Minggu, 06 Desember 2015

Ariffin Noor Hasby: SALAWAT LAUT




Data buku kumpulan puisi

Judul : Salawat Laut
Penulis : Ariffin Noor Hasby
Cetakan : I, 2013
Penerbit : Pustaka Banua, Banjarmasin.
Tebal : xvi + 72 halaman (60 puisi)
ISBN : 978-602-986490-9
Tata letak : Qonita
Desain sampul : Dayyina
Pengantar : Tajuddin Noor Ganie

Beberapa pilihan puisi Ariffin Noor Hasby dalam Salawat Laut

Aku Melihat Mesjid Berangkat Tua

Aku melihat masjid berangkat tua
seperti diriku
di menaranya beribu suara adzan
memanggil gedung-gedung pencakar langit
yang terlelap menunggu kabar manusia

Orang-orang termangu di antara jejak
yang ditinggalkannya di pinggir malam
aku baca di dalamnya ada remukan-remukan hatimu
yang pernah berniat mengalahkan dunia
tapi tak pernah mampu:

Adakah kau pernah melihat dirimu berangkat tua
seperti masjid yang selalu mengajarkan kepadaku
janji sebuah waktu

Banjarbaru, Oktober 1995



Salawat Laut

kubaca salawat laut, ayat-ayat air dan kabut
hatiku jadi perahu dalam seribu tahajud
jadi ruang yang mengimankan wajah-wajah waktu
jadi waktu yang memuarakan batu-batu

dalam seribu suara yang menakbirkan keagungan cahaya
lidahku jadi perahu yang menyampaikan
dosa-dosa dunia ke negeri langit
jadi doa yang membasuh udara gelap dalam kalbu
jadi jarak yang mendekatkan jejak hatimu
dengan gerak keimananku

beratus ribu bab kehidupan
aku baca dalam salawat rindu
yang memberi waktu untuk merenangi airmata
memberi ruang untuk menghitung kesalahan batu-batu
yang bising dalam seruling amarahmu
pada ayat-ayat air dan kabut melipat kerut usia
jadi bunga mawar yang dianugerahkan-Nya
untuk kalam kasih sayang
kalimat ruang hatimu yang luas
seperti laut yang bebas menuangkan cahaya matamu
ke dalam gelap dan terang jiwaku
yang mengalir dalam sembilan puluh sembilan sujud keyakinan
satu sudut kemahakuasaan-Nya

kubaca salawat laut, hatiku pulang
dari rumah amarah, dendam kesumat, iri dengki
yang menjerat langkahku ke muara
lalu jadi bumi yang tak berjarak dengan langit
menyeru cahaya dari seluruh cahaya
yang menerangi lorong-lorong peradaban
hatiku pulang ke rumah-Mu
dalam wajah hidup yang menatap dunia sebagai
ruang gelap yang mesti diterangkan
dengan hati yang berdzikir dalam seribu satu tasbih
tahmid dan takbir waktu
lalu menemukan suara angin yang mengucapkan
asal mula kehidupan dalam baris sajak
yang meluruskan seluruh jalan jiwaku!

2001


Antara Gelap dan Terang Manusia

antara gelap dan terang manusia
aku berjalan ke dalam hati mencari cinta
sebelum tangis mencari langit sebelum ombak
mencari arah sebelum sesat
menempuh tiran kata-kata yang ditinggalkan raja-raja

Antara gelap dan terang manusia
aku bersimpuh ke dalam do’a
menghapus dosa sebelum lupa
menghapus rasa sebelum prasangka
menghapus kata-kata sebelum igauan
menempuh tiran tahta yang runtuh sebelum jauh

Antara gelap dan terang manusia
Aku kembalikan langkah pada singgah
Sebelum gelap mengucap lelah
Sebelum riuh memanggil ruh
Menempuh riuh pikiran batu
Yang mencari ruang untuk tumbuh

Banjarbaru, Okt 2008


Seorang Lelaki Mencari Tuhan

seorang lelaki mencari tuhan dalam dirinya
tapi belum ditemukannya hidup yang lebih baik di sini
maka kusiapkan piring dari dalam mulutnya sendiri
untuk menimbang rasa kenyang atau lapar
yang dihantarkan langit kepadanya
dalam sepotong ayat seruan

berjagalah pada suatu malam
di rusuk-rusuk keheningan
sehabis lapar menghitung makna
sehabis kenyang membagi rasa
maka kusiapkan cawan dari dalam mulutnya sendiri
sebagai tanda waktu yang akan tiba memanggilnya

Banjarbaru, September 2008


Jalan Batu

Deretan jalan batu
membentangkan selisih waktu
antara kau dan aku

Sebuah percakapan tanpa tuhan
Ingin mempertahankan angin
Jadi saksi perseteruan

Kapankah kita ziarah
menengok hati
dalam puisi yang bersih
dari bau dendam dengki

Bayangkanlah, Arifin
deretan jalan batu: lurus dan bisu
rumah kita genap di situ!

Banjarbaru, 2002


Ayat-ayat Manusia

mencari ayat-ayat manusia
yang dulu kita baca dengan gelisah
di kitab kuning peradaban
kutemukan wajahmu terselip
di antara jendela-jendela masjid
yang kehilangan warna langit

meski matamu kian redup
kau masih menulis sajak-sajak hidup
sealif demi sealif
untuk orang-orang yang selalu
mengingat tuhan

mencari ayat-ayat manusia
yang dulu kita baca
dalam gelisah samudera
barangkali wajahmu masih seperti dahulu
wajah yang selalu mencari!

2001


Sungai dalam Diri

aku melihat sungai-sungai dalam diriku
berkilauan mengikuti irama perahu
matahari berzikir dalam arusnya
memberi cahaya pada ruang di mana kita
pernah bersua: berkabar tentang
sebuah waktu yang menulis
riwayat batu-batu

2001


Kita Masih Menunggu

lihatlah, batu-batu telah dilipat oleh waktu
tapi mengapa kita masih menunggu
jejak mengembalikan langkah
dari seluruh kisah yang pernah
kau basuh di arus air mata

lihatlah, batu-batu telah disimpan oleh waktu
tapi mengapa kita masih menunggu
suara mengembalikan kata
dari seluruh duka yang pernah
kau rasakan
dalam ziarah kematian

2001


Air Wudhu Sebuah Kota

Kukirim air wudhu untuk sebuah kota
yang kau baringkan di depan masjid tua
tapi aku tak tahu cukupkan ia untuk
membersihkan hati orang-orang di sana

Bertahun aku tabung air matamu yang jatuh
di sembarang waktu. Tapi selalu saja terasa
tak cukup untuk membasuh manusia. Apalagi untuk
membersihkan dunia. Tapi biarlah kukirimkan
air mataku saja untuk membantu membasuh pikiran
sebuah kota yang kau simpan di sudut ruang

Bjb, Agt 1996


Puisi Kematian

tiga orang masa lalu bersimpuh
membaca puisi kematiannya
di depan batu-batu nisan
yang bertepuk tangan mendengarkannya

di depan cermin kita tak sempat berkaca
padahal jalan kembali terus kita ziarahi
dalam keyakinan yang terus menatap
garis tepi kehidupan

tiga orang masa lalu itu
terus memelihara irama suaranya
meskipun gelombang sunyi
lelah mengulum mulut mereka
sepanjang jalan tuhan

barangkali kelak kaupun akan sampai
pada takdir kemahapastian itu
membaca puisi kematian
dengan suara yang bergema tanpa ruang dan
waktu

Banjarbaru, 2003


Kasidah Perjalanan

Berjalan di trotoar kota-kota
aku melihat dalam langkahmu kasidah waktu
mengantarkan gerak ke dalam hati
menempuh keyakinan dalam meditasi

Beribu sajak mengalir dalam sunyi
menjelma salawat berabad-abad
mengiring langkah kepada Allah
mengirim iman manusia yang pasrah

Melintas warna pohon-pohon: hitam dan putih
wajah demi wajah mengembalikan bahasa kasih
ke dalam hatiku
aku kembalikan lagi pada-Mu
aku kembalikan lagi pada-Mu

Begitulah pintu-pintu masjid terus menunggu
langkah demi langkahmu yang ragu
lihatlah kasidah waktu dalam gerak pintu
kita mencatat segala kalam memanggil dalam isyarat!
: kebenaran adalah langkah kepada Allah

Banjarbaru, Maret 1996


Sungai-sungai Mengalir

Sungai-sungai mengalir ke udara
aku saksikan dalam diriku
membawa dzikir perahu
sampai ke seberang waktu
aku mendengar lagi suara arus
mencari suaramu sepanjang musim:
Allah Allah Allah

Hujan dan matahari memberi kota-kota
dalam diriku
sungai airmata manusia
sebelum engkau memahami udara dalam mimpi sunyi

Betapa luas kerinduan sungai-sungai padamu
kubayangkan waktu mengayuh irama batu
tapi segala bayangan telah menjadi batang-batang cahaya
yang membagi matamu dengan gelap jalan

aku baca sungai-sungai dalam diriku
menambatkan kesetiaan kekasih waktu
seperti perahu yang berdzikir
menyempurnakan tarian batu!

Banjarbaru, Maret 1996


Menulis Manusia

Menulis manusia dalam lembaran-lembaran hidup
aksara-aksara nasib disusun dalam luka kabut
sekian ribu kalimat Tuhan mengalir dalam takdir-Nya
menuliskan nama-nama, batu dan bunga-bunga
sekian ribu isyarat membalikkan musim di tangan sepi
dinding waktu pun luruh dalam goresan ruh!

Menulis manusia sekian tanda baca dipancang
o rindu pun letih dalam jarum jam
sekian tanda cinta berlabuh
menabuh lagu di seberang tubuh

B. Baru, 1989-1995


Dalam Irama Suara Hati

dalam irama suara hati
kulantunkan gelombang ayat-ayat-Mu
sealif sealif
betapa dalam ya Tuhan
lautan dzikir yang kau firmankan

dalam irama suara yang tak berjarak
dengan langit
kuhayati segala yang terbaca yang tak terbaca
kurenungi segala yang terdengar yang tak terdengar
kuyakini segala yang terasa yang tak terasa
betapa besar betapa akbar segala yang ada segala
yang tiada
tapi masih betapa banyak rahasia-Mu
yang hanya dapat kusebut, kusebut dalam asma-Mu
sepanjang waktu sepanjang rindu sepanjang suara
yang berirama bersama detak jantung semesta!

Banjarbaru, Juni 199(?)


Rumah di Atas Cinta

Rumah di atas cinta
alangkah indah, ya Allah
anak-anak kesetiaan bermain
dengan Bismillah
di dalam keteduhan-Nya

Rumah di atas cinta
pintu-pintunya adalah
kasih sayang Rasulullah
jendela-jendelanya adalah
kesetiaan Siti Aisyah

Kita selalu berdo’a, kekasih
agar dapat memilikinya
tak sekedar dalam kata-kata!

Banjarbaru, Juli ‘96


Tiba-tiba Malam

Tiba-tiba malam membuka halaman-halaman
hati: ada sederet rumah dan lampu-lampu
menyalakan sejarah. Ada bulan paling purnama
mengantar burung-burung pulang dari musim purba.
Di bawah desau angin, kau membaca langkah-langkah
bunga, dan di depan pintu orang-orang
menangisi rumah-rumah tanpa jendela. Anak-anak
waktu yang menunggu, belum memahami ketakutan
pada kutukan-kutukan dingin matamu.

“Bacalah ayat-ayat Tuhan”. Tiba-tiba malam
menderas dalam perjalan. Orang-orang
mendengar beduk semakin jauh. Orang-orang
melihat kota-kota mengayuh hati di luar tubuh.
Kapanpun diam-diam mencari makna lampu-lampu
padam. Huruf-huruf melompat dalam gelap
mencari matamu yang terakhir
menulis puisi dengan dzikir.

Padahal, sehabis malam, lampu-lampu itu
akan bernasib buruk. Tapi kau begitu takut:
halaman-halaman hatimu tak lagi terbaca setelah
sunyi rumah-rumah melepas hati nurani, anak-anak
waktu membuka jendela, tapi di luar gelap nyaris
sempurna. “Bacalah ayat-ayat Tuhan”, sehabis
suara, kau tertidur dan bermimpi: lampu-lampu
pulang menemui terang cahaya!

Banjarbaru, November 1994


Tentang Ariffin Noor Hasby
Ariffin Noor Hasby lahir di Marabahan, Barito Kuala, 20 Pebruari 1964 (6 Syawal 1383 H). Sejak umur 1 tahun diboyong ke Banjarbaru oleh Orangtua yang pindah tugas ke kota itu. Menamatkan SD hingga SMA di kota itu dan menyelesaikan Fisip Unlam tahun 1988. Menulis sejak 1982, berupa puisi, esai, artikel, dan cerita rakyat. Karyanya tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Mendapat hadiah seni dari Gubernur Kalsel tahun 2005 dan dari Walikota Banjarbaru tahun 2012. Kumpulan puisinya: Kota yang Bersiul (2012)


Catatan Lain
Ada 2 nama di sampul belakang buku yang memberi komentar, yaitu Jamal T. Suryanata dan Ali Syamsudin Arsi. Kata Jamal: “Seringkali saya dapat mengenali sajak-sajak Arifin hanya dari judul dan larik pembukanya, sebagaimana saya bisa mengenali sosok Ariffin hanya dari perawakan dan langkah-langkah kakinya saat berjalan di kejauhan…. Kendati kemasan buku ini merupakan kumpulan sajak religius, tetapi karakter kepenyairan tersebut tak dapat disembunyikan. Bagaimana pun, Ariffin adalah salah seorang penyair liris yang kuat dengan metafor-metafor segar dan aktual.”
            Di bagian awal buku, Tajuddin Noor Ganie memberi pengantar sepanjang 4 halaman. Pun juga ada suara si penyair sebanyak 3 halaman. Dari situ, misalnya, ketahuan bahwa yang mengetik naskah buku adalah Zurriyati Rosyidah.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar