Data buku kumpulan puisi
Judul
: Salawat Laut
Penulis : Ariffin
Noor Hasby
Cetakan
: I, 2013
Penerbit
: Pustaka Banua, Banjarmasin.
Tebal
: xvi + 72 halaman (60 puisi)
ISBN
: 978-602-986490-9
Tata
letak : Qonita
Desain
sampul : Dayyina
Pengantar
: Tajuddin Noor Ganie
Beberapa pilihan puisi Ariffin Noor Hasby dalam Salawat Laut
Aku Melihat Mesjid Berangkat Tua
Aku melihat masjid
berangkat tua
seperti diriku
di menaranya
beribu suara adzan
memanggil gedung-gedung
pencakar langit
yang terlelap
menunggu kabar manusia
Orang-orang
termangu di antara jejak
yang ditinggalkannya
di pinggir malam
aku baca di
dalamnya ada remukan-remukan hatimu
yang pernah
berniat mengalahkan dunia
tapi tak pernah
mampu:
Adakah kau pernah
melihat dirimu berangkat tua
seperti masjid
yang selalu mengajarkan kepadaku
janji sebuah waktu
Banjarbaru, Oktober 1995
Salawat Laut
kubaca salawat
laut, ayat-ayat air dan kabut
hatiku jadi perahu
dalam seribu tahajud
jadi ruang yang
mengimankan wajah-wajah waktu
jadi waktu yang
memuarakan batu-batu
dalam seribu suara
yang menakbirkan keagungan cahaya
lidahku jadi
perahu yang menyampaikan
dosa-dosa dunia ke
negeri langit
jadi doa yang
membasuh udara gelap dalam kalbu
jadi jarak yang
mendekatkan jejak hatimu
dengan gerak
keimananku
beratus ribu bab
kehidupan
aku baca dalam
salawat rindu
yang memberi waktu
untuk merenangi airmata
memberi ruang
untuk menghitung kesalahan batu-batu
yang bising dalam
seruling amarahmu
pada ayat-ayat air
dan kabut melipat kerut usia
jadi bunga mawar
yang dianugerahkan-Nya
untuk kalam kasih sayang
kalimat ruang
hatimu yang luas
seperti laut yang
bebas menuangkan cahaya matamu
ke dalam gelap dan
terang jiwaku
yang mengalir
dalam sembilan puluh sembilan sujud keyakinan
satu sudut
kemahakuasaan-Nya
kubaca salawat
laut, hatiku pulang
dari rumah amarah,
dendam kesumat, iri dengki
yang menjerat
langkahku ke muara
lalu jadi bumi
yang tak berjarak dengan langit
menyeru cahaya
dari seluruh cahaya
yang menerangi
lorong-lorong peradaban
hatiku pulang ke
rumah-Mu
dalam wajah hidup
yang menatap dunia sebagai
ruang gelap yang
mesti diterangkan
dengan hati yang
berdzikir dalam seribu satu tasbih
tahmid dan takbir
waktu
lalu menemukan
suara angin yang mengucapkan
asal mula
kehidupan dalam baris sajak
yang meluruskan
seluruh jalan jiwaku!
2001
Antara Gelap dan Terang Manusia
antara gelap dan
terang manusia
aku berjalan ke
dalam hati mencari cinta
sebelum tangis
mencari langit sebelum ombak
mencari arah
sebelum sesat
menempuh tiran
kata-kata yang ditinggalkan raja-raja
Antara gelap dan
terang manusia
aku bersimpuh ke
dalam do’a
menghapus dosa
sebelum lupa
menghapus rasa
sebelum prasangka
menghapus
kata-kata sebelum igauan
menempuh tiran
tahta yang runtuh sebelum jauh
Antara gelap dan
terang manusia
Aku kembalikan
langkah pada singgah
Sebelum gelap
mengucap lelah
Sebelum riuh
memanggil ruh
Menempuh riuh
pikiran batu
Yang mencari ruang
untuk tumbuh
Banjarbaru, Okt 2008
Seorang Lelaki Mencari Tuhan
seorang lelaki
mencari tuhan dalam dirinya
tapi belum
ditemukannya hidup yang lebih baik di sini
maka kusiapkan
piring dari dalam mulutnya sendiri
untuk menimbang
rasa kenyang atau lapar
yang dihantarkan
langit kepadanya
dalam sepotong
ayat seruan
berjagalah pada
suatu malam
di rusuk-rusuk
keheningan
sehabis lapar
menghitung makna
sehabis kenyang
membagi rasa
maka kusiapkan
cawan dari dalam mulutnya sendiri
sebagai tanda
waktu yang akan tiba memanggilnya
Banjarbaru, September 2008
Jalan Batu
Deretan jalan batu
membentangkan
selisih waktu
antara kau dan aku
Sebuah percakapan
tanpa tuhan
Ingin
mempertahankan angin
Jadi saksi
perseteruan
Kapankah kita
ziarah
menengok hati
dalam puisi yang
bersih
dari bau dendam
dengki
Bayangkanlah,
Arifin
deretan jalan
batu: lurus dan bisu
rumah kita genap
di situ!
Banjarbaru, 2002
Ayat-ayat Manusia
mencari ayat-ayat
manusia
yang dulu kita
baca dengan gelisah
di kitab kuning
peradaban
kutemukan wajahmu
terselip
di antara
jendela-jendela masjid
yang kehilangan
warna langit
meski matamu kian
redup
kau masih menulis
sajak-sajak hidup
sealif demi sealif
untuk orang-orang
yang selalu
mengingat tuhan
mencari ayat-ayat
manusia
yang dulu kita
baca
dalam gelisah
samudera
barangkali wajahmu
masih seperti dahulu
wajah yang selalu
mencari!
2001
Sungai dalam Diri
aku melihat
sungai-sungai dalam diriku
berkilauan
mengikuti irama perahu
matahari berzikir
dalam arusnya
memberi cahaya
pada ruang di mana kita
pernah bersua:
berkabar tentang
sebuah waktu yang
menulis
riwayat batu-batu
2001
Kita Masih Menunggu
lihatlah, batu-batu
telah dilipat oleh waktu
tapi mengapa kita
masih menunggu
jejak
mengembalikan langkah
dari seluruh kisah
yang pernah
kau basuh di arus
air mata
lihatlah,
batu-batu telah disimpan oleh waktu
tapi mengapa kita
masih menunggu
suara
mengembalikan kata
dari seluruh duka
yang pernah
kau rasakan
dalam ziarah
kematian
2001
Air Wudhu Sebuah Kota
Kukirim air wudhu
untuk sebuah kota
yang kau baringkan
di depan masjid tua
tapi aku tak tahu
cukupkan ia untuk
membersihkan hati
orang-orang di sana
Bertahun aku
tabung air matamu yang jatuh
di sembarang
waktu. Tapi selalu saja terasa
tak cukup untuk
membasuh manusia. Apalagi untuk
membersihkan
dunia. Tapi biarlah kukirimkan
air mataku saja
untuk membantu membasuh pikiran
sebuah kota yang
kau simpan di sudut ruang
Bjb, Agt 1996
Puisi Kematian
tiga orang masa
lalu bersimpuh
membaca puisi
kematiannya
di depan batu-batu
nisan
yang bertepuk
tangan mendengarkannya
di depan cermin
kita tak sempat berkaca
padahal jalan
kembali terus kita ziarahi
dalam keyakinan
yang terus menatap
garis tepi
kehidupan
tiga orang masa lalu itu
terus memelihara
irama suaranya
meskipun gelombang
sunyi
lelah mengulum
mulut mereka
sepanjang jalan
tuhan
barangkali kelak
kaupun akan sampai
pada takdir
kemahapastian itu
membaca puisi
kematian
dengan suara yang
bergema tanpa ruang dan
waktu
Banjarbaru, 2003
Kasidah Perjalanan
Berjalan di
trotoar kota-kota
aku melihat dalam
langkahmu kasidah waktu
mengantarkan gerak
ke dalam hati
menempuh keyakinan
dalam meditasi
Beribu sajak
mengalir dalam sunyi
menjelma salawat
berabad-abad
mengiring langkah
kepada Allah
mengirim iman
manusia yang pasrah
Melintas warna
pohon-pohon: hitam dan putih
wajah demi wajah
mengembalikan bahasa kasih
ke dalam hatiku
aku kembalikan
lagi pada-Mu
aku kembalikan
lagi pada-Mu
Begitulah
pintu-pintu masjid terus menunggu
langkah demi
langkahmu yang ragu
lihatlah kasidah
waktu dalam gerak pintu
kita mencatat
segala kalam memanggil dalam isyarat!
: kebenaran adalah
langkah kepada Allah
Banjarbaru, Maret 1996
Sungai-sungai Mengalir
Sungai-sungai
mengalir ke udara
aku saksikan dalam
diriku
membawa dzikir
perahu
sampai ke seberang
waktu
aku mendengar lagi
suara arus
mencari suaramu
sepanjang musim:
Allah Allah Allah
Hujan dan matahari
memberi kota-kota
dalam diriku
sungai airmata
manusia
sebelum engkau
memahami udara dalam mimpi sunyi
Betapa luas
kerinduan sungai-sungai padamu
kubayangkan waktu
mengayuh irama batu
tapi segala
bayangan telah menjadi batang-batang cahaya
yang membagi
matamu dengan gelap jalan
aku baca
sungai-sungai dalam diriku
menambatkan
kesetiaan kekasih waktu
seperti perahu
yang berdzikir
menyempurnakan
tarian batu!
Banjarbaru, Maret 1996
Menulis Manusia
Menulis manusia
dalam lembaran-lembaran hidup
aksara-aksara
nasib disusun dalam luka kabut
sekian ribu
kalimat Tuhan mengalir dalam takdir-Nya
menuliskan nama-nama,
batu dan bunga-bunga
sekian ribu
isyarat membalikkan musim di tangan sepi
dinding waktu pun
luruh dalam goresan ruh!
Menulis manusia
sekian tanda baca dipancang
o rindu pun letih
dalam jarum jam
sekian tanda cinta
berlabuh
menabuh lagu di
seberang tubuh
B. Baru, 1989-1995
Dalam Irama Suara Hati
dalam irama suara
hati
kulantunkan gelombang
ayat-ayat-Mu
sealif sealif
betapa dalam ya
Tuhan
lautan dzikir yang
kau firmankan
dalam irama suara
yang tak berjarak
dengan langit
kuhayati segala
yang terbaca yang tak terbaca
kurenungi segala
yang terdengar yang tak terdengar
kuyakini segala
yang terasa yang tak terasa
betapa besar
betapa akbar segala yang ada segala
yang tiada
tapi masih betapa
banyak rahasia-Mu
yang hanya dapat
kusebut, kusebut dalam asma-Mu
sepanjang waktu
sepanjang rindu sepanjang suara
yang berirama
bersama detak jantung semesta!
Banjarbaru, Juni 199(?)
Rumah di Atas Cinta
Rumah di atas
cinta
alangkah indah, ya
Allah
anak-anak
kesetiaan bermain
dengan Bismillah
di dalam
keteduhan-Nya
Rumah di atas
cinta
pintu-pintunya
adalah
kasih sayang
Rasulullah
jendela-jendelanya
adalah
kesetiaan Siti
Aisyah
Kita selalu
berdo’a, kekasih
agar dapat memilikinya
tak sekedar dalam
kata-kata!
Banjarbaru, Juli ‘96
Tiba-tiba Malam
Tiba-tiba malam
membuka halaman-halaman
hati: ada sederet
rumah dan lampu-lampu
menyalakan sejarah.
Ada bulan paling purnama
mengantar burung-burung
pulang dari musim purba.
Di bawah desau
angin, kau membaca langkah-langkah
bunga, dan di
depan pintu orang-orang
menangisi rumah-rumah
tanpa jendela. Anak-anak
waktu yang
menunggu, belum memahami ketakutan
pada kutukan-kutukan
dingin matamu.
“Bacalah ayat-ayat
Tuhan”. Tiba-tiba malam
menderas dalam
perjalan. Orang-orang
mendengar beduk
semakin jauh. Orang-orang
melihat kota-kota
mengayuh hati di luar tubuh.
Kapanpun diam-diam
mencari makna lampu-lampu
padam. Huruf-huruf
melompat dalam gelap
mencari matamu
yang terakhir
menulis puisi
dengan dzikir.
Padahal, sehabis
malam, lampu-lampu itu
akan bernasib
buruk. Tapi kau begitu takut:
halaman-halaman
hatimu tak lagi terbaca setelah
sunyi rumah-rumah
melepas hati nurani, anak-anak
waktu membuka
jendela, tapi di luar gelap nyaris
sempurna. “Bacalah
ayat-ayat Tuhan”, sehabis
suara, kau
tertidur dan bermimpi: lampu-lampu
pulang menemui
terang cahaya!
Banjarbaru, November 1994
Tentang Ariffin Noor Hasby
Ariffin Noor Hasby lahir di Marabahan, Barito Kuala, 20 Pebruari 1964 (6
Syawal 1383 H). Sejak umur 1 tahun diboyong ke Banjarbaru oleh Orangtua yang
pindah tugas ke kota itu. Menamatkan SD hingga SMA di kota itu dan
menyelesaikan Fisip Unlam tahun 1988. Menulis sejak 1982, berupa puisi, esai,
artikel, dan cerita rakyat. Karyanya tersebar di berbagai media massa dan
antologi puisi bersama. Mendapat hadiah seni dari Gubernur Kalsel tahun 2005
dan dari Walikota Banjarbaru tahun 2012. Kumpulan puisinya: Kota yang Bersiul (2012)
Catatan Lain
Ada 2 nama di sampul belakang buku yang memberi komentar, yaitu Jamal T.
Suryanata dan Ali Syamsudin Arsi. Kata Jamal: “Seringkali saya dapat mengenali
sajak-sajak Arifin hanya dari judul dan larik pembukanya, sebagaimana saya bisa
mengenali sosok Ariffin hanya dari perawakan dan langkah-langkah kakinya saat
berjalan di kejauhan…. Kendati kemasan buku ini merupakan kumpulan sajak
religius, tetapi karakter kepenyairan tersebut tak dapat disembunyikan.
Bagaimana pun, Ariffin adalah salah seorang penyair liris yang kuat dengan
metafor-metafor segar dan aktual.”
Di bagian awal buku,
Tajuddin Noor Ganie memberi pengantar sepanjang 4 halaman. Pun juga ada suara
si penyair sebanyak 3 halaman. Dari situ, misalnya, ketahuan bahwa yang
mengetik naskah buku adalah Zurriyati Rosyidah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar