Data
buku kumpulan puisi
Judul : Tiga
Menguak Takdir
Penulis : Chairil
Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani
Penerbit : PT
Balai Pustaka (Persero), Jakarta
Cetakan : III, 2010 (Cet. I: 1950)
Dicetak oleh : PT Temprina Media Grafika
Penyunting : Tim editor Balai Pustaka
Penyelaras Bahasa : Denny & Mirza
Penata Letak : Liek Sakun
Desain sampul : Dimas Nurcahyo
Ilustrasi : Hartono
ISBN : 979-690-680-5
Seri BP No. 1758
Tebal : xx + 92 halaman (27 judul puisi)
Kata pengantar : Maman S. Mahayana
Tiga Menguak Takdir terdiri atas tiga bagian tak berjudul, secara
berurut, Chairil Anwar (10 judul
puisi), Rivai Apin (9 judul puisi),
dan Asrul Sani (8 judul puisi).
Beberapa pilihan puisi Asrul Sani dalam Tiga
Menguak Takdir
Surat dari Ibu
Pergi
ke dunia luas, anakku sayang
pergi
ke hidup bebas!
Selama
angin masih angin buritan
dan
matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam
rimba dan padang hijau.
Pergi
ke laut lepas, anakku sayang
pergi
ke alam bebas!
Selama
hari belum petang
dan
warna senja belum kemerah-merahan
menutup
pintu waktu lampau.
Jika
bayang telah pudar
dan
elang laut pulang ke sarang
angin
bertiup ke benua
Tiang-tiang
akan kering sendiri
dan
nakhoda sudah tak pedoman,
boleh
engkau datang padaku
Kembali
pulang, anakku sayang
kembali
ke balik malam!
Jika
kapalmu telah rapat ke tepi
Kita
akan bercerita
“Tentang
cinta dan hidupmu pagi hari.”
Elang Laut
Ada
elang laut terbang
senja
hari
antara
jingga dan merah
surya
hendak turun,
pergi
ke sarangnya.
Apakah
ia tahu juga,
bahwa
panggilan cinta
ada
ditahan kabut
yang
menguap pagi hari?
Bunyinya
menguak suram
lambat-lambat
mendekat,
ke atas runjam
karang
putih,
makin
nyata.
Sekali
ini jemu dan keringat
tiada
akan punya daya
tapi
topan tiada mau
dan
mengembus ke alam luas.
Jatuh
elang laut
ke
air biru, tenggelam
dan
tiada timbul lagi
Rumahnya
di gunung kelabu
akan
terus sunyi,
Satu-satu
akan jatuh membangkai
ke
bumi, bayi-bayi kecil tiada
bersuara.
Hanya
anjing,
malam
hari meraung menyalak bulan
yang
melengkung sunyi.
Suaranya
melandai
turun
ke pantai
Jika
segala
senyap
pula,
berkata
pemukat tua:
“Anjing
meratapi orang mati!”
Elang
laut telah
hilang
ke lunas kelam
topan
tiada bertanya
hendak
ke mana dia.
Dan
makhluk kecil
yang
membangkai di bawah
pohon
eru, tiada pula akan
berkata:
“Ibu
kami tiada pulang.”
Pengakuan
Akulah
musafir yang mencari Tuhan
Atas
runtuhan gedung dan dada yang remuk
Dalam
waktu tiada kenal berdiam dan samadi
Serta
kepercayaan pada cinta yang hilang bersama kabut pagi.
Akulah
yang telah berperi,
Tentang
kerinduan akan penyelesaian yang tamat,
Dari
manusia, dari dunia, dan dari Tuhan.
Ah,
bumi yang mati,
Lazuardi
yang kering.
Bagaimana
aku masih dapat,
Menyayangkan
air mata berlinang dari kembang kerenyam yang kering,
Sedang
kota-kota dan rumah-rumah bambu lebih rendah dari wajah lautan.
Satu-satu
masih terbayang antara pelupuk mata telah hampir terkatup,
Karena
murtad, karena tiada percaya
Karena
lelah, karena tiada punya ingatan,
Suatu
lukisan dari deru air berlayar atas lunas berganti-ganti bentuk
Dari
suatu lembah gelap dan suram
Menguapkan
kabut mati dari suatu kerahasiaan,
Tuhan
yang berkata.
Akulah
musafir yang mencari Tuhan,
Dalam
negeri batu retak,
Lalang
dan api yang siap bertemu.
Suatu
kisah sedih dari sandiwara yang lucu,
Dari
seorang pencari rupa,
Dari
rupa yang tiada lagi dikenalinya.
Perawan
ringan, perawan riang
Berlagulah
dalam kebayangan
Berupa
warena
Berupa
wareni,
Dan
berlupalah sebentar akan kehabisan umur.
Marilah
bermain.
Marilah
berjalin tangan,
Jangan
ingat segala yang sedih,
Biarkanlah
lampu-lampu kelip
Lebih
samar dari sinar surya senja.
Kita
akan bermain,
Dan
tidur pulas, sampai
Datang
lagi godaan:
“Akulah
musafir yang mencari Tuhan.”
Bogor, 22 Pebruari 1949
Perhitungan Habis Tahun
Semalam
aku telah bercinta pula,
Kepada
engkau yang datang dengan kereta senja
Dan
pulang berkereta pagi,
Serta
aku ingat bagaimana aku pulang
Seperti
pelancung larut yang puas dahaga.
Malam
hujan,
Serta
engkau menangis
Dan
tanganku kaku, hanya hati masih berdebar
Dan
namamu yang berdiam di bibirku
Mengapa,
Ah,
ini ialah suatu rahasia
Dari
pelaut lagi mencari pelabuhan-darurat
Sekali
ada disambut oleh Suki dan Rani pada teluk terbuka.
Tetapi
mengapa
Akan
jadi rahsia, sedangkan pendeta-pendeta pun.
Terpaksa
berhenti berdoa karena mata yang hidup
Dan
gelak melepaskan kita dari
Kertas
dan bisa tinta, serta sajak-sajak tua
Yang
berlagu kesedihan.
Tidak
perlu ini akhir kelampauan kita ramaikan
Seperti
kebesaran Darius di atas rata
Dan
besok akan mati.
Kita
diamkan saja, seperti suatu janji
Antara
engkau dan daku.
Nanti
jika ada sedih kita berdekapan dada sendiri
Berapa
lamalah sejarah kita baru selesai,
Seperti
katamu, aku telah bengkok dan dada penuh racun.
Semuanya
ini perhitungan lurus akhir-tahun
Bagi
engkau yang suka baca syair.
Apa
yang akan tiba tentu nanti kita sambut,
Serta
kekecilan kita maki dengan persetan
Untuk
suatu pertarungan yang luas.
Suruh
waktu datang!
Nanti
aku datang.
Engkau
yang datang dengan kereta senja
Dan
pergi dengan kereta pagi.
Ini
hanya pengakuan sementara.
Apa
yang akan terjadi besok hari
Bahkan
rasul pun tiada tahu.
Carilah
aku,
Carilah
aku,
Aku
ada di pelabuhan.
Sekali-sekali
kita bertukar,
Dan
engkau boleh pulang seperti pelancung larut lepas dahaga.
Bogor, 1949
Elegi Jakarta, II
Ia
yang hendak mencipta,
menciptalah
atas bumi ini.
Ia
yang akan tewas,
tewaslah
karena kehidupan.
Kita
yang mau mencipta dan akan tewas
akan
berlaku untuk ini dengan cinta,
dan
akan jatuh seperti permata mahkota
berderai
sebutir demi sebutir.
Apa
juga nasib akan tiba.
Mesra
yang kita bawa, tiadalah
Kita
biarkan hilang karena isapan pasir.
Engkau
yang telah berani menyerukan,
Kebenaranmu
dari gunung dan keluasan
Sekali
masa akan ditimpa angin dan hujan.
Jika
suaramu hilang dan engkau mati,
Maka
kami akan berduka, dan akan
menghormat
bersama kekasih kami.
Kita
semua berdiri di belakang tapal,
Dari
suatu malam ramai,
Dari
suatu kegelapan tiada berkata,
Dari
waktu terlalu cepat dan kita mau tahan,
Dari
perceraian-tiada mungkin
Dari
sinar mata yang tiada terlupakan.
Serulah,
supaya kita ada dalam satu barisan,
Serulah,
supaya jangan ada yang sempat merindukan senja
Terik
yang keras tiada lagi akan sanggup
Mengeringkan
kembang kerenyam
Pepohonan
sekali lagi akan berdahan panjang
Dan
buah-buahan akan matang pada tahun yang akan datang.
Mungkin
engkau orang perang dan aku petualang,
Tetapi
suatu hari cinta telah dijanjikan.
Jika
bulan Juni telah pulang
Aku
akan membaca banyak pada waktu malam
Dan
mau kembali ke pantai Selatan jika kemarau telah datang
Laut
India akan melempar pasang
Bercerita
dari kembar cinta dan perceraian.
Aku
akan minta, supaya engkau
Berdiri
curam, atas puncak dibakar panas
Dan
sekali lagi berseru, akan pelajaran baru
Waktu
itu angin Juni akan bertambah tenang
Karena
bulan berangkat tua,
Kemarau
akan segan kepada bunga yang telah berkembang.
Di
sini telah datang suatu peranan
Serta
kita akan menderita dan tertawa
Tawa
dan derita dari
yang
tewas
yang
mencipta …
Beberapa pilihan puisi Rivai Apin dalam Tiga
Menguak Takdir
Elegi
Apa
yang bisa kami rasakan, tapi tak usah kami ucapkan
Apa
yang bisa kami pikirkan, tapi tak usah kami katakan
Janganlah
kau bersedih – dan mari kami lanjutkan
Kami
bawa ini kebenaran ke bintangnya dan ke buminya.
Kami
pun tahu, karena ada satu kata dari kau yang kami simpan
Satu
pandang dari tanah retak menggersang, lalu sedu menyesak dada
Ah,
kenangan padamu akan terus memburu,
menakutkan
seperti bayang di pondok seloyongan, bila pelita
telah dipasang
Tapi
penuh kasih seperti Bapa yang mengulurkan tangan
Dan
kau kembali, seperti di hari-hari dulu ketika kau dan ini
bumi masih mendegupkan hidup.
Kami
tak kan lupakan kau, ketika memburu dan ketika lari
–
karena apa yang kami buru dan apa yang kami lari
untuk
itu kau mau serahkan nyawa
Dan
kami yang menimbang jasamu
Pun
tahu, seperti kau pun tahu, bahwa tak ada Dewa atau
Tuhan lain lagi yang berharga untuk
dihidupi selain itu
Berhembusan
topan di padang tandus ini
Tapi
tapak kami yang tertanam di padang gersang, di mana kau
dalam terkubur
Melanjutkan
nyala, dan kami yang tegak berdiri di sini ialah api
Kita
tahankan hidup di ini malam, malam yang akan melahirkan siang
Kita
adalah anak-anak dari satu Bapa
Kita
adalah anak-anak dari satu Ibu
Dan
mati kita hanyalah soal waktu
Tapi
kita semua mempertahankan satu Tuhan.
Adik
yang akan datang. Kakak yang telah pergi
Kita
angkutlah tanah-tanah yang retak, ini tanah-tanah yang gersang.
Keberatan
beban, kesakitan bahu memikul, dan kepahitan hati
akan kekalahan
Akan
menyaratkan cinta pada kepercayaan yang kita peluk.
Kebebasan
Di
atas hancuran tembok yang kuruntuhkan
Berdiri
aku atas kuda putihku, gaya dan jaya
Di
hadapanku menghampar padang dan bukit
Dengan
lengkungan langit yang membuatku lapar ruangan.
Lalu
dadaku memberikan ruang
Bagi
jantung yang memukul berdentangan
Memancarkan
darah yang dia degap degupkan
Darah
kudaku pun ikut menjalang dan dia
berlonjak-lonjakan
oleh kekesalan
Lalu
kulepas dan kami menderu pacu ke pantai-pantai.
Melalui Siang Menembus Malam
I
Sebelum
gadis-gadis jadi remaja,
Sebelum
daun-daun akan menghijau dan bunga berwarna segar,
Di
sempit pinggiran, di mana batas hanya bisa dirasakan
–
dan dia tidak akan meleset, tapi harus jujur dalam pengakuan –
Air
mata akan menakik pipi
pikiran
akan membakar hati,
menjadikan
diri orang kering kurus sehabis nyala.
Musim
kemarau telah bangkitkan
dan
hembuskan dan sebarkan
napas
kering maut,
Kebenaran
kegembiraan dalam ledakan pertama
Dari
balik tembok-tembok sepanjang gang-gang
maut
mengintai tak kunjung putus
Manusia
hanyalah anak dari beberapa jam.
Anak
Manusia yang sekarang ini hanyalah tahu cita-cita yang patah,
burung-burung
yang kehabisan nyanyi.
Dan
hatinya, di padang kering, batu rengkah-rengkah digersangi harapan
Kini
dia telah pahit mulut
dadanya
berayutan, berat menarik ke dalam kubur.
II
Kebenaran
kegembiraan dalam ledakan pertama
Kebenaran
yang diakui hati
Tapi
dipatahkan pikiran, karena
dia
minta jaminan bagi kehidupan seperti manusia biasa.
Pahit
pertama yang menyebar dalam mulut
dan
menuba dada
Pengertian
inilah:
dia
telah mengaburkan batas
manusia
biasa dan manusia luar biasa
Kedua-dua
adalah anak-anak manusia
Yang
ditentukan oleh beberapa jam
“pada
pokok mula ialah perbuatan”
Kebenaran
yang diakui hati tapi dipatahkan pikiran
manusia
luar biasa minta jaminan bagi kehidupan;
Bagi
orang yang lari sebagai binatang buruan: manusia biasa
Datang
melecut pada luka-luka
dia
yang telah lari ke dalam gua-gua terakhir
karena
dia tidak mau jadi barang sewa.
III
Demi
cinta dan jujur
mari
kita berterus terang
Ini
hidup yang menghampar di hadapan kita
demikian
indah, demikian menarik, dan penuh goda
tapi
jalannya telah menuju ke ketakutan
dan
setan-setan di pinggiran jalan
bersorak-sorak
menganjurkan.
Arus
yang telah diikutkan
membuat
lupa dan kemegahan
membuktikan
ketakutan…
Adakah
suatu kemegahan itu bumi
Adakah
suatu kemegahan itu dasar
Kemegahan
yang telah dihantui oleh ketakutan dan penyesalan,
tapi
tak hendak diakui?
IV
Carilah
penghabisan mimpi
Carilah
penghabisan nyanyi
Tapi
bagaimana? Kedua-dua tidak akan habis-habis
Kedua-dua
akan putus-putus
Mereka
kedua memang bisa,
memang
bisa, tapi bagaimana…
V
Di
mana akhir daerah akan terdapat
akhir
daerah, yang membuka kaki langit
Tidak
cukup kesepian, tidak cukup pembuangan
tidak
cukup ketahanan dan kekuatan menjejak dasar
Tidak
di atas tanah bumi, tidak di atas air laut
Dalam
ketika-antara di dalam jarak bumi dan laut
Dan
hirup udara dari dua rupa.
Bumi
yang punya rupa dan nama
menguapkan
awan sakal dan …
Di
perhentian lanjut
Menyadari
tempat dan ketika
Kemenangan
dan kekalahan
Membuat
pengakuan lalu pulang ke garis jalan,
Tujuan
yang dimulai bersumber hati
VI
Di
daerah tuju yang membuka kaki langit
di
daerah yang setiap waktu dimandi hujan,
Biar
di waktu siang atau di waktu malam.
Cari
waktu yang tepat
Cari
tempat yang wajar, dan ingat
Tidak
ada waktu dan tempat bagi dia yang dilahirkan cahaya
dan
hilang ditertawakan cahaya.
Dia
yang dilahirkan di tengah malam terbongkar
dengan
hutan rimba yang satu waktu patah-patah
dan
lain waktu jadi padang kering
Dia
akan hidup menuju pantai dan jadi penguasa
Karena
dia percaya:
Inilah
bumi, air , dan udara
Di
atas mana, di dalam mana, dan di antara mana
Anak
Manusia harus hidup.
Dia
perhitungkan segala hidup
Dia
buat perhitungan di tiap mati
Dia
hanya menggenggam nilai
Laut
kekalan yang tak kenal batas,
di
atas mana kapal, hidup berlayar
Dia
telah mandikan dirinya di dalam
biru,
kejujuran laut dengan badai dan kaca
mata
sumber segala yang hidup
kepundan
yang memancarkan segala tenaga
Dan
gadis dengan keindahan penuh sehabis badai,
Akan
keluar dari laut yang biru bening.
Tugu
Bila
rumah dan mimpi telah hancur
Jangan
kaukatakan:
Binatang-binatang
pada mati, semuanya keindahan pada redup
Dan
kau telah sendirian menghadapi kenyataan. Tapi ingat!
Ini
waktu akan punya tugu, berukirkan kata mula dan kata akhir
Jangan
ada yang pulang dengan darah dan air mata
Tapi
sirami bumi, semuanya ini akan bangunkan kegemilangan
Batu
kekalahan di atas batu kekalahan
Sekali
waktu nanti akan menugu
di
mana kita yang mengukir kemenangan
Dari Dua Dunia Belum Sudah
Pagi
ini aku dengar beritanya,
Aku
ke jalan
Orang-orang
jualan dan hendak pergi kerja menepi-nepi
Oto-oto
kencang, berat dengan serdadu-serdadu dan tank-tank
tak dapat digolakkan
Ada
yang meronda, berdua-dua dan bersenjata
Di
antaranya ruang lapan-lapan, tapi ada isi!
Semua
beku padu:
manusia
benda udara, tapi memperlihatkan harga
Aku
pergi ke teman-teman berbicara, isi mengendap ke kelam
Berita:
Jogja sudah jatuh, Maguwo… Karno
tertangkap
Hatta,
Sjahrir …
….
Kami
berbicara, menimbang dan melihat kemungkinan
Semua
dari satu kata dan untuk satu kata.
Senja
itu aku pulang, sarat dengan berita dan kemungkinan.
Di
rumahku aku disambut oleh keakuanku yang belum sudah:
buku
yang terbuka, yang belum dibaca dan buku yang harus
aku
sudahkan,
Tapi
untuk ini aku sudah tinggalkan Bapa dan Abang
Dan
baru pula teringat ini hari baru satu kali makan.
–
yang periuknya selalu terbuka – Dan aku sudahkan
keakuanku
di
dalam ruang kuburan yang digalikan oleh nyala pelita di
dalam
kegelapan.
Tapi
malam ini menghentam, sepatu lares pada dinding
kegelapan
yang tebal
Dan
ketika mereka telah pergi terdengar ratap perempuan,
bininya
atau ibunya.
Padaku
tak usah lagi diceritakan, bahwa ada yang dibawa
Aku
hanya bisa menekankan kepala pada papan meja,
Buncah
oleh itu kata yang belum punya bumi tapi telah mengejar
pula ke
dalam dunia yang belum sudah.
Beberapa pilihan puisi Chairil Anwar dalam Tiga
Menguak Takdir
Perjurit Jaga Malam
pro Bahar + Rivai
Waktu
jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu
Pemuda-pemuda
yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam,
Mimpinya
kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
ada
di sisiku selama kau menjaga daerah yang mati ini.
Aku
suka pada mereka yang berani hidup
aku
suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, berlucut debu…
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu.
Sajak Buat Basuki Resobowo
Adakah jauh perjalanan ini?
Cuma selenggang! – Coba kalau bisa lebih!
Lantas bagaimana?
Pada daun gugur tanya sendiri?
Dan sama lagu melembut jadi melodi!
Apa tinggal jadi tanda mata?
Lihat pada betina tidak lagi menengadah
Atau bayu sayu, bintang menghilang!
Lagi jalan ini berapa lama?
Boleh seabad… aduh sekerdip saja!
Perjalanan karna apa?
Tanya rumah asal yang bisu!
Keturunanku yang beku di situ!
Ada yang menggamit?
Ada yang kehilangan?
Ah! Jawab sendiri! – Aku terus gelandangan…
---------
[nb. Saya agak kesal sebenarnya, karena pada buku cetakan
kali ini, di puisi ini ada tiga kesalahan cetak yang mengganggu saya. Puisi ini
hampir saya hafal & kesalahan itu pun menjadikan puisi ini tidak padu, jadi
saya membuka buku “Aku ini Binatang Jalang (AiBJ)” yang dieditori oleh Pamusuk
Eneste: Dan jadilah puisi di atas. Kata yang salah itu adalah letih (baris 2; seharusnya lebih), bayi (baris 8; seharusnya bayu), baku (baris 13; seharusnya beku). Ada
juga hanya perbedaan kata, namun artinya sama saja, yaitu karena (baris 11; di AiBJ ditulis karna) dan terakhir di AiBJ ada
tanggal pembuatan, 28 Februari 1947, di TMT tak ada]
Yang Terempas dan yang Luput
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu.
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam hatiku jika kau datang,
Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu,
Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang.
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.
------
(nb.
Dulu saya bertanya-tanya ketika pertama kali membaca puisi ini, apa itu y.a.d?
Ternyata y.a.d itu yang akan datang)
Puisi Chairil Anwar lain di “Tiga
Menguak Takdir” ialah Catatan Tahun 1946,
Senja di Pelabuhan Kecil, Cintaku Jauh di Pulau, Sajak Putih, Krawang – Bekasi,
Cerita buat Dien Tamaela, dan
Derai-derai Cemara. Semuanya sudah pernah muncul di buku/postingan
sebelumnya.
Tentang Chairil Anwar
Chairil Anwar lahir 22 Juli 1922,
di Medan, Sumatera Utara. Terhenti sekolah di kelas 2 MULO (Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs), setingkat SMP sekarang. Orangtuanya bercerai. Chairil menikah
dengan Hapsah, 6 September 1946 di Karawang. Melahirkan Evawani Alissa.
Pernikahannya tak bertahan lama. Sempat bekerja sebaghai redaktur majalah Gema
Suasana, 1948. Mengidap penyakit paru-paru, Chairil meninggal 28 April 1949
dalam usia 26 tahun 9 bulan. Kumpulan sajaknya, Deru Campur Debu (1949), Kerikil
Tajam dan Yang Terempas dan yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, 1950).
Menerjemahkan karya Andre Gide, Pulanglah
Dia si Anak Hilang (1948) dan karya John Steinbeck, Kena Gempur (diterbitkan Balai Pustaka, 1951).
Tentang Rivai
Apin
Rivai Apin lahir di kota Padang
Panjang, Sumatra Barat, 30 Agustus 1927. Pernah menempuh pendidikan ilmu hukum
di Jakarta selama beberapa tahun. Pernah menjadi redaktur Nusantara, Gema
Nusantara, Zenith, Zaman Baru, dan Siasat. Pernah menjadi anggota Komite
Nasional Indonesia Pusat, DPRD DKI Jakarta, dan Pimpinan Pusat Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat) tahun 1959-1965. Menjadi tapol di Pulau Buru selama 14 tahun
dan baru bebas akhir tahun 1979. Harry Aveling mengumpulkan sajak Rivai Apin
yang tercecer dan menerbitkannya dengan judul Dari Dua Dunia yang Belum Sudah (Malaysia, 1972). Pernah membuat
skenario film berjudul Peristiwa di Gang
B (1995) yang tak kunjung difilmkan hingga wafatnya pada 29 April 1995.
Tentang Asrul
Sani
Asrul Sani lahir di Rao, daerah
yang berada di sebelah utara Sumatra Barat, 10 Juni 1926. Ayahnya seorang raja
yang bergelar “Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Sakti Rao
Mapat.” Setamat HIS di bukittinggi, ia melanjutkan ke sekolah teknik Koningin Wilhelmina School (KWS) di
jalan Budi Utomo, Jakarta. Namun minatnya tidak di situ. Ia terhenti dan balik
ke Bukittinggi. Tahun 1942, saat usia 16 tahun kembali ke Jakarta, memilih SMP
Taman Siswa. Tahun 1955 meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Perguruan
Tinggi Kedokteran Hewan, Bogor (sekarang Institut Pertanian Bogor). Tahun 1956,
tinggal satu tahun di Amerika mempelajari dramaturgi dan sinematografi di University of Southhern California. Di masa
revolusi pernah bergabung dengan Lasykar Rakyat, bergabung di pasukan 301 di
bawah komando Kolonel Zulkifli Lubis. Membuat skenario film, pertama atas
permintaan Usmar Ismail, dalam Long March.
Setelah itu film Pegawai Negeri, Lewat Jam Malam (dapat penghargaan dari
FFI I, 1955) dan Pagar Kawat Berduri.
Ia pun pernah juga menyutradarai beberapa film. Pernah menjabat Ketua Dewan
Kesenian Jakarta 1977-1987, Ketua Lembaga Seniman Kebudayaan Muslim (Lesbumi),
pengurus pusat Nahdatul Ulama, Anggota DPR-MPR 1966-1983. Karyanya: Mantera (sajak, 1965), Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat
(cerpen, 1972), Mahkamah (drama,
1988), Jenderal Nagabonar (Skenario
film, 1988) dan Surat-surat Kepercayaan
(esai, 1979). Juga menerjemahkan banyak karya sastrawan dunia, seperti William
Shakespeare, Dostoyevsky, Nicolai Gogol, Kawabata Yasunari, R. Tagore, Jean
Paul Sartre, Yukio Mishima, Antoine de St. Exsupery, Maria Dermount, dll. Asrul
Sani meninggal 11 Januari 2004 pada usia 76 tahun.
Catatan Lain
Buku ini, seperti tertulis di
buku, telah mengalami tiga kali cetak. Pertama tahun 1950, Kedua tahun 1958 dan
Ketiga tahun 2010. Di bagian awal, sebelum memasuki puisi, di cetakan terakhir
ini ada Kata Pengantar oleh Maman S.
Mahayana (hlm. v-vii), Pendahuluan,
dengan penanda nama oleh Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani (hlm. ix-x),
Surat Kepercayaan Gelanggang, (hlm. xi-xii), yang sebenarnya terbit di Majalah,
dan penanda waktu Djakarta, 18 Pebruari 1950, kemudian ada tulisan Denny
Prabowo dengan judul Menguak Takdir
Kemerdekaan (hlm. xiii-xvii), sebagai wakil Balai Pustaka, dengan penanda
waktu, 8 September 2010. Di antara semua itu, bagian yang asli tentu saja
bagian Pendahuluan. Di situ ada
disebutkan bahwa buku ini merupakan cita-cita bertiga penyair yang sudah satu
setengah tahun yang lalu dirancang. Jadi, katakanlah, jika buku terbit tahun
1950, maka dirancang sekitar tahun 1948 atau setahun sebelum Chairil meninggal
dunia. Biografi ketiga penyair pun mengalami perkembangan.
Keren puisinya.
BalasHapusbagus sekalii lopyu muach😘
BalasHapusBagus sekali
BalasHapusKeren puisinya
BalasHapusKeren puisinya
BalasHapus