Data
buku kumpulan puisi
Judul: Gunung Biru di Atas Dusunku
Penulis: Lastri
Fardani Sukarton
Cetakan: 3, 1992 (1: 1988, 2: 1992)
Penerbit: Balai Pustaka
Percetakan: Balai Pustaka
BP No. 3576
Tebal: 44 halaman (36 puisi)
Gambar kulit dan hiasan vignet: Motinggo Boesye
Pengantar: Balai Pustaka
Beberapa
pilihan puisi karya Lastri Fardani
Sukarton dalam Gunung Biru di Atas
Dusunku
hujan
paling
menyenangkan
di
antara perjalanan yang kukenang
bila
musim hujan datang
membakar
jagung di ladang
makan
sambil bersila kaki
di
gubuk yang sepi
memandang
sawah dan gemercik kali
ah,
gunung dan burung pun nampak tersenyum
sekalipun
mendung
akankah
kenikmatan ini
dirasakan
juga oleh insan di kota
di
langgar
bila
magrib tiba
bedugnya
adalah pertanda
aku
segera mengambil mukena
berlari
ke langgar
belajar
mengaji tanpa membayar
bocah-bocah
semuanya harus bekerja
menimba
air untuk wudhu
menggelar
tikar dan menata Qur’an
menyikat
lantai sumur yang berlumut
tak
peduli yang kaya, yang tak punya
bahagia
bila
keadilan telah tercipta
kereta
api
setiap
subuh
peluit
itu melengking
tanda
kereta apiku tiba
aku
harus cepat berangkat
menapaki
embun di rumput
bila
mau pergi ke kota
berbelanja
simbok
duduk memutar susurnya
aku
di dekat jendela
menyebar
kertas-kertas kecil
meludah
dan
geli aku
bila
ludah dan kertas
menempel
di rambut penumpang
simbok
marah
ditariknya
ekor kudaku
pedas
alangkah
pedasnya rambutku
tetapi
aku tak berani melawan
simbok
bajunya lusuh dan tak banyak uang
tetapi
ia tak menyukai kejahatan
kunang-kunang
kau
menemaniku
ketika
mati obor bambuku
pulang
mengaji
di
rumah pak makruf
sesungguhnya
aku takut
melewati
sawah bagi gadis sekecil aku
ada
kuburan tua di ujung desa
ada
suara burung hantu di atas kepalaku
tetapi,
bukankah Gusti Allah menyayangiku
kunang
berpijarlah
terangi
pematang ini
nampakkan
ularnya
yang
ingin memagutku
temanilah
bintang-gemintang
mengantarku
pulang
pasar
aku
tidak punya tempat bermain
setiap
pulang sekolah
membantu
simbok di pasar
menakar
beras
membungkus
kacang tanah
menghitung
uang-uang berdebu yang kami dapat hari itu
sesudah
dagangan itu habis
aku
boleh beli makanan yang kusuka
tiwul,
cenil dan nasi pecel
aku
pun boleh bermain kain perca
yang
kudapat dari kebaikan para penjahit di sana
aku
membuat boneka
aku
membuat baju-bajunya
apalagi
yang tak membahagiakan diriku
makan
dan bermain
sambil
membantu orang-tua
aku
pulang menggendong beras dan kacang
simbok
berjalan di belakangku membawa uang
melewati
kali
melewati
kampung
melewati
orang-orang tani yang beranai-anai
kami
ramah berteguran
walau
tak ada uang
walau
tak saling kenalan
pulang
sekolah
pulang
sekolah kulewati kali-kali
dan
pematang sawah, di kiri-kanan kutemukan ikan
kuambil
banyak-banyak wader dan udang
kugenggam
dengan jemariku yang kecil
ai,
satu-dua meloncak kembali ke induknya
tak
mau kubawa pulang
simbok,
simbok
hari
ini kita makan enak
simbok
memanaskan minyak di wajan
sedapnya,
gurihnya
melarat
kadang amat nikmat
dari
pada mengantongi segebung uang
tetapi
nurani kita tiada tenteram
ayamku
aku
menetaskannya
dari
bentuk telur
kusuruh
induknya
mengerami
dan
tumbuh lucu, berbulu gundul
daging
dan tulangnya menonjol
sering
kubelai
lalu
membesar dan akan bertelur pula
seorang
tamu besar datang
bapak
memerintahkan menyuguhi opor ayam
aku
menitikkan airmata
ketika
parji memotong lehernya
dan
mencelupkannya di air panas
kucabut
anak bulunya satu-satu
sembari
tersedu
simbok
pun tahu
berhentilah
bersedih anakku
untuk
menyenangkan orang
kita
memang perlu berkorban
kuelap
airmataku
dengan
ujung kutang perempuan itu
kematian
memang
sudah kusadari
hari
itu akan datang
simbok
meninggalkanku
ketika
napasnya tak bersengal lagi
memang
masih ada bapak
tetapi
dia terlalu galak
pantatku
sampai kebal
oleh
sengatan rotan
sekali
pipiku sampai lebam biru
karena
terlambat mencari cacing bagi bebek-bebekku
aku
dihukum
simbok
meratapiku
anakku,
wong ayu
tak
pernah kubiarkan seekor nyamuk menghisap darahmu
sekarang
wajahmu sendu
sini
kuusapkan rambutku
kupoles
dengan ludahku
esok
pagi
wajahmu
akan cantik kembali
ah,
semua yang datang melayat
mengatakan
aku gadis cantik dan baik
tapi
apa gunanya?
aku
tetap menangis
ketika
simbok diusung ke pemakaman
aku
ingin turut terbenam di liangnya
andong
tua
andong
tua merayap jalannya
sarat
penumpangnya
oleh
simbok-simbok tua yang lelah
kuda,
kusir dan penumpang
sama-sama
tak pernah kenyang
buatku
bau
tlepongnya yang kecut*)
adalah
ciri khas kotaku
di
mana aku mengukuri rindu
*) tlepong = tahi kuda, kerbau atau sapi
gunung
biru di atas dusunku
tolehkan
ke belakang
wajahmu
yang penuh semangat
bila
kau akan meninggalkan desa ini
anakku
sebuah
bukit
tengkurap
di kaki langit
lalu
tapakilah
sawah-sawah
yang
ranum padinya
ketika
kau akan mengejar kereta
menuju
ke kota
di
sana kau menuntut ilmu
di
sana kau mencari jodo
pulang
membawa sarjana
sangat
bahagia
kepada
anakku
seorang
perempuan
melahirkan
dalam kesakitan
mendidik
dalam kemelaratan
bercita
tinggi tak terbilang
apa
saja yang diharapkan?
hati
anak-anak berikan kemuliaan
anak-anak
adalah kebanggaan
apa
arti kekayaan
apa
arti kehidupan
tanpa
anak yang soleh
berikanlah
kehangatan
setasiun
tua
temboknya
masih perkasa
sekalipun
coreng-coreng itu bertambah jua
dekil
dan berbau busuk
ada
tukang ronde
dan
penjual kue
berteduh
dari sorot matahari
sebab
atapnya tak menempel lagi
dahulu
aku
di situ
duduk
di kursi dari besi
menanti
peluit berbunyi
tanda
kereta tiba
semua
harus berlari
biar
mendapat tempat
duduk
nyaman
hingga
keretaku bergerak perlahan
sangat
pelan
yang
berlari bersepeda
yang
merayap menyewa andong tua
semuanya
kusetut*)
dan
duluan tiba
kini
ketika aku dewasa
yang
kupandang hanya relnya yang memanjang
seolah
ingin memberitahuku
dia
harus istirah
sementara
colt dan bis kota merajalela
sepur
hanya pagi dan sore saja
mahal
upahnya
*)
kusetut = kukejar; kusalip
teman
bermain
di kali
tak
memikirkan lagi kepedihan
yang
ada cuma kedamaian
itu
dunia anak-anak
ketika
aku dewasa
perjalanan
seolah tanpa ujung
di mana kesusahan demi kesusahan saling menindih
di mana kesusahan demi kesusahan saling menindih
bersatu
dalam aliran darah
menjadi
sesuatu yang harus dinikmati
rumah
tua
kuangkat
kepala
debu
yang dulu kuraih dengan sapu
masih
ada dan aku bisa menghapusnya dengan tanganku
lampu
antik pun termagu memandangku
yang
sudah dewasa
penuh
kematangan
apakah
yang ingin kau tanyakan tentang diriku?
aku
masih perempuan desa yang lugu
Tentang
Lastri Fardani Sukarton
Lastri
Fardani Sukarton lahir tanggal 5 Desember 1942 di Yogyakarta. Pendidikan:
mulai SD sampai tamat SMA tahun 1960 ditempuh di kota kelahirannya,
Yogayakarta. Kemudian masuk Fakultas Sastra Universitas Gajahmada
di kota yang sama. Tapi setahun kemudian, 1961 ditinggalkannya karena menjadi
pramugari Garuda Indonesia Airways (GIA).
Lastri mulai menulis
sejak kelas 6 SD, karyanya berupa sajak-sajak dimuat di majalah Kawanku, lembaran majalah anak-anak di
surat kabar Pikiran Rakyat,
Yogyakarta. Waktu kelas 2 SMP ia sudah duduk menjadi redakur Remaja Nasional, lembaran remaja pada surat kabar Nasional.
Dari latar kehidupannnya
yang akrab dengan pedesaan pedesaan agaknya menyebabkan ia selalu menghadirkan
dan mengalirkan banyak ilham yang tertuang dalam puisi-puisinya, dengan sikap
yang polos, jujur, berisi kerinduan atau rasa kasih sayangnya.
Selain menulis puisi dan
cerpen, ia juga menulis novel. DI antara novel-novelnya yang telah terbit
menjadi buku:
1.
Kisi-Kisi Hati
2.
Letup-Letup Cinta
3.
Di Batas Kebencian
4.
Perempuan-Perempuan di Sekitar Anakku
5.
Bagilah Dukamu itu, Sayangku
Catatan Lain
Seperti yang dapat
dibaca di atas, sajak-sajak dalam kumpulan ini bernafaskan suasana pedusunan.
Membaca buku ini kita seolah-olah mendengarkan cerita dari seorang gadis kecil (meski
ada beberapa puisi yang sudut pandangnya dari seorang ibu) tentang kehidupan
sehari-harinya seperti membakar jagung,
menangkap ikan, membantu orang tua dan lain sebagainya.
Kekhasan dari buku ini ialah bahasanya yang sederhana.
Eh, bukan hanya sederhana, namun teramat sederhana alias polos. Kalau pun ada
majas, maka majas yang digunakan ringan saja. Seperti yang diungkapkan penerbit
dalam pengantarnya:
“Ini
bukan hanya menyangkut masalah bakat dan teknik, melainkan sebuah kekhasan.”
Dengan adanya kekhasan berupa
kepolosan bahasa, bagi saya ini bukan suatu kelemahan, tetapi justru suatu
kekuatan dalam sajaknya. Ini sesuai dengan sudut pandang seorang anak kecil,
yang tak lain merupakan teknik penulisnya dalam melukiskan nostalgianya. Tidak
selamanya bahasa yang polos dapat dianggap kelemahan dan sesuatu yang
“kekanak-kanakan”. Dengan kejujuran penulisnya, hal apapun bahkan sesuatu yang
biasa saja dapat menjadi bernilai indah, meski diungkapkan secara amat sederhana.
(^ ^)
(AHMAD FAUZY)
Q sangat menyukai Lastri
BalasHapus