Data buku kumpulan puisi
Judul:
Di Lengkung Alis Matamu
Penulis:
Johannes Sugianto
Penerbit: AKAR Indonesia, Yogyakarta.
Bekerjasama
dengan www.blue4gie.com
Cetakan
: I, November 2006
Tebal
: viii + 110 halaman (86 puisi)
ISBN
: 979-99839-3-2
Supervisi
: Joni Ariadinata
Desain
cover & isi, pracetak : Aida Idris
Ilustrasi
cover : diolah dari lukisan Galam Zulkifli (2006)
Ilustrasi
isi : Pakcik Ahmad, Kucluk, Dedi Tri Riyadi
Prolog
: Joko Pinurbo
Beberapa pilihan puisi Johannes
Sugianto dalam Di Lengkung Alis Matamu
Di
Lengkung Alis Matamu
di lengkung alis matamu
kusandarkan harapku
usai perjalanan yang tertatih
dan kudapatkan keteduhan
ya, di lengkung alis matamu
katakan padaku
di mana hendak kutaruh rinduku
jika engkau pergi
di lengkung alis matamu
kuselami sayang yang tak terkata
inilah kiranya, dermaga hatiku
tempat melabuhkan rindu.
jakarta,
juli 06
Telah
telah tergurat
kata-kata
telah berkarat
derita
getir hati
teriris perih
di jiwa mati
cinere, agustus 06
Jika Engkau Tiba (Elegi Daun)
gugur daun kehidupan
jatuh ke celah jiwa
detak jantungku akankah menghangatkannya
daun bukan selembar
kasih seribu nama
di tengah pergulatan perih
hanya titian jiwa yang satu
jika engkau tiba
di titian itu
selipkan salah satu lagi daunmu
biar berpasang dalam ruang jiwaku
tak lagi sendiri bersenandung rindu
meneteskan kata dalam puisi
yang selalu kularungkan
padamu
lbbulus, agustus 06
Peri Tidur
peri tidur
hadir dalam mimpi
memberi warna
juga pertanda
engkau, kekasihku
bukan sekedar mimpi
dan bisik lirih
tapi menjadi jiwa
bagi semua puisi
datanglah, wanitaku
dalam semua mimpi
dan puisi
lbbulus, juli 06
Bulan
bulan yang hadir usai hujan mencumbu tanah
adalah gemerlap cahaya hidupmu
jika sesekali menjadi pendar
itu pula cermin perjalananmu
‘Ini bayangku, mana bayangmu,’ begitu kita
saat kanak-kanak bermain di bawah
pohon rindang yang ke mana setelah ditebang
bulan yang tak peduli kita pandir atau pandai
adalah lampu yang tak perlu diganti
karena kitalah yang akan berganti jadi
gelap atau terang
Lebakbulus, mei 06
Puisi
Bagimu
sajak-sajak tergeletak di meja
terisak tanpa kata
jakarta,
juli 06
Wanita/1
tak ada yang lebih tabah
ketika wanita bertaruh nyawa
lalu tersenyum, juga tertawa
saat buah hati menyapa dunia
tak ada yang lebih indah
ketika wanita menyusui anaknya
bukan cuma dahaga yang sirna
tapi kehidupan diberinya
bayi lelap dalam buaian
bayi lelap dalam impian
bayi lelap dalam kelembutan
tak ada yang lebih indah
ketika ibu menimang kita
biar hanya di ayunan kain sederhana
dalam dendang lagu jawa
tanpa perlu mengerti apa maknanya
hanya nada yang bisa kita rasa
lebakbulus,
maret 06
Rumahku
rumah dengan tembok tiga warna
penuh jendela dan cahaya
pulanglah aku
bawa segala luka lama dan baru
di sini resah ditenangkan
usai melewati berlusin kekalahan
berlusin kelelahan
kutemui kedamaianku
dalam pelukan gadis kecilku
dan tawanya yang membelah kebisuan
segelas air dingin
hilangkan resah, enyahkan gelisah
kuatkan langkah
untuk esok yang tak tahu seperti apa
(untuk
ines dan sintha)
jkt,
15 03 06
Kadang
kadang, dalam diammu yang harus kuartikan
tersimpan rahasiamu terdalam
baru terkuak saat saling diam
dalam perbedaan dan kesalahpahaman
bahkan kian merindukan
menatap cermin aku tersadar
begitu jauh langkah yang telah kau tebar
buatku, buat kita, meski ada saatnya engkau ragu
kadang, dalam diamku yang sendiri
segunduk bahagia padamu, kekasih
bahagia akan pengorbananmu
bahagia kau labuhkan cinta padaku
bertumpuk harapan kurajut
ingin kusampaikan tapi aku takut
bukankah akan menambah bebanmu
juga dapat menyurutkan langkahmu
jangan ragu melangkah meski berliku
bergandeng kita menatap senja
meski belum tahu apa warnanya
kuharap engkau tahu
dukamu adalah dukaku
saat ada ragu katakanlah
saat ada duka bersandarlah
padaku
lbbulus,
juli 06
Cintamu
Jadi Bayang
arakan awan hitam
iringi jiwa kelam
menatap tanpa bicara
semua sia-sia
air mata percuma
sapa tinggal tegur saja
luka tetap nganga
diamlah di sini
rokok yang tinggal sebatang
dan cintamu jadi bayang
tak menengok sekejap
berlalu tanpa ucap
begini sajakah
akhir semua cerita
hingga tak sempat
kau lihat
tetes darah
di jiwaku yang lelah
lbsiang,
okt 06
Dalam
Sakit
dalam sakit terbaring saja
sajakmu tiba menjengukku
kata-kata yang sama
tak pernah bosan dibaca
sebab kujujuran dan ketulusan
alangkah sederhana
lbbulus,
juli 06
Anggita
tidurlah
dalam lelap
berselimutkan dedaunan
dan kelamnya malam
letih aku
bukan karena membopongmu
dari rumah kita
ke rumahku
yang baru dan sunyi
tapi karena tangis tak bisa henti
tidurlah
kuselimuti kamu
dengan kasih sayang
kangen dan dukaku
lbbulus,
juni 06
Asbak
kudengar berisik punting rokok berbicara
di asbak bulat menghitam tersundut api
aku diam tak berkata
hatiku sunyi tak bertepi
jakarta,
mei 06
Terima
Kasih
duka yang terkelupas
kasih yang terucap lepas
dan rindu yang tak pernah tuntas
kamulah keindahan itu
membuatku tertawan
pesonamu
tak terlawan
: terima kasih untuk segala
yang tak terucapkan
priok,
juli 06
Simpang
dua simpang jalan
jemput sore
hanya sunyi
dan gemerisik dedaunan
bukan enggan
ayunkan langkah
meski letih
bawa segala perih
dan saat memilih
tahulah aku akan segala
yang akan pergi
dan beralih
tpsiang,
nov 06
Teras
:
pakcik ahmad
teras
kata seorang teman yang penyair
adalah tempat menghisap rokok
menyapa malam
dari teras
langit diam menantang
kita berkaca
seberapa luas kita memandang
seberapa keras kita berjuang
seberapa tegar kita menghadang
teras
begitu katanya lagi
sambil menyambar gelas kopi
tak ubahnya telaga sunyi
kita berbicara dengan diri sendiri
entah merenungi hari demi hari
entah menyesali kepedihan hati
dari teras
kita juga menggali diri sendiri
bahwa tak ada arti merajut mimpi
bahwa tak ada arti merajut mimpi
jika tak mau menguak seribu misteri
jika tak sudi membentur besi
lbbulus,
maret 06
Matamukah
yang Mengerjap
matamukah yang mengerjap
saat bintang tak lagi berkedip
dalam malam sendiri di teras
rindu tak pernah tandas
ingin kulihat lagi
embun rindu di situ
lalu berbisik
tentang cinta tak bernama
matamukah yang mengerjap
hatiku ingin menyentuhnya
seperti jemari di rambutmu
yang wanginya enggan pergi
dari nafasku
dari nafasmu
jika diammu saja terkirim
bisa apa dalam rinai gerimis
jika itu senyum manis
tak kan kurasakan perih
dan miris
priok,
juli 06
Tentang
Johannes Sugianto
Johannes Sugianto lahir di Bojonegoro dan besar di
Malang. Mulai menulis saat hijrah ke Jakarta dan menjadi wartawan, namun
menulis puisi dilakukan setelah lama berhenti sebagai wartawan. Puisinya
tersebar di berbagai milis cyber dan antologi puisi bersama. Saat ini bekerja
sebagai Public Relations sebuah perusahaan di Jakarta.
Catatan Lain
Ada empat nama di sampul belakang buku yang ikut memberi
komentar, yaitu Hasan Aspahani, Gratiasusti Chananya Rompas, TS Pinang dan
Damhuri Muhammad. Kata Gratiasusti Chananya Rompas, si pendiri Komunitas Puisi
Bunga Matahari, begini: “Lewat puisi, Johannes mencerna keseharian hidup yang
jauh dari kesan menyenangkan. Ia mengurai kembali pengalaman dan pandangannya
terhadap orang-orang terdekatnya, negaranya, kepercayaannya, juga dirinya
sendiri. Tema yang diangkatnya seringkali pedih namun tak mendayu. Ia bertutur
dengan majas yang bersahaja, mudah dimengerti, sehingga tak melulu diajaknya
malara, tapi diantar melihat serta merasakan keindahan di balik kegetiran.
Realis, tanpa kehilangan romantisme, jujur tetapi tetap cantik, pahit sekaligus
menyemangati. Jika bukan sebuah ode untuk hidup, kumpulan puisi ini adalah
keberhasilan mengubah kesulitan menjadi ladang inspirasi.”
Kata
Jokpin di bagian pengantar (ditulis di Yogyakarta, 6 November 2006), kadang
tidak semua kita berniat menjadi penyair, ada yang cuma mau curhat dan membuang sebel lewat puisi. Dan begini Jokpin menutup pengantarnya: “Selamat
malam, Yo. Selamat datang di dunia penulisan sastra. Kalaupun tidak berniat
menjadi seorang petarung atau petualang, kau dapat menjadi seorang pencinta
yang keras kepala.” Ya, seorang pencinta yang keras kepala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar