 halaman (halaman 8 – 22). Namun hanya 2 paragraf yang dianggap menjadi inti pembicaraannya, yang kemudian dikutip ulang di sampul belakang buku: “Pada titik ini, terasa bagi saya bahwa berhadap-hadapan dengan khazanah perpuisian sebelumnya sikap Faruk teramat rileks. Dia tak ngotot bergulat dengan autentisitas. Baginya, agaknya yang terpenting dunia-dunia renik yang berkelebatan dalam benaknya bisa mendapatkan rumah dan sarang dalam sajak-sajak. Oleh karena itu, sesekali dia mencuri begitu saja frasa, kalimat, ungkapan dari para penyair sebelumnya dan menggabungkannya dengan frasa dan ungkapannya sendiri sehingga terjadi belokan, sedikit kejutan, yang kadang terasa segar dan kadang biasa-biasa saja.//Saya menduga kesantaian itu berasal juga dari sikap detachment-nya. Dengan kata lain, dari jarak yang diambil sang penyair, bukan hanya dari perasaan-perasaan dan gagasan-gagasannya, tetapi juga dari tradisi dan beban-beban kepenyairan yang merungkupinya. Alhasil, dari ratusan puisi yang ada dalam buku ini kita nyaris tak menemukan pergulatan bentuk dan estetis habis-habisan, pencarian “suara lain” yang menunjukkan bahwa penyairnya berambisi besar untuk memiliki tempat tersendiri di kebun kesusastraan negerinya. Biasa-biasa saja, tetapi wajar. Maksud saya, puisi-puisinya lahir tanpa dipaksakan.” Wening Udasmoro, juga dikutip 2 paragraf di sampul buku meski kata pengantarnya di halaman v-vi, cuma sepanjang 1,5 halaman.
Oya, semua puisi di sini ditulis tanpa judul, pakai huruf kecil semua. Kebanyakannya 1 halaman selesai. Hanya ada 1 puisi yang menghabiskan 3 halaman, sejauh amatan saya. Puisi terpendek hanya 2 baris, bunyinya seperti ini: lebih baik membelah cermin/daripada tak bermuka. Kasus pencurian Faruk, seperti yang disinggung Tia Setiadi di atas, yang bagi saya membagongkan, dilakukan terhadap puisi Nisan, Chairil Anwar. Faruk hanya mengganti 1 kata, duka menjadi dolar, (dan menghilangkan judul) pada keseluruhan puisi untuk memberi makna baru yang berbeda. Dan sepertinya juga, frasa/kalimat Chairil Anwar lah yang terfavorit dan paling banyak dipinjam. Dan beginilah jadinya puisi itu:
keridlaanmu menerima segala tiba
tak kutahu setinggi itu atas debu
dan dolar maha tuan bertakhta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar