Data Buku Kumpulan Puisi
Judul : Sajak Ladang
Jagung
Penulis : Taufiq Ismail
Penerbit: Pustaka Jaya,
Jakarta
Percetakan : PT. Bumi
Restu, Jakarta
Cetakan : II, Januari 1975 (Cet. I. diterbitkan Budaja Djaja, Juni
1973)
Gambar jilid : A. Wakidjan
Tebal : 70 halaman (37
puisi)
Beberapa pilihan puisi
Taufiq Ismail dalam Sajak Ladang Jagung
Pantun Terang Bulan Di Midwest
Sebuah bulan sempurna
Bersinar agak merah
Lingkarannya di sana
Awan menggaris bawah
Sungai Mississippi
Sungai Mississippi
Lebar dan keruh
Bunyi-bunyi sepi
Amat gemuruh
Ladang-ladang jagung
Ladang-ladang jagung
Rawa-rawa dukana
Serangga mendengung
Sampaikah suara
Cuaca musim gugur
Cuaca musim gugur
Bukit membisu
Asap yang hancur
Biru abu-abu
Danau yang di sana
Danau yang di sana
Seribu burung belibis
Lereng pohon pina
Angin pun gerimis
1971
Bunga Alang -
Alang
Bunga alang-alang
Di tebing kemarau
Menggelombang
Mengantar
Di tebing kemarau
Menggelombang
Mengantar
Bisik cemara
Dalam getar
Di jalan setapak
Engkau berjalan
Dalam getar
Di jalan setapak
Engkau berjalan
Sendiri
Ketika pepohon damar
Menjajari
Bintang pagi
Sesudah topan
Membarut
Warna jingga
Ketika pepohon damar
Menjajari
Bintang pagi
Sesudah topan
Membarut
Warna jingga
Dan seribu kalong
Bergayut
Di puncak randu
Bergayut
Di puncak randu
Di bawah bungur
Kaupungut
Kaupungut
Bunga rindu
Sementara awan
Menyapu-nyapu
Sementara awan
Menyapu-nyapu
Flamboyan
Kemarau pun
Berangkat
Dengan kaki tergesa
Dalam angin
Yang menerbangkan
Serbuk bunga.
Kemarau pun
Berangkat
Dengan kaki tergesa
Dalam angin
Yang menerbangkan
Serbuk bunga.
1963
Di Teluk Ikan
Putih
Di Teluk Ikan Putih, telah terjangkar
jasmaniku di pelabuhannya
Pada kapal-kapal yang masuk dan tertambat
sehari-hari
Anak-anak camar bertebar atas arus
melancar
Dan perbukitan dandan perlente pina-pina
berduri
Di Teluk Ikan Putih menutup siang musim semi panjang
Di Teluk Ikan Putih menutup siang musim semi panjang
Pada langitnya keruh asap, bayang bangunan
dan baja
Di perut kota bangkitlah malam sambil
melenggang
Dan dermaganya hening lelap, berlelehan
keristal kaca
Selamat jalan, malam-malam putih berhujan kapas
Selamat jalan, malam-malam putih berhujan kapas
Lewati perairan alim dengan pipinya
dingin
Masih ada yang berlinangan di sela gugusan
karang
Ngenangkan musim mengandung belati dalam
angin
Jabatlah teluk kami, persinggahan di tahun
datang.
1957
Lagu Unggas Lagu
Ikan
Katak rawa-rawa
Menyanyi sendiri
Pii
Wii
Serangga pepohonan
Daun bermerahan
Angsa menggelepar
Dan berbunyi
Pii
Wii
Ikan danau jauh
Jerami yang luruh
Langit mengental
Paya-paya kristal
Unggas sembunyi
Hutan pun mati
Bunyi yang sunyi
Pii
Wii
Wii
1971
Adakah Suara
Cemara
Ati
Adakah suara cemara
Mendesing menderu padamu
Adakah melintas sepintas
Gemersik daunan lepas
Deretan bukit-bukit biru
Deretan bukit-bukit biru
Menyeru lagu itu
Gugusan mega
Ialah hiasan kencana
Adakah suara cemara
Adakah suara cemara
Mendesing menderu padamu
Adakah lautan ladang jagung
Mengombakkan suara itu.
1972
Taman Di Tengah
Pulau Karang
Di tengah Manhattan menjelang musim
gugur
Dalam kepungan rimba baja, pucuknya dalam
awan
Engkau terlalu bersendiri dengan danau
kecilmu
Dan perlahan melepas hijau daunan
Bebangku panjang dan hitam, lusuh dan retak
Bebangku panjang dan hitam, lusuh dan retak
Seorang lelaki tua duduk menyebar
Remah roti. Sementara itu berkelepak
Burung-burung merpati
Di lingir Manhattan bergelegar pengorek karang
Di lingir Manhattan bergelegar pengorek karang
Merpati pun kaget beterbangan
Suara mekanik dan racun rimba baja
Menjajarkan pohon-pohon duka
Musim panas terengah melepas napas
Musim panas terengah melepas napas
Pepohonan meratapinya dengan geletar
ranting
Orang tua itu berkemas dan tersaruk
pergi
Badai pun memutar daunan dalam
kerucut
Makin meninggi.
1963
Musim Gugur Telah
Turun di Rusia
Seekor burung raksasa pada suatu malam cuaca mengembangkan sayap-nya
yang perkasa mengibas-ngibaskannya gemuruh dan lena maka rontoklah bulu beledru
di langit tua dan biru gugur dan gugur melayang dan berbaur
Musim gugur telah turun di Rusia
Berjuta bintik kapas warna putih angsa pada suatu malam cuaca naik mengambang bersama dan menggeliatlah dia menggelepar menyerakkan warna dan aroma
Musim panas melayang di atas Rusia
Dengan malasnya burung itu terbang sayapnya mengibaskan angin agak dingin daun-daun beriozka jadi berganti warna burung raksasa tiba di atas kutub utara dia berkaca sekilas di laut terus melayang ke bagian bumi yang lain seraya membagi-bagikan angin yang agak dingin
Musim gugur telah turun di Rusia.
1970
Trem Berklenengan
di Kota San Francisco
Pagimu yang cerah, San Francisco, sampai padaku di atas bukit itu,
lautmu bagai bubur agar-agar, uap air di langitmu mencecerkan serbuk kabut
seperti tepung nilon dan terjela-jela sepanjang jembatan raksasamu tepat
seperti kartu pos bergambar yang pernah kubeli di kedai Hindustan duapuluh
empat tahun yang silam di Geylang Road ketika aku masih bercelana pendek dan
asyik menghafalkan nama-nama hebat dengan huruf-huruf c, v, x, dan y pada
pelajaran ilmu bumi di Sekolah Rakyat partikelir.
Matahari terlalu gembira menyinari bukit-bukitmu. Bukit-bukit yang ditumbuhi rumah-rumah Eropah, Meksiko, Habsyi dan Cina, bercat putih beratap merah tua dengan bunga-bungaan yang mekar karena persekutuan akrab dengan musim semi bagai tak kunjung habisnya. Debu segan padamu. Kotoran mekanika dan asam arang kauserahkan sepenuhnya pada Los Angeles si buruk muka. Dia cemburu padamu.
Pasar buah dan rempah-rempah. Trem berklenengan dan meluncur gila pada penurunan bukit-bukit sama-kaki yang sempit. Sebuah peti cat meledak di udara dan warna-warna pun dibagi-bagi pada deretan bangunan dinding trem kota, tulang jembatan, atap, pintu dan jendela. Angin mengeringkannya dan mengaduknya dengan aroma daun-daun perladangan jeruk serta uap perairan dermaga lalu dikibas-kibaskan oleh sayap kawanan burung camar mengatasi muara lautan.
Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percintaan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh pelukis-pelukis kubistis. Emas yang diburu-buru abad yang lalu dilambangkan dalam cahaya natrium, amat geometris, lewat tingkap-tingkap dan pipa-pipa kaca, simetris dan tidak simetris. Kapal-kapal angkat jangkar.
Di ujung meja panjang terbuat dari kayu mahoni pada suatu bar dekat Market Street seorang tua berambut putih berkumis putih berjanggut putih duduk di atas kursi plastik yang bentuknya seperti bom waktu. “Aku tidak dengar Amerika menyanyi lagi” ujarnya. Pelayan bar memberinya segelas bir.
Amerika tidak menyanyi lagi.
Amerika mengerang.
Di atas bar kayu mahoni berlapis formika hampir biru muda, padang-padang Texas dilipat ke tengah, New York berhamburan ke dalam Grand Canyon, Niagara mengental, California tergulung-gulung. Walt Whitman memeras Amerika bagai sehelai karbon bekas, dan si tua itu menuangkan bir Milwaukee berbusa ke atasnya.
Amerika mengeluarkan bunyi kerupuk kentang kering.
Yang dikunyah lambat-lambat.
Camar-camar teluk San Francisco melayang di atas kedai-kedai bunga tulip, menelisik jaringan kawat trem-trem yang berkenengan dan buang air tepat di atas kantor asuransi.
Selamat jalan c
Selamat jalan v
Selamat
jalan x
Selamat jalan y
Selamat jalan.
1972
Seorang Kuli Tua
di Setasiun Yokohama
Seorang kuli tua di setasiun Yokohama
Ketika ekspres tengah hari masuk dari
ibukota
Berdiri agak terbungkuk di depan
peron
Handuk kecil di lehernya
Beratus penumpang turun sepanjang ruangan
Beratus penumpang turun sepanjang ruangan
Menari dalam kilau jendela kereta
Ia pun menjamah koporku setelah
menatapku
Agak lama
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Udara sangat lembab dan angin tak
bertiup
Menyeka dahi ditolaknya lembaran uang
‘Aku dulu di Semarang’
Dengan hormat diucapkannya selamat jalan
Dengan hormat diucapkannya selamat jalan
Ia pun kembali ke setasiun berbata-bata
Berkaus dan bersepatu putih
Tiba-tiba wajahnya sangat tua
Di kapal kenapa kuingat kakak sepupuku
Di kapal kenapa kuingat kakak sepupuku
Opsir Peta di Jatingaleh berlucut
senjata
Terbunuh dalam pertempuran lima hari
Dua belas tahun yang lalu
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Ketika ekspres tengah hari masuk dari
ibukota
Seorang kuli di setasiun Yokohama
Tiba-tiba wajahnya sangat tua.
1963
Pengkhianatan
Siapa lagi sekarang akan
ditangkap. Menanti
Mungkin sebentar lagi mereka akan datang
mengetuk pintu
Mendorong masuk dan menjerembabkan
nasib
Di ambang waktu. Dengan berbagai
tuduhan
Barangkali agen mereka ada di antara
kita
Dengan pestol Browning di pinggang
dalam
Kita tak pernah pasti tahu
Mengapa engkau pucat sekali?
Intip cermin di atas lemari
Di luar angin pepohonan damar masih
berseru
Atau jip-kah itu yang menderu?
Cek sekali lagi: sudahkah semua dokumen
dibakar
Bersihkan sisa abu di lubang kloset
Granat dan sten di dinding-papan
Hapalkan nama-nama palsu kalian
Sudjono! Hentikan goyangan kakimu
Merokoklah. Merokok di kolong kalau tak
tahan
Udara terlalu pekap di sini, dalam
temaram
Kita makin berpeluh tapi jari kenapa
menggigil
Udara panas bergetah dengan bau ikan
sardin
Seorang bangkit pelan, mengintip di balik
gorden
Tiba-tiba aku berteriak, melolong-lolong
Tjok dan Momo menerkamku tak berbunyi
Dan menyumbat mulutku
Aku berontak, lepas dalam geliat liar
Tapi badan mereka bagai sapi Bali
Lenganku dikunci mereka ke
punggung. Badanku
Dibengkok-busurkan
Keluh serak dari mulutku
‘Lepaskan dia. Dan kau diam’
Kata Budi
‘Kau terlalu tegang’
Diapun menuding ke sudut kamar
Aku terhuyung ke sana, dua langkah
Dan tiga langkah surut kembali
Dalam gerakan terpincang, kataku serak:
‘Budi, aku telah berkhianat’
Seluruh kamar tegang dan pekat
Halilintar meledak dalam ruangan
Mata mereka nanap, duka perjuangan semakin berat
Angin pepohonan damar menebas tajam bagai kelewang
‘Budi, aku sudah berkhianat’
Kata Budi
‘Kau terlalu tegang’
Diapun menuding ke sudut kamar
Aku terhuyung ke sana, dua langkah
Dan tiga langkah surut kembali
Dalam gerakan terpincang, kataku serak:
‘Budi, aku telah berkhianat’
Seluruh kamar tegang dan pekat
Halilintar meledak dalam ruangan
Mata mereka nanap, duka perjuangan semakin berat
Angin pepohonan damar menebas tajam bagai kelewang
‘Budi, aku sudah berkhianat’
Aku melihat berkeliling. Mereka diam aneh
Lenganku mula mengulur, lalu bergantungan
Dengan gelisah aku berputar melihat
kawan-kawan
Mataku merah dan liar serigala
Meneriakkan ‘Aku pengkhianat!’
Dan aku tersedu, tertengkurap di tengah
kamar
Mereka semua diam. Sudjono mematikan
rokoknya
Aku menangis seperti anak lima tahun
Yang kehilangan baling-baling kertasnya
‘Tembaklah aku. Mereka sudah tahu
semuanya
Sebentar lagi mereka datang
Aku tak tahan Budi, tembaklah aku di sini’
Budi memberi tanda. Senjata-senjata dibongkar dari dinding
Dengan perkasa mereka siap berangkat dalam formasi rahasia
Mereka akan menyelinap lewat gang belakang
Sepanjang urat-urat kota memperjuangkan kemerdekaan
Di sela rapatnya rumah-rumah, meneruskan gerakan di bawah tanah
Budi melucuti belatiku dan pada Momo memberi perintah
Menggamit Tjok dan Maliki dengan tangan
perunggu
Perlahan yang lain berangkat
satu-satu
Setiap orang memerlukan menoleh padaku
sebentar
Di lantai, aku menekuri jubin sebelah
meja
Dan Momo yang akan menjalankan perintah
komandan
Berdiri dengan belatiku telanjang di
tangan.
1963
Tentang Sersan Nurcholis
Seorang sersan
Kakinya hilang
Sepuluh tahun yang lalu
Setiap siang
Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji
Sekali datang
Sekali datang
Teman-temannya
Sudah orang resmi
Dengan senyum ditolaknya
Dengan senyum ditolaknya
Kartu-anggota
Bekas pejuang
Sersan Nurcholis
Sersan Nurcholis
Kakinya hilang
Di zaman revolusi
Setiap siang
Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji
1958
1946: Larut Malam
Suara Sebuah Truk
Sebuah truk laskar menderu
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
‘Sudah Bebas Negeri Kita’
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun, terjaga:
‘Ibu, akan pulangkah bapa,
Dan membawakan pestol buat saya?’
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
‘Sudah Bebas Negeri Kita’
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun, terjaga:
‘Ibu, akan pulangkah bapa,
Dan membawakan pestol buat saya?’
1963
Tentang Taufiq Ismail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar