Data buku kumpulan puisi
Judul: Mantra Bumi
Penulis: Aprinus
Salam
Penerbit: Gambang Buku
Budaya, Yogyakarta.
Cetakan: II, Maret
2017 (Cet. I: Maret 2016)
Tebal: x + 122 halaman
(80 puisi)
ISBN: 978-602-73786-2-9
Desain sampul: Yopi
Setia Umbara
Desain isi: Mawaidi
Mantra Bumi terdiri atas Mantra Harian (4 puisi), Mantra Tubuh
(6 puisi), Mantra Pekakas (7 puisi), Mantra Tempat (12 puisi), Mantra
Profesi (14 puisi), Mantra Ketika (13 puisi), Mantra Mantan
(11 puisi) dan Mantra Bumi (12 puisi).
Beberapa pilihan puisi Aprinus Salam dalam Mantra Bumi
MANTRA PERGI
Kekasih, apakah ini jalan
Jalan apakah ini
Termangu di kursi pinggir taman
Mengingat peta, tertulis namamu
Di atas kertas bergambar
Mengikuti garis coretanmu
Tak berpensil
Tak berpagar
Tak berpintu
Kekasih, bukan maksud menyusuri
Jika tak batas jalan setapak
Setiap langkah, menuju dirimu
Tak ada sesat
MANTRA MANTAN DEMONSTRAN
Kulawan kau setengah mati
Di jalan-jalan, bercucur keringat dan darah
Dan air mata
Kota itu milikmu
Desa itu milikmu
Pulau itu milikmu
Gedung itu milikmu
Uang itu milikmu
Di rumahku, bapakku buta, ibuku bisu
Adikku latah, dapurku basi
Ladangku kering
Usia menjelang, tubuh melapuk
Anakku tumbuh dengan miskinku
Pagi hari kuajari mengaji
Siang kuajari peluh keringat
Malam kuajari diam
Anakku tumbuh dengan pasrahku
Pagi kuajari berkata adanya
Siang kuajari puasa
Malam kuajari kejujuran
Anakku tumbuh dengan pasrahku
Pagi kuajari baca tanda
Siang kuajari rela
Malam kuajari cinta
Tuhan,
Kini aku berdiri di sini
Sambil membaca puisi mantraku
MANTRA TUBUH
Tulang dan darah
Bersegeralah engkau
Karena cinta yang selalu
Hati dan jantung
Bersemilah engkau
Karena cinta yang deru
Mata dan telinga
Lihat dan dengarlah
Karena cinta tak berjenis
Kulit dan rambutku
Pandanglah aku
Karena cinta yang tumbuh
Hidung dan mulutku
Cumbuilah aku
Karena cinta yang semerbak
Usus dan tenggorokanku
Lindungilah aku
Dari cinta yang lezat
Kaki dan tanganku
Berjalanlah bersamaku
Jabat tanganku
Karena cinta nan padu
Badan dan jiwaku
Karena cinta
MANTRA BURUNG
Terbang kemanakah sayap
Ketika arah menuju dirimu
dan ranting-ranting di langit
Adalah rumahmu
Sambil mengukur terbang
Bersama kepakmu
Di belantara taak berjejak
Ruang kematianmu
telah kau sediakan
Aku masih mengeja arah angin
Kau telah terbang
Jadikan aku burung
Jadikan dia burung
Agar terbang kami bersayap
Menuju ruang kematian yang sama
MANTRA CINTA
Kekasih, kau tahu
Semua untuk engkau
Engkau untuk semua
Tak ada penolakan
Tak ada penderitaan
Tak ada penerimaan
Tak ada
Kekasih, tak ada yang luput
Hati yang penuh
Dada berdebur
Lutut tertekuk dan tubuh yang sujud
Binar kerinduan dan kisah kasih
Selalulah di dalamku
Kekasih, tak ada sudut di antara kita
Kau aliri nafasku
Bersama kemesraan tak terbagi
Payungi aku dalam hujan cahaya
Kekasih, kau tahu yang tak tahu
Serupa engkau kekasih
Kaulah dirimu yang ku mau
Berkejaran dalam lautan heningku
Sungguh, kata-kata
Menyekat kita
Aku harus sunyi
MANTRA AIR
Dalam wujud tanpa bentuk, mengalirlah sepanjang hidup, mengalirlah
kepada pinggir tak bertepi, mengalirlah kepada hujan, mengalirlah kepada
tanah,
mengalirlah kepada pohon-pohon, mengalirlah kepada akar, mengalirlah
kepada rindu yang tak selesai
Dalam bentuk tanpa wujud, mengalirlah sepanjang jalan yang jauh, mengalirlah
sepanjang usia, mengalirlah kepada kendi, mengalirlah kepada ceret,
mengalirlah
kepada gelas, mengalirlah kepada tenggorokan, mengalirlah kepada tubuhku,
mengalirlah kepada lahir, mengalirlah kepada mati
Dalam wujud seperti diriku, mengalirlah kepada darah beningku, mengalirlah
kepada syaraf kasihku, mengalilrah kapada sungai sayangku, mengalirlah
kepada laut merindu
Dalam bentuk seperti dirimu, mengalirlah kepada rindu yang syahdu, mengalirlah
kepada cinta yang satu, mengalirlah, mengalirlah
mengalirlah
MANTRA SUNGAI
Dari hilir hatiku, hilir air
Berenang bersama kayuh
Telusuri keluk tubuh
Bersampan ke sudut seduh
Hingga ke batas aku
Mengalirlah engkau, hai jernih
Membasah kemana engkau rindu
Hingga pelosok rumah, juga diriku
Ketika ikan bertelur
Kaucipak air genang
Maka mengalirlah aku
Hingga pinggir hatiku
Di tepian, riak melebar ke ujung
Pun sampan pun bernyanyi
Akulah muaramu
Maka mengalirlah air
Menuju laut
Menuju batas tak tepi
Menuju hilir tak diri
MANTRA BUMI
Bumi yang aku hidup di dalamnya
Bersatulah dalam jiwaku
Bersatulah dalam kesemestaan
Denyut nadiku, denyut nadimu
Bergelombang bersama
Terimalah diriku
Bersama angin
Bersama tanah
Bersama air
Bersama diam
Bumi yang aku hidup di dalamnya
Bersatulah dalam diriku
Bersama kesemestaan
Dan darah yang mengalir
Dan angin semilir
Dan detak jantung
Dan suara yang terdengar
Dan mata yang melihat
MANTRA RUMAH
Ketika kau buka dan tutup pintu
Ruang apakah yang ada di dalamku
Tak sekat aku padamu
Tak dinding
Ketika kau buka dan tutup jendela
Ruang apakah dalam mimpiku
Tak batu tak kayu tak bambu
Tak batas engkau menuju
Ketika kau buka dan tutup matamu
Ruang apakah yang ada dalam gelapku
Tak pandang tak hujan tak panas
Tak angin tak dingin
Ketika kau buka dan tutup hatiku
Masihkah ruang dalam dirimu
Maka, dengan nama Tuhan
Kubangun rumahku
hanya dalam dirimu
Hanya
MANTRA MALAM
Telah reda keramaian
waktunya mengasah diam
Kasih, bila kau tertidur
Bukan karena lelah
Bukan karena ngantuk
Kuterima dirimu
Ada masa, ketika hidup dihitung
dan tidur adalah impian
tak ada yang cuma
Untuk bersamaku
Maka, kasih, bila kau tertidur
Bukan karena lelah
bukan karena ngantuk
Aku junjung dirimu
MANTRA BUMBU-BUMBU
Kupanggil engkau kekasih
Atas nama garam yang asin
dan brambang bawang yang berlapis
Di balik kuali, serta resah merica yang menyerbuk
dan daun salam daun jeruk daun pandan
daun kunyit daun kemangi daun jeruk purut
daun daun hijau
Bergulat dengan daun lidahku
Atas nama diriku
Ku panggil engkau dalam ramuanku
Sedang cinta itupun satu
MANTRA DIPAN
Berbaringlah bersama ngantukmu
Di bening perabuan, ketika tubuh terlelap
Kurembeskan hangatku pada nyenyak
Kunyenyakkan hatimu pada ruhku
Bumi melepaskan magnitnya
Berguguranlah huyung
Berguguranlah gontai
Berguguranlah lelah
Tak kan kubiarkan kau bermimpi
Karena aku bukan mimpi
MANTRA MUSEUM
Kau kirim kenangan untuk sebuah rumah
Aku yang berteduh di
rumahmu
Berteman kata dan
bongkahan
dan sepucuk surat yang
berulang dibaca
Kau bangun ruang berkaca
Berteman lampu dan kisah yang sirna
Hamparan debu dan sepenggal tubuh
Sepenggal patung sepenggal diriku
Aku utuhkan dirimu dalam diriku
Atas sejarah yang kelu
Dan ingatan yang kau kirim
yang rebah dalam ruang
yang berbaring dalam diri
yang berdiri dalam tegak
yang bersandar dalam
dinding
yang bergantung dalam tali
yang ada karena aku
Kau sisakan dirimu
Seperti kesetiaan tiang nadiku
Terpojok dalam ruang bisu
Dan aku tak melupakanmu
Tak terbatas bersama karunku
Selalu satu, dalam ruangku
MANTRA DESA
Kau tinggalkan kenangan itu
Rumah tua dan kursi rapuh
ladang basah telah menunggu
dan layu ilalang
Tak kah kau rindu aku
Anak-anak berlari di pematang
Bukit kecil di belakang, nyiur di kejauhan
Sungai atau apapun tentang kisah kita
Atau padi pun memanggil
dan kenangan yang berbalik
bersama pelukan kasihku
Di bibirmu, suara kicau
Di alismu, semut berbaris
Di matamu, temaram purnama
Di dagumu, bergantung lebah
Adakah desah gareng pung
dan rumpun di halaman
Menuju kota rindumu?
Di subur
tanah, jejak kakimu
Menuju rumahku
MANTRA HUJAN
Butir rintik di langit, rapi berbaris
Selaksa tetes
Bersegera luruh
Berenang di udara
Hingga aku minum dirimu
Mengalir ke tubuh
Hingga bersihlah aku
Dari balik jendela
Kugapai dirimu dengan tanganku
Kesejukan itu, pelan merembes
Ke ranting syaraf
Dan tubuh yang haus
Jernihmu membasuh
Wajah dan liurku
Bersama lambai daun
Pohon pun bernyanyi
Bersambut gumam kodok di genangan
Kau mengingatkanku
Pada bau lumpur sawah
dan kail dan kolam
dan ikan melompat
mencium udara
memeluk diriku
Kalau bukan karena
beningku
Kalau bukan karena
dinginku
Mengapa cintamu bisa gigil
Kalau bukan karena tetesku
Kalau bukan karena airku
Mengapa cintamu bisa kuyup
Kalau bukan karena aku
Tak air dalam dirimu
Akulah hujan itu
MANTRA PAGI
Kubuka subuh dengan suara burung
Bersama kayu yang melunak
dan daun yang menghijau kembali
Kubuka samar dengan tetes embun
Bersama udara yang buncah
dan awan yang kembali bergerak
Kubuka perasaan dengan kasih
Bersama harapan yang mendekat
dan kisah baru yang menjelang
Apa yang bisa kau catat
pada
jalan bercelah
selain
usia yang entah
MANTRA PELUKIS
Warna yang kau pinta
Juga goresan
Memandang gelap, kupilih warna
Kulukis samar wajah
Kugambar bening matamu
Kugores gerai rambutmu
Kutegakkan rumah
Kucangkul sawah
Kutanam pohon
Kubuatkan kolam
Kutegakkan gunung
Ada jalan di sampingmu
Memandang bayang, kupilih warna
Jadilah wajah, entah samar siapa
Jadilah mata, entah bening apa
Jadilah hidung, entah siapa punya
Jadilah rambut, tergerai panjang
Kasih, aku berharap itu
kamu
Rumah pun ramah
Sawah menguning padi
Pohon berbuah pohon
Ikan-ikan berenang
Dan kasih matahari di
jendela
Kasih, aku pilih warna
Juga goresan
Tentang Aprinus Salam
Aprinus Salam mengajar di Pascasarjana Fakultas Ilmu
Budaya UGM. Waktu kuliah mengambil skripsi (1992) dan tesis (2002) tentang
puisi. Sedang disertasi dokternya (2010) tentang novel. Tahun 2012-2016 menjadi
anggota Senat Akademik UGM. Menjadi kepala pusat Studi Kebudayaan UGM sejak
2013. Kumpulan puisinya yang pertama adalah Mantra Bumi ini, disusul Suluk
Bagimu Negeri (2017). Kumpulan esainya Biarkan Dia Mati (2003) dan Politik
dan Budaya Kejahatan (2015).
Catatan Lain
“…, hingga berusia sekitar
50 tahun, tidak lebih dari 10 puisi yang pernah kubuat. Itu pun karena
permintaaan beberapa teman, bahwa puisi itu akan dilagukan (dimusikalisasi).
Memang, dari beberapa puisi tersebut, ada dua puisi yang dilagukan. Aku merasa
membuat puisi itu sulitnya minta ampun.”
“Sekali
lagi, aku merasa aku tak mampu menulis puisi. Padahal, hampir setiap hari aku
bercengkrama dan dengan prosa dan puisi. Pada suatu malam, di awal tahun 2016,
tiba-tiba aku ingin menulis puisi. Ada semacam getaran halus yang meminta aku
menulis puisi. Dengan berbagai keraguan dan kerinduan, aku memenuhi panggilan
tadi. Jadilah puisi, yang aku sebut sebagai para mantra. Ini memang soal
piihan, jadi ketika aku menulis puisi-puisi ini, aku seperti menulis mantra.”
“…Aku
berterimakasih kepada anakku Ainina Zahra dan istriku Pristi Salam, yang ketika
aku menulis puisi mantra ini, mereka membiarkan aku berlagak sok jadi
penyair, bahkan sedikit sok menjadi filsuf.”
Demikian
beberapa kutipan dari Catatan Pengantar (cetakan ke-2), halaman v-vi, dan
berpenanda Yogyakarta, 29 Februari 2016-26 Maret 2017 itu.
Di
sampul belakang buku, yang mendapat kehormatan muncul adalah Mantra Burung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar