Data buku kumpulan puisi
Judul : Bulan Selesma, Sajak-sajak Sepanjang
Jalan
Penulis : N. Syamsuddin Ch. Haesy
Cetakan : I, Agustus 2004
Penerbit : PT Bina Rena Pariwara, Jakarta
dan Pusat Studi Kebangsaan Nusa Sentra.
Tebal : vi + 118 halaman (45 puisi)
ISBN : 979-9056-86-1
Penyunting : Muhammad Haekal
Desain sampul dan grafis : Muhammad
Khairil
Pra cetak : Sukmara, Jaenuddin
Beberapa pilihan puisi N. Syamsuddin Ch. Haesy dalam Bulan Selesma
Surau
Sutan Muda
(kepada
Yos Sutan Iskandar)
Sutan
muda pulang kampung dendangkan lagu
kebimbangan:
“Luruihlah jalan Payakumbuah,
Babelok
jalan ka Biaro, dima lah hati in dak ka
rusuah,
awak ta kicuah. Oi oi ayam den lapeh.”
Di sudut
kota ini sutan bangun surau para sutan
muda.
Surau
mungil elok rupa. Ah... kutangkap
semangatmu:
Jeans
belel, kaos oblong, songko hitam,
selendang
sarung.
Di sini
kita mengulang kaji jalan republik.
Di sini
kita latih kembali jurus-jurus kumango
Di sini
kita olah daya olah fikir
‘tuk
dibawa lusa hari
ke lepau-lepau
sebelum tiba
waktu tiba di balai
Kuangkat
tanganku tinggi-tinggi
Kutebar
senyum penuh rasa hormat
Sutan
muda pulang kampung
Bangkitkan
lagi batang tarandam
Biarkan
anak-anak muda itu hidupkan lagi
surau.
Inilah
pusat kearifan
Tempat
ninik mamak anak kemenakan
berbincang
tentang arah jalan republik.
Surau
sutan muda surau kerinduan
Di sini
siapa boleh mengaji
Hingga
adat kembali bersendi sara’ biar sara’
tetap
bersendi kitabullah.
Semestinyalah
ninik mamak berbagi pengalaman
memilih
jalan lurus ke Payakumbuh.
Semestinyalah
anak kemenakan menyulam
syariat
mengkaji hakikat.
Berpijak
di bumi memadu dzikir dan fikir. Tak
perlu
menggantang asap.
Biar tak
bimbang hati. Biar tak gundah sukma.
Biar tak
lepas ayam di tangan.
(Payakumbuh,
2003)
Kangen
Mari
nyanyikan lagi tembang
da I
dang do
Seperti
dulu ibu nina bobokan kita
Di
pelukan lembah Takeungon.
Gerakkan
kepala ke kiri dan ke kanan
Ikuti
irama bocah di meunasah-meunasah
Dendangkan
hifzil kariim
Sebelum
tiba waktu membaca hikayat Perang Sabil
Di
meunasah tua keropos
di alaf
berganti
Dusun
sunyi Garot dalam pelukan Pidie yang senyap
Ayo
bersihkan sisa bercak darah di lusuh kain
batik ibumu
Sudah
terlalu lama kita tak duduk minum kopi
Sambil
bercerita tentang
masa kanak-kanak
Berlarian
sepanjang pantai
tepian selat
Malaka
Di bekas
gardu pabean.
Gumamkan
lagi desah swara hati
“Mate aneuk meupat jeurat.
Mate adeut tak pamita”
Mari
bergegas ke Lam No kawan. Bersuluk sunyi
di sisi
makam
Syeikh
Salahuddien. Padri arief jernih wajahnya
Lupakan
pasar dan keramaian perempuan cantik
bermata biru.
Lupakan berapa mayam emas
mesti ada
dalam genggaman.
Inong
menari dalam sunyi
Simpan
dulu rencong warisan Abu.
Panjangkan
dzikirmu dalam kembara fikir. Tak
rindu berbalas
kangen
K’tika
sunyi menyulam kenangan di sisa kain
pengikat
kepala
Aku
kangen…
(Banda
Aceh, 1 Januari 2004, 01.00)
Adzan itu
(kepada almarhum AH)
Masih kudengar suara adzan
dalam irama ringkih itu.
Sujudku hening.
Sajadah masjid Raya Baiturrahmaan
belum berganti harumnya.
Wewangian syuhada jaman silam.
Di sudut masjid ini kau ajarkan daku
menyelami
makna hadits Qudsy, sambil berbincang
tentang
ulama-ulama pecinta negeri bersimbah
darah
membela tano Aceh
di penghujung musim penghujan.
Masih kudengar suara adzan
dalam irama ringkih itu.
Jelang pergantian waktu di tahun penuh
makna.
Sudah terlalu lama kita tak lagi duduk
minum
kopi menghabiskan malam di bawah rembulan.
Berbincang tentang dentang Cakra Doniya
bangunkan kesadaran. Tinggalkan mimpi
panjang penuh dendam dan sakit hati.
Lebih dari
enam puluh purnama daku kehilangan
engkau.
Sekarang, di sela adzan yang masih tetap
ringkih.
Di sela tawa tertahan di antara mata
penuh
curiga. Ujung pena hanya mengukir aksara
berisi
gumaman tentang para ulee balang jaman
baru
memutar angka-angka yang bergerak cepat
penuh misteri. Seperti pusingan
baling-baling
helikopter dari Sovyet.
Di pinggiran makammu, cuma gumam do’a
yang
menggetarkan bibir. Tak lagi puisi-puisi
tentang
cinta. Di ruang keluarga tempat kita
bersila
membicarakan masa depan, yang kudapat
hanya
sunyi. Tak ada lagi kisah gerak irama
tarian
Rumy. Aku pun lupa bagaimana mengucapkan
do’a Rabiah yang pernah bunda ajarkan
dulu. Di
halaman pendopo tempat kita berbincang
sambil
berjalan selepas shubuh,
tak kucium lagi aroma wewangian
keikhlasan
mengabdi bagi tanah negeri tercinta.
Apa lagi yang dibincangkan orang-orang di
sini?
Adzan shubuh itu terdengar lagi.
Dari masjid Raya yang sama.
Iramanya masih seperti irama adzan yang
dulu.
Adzan ringkih penuh misteri.
Adzan sunyi.
Adzan pengharapan
dengan seruan yang sama.
(Banda
Aceh, 1 Januari ’04)
Surat Malam untuk Ibunda
(Aku terkapar di ruang apartemen sunyi. Tubuhku
menggigil.
Kurindukan belai tanganmu: Nen Hasienna, ibu
yang melahirkanku)
Ibu, telah kubaca lagi al Fathihah
berulang-
ulang, tapi masih saja aku si buta nan
tuli.
Segala pinta telah Tuhan berikan,
namun selalu saja terkhianati.
Jalan lurus telah Tuhan berikan
tapi selalu saja kuarahkan kemudi sesuka
hati,
hingga zigzag jalan kendara hidup
berkelok-
kelok. Sering aku terjungkal di selokan
tepian
shiratal mustaqiim.
Ibu, telah kucoba hayati bagaimana
berfikir
namun selalu saja dzikirku
terhalang-halang,
pongah melambung berjalan limbung,
padahal
cuma dari noktah tak bernilai aku dicipta
Allah.
Ibu, telah berkali-kali kubaca segala
yang mesti
kubaca, lagi-lagi kebodohan dan kegelapan
jua
menjadi selimut malamku,
busana kehidupanku sepanjang waktu.
Sering gelap kurasa di terang jalan
hidupku.
Tergagap-gagap tertatih-tatih kueja
kebenaran.
Aku lahap di hadap lapar dunia.
Aku dahaga di hadap haus benda.
Aku masih si buta terus meraba.
Aku masih si bisu tak menyebal dari
suara-suara
kebenaran.
Aku masih si dungu tak pandai membaca
tanda
Tak pandai membaca isyarat swara
tersembunyi.
Aku masih si pandir melingkar mondar
mandir
tersesat di bawah matahari
Lidahku kelu membaca firman-firmanNya
Ibu, masih kukenakan sarung Mandar
pemberianmu. Selendang hitam sekeping
setanggi. Di jarak tanpa batas dunia
penuh
warna, dengarkan harapku: tolong sekali
lagi
Ajarkan aku kenali diri,
sebelum tiba hidupku di bibir maut.
(Paris,
1992)
Mata itu
Mata itu mata tajam. Jendela luka
Mata itu mata tajam
Pintu keberanian ‘tuk merdeka
Mata itu mata tajam. Pesona keyakinan
Tegar menantang gelombang
Mata itu mata tajam. Penyimpan kasih ibu
Mata itu mata tajam. Lensa kecerdasan
Melawan kelaliman
Mata itu mata tajam
Penyimpan harap dalam sunyi
Penyimpan keluh dalam peluh
Penyimpan cemas dalam remas
Penyimpan asa dalam rasa
Penyimpan pesona dalam persona
Maka lumatlah segala lelah
Meski derita tak kunjung sudah
Tak putus asa bersarang di jiwa
Bangunlah sukma biar terjaga
Bangkitlah gairah biar terarah
Terbanglah ke langit asamu
Jangan biarkan burung unta menelikung
kaki
Jangan biarkan rantai kecemasan
membelenggu
Terbanglah terbang sejauh sayap
mampu mengepak
Terbanglah terbang bebas
ke luas cakrawala tanpa batas
Mata itu mata tajam
Mata elang. Mata keberanian
Jangan biarkan redup
Walau lelah. Jangan biarkan kalah.
(Surabaya,
2003)
Malin Kundang
Malin kundang silakan pulang
Negeri ini memanggil-manggil.
Malin datang. Malin datang. Tak di pantai
tak
ombak tak berkapal. Udara cerah cakrawala
terbentang. Pesawat supersonic membawa
Malin
pulang.
“Mengapa bunda terkapar lesu.
Sakit lama tak juga hilang.”
Malin Kundang bawa harapan.
Investasi segala rupa.
Malin Kundang membawa sesal.
Terlambat kabar tiba di hati.
Bunda mengelus kepala Malin.
Putra tersayang elok budi elok rupa.
Siapa kata Malin durhaka?
Malin kaya karena bekerja
Siapa kata Malin durhaka?
Tak Malin patung membatu
Siapa kata Malin durhaka
Membela bunda di mana saja
Siapa kata Malin durhaka
Bawa berita eloknya asa
Di lepau-lepau Malin bersuara
Bunda siapa merutuk kita?
Tak Malin anak durhaka
Elok budi elok rupa
Tengoklah Malin datang dari udara
Di tanah rantau Malin kuasa
Siapa jual saham ibunda?
Malin datang Malin datang
Bawa kabar bukan berita
Di kota-kota di negeri entah
Pahlawan negeri menjadi batu
Di kota-kota di negeri entah
Pahlawan bangsa jadi nelangsa
Oiii sansainya negeri beta
Malin datang Malin datang
Malin dipuja Malin dipuji
Bundo Kandung tanah negeriku
Ninik Mamak penunjuk arah
Anak kemenakan mendulang asa
Siapa kata Malin durhaka
Tengok tengoklah siapa sungguh pendurhaka
Menjual harta ibunda
Harga murah di bawah bandrol
Aset negara tiada harga
Siapa kata Malin durhaka
Tak mencuri uang negara
Siapa kata Malin durhaka
Tak pernah rampas tanah petani
Siapa kata Malin durhaka
Tak bakar hutan tak jual garam
Siapa kata Malin durhaka
Tak timbun pupuk tak import beras
Tak juga seludupkan gula
Siapa kata Malin durhaka
Tak bikin hati bunda terluka
Pulanglah Malin Kundang pulanglah
Tanah negerimu memanggil-manggil.
Malin datang Malin datang
Tak gelimang harta di tangan
Malin datang Malin datang
Malin datang Malin datang
Bunda senang bunda pun riang
Selepas pagi berganti siang
Biarkan derita segera pergi
(Padang,
2003)
Carru’
Karena bangsaku carru’
segalanya dijual murah
Harga diri terjual tanpa bandrol
Siapa lagi mau jual kehormatannya?
Puang,
Apalagi yang mesti dijual hari ini?
Udara tergadai hutan terjual
laut kita sebentar lagi
Lihat lihat ke pantai itu
Para nelayan pulang membawa kemiskinan
Seperti petani di gunung-gunung dan di
lembah-
lembah
Satu-satunya hasil kerja keras hanya
keluh
Di penghujung penantian selepas berbulan-
bulan mengolah sawah
yang dipanen hanya derita
Puang,
Apalagi yang mesti dijual hari ini?
Kehormatan, sarung dan badik telah lama
lepas
dari tangan
Cadik lak lagi menyisakan kebanggaan
Di pasar-pasar gelap
mereka turunkan barang selundupan
Di pasar-pasar resmi
mereka timbun kita dengan berkoli-koli
persoalan
Puang,
Apalagi yang mesti dijual hari ini?
Di tengah bangsa yang carru’
Siapa peduli pada kebesaran dengan cara
yang
benar!
Puang,
Apalagi yang mesti dijual hari ini?
(Angin pantai berbisik perlahan: “Suaramu… ya
suaramu. Mereka
sangat perlu suaramu.”)
(Makassar,
2004)
Au Revoir
Tak lelah kita telusuri jalan perbukitan
di bawah
dekap dingin ini
Salju turun menjelang tiba fajar.
Malam gelap baru saja terlintasi tanpa
cahaya. Baru
saja kita berguru
pada bintang-bintang.
Di samodera rasa kita ukir rangkaian
tanda tanya
Setiap kali biduk dilepas sauhnya dan
layar biduk
terpancangkan.
“Koallea talangga notoalia”
Berpantang kupulang meski salju
membekukan
seluruh kehidupanku.
Di sini aku memang bukan orang bernama.
Jauh dari perbincangan orang-orang
tergelak di
depan perapian.
Irama hidupku irama air mengalir
Bukan musik dimainkan dengan partitur
dipandu conductor lentur tubuhnya
Tak kan kurentang cinta
Biar jauh ngembara ke alam cita
Musikku adalah dinamika menantang realita
Yang kupertaruhkan hanyalah asa
Di simpang keberadaan dan ketiadaan.
Aku orang sendiri
Salju mencair terbakar nyala api hidupku
Seperti dinihari tadi ketika badai
kembali datang
dan jendela kamar kita dikepung kaki
hujan
keras menghantam
Ukuran hidupku sangatlah sederhana
Sekedar senyum sunggingkan bibir
Cerminkan keikhlasan suka
Nerima realita kehidupan
Matahari belum akan lagi tiba
Masih banyak waktu dihitung bilangannya
Maka janganlah terpedaya
bau anggur aneka rupa
Au revoir..
(Bordeux,
1992)
Kerudung
(Kepada SHR)
Kerudungmu berkebaran tertiup angin
perubahan musim
Kemarau tiba
Kerudungmu nyanyikan irama harmoni
Pada kerudungmu benang-benang kemanusiaan
terajut jadi hamparan asa
Simaklah jari jemari peradaban
Menyimpul benang-benang hati
Sukma nan terjaga
Kau sulam dengan ketulusan hati
Kau lajur dengan keiklasan
Kerudungmu berkebaran tertiup angin
perubahan musim
Kemarau tiba
Berkas sinar mentari nyelusup di sela
simpul
benang kasih sayang yang terjalin jadi
kerudungmu
Pada setiap simpul jalinan benang
sukmanya,
kubaca puisi-puisimu tentang tanah air
Tentang bangsa
Tentang rakyat
Tanpa mesti disuarakan dalam
pidato-pidato
gegap gempita
Kenakan terus kerudung itu
jangan pernah lepaskan meski hanya
sejenak
meski hanya sesaat
Biarkan kerudung itu melindungi indah
rambutmu lindungi kecerdasanmu lindungi
cerlang fikirmu padu dalam dzikir tak
henti
Maka alirkan di kerudung indahmu
Kesucian makna firman-firman Tuhanmu.
(Kuala
Lumpur, 1998)
Pajaga Makkunrai
Kita masih seperti dulu, ki
Masih seperti dulu
Di gedung tua ini kita minum kopi sambil
menulis cerita seperti dulu
Tak ingat lagi lebih dua puluh tahun kita
tak sua
Gedung-gedung tua
Gudang-gudang tua
Masih ramah menyambut kita
Kenangan demi kenangan
muncrat membuncah-buncah
Dunia kita memang pulang pergi
antara hari kemarin dan kini
Di Somba Opu kita masih bercerita tentang
orang-orang tua yang selalu tertawa
ketika kita
sudah menekuk wajah kerena lelah
Kapan lagi kita tarikan Pajaga Makkunrai
‘tuk
menyambut diri sendiri?
Seperti dulu ditarikan ‘tuk sambut Bung
Karno?
Tamu agung siapa lagi
yang mesti disambut kini
Bukankah Gilireng
dan para tamu agung adalah kita?
Biarkan gedung-gedung tua
dan gudang-gudang tua diam membisu, ki
Kita harus berubah
Kitalah kini penguasa negeri
Penentu siapa patut duduk di balairung
Penentu siapa patut duduk di istana
Ayo kita tarikan Pajaga Makkunrai
untuk diri sendiri, ki
Lupakan sirene meraung
melintasi jalan-jalan utama Makkasar
Cukuplah kebesaran Gowa
terpancar di jiwa kita merdeka
Cukuplah kejayaan Mandar
tercermin di kecendekiaan
yang terangi cakrawala
Cukuplah kebesaran La Galigo
nyeruak di seluruh batin kita terjaga
Cukuplah segala kemasyhuran masa lampau
terpancar di keberanian kita melawan para
penyamun dan perompak negara!
Kita harus berubah, ki
Tak boleh lagi termenung melukis bayangan
rembulan!!!
(Makassar,
2003)
Ketiak
Ular
Telah
kita habiskan waktu mencari ketiak ular.
Padahal
kita tahu tak seekor ular pun berketiak.
Saksikan
ayo saksikan bagaimana mereka sibuk
menarik
ular leher mencari ketiak ular.
Mempersoalkan
titik dan koma, mempersoalkan
koma di
depan titik di belakang. Coba simak
dengan
kecerdasanmu bagaimana mereka
menyimpan
kecerdasan di balik celana dalamnya
masing-masing.
Aku lelah sobat. Aku lelah. tak
kutemukan
lagi cara membangunkan kesadaran,
memaknakan
setiap kata menjadi rencana.
Membuang
semua daftar keinginan. Kau benar
sobat
kau benar. Tak kutemukan cara berbagi
Kecerdasan.
Ah…kata-katamu sungguh
menyegarkan:
“Karena kita katak, kita perlu
mencari ketiak ular, setiap katak wajib
melatih
kepekaan, mencermati gerak para pemangsa
kekuasaan.”
(Cisarua,
2003)
Bulan
Selesma
Bulan
batuk di atas cakrawala negeriku
Do’a-do’a
pembersih jagat
Terkontaminasi
do’a-do’a politik
Yang
digelar orang berulang-ulang
Bulan
selesma
Bulan
batuk di atas cakrawala negeriku
Terserang
alergi udara panas tak tentu
Terkontaminasi
timbal berlebih
Siapa
menebar racun di udara bebas jamrud
khatulistiwa?
Di mana
para ulama’ bersih hati bersih jiwa
sembunyi?
Mengapa
do’a-do’a tulus ikhlas bersulam cinta
tanpa
rekayasa tertutup do’a-do’a politik?
Ke mana
pergi dzikir penuh irama keikhlasan
Bulan
batuk di atas cakrawala negeriku
Bulan
selesma
Cakrawala
bising. Angin berpusing
Menerbangkan
segala kepalsuan
Mengapa
terlalu panas dan kering tanah airku?
Di mana
para ulama bening sukma jernih hati
sembunyi?
Di mana
cendekia pencerah umat mengurung
diri?
Ooooiii…
di mana kalian sembunyi
Segera
kumandangkan do’a dan dzikirmu
Do’a
tulus dalam sujud penuh tawaddu’
Dzikir
bening dari kumandang kebersihan hati
Wirid
sukma dari kejernihan penuh pencerahan
Bulan
batuk di atas cakrawala negeriku
Angkasa
raya menanti do’a-do’a suci dari
kebeningan
sukma. Gemintang berseru:
“Kembalilah
ke cakrawala
Ke
bukit-bukit pencerahan
Jangan
biarkan serban dan kacamatamu ikut
tercebur
lumpur”
Segeralah
melesat ke cakrawala
Rasakan
kepengapan
(Jakarta,
2003)
Ki Sunda di mana Alamatmu Sekarang
Kucari-cari berulangkali kucari tak
kutemukan
alamat rumahmu, Ki Sunda?
Di sela harmoni kecapi suling gesekan
rebab
alirkan tembang jiwa peluruh gelisah
resah
batinku kutanya orang di mana alamatmu?
Di pengap Bandung heurin ku tangtung tak
kutemukan alamatmu
Tonggak jembatan layang pasopati diam
membisu
Tak kutemukan alamatmu di seragam para
birokrat kantor gubernur tak juga
kutemukan
alamatmu di pin congkrang kujang
papasangan di dada para wali rakyat di
gedung
parlemen
Di kantor walikota tak seorangpun tahu di
mana
alamatmu? Lenyap bersama sorban yang
palid di
keruh Cikapundung
Di kampus-kampus, mall dan terminal bis
tak
seorang pun beritahu di mana alamatmu. Di
Cihampelas orang-orang menggelengkan
kepala.
Di bukit dago orang-orang sibuk membabat
hutan lindung hutan perdikan di jaman
Padjadjaran
Di seluruh pelosok bekas tanah Pasundan
tak kutemukan kamu
tak kutahu di mana alamatmu?
Di mana alamatmu sekarang Ki Sunda?
Adakah kau sembunyi di balik semak
peradaban
Sunda yang terkurung peradaban entah?
Keluarlah dari persembunyianmu
Beri kabar daku di mana alamatmu?
(di kaos-kaos
oblong mahasiswa, di seragam para
birokrat, di balik
warna jas politisi
di balik serban
kiai, di balik jubah pastor dan
pendeta yang
kulihat entah siapa)
?????
???
(Bandung,
2002)
Ihwal Perempuan
Siapakah perempuan? Daripadanya kita
memasuki misteri tanpa harus melewati
bingkai-
bingkai nyata yang kita tempatkan di
seluruh
beranda dan kamar tidur rumah peradaban
kita?
Pernahkan kita berfikir tentang bagaimana
menempatkan mereka setara dalam irama
kehidupan kita?
Perempuan adalah keperkasaan yang sengaja
disembunyikan Tuhan. Keperkasaannya
adalah
magma terus membara dan sekali-sekali
membuncahkan lahar, batu gunung dan
kesuburan semesta
Tanpa mereka kita kan sulit mencari apa
makna
hakiki atas setiap kata semangat dan
keberanian
Perempuan adalah akal budi penuh pekerti
yang
tak sengaja dimasukkan ke kotak-kotak
misteri.
Kita merampas keadilan haknya dan
menyudutkan mereka di lorong
ketakberdayaan
yang selalu dikunjungi air mata dan
kesedihan.
Mereka dipacu memanggul beban perasaan
setiap manusia. Padahal pada mereka kita
peroleh makna atas kata keadilan dan
kearifan.
Perempuan adalah gelombang ombak samodera
memacu biduk kehidupan menantang siapa
saja
menguji keberanian menghadapi dan melawan
badai kehidupan merekalah penyelamat
palka
berdiri tegak di buritan ketika badai
datang
hendak menghantam biduk hingga porak
poranda.
Siapakah perempuan. Sudah seberapa jauh
kita
mengenalinya? Siapakah perempuan? Seperti
apakah gerangan mereka ditatap pandang
nanar
melihat dunia berubah setiap saat.
Menyaksi
musim terus berganti tak pernah henti.
Siapakah perempuan. Bagaimana kita mesti
Menghargainya?
Perempuan adalah angin menderu.
Mengantarkan kita menuju pantai zaman.
Dalam pelukannya kita tenggelam menjadi
bocah sepanjang sejarah. Merekalah hulu
dan
muara pelayaran jauh di kehidupan tempat
cinta
ditemukan dan difahami.
Tempat kasih sayang diselami. Dalam
kelembutan tutur sapa mereka kita
dapatkan
berjuta makna yang sering sengaja tidak
kita
fikirkan.
Siapakah perempuan? Dalam belaian lembut
jemarinya kita lena menghitung masa
berlalu
sambil nerawang masa-masa kan tiba.
Kepada
merekalah kita datang setiap kali kalah
hadapi
tantangan dan pergulatan.
Perempuan senantiasa menyimpan kegaiban,
karena Tuhan sengaja ciptakan mereka tuk
alirkan segala misteri
yang tak pernah bisa kita jangkau di luar
batas-
batas empirisma kita, meski hanya
sekejap.
Perempuan adalah berjuta bunga sebarkan
wewangian Tuhan di dunia nyata. Dari
mereka
segala keharuman nama disandangkan.
Kepada
mereka kita datang mencari keikhlasan.
Merekalah yang diciptakan dan dipilih
Tuhan
menjadi ibu bagi setiap insan. Tempat DIA
mengalirkan kasih-sayangNya.
Perempuan adalah bianglala pemberi nuansa
bagi
kemegahan kaki langit, tempat Tuhan
alirkan
keindahanNya. Mereka jualah fatamorgana
pemantul keperkasaan cahaya mentari di
hampar
lautan dan sahara, tempat kita diuji
mengeja
kembali makna harapan dan impian. Pada
merekalah kita selalu datang mencari segala
makna dari setiap ketidak-tahuan kita.
Maka, muliakanlah mereka. Pada mereka
kemuliaan diletakkan seperti apa pun
sosoknya.
Hormatilah mereka, karena pada merekalah
kehormatan dipertaruhkan.
Sayangilah mereka, karena pada merekalah
sungai kasih sayang mengalirkan cinta
tanpa
henti dari zaman ke zaman.
Cintailah mereka karena pada merekalah
Tuhan
menitipkan kedalaman cinta dan kehalusan
rasa.
Dampingilah mereka karena Tuhan
menciptakan
dan memilih mereka sebagai mitra setara
nelusuri jalan kehidupan.
Pada mereka kita dapatkan makna kata
bahagia
dan derita penguat fikir dalam berbagi
apa saja
yang diberikan Tuhan kepada kita.
Merekalah cahaya yang berkasnya menukik
tajam ke seluruh rongga sukma terjaga.
Memantul dalam Kristal mutiara kalbu.
Pantulannya menyadarkan kita ‘tuk
melakukan
atau tidak melakukan sesuatu. Jangan
sisihkan
mereka dari kehidupan kita. Berikan daya
agar
mereka selalu kukuh kuat berada pada
tempat
yang seharusnya mereka ada. Tempatkan
mereka
di ruang batin bening sukma agar selalu mampu
bercermin menemukan kedalaman makna
keberadaannya. Agar mereka mampu
tunjukkan
kita jawaban: siapakah kita sesungguhnya.
Perempuan adalah kelambu kegaiban tirai
peradaban tempat kita selalu ditantang
menjawab tanya: “Di manakah batas ketiadaan
dan keberadaan
kita?”
Perempuan adalah soko sangga tempat
kemuliaan dan harmoni kehidupan tegak
berdiri.
Tempat kemuliaan manusia diberi makna.
Karenanya,
Hanya kepada perempuan
Tuhan menitipkan Surga.
(Jakarta,
1994-2004)
Puisi
Televisi
Tertunduk
aku ketika juntai toga dialihkan.
Senyum
lebar jabat tangan hangat bagai simponi
di siang
hari.
Kuingat
kamu. perempuan jelita pemimpin bijak
menyimpan
kearifan di balik kerudung dalam
warna serasi.
Televisi
harus ditempatkan sebagai tabung cahaya
pencerahan
abadi. Tidak untuk menebar ghibah,
buhtan dan
fithnah. Tidak untuk ciptakan
berhala-berhala
baru. Tidak memindahkan bara
api neraka
ke taman surga.
Kukenang
dulu, bagaimana kau perintahkan aku
hidupkan
puisi di sela siaran iklan, dangdut dan
film india.
Diam-diam
kugumamkan firman Illahy:
“Allaahu
nuurussamawaati wal ardhi matsalu
nuurihi
kamiskaahi fiiha mishbah. Almishbaahu
fii dzu
jaa jah. Adz dzu jaa jah ka’annahaa
kawkabun
dzuriyyu yaw qodu min syajaratim
mubarakoh.”*)
Termenung
aku mengenang kamu
Kuingat
ketika di simpang malam ketika hujan
turun
badai datang di malam ulang tahun, di
halaman
pengabdian.
Kuingat
ketika kau letakkan batu pertama
pembangunan
masjid di sudut halaman pusat
pencerahan
itu.
Di kamar
apartemen kupandangi Menara Kuala
Lumpur.
Di dinding
dalam bingkai berkaca.
Kutengok
hiasan dinding
Selembar
Giro Bilyet kulihat dan tak kan pernah
kuuangkan
hingga kelak maut menjemput.
Selembar
harapan yang kuterima lewat tangan
waktu.
Tersenyum aku melihat tanda-tangan
tertera
di situ.
Demi
kuingat engkau
kuterima
saja tanda penghargaan berbilang
angka-angka
itu.
Sekarang
di sini kukenang kearifanmu.
Kelak
bila kupulang esok
Kan
kuberi gagasan-gagasan baru
Visi
qur’ani bagi siaran televisi di negeri sendiri.
Televisi
tak boleh dipisahkan dari puisi.
Di situ
pencerahan selalu diulang asah.
Pencerahan
ditebar-sebarkan bagi ummat
manusia.
Pencerahan
seperti yang terungkap dalam ragam
pusaka indah
para leluhur.
Puisi
dan televisi tak boleh dipisahkan setiap kita
hendak
mencari makna cahaya.
Cahaya
hati
Nuur
illahy
(Kuala
Lumpur, 2000)
*) Allah pemberi cahaya bagi langit dan
bumi. Cahaya Allah laksana sebuah lubang tak tembus. Di dalamnya ada dian
besar. Dian itu di dalam kaca. Kaca itu seolah bintang laksana mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak
berkahnya.
Tentang
N. Syamsuddin Ch. Haesy
Noor Syamsuddin Chatib Haesy, 48 tahun (nb. buku
terbit: 2004), mulai mempublikasikan puisi pada dekade 70-80 an. Kumpulan
puisinya Soneta Rumah Bocor (1976). Saat
mengelola manajemen Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), pernah mendesain
program sinepoems (sinetron puisi) bertajuk Suara
dari Pedestrian, sempat pula bersama sejumlah karyawan TPI, menerbitkan
antologi puisi Gumamam dari Balik Layar
Televisi (1993). Bersama H. Setia Hidayat, menulis Sangkakala Padjadjaran, sebuah buku yang terkait dengan rumpaka
(puisi Sunda) Cianjuran. Beberapa puisinyanya juga digubah menjadi lagu al.
oleh Titik Hamzah (Hanya Ruang Kosong) dan Evi Tamala (Seribu Purnama).
Catatan Lain
Penyair menulis catatan pembuka yang dijuduli: Puisi, Tanda Demokrasi Berbudaya. Di
satu paragraf ada menulis seperti ini: “ Yang terekam dalam buku ini sebagian
memang berkait dengan peristiwa politik, karena yang terimpresi memang
peristiwa politik. Beberapa di antaranya lebih merupakan peristiwa pribadi.
Direkam begitu saja melalui corat-coret sepanjang perjalanan. Kadang di ruang
tunggu bandara, di dalam pesawat, lobby dan kamar hotel, kafe, ruang diskusi,
gedung pertemuan. Juga dalam perjalanan darat di dalam mobil.//Untuk itulah
agaknya, buku ini lebih mungkin dinikmati dalam segala suanana yang bebas dan
demokratis…”
Untuk
halaman persembahan, penyair menuliskan tidak kurang dari 27 nama, yang
disebutnya bocah-bocah masa depan sebagai puisi peradaban masa depan. Begitu. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar