Data
buku kumpulan puisi
Judul : Arsitektur Hujan, Empat Kumpulan Sajak Afrizal
Malna
Penulis : Afrizal Malna
Cetakan : I, November 1995
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Tebal : xiii + 98 halaman (53 puisi)
ISBN : 979-8793-06-4
Disain cover : Erik Prasetya, berdasarkan Instalasi dari
Agus Suwage
Beberapa pilihan puisi Afrizal Malna
dalam Arsitektur Hujan
Chanel OO
Permisi,
saya sedang bunuh diri sebentar,
Bunga dan bensin di halaman
Teruslah mengaji,
dalam televisi berwarna itu,
dada.
1983
Kebiasaan Kecil Makan Coklat
“Aku tak suka kakimu berbunyi.”
“Ini coklat, seperti cintaku padamu.”
James Saunders membuat drama dari kereta dan permen coklat di situ, menyusun persahabatan dari
orang-orang yang tak bisa saling menemani: Kita adalah kegugupan bersama, sejak
berusaha mencari arti lewat permen coklat, dan kutu pada lipatan baju. Jangan
menyusun flu di situ, seperti menyusun jendela kereta dari dialog-dialog Romeo.
Tetapi Suyatna ingin menemani sebuah dunia, sebuah pentas, dengan dekor dan
baju-baju, pita- pita pada jalinan rambut sebahu.
Tak ada stasiun kereta pada kerut keningmu, seperti kegelisahan membuat
pesta di malam hari. Lihat di luar sana, orang masih percaya pada semacam
kebahagiaan, seperti memasukkan seni
peran dalam tas koper. Tetapi kenapa kau tinggalkan dirimu dalam toilet.
Jangan ledakkan sapu tanganmu, dari kebiasaan
kecil seperti itu.
Aih, biarlah kaki itu terus berbunyi, makan coklat terus berlalu, kutu-kutu
di baju, cinta yang penuh kegugupan ditonton orang. Tetapi jangan simpan terus
ia di situ, seperti dewa-dewa berdebu dalam koper, berusaha memberi arti dengan
mengisap permen gula.
Ini coklat untukmu.
Jangan mengenang diri seperti itu.
1994
Warisan
Kita
Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku,
gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, geretan gasku. Bicara lagi
cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto
keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku.
Bicara lagi suara nenek-moyangku, linggisku, kambingku, kitab-kitabku,
piring makanku, pompa airku, paluku, paculku, gudangku, sangkar burungku,
sepedaku, bunga-bungaku, talang airku, ranjang tidurku. Bicara lagi kerbauku,
lampu senterku, para kerabat-tetanggaku, guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku,
sandal jepitku, penyerut kayuku, ani-aniku.
Bicara lagi kursi tamuku, penggorenganku, tembakauku, pe-numbuk padiku,
selimutku, baju dinginku, panci masakku, to-
piku. Bicara lagi kucing-kucingku... pisau
1989
Masyarakat
Rosa
Dari manakah aku belajar jadi seseorang yang tidak aku kenal, seperti
belajar menyimpan diri sendiri. Dan seperti usiamu kini, mereka mulai mengira
dan meyakini orang banyak, bahwa aku bernama Rosa.
Tetapi Rosa hanyalah penyanyi dangdut, yang menghisap keyakinan baru
setelah memiliki kartu nama. Di situ Rosa menjelma, dimiliki setiap orang.
Mahluk baru itu kian membesar jadi se-
jumlah pabrik, hotel, dan lintasan kabel-kabel telpon. Rosa membuat aku
menggigil saat mendendangkan sebuah lagu, menghisap siapa pun yang
mendengarnya. Rosa membesar jadi sebuah dunia, seperti Rosa mengecil jadi
dirimu.
Ayahku bernama Rosa pula, ibuku bernama Rosa pula, seperti para kekasihku
pula bernama Rosa. Mereka memanggilku pula sebagai Rosa, seperti memanggil diri
dan anak-anak mereka. Dan aku beli
diriku setiap saat, agar aku jadi seseorang yang selalu baru.
Rosa berhembus dari gaun biru dan rambut basah, dari bibir yang memahami
setiap kata, lalu menyebarkan berlembar-lembar cermin jadi Rosa. Tetapi
jari-jemarinya kemudian basah dan membiru, ketika menggenggam mikropon yang
menghisap dirinya. Di depan layar televisi, ia menggenang: “Itu adalah Rosa,
seperti menyerupai diriku.” Gelombang Rosa berhembus, turun seperti
pecahan-pecahan kaca. Rosa menjelma jadi lelaki di situ, seperti perempuan yang
menjelma jadi Rosa.
Rosa, tontonlah aku. Rosa tidak akan pernah ada tanpa kamera dan fotocopy. Tetapi kemudian Rosa berbicara
mengenai kemanusiaan, nasionalisme, keadilan dan kemakmuran, seperti me- nyebut
nama-nama jalan dari sebuah kota yang telah melahirkannya. Semua nama-nama jalan
itu, kini telah bernama Rosa pula.
Hujan kemudian turun bersama Rosa, mengucuri tubuh sendiri. Orang-orang
bernama Rosa, menepi saling memperbanyak diri. Mereka bertatapan: Rosa ...
dunia wanita dan lelaki itu, mengenakan
kacamata hitam. Mereka mengunyah permen
karet, turun dari layar-layar film, dan bernyanyi: seperti lagu, yang
menyimpan suaramu dalam mikropon pecah itu.
1989
Lembu
yang Berjalan
Aku bersalaman. Burung berita telah terbang memeluk sayapnya sendiri. Kota
telah pergi jauh sampai ke senja. Aku bersalaman. Matahari yang bukan lagi
pusat, waktu yang bukan lagi hitungan. Angin telah pergi, tidak lagi ucapkan
kotamu, tak lagi ucapkan namamu. Aku bersalaman. Mengecup pesawat TV sendiri...
tak ada lagi, berita manusia.
1984
Mitos-mitos
Kecemasan
Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi kenangan tersendiri di
hati kami, yang akan kembali membuat cerita, saat- saat kami kesepian. Kami
telah belajar membaca dan menulis di
situ. Tetapi kami sering mengalami kebutaan, saat merambahi hari-hari gelap
gulita. Lalu kami berdoa, seluruh kerbau bergoyang menggetarkan tanah ini.
burung-burung beterbangan memburu langit, mengarak gunung-gunung keliling kota.
Negeri kami menunggu hotel-hotel bergerak membelah waktu, mengucap diri
dengan bahasa asing. O, impian yang sedang membagi diri dengan daerah-daerah
tak dikenal, siapakah pengusaha besar
yang memborong tanah ini. Kami ingin tahu di mana anak-anak kami dilebur jadi
bensin. Jalan-jalan bergetar, membuat kota-kota baru sepanjang hari.
Radio menyampaikan suara-suara ganjil di situ, dari kecemasan menggenang,
seperti tak ada, yang bisa disapa lagi esok pagi.
1985
Migrasi
dari Kamar Mandi
Kita lihat Sartre malam itu, lewat Pintu
Tertutup: menawarkan manusia mati dalam sejarah orang lain. Tetapi
wajah-wajah Dunia Ketiga yang memerankannya, masih merasa heran dengan ke-
matian dalam pikiran: “Neraka adalah orang-orang lain.” Tak ada yang memberi
tahu di situ, bagaimana masa lalu berjalan, memposisikan mereka di sudut sana.
Lalu aku kutip butir-butir kacang dari atas pangkuanmu: Mereka telah melebihi
diriku sendiri.
Wajahmu penuh cerita malam itu, menyempatkan aku mengingat juga: sebuah
revolusi setelah hari-hari kemerdekaan, di Peka- longan, Tegal, Brebes; yang mengubah tatanan
lama dari tebu, udang dan batik. Kita minum orange
juice tanpa masa lalu di situ, di bawah tatapan Sartre yang menurunkan
kapak, rantai penyiksa, alat-alat pembakar bahasa. Tetapi mikropon meraihku,
mengumumkan migrasi berbahaya, dari kamar mandi ke jalan-jalan tak terduga.
Di Ciledug, Sidoarjo, Denpasar, orang-orang berbenah meninggallkan dirinya
sendiri. Migrasi telah kehilangan waktu, kekasihku. Dan aku sibuk mencari lenganmu
di situ, dari rotasi-rotasi yang hilang, dari sebuah puisi, yang mengirim kamar
mandi ke dalam sejarah orang lain.
1993
Gadis
Kita
O gadisku ke mana gadisku. Kau telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau
pergi ke kota parfum gadisku. Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku. Tubuhmu
keramaian pasar gadisku. Ja- ngan buat
pantai sepanjang bibirmu merah gadisku. Nanti engkau dibawa laut, nanti engkau
dibawa sabun. Jangan tempel tanda-tanda jalan pada lalulintas dadamu gadisku.
Nanti polisi marah. Nanti polisi marah. Nanti kucing menggigit kuning pita
rambutmu. Jangan mau tubuhmu adalah plastik warna-warni gadisku. Tubuhmu madu,
tubuhmu candu. Nanti kita semua tidak punya tuhan, nanti kita semua dibawa
hantu gadisku. Kita semua cinta padamu. Kita semua cinta padamu. Jangan terbang
terlalu jauh ke pita-pita rambutmu gadisku, ke renda-renda bajumu, ke nyaring
bunyi sepatumu. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.
1985
Buku
Harian dari Gurindam Duabelas
Kau telah ambil lenganku dari sungai Siak, sebelum Raja Ali Haji berkata: Bismillah permulaan kalam.” Dan kapal-kapal bergerak membawa Islam,
membawa para nabi, sutra, barang-barang elektronik juga. Tetapi seseorang
mencarimu hingga Piz Gloria, kubah-kubah putih yang mengirimku hingga Senggigi.
150 tahun kematian Friedrich Holderlin, jadi penyair lagi di situ, hanya untuk menjaga cinta. Gerimis
membawa kota-kota lain lagi, tanaman palma dan kenangan di jendela: Siti
berlari-lari, menyapu halaman jadi buah mangga, apel, dan kecapi juga.
Kini dia bukan lagi kisah batu-batu, pelarian tempo dulu, atau seorang biu mengajar menyapu. Kini setiap
tubhnya membaca Gurindam Duabelas, mengirim buku harian, untuk masa silam seluruh unggas. Kita saling mencari, di
antara pikiran yang dicurigai, lebih dari letusan, menumbangkan sebuah bahasa
di malam hari. “Puan-puan dan Tuan-tuan,” kata Siti,”aku melayu dari Pejanggi.”
... Dan sungai Siak jadi sepi, jadi lebih dalam lagi dari Gurindam Duabelas.
Lenganmu, membuat bahasa lain lagi di situ; untuk orang-orang di pelabuhan,
menjual beras, sayuran, radio, ikan-ikan juga. Dan aku berlari-lari. Ada rumah
di situ, setelah jalan berkelok.Ini untukmu, bahasa dari letusan itu, penuh
suaramu melulu.
1993
Asia
Membaca
Matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya. Tapi kami masih hadapi
langit yang sama, tanah yang sama. Asia. Setelah dewa-dewa pergi, jadi batu
dalam pesawat-pesawat TV; setelah waktu-waktu yang menghancurkan, dan cerita
lama memanggili lagi dari negeri lain,
setiap kata jadi berbau bensin di situ. Dan kami terurai lagi lewat baju-baju
lain. Asia. Kapal-kapal membuka pasar,
mengganti naga dan lembu dengan minyak bumi. Membawa kami ke depan telpon
berdering.
Di situ kami meranggas, dalam taruhan berbagai kekuatan.Mengantar pembisuan
jadi jalan-jalan di malam hari. Asia. Lalu kami masuki dekor-dekor baru,
bendera-bendera baru, cinta yang lain
lagi, mendapatkan hari yang melebihi waktu: Membaca yang tak boleh
dibaca, menulis yang tak boleh ditulis.
Tanah berkaca-kaca di situ, mencium bau manusia, menyimpan kami dari segala
jaman. Asia. Kami pahami lagi debur laut, tempat para leluhur mengirim
burung-burung, mencipta kata. Asia hanya ditemui, seperti malam-malam mencari
segumpal tanah yang hilang: Tempat
bahasa dilahirkan.
Asia.
1985
Tentang Afrizal Malna
Afrizal Malna lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Sejak
menamatkan SLA pada tahun 1976, Afrizal Malna tidak melanjutkan sekolah. Pada tahun 1981, ia belajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta, sebagai mahasiswa khusus hingga pertengahan dikeluarkan pada tahun 1983. Pada usia 27
tahun, Afrizal Malna menikah. Selama kurang lebih sepuluh tahun ia pernah
bekerja di perusahaan kontraktor bangunan, ekspedisi muatan kapal laut, dan
asuransi jiwa. Sekarang lebih banyak berkiprah di bidang seni, sebagai
sutradara pertunjukan seni, kurator seni instalasi, penyair dan penulis.
Bukunya antara lain: Abad Yang Berlari
(1984), Perdebatan Sastra kontekstual (1986), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Kalung Dari Teman (1998), Sesuatu Indonesia, Esei-esei dari
pembaca yang tak bersih (2000), Seperti
Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia, kumpulan prosa (2003), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003),
Novel Yang Malas Menceritakan Manusia
(2004), Lubang dari Separuh Langit
(2005). Penghargaan yang pernah diterima: Kincir Perunggu untuk naskah monolog
dari Radio Nederland Wereldomroep (1981), Republika Award untuk esei dalam
Senimania Republika, harian Republika (1994), Esei majalah Sastra Horison
(1997), Dewan Kesenian Jakarta (1984).
Hal Lain
Buku Arsitektur Hujan, yang
diimbuhi dengan Empat kumpulan sajak Afrizal Malna ini, seperti dikabarkan di
halaman terakhir, “merupakan koleksi dari kerja kepenyairan Afrizal yang ketat
terhadap empat kumpulan puisinya. Sebagian pernah terbit, dan mengalami banyak
revisi. Inilah puisi-puisi yang dihasilkannya selama hampir 15 tahun.” Ya,
kumpulan itu meliputi Narasi dari
Semangka dan Sepatu (25 puisi), Yang
Berdiam dalam Mikropon (11 puisi), Mitos-mitos
Kecemasan (12 puisi), dan Membaca
Kembali Dada (5 puisi). Yang unik dari buku kumpulan puisi ini, yang belum
saya temukan di buku puisi yang lain, adalah adanya indeks puisi. Kalau daftar baris pertama puisi sudah ada beberapa
yang saya temui. Indeks Puisi Afrizal memakan halaman dari 67 sd 96, jadi ada
sekitar 30 halaman tersendiri. Contoh, kata Belajar ada di halaman 3, 12, 16,
34, 49, 50, 56, 61 atau kata Angin ada di halaman 20, 48, 64, 65.
Mayoritas puisi dalam
kumpulan ini menggunakan pola tulis rata kiri-kanan. Dari 53 puisi itu, hanya
dua yang tidak, yaitu puisi Dia Hanya
Dada (hlm. 61) dan Chanel OO
(hlm. 63). Saya juga baru ngeh, kalau
ada satu puisinya yang tenggelam di alam bawah sadar saya. Sewaktu kuliah di
Jogja, saya antara sadar dan tidak, antara tidur dan terjaga, pernah mendengar
sebuah puisi dibahas dan dibacakan lewat radio kecil saya. Puisi itu berkata: Bicara lagi kambingku, pisauku,
ladangku,....dst. Tak tahu saya siapa penulisnya, apalagi judulnya, namun
puisi itu terus membekas di benak saya. Bertahun-tahun saya mengira itu puisi
Taufik Ismail, karena kesederhanaannya. Ternyata milik orang ini.
Menghadirkan puisi
Afrizal, bagi saya pribadi, tergolong yang paling berat. Saya didera, semacam
lengan yang dikasih pemberat, hingga butuh tenaga ekstra untuk untuk
menuliskannya lagi. Metafor-metafor yang berloncatan, gerumbulan kata yang
secara visual penuh memenuhi halaman buku: saya seperti kurang leluasa
bernafas. Tapi itulah puisi. Ia begitu mempermainkan penyair dan pembacanya
sekaligus. Hehe.
Tema puisi Afrizal Malna yang menonjol adalah
pelukisan dunia modern dan kehidupan urban, serta objek material dari
lingkungan tersebut. Korespondensi objek-objek itulah yang menciptakan nuansa
dan gaya puitiknya. Demikian Wikipedia Indonesia mengutip dari buku Barbara Hatley. ”Nation,
‘Tradition’, and Constructions of the Feminine in Modern Indonesian Literature,”
pada Imagining Indonesia, ed. J. Schiller and B. Martin Schiller, hlm 93, (yang
ternyata juga) dikutip dari Aveling, Harry. Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi
Indonesia 1966-1998 (diterjemahkan dari Secrets Need Words, Indonesian Poetry
1966-1998 oleh Wikan Satriati), IndonesiaTera, 2003.
Buku ini dibeli oleh
Almarhum Eza Thabry Husano pada 27 Juli 1996 di Gramedia dengan harga Rp.
7.550,- Dan bulan Juli tahun 2012, 16 tahun kemudian, saya mengusiknya dari rak
buku untuk dihadirkan di sini. Ini kesempatan pertama saya membolak-balik dan
membaca buku puisi Afrizal, di rumah saya hanya punya kumpulan esainya: Sesuatu Indonesia. Jadi apalagi selain,
selamat menikmati.
Oya, saya juga kesulitan mengaplikasikan margin kiri kanan sebagaimana di buku. Akhirnya pemotongan/pemenggalan baris puisi tidak sama dengan di buku, jadi hanya demi mengambil praktis dan pokoknya saja: yaitu puisi yang menolak bait dengan penulisan yang rata kiri-kanan.
Oya, saya juga kesulitan mengaplikasikan margin kiri kanan sebagaimana di buku. Akhirnya pemotongan/pemenggalan baris puisi tidak sama dengan di buku, jadi hanya demi mengambil praktis dan pokoknya saja: yaitu puisi yang menolak bait dengan penulisan yang rata kiri-kanan.
terima kasih atas informasinya, untuk menambah koleksi buku-buku sastra kunjungi web kami di www.golekbuku.wordpress.com
BalasHapusDan memang kita sengal nafas membacanya. Pikiran dipaksa buntu namun ada magis yang menyerang untuk membacanya. Saya ada di rahim ibu tak ada anjing. Sampai hari ini masih sengal nyaris engga bisa nafas membacanya.
BalasHapusterima kasih banyak kak. dengan usaha kakak ini, saya bisa mempelajari dan menikmati puisi puisi legendaris yang bukunya agak sulit dicari sekarang ini :)
BalasHapus