Data buku kumpulan puisi
Judul : Ayat-ayat Api
Penulis
: Sapardi Djoko Damono
Penerbit : PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Percetakan (cet. II) : PT. Temprina,
Bekasi.
Tebal : viii + 149 halaman (54 puisi)
ISBN : 978-979-444-437-5
Perancang sampul dan vignet : Budi
Indra Cahaya
Ayat-ayat Api terdiri atas 3 bagian,
yaitu ayat nol (15 puisi), ayat arloji (33 puisi) dan ayat api
(6 puisi).
Beberapa pilihan puisi Sapardi Djoko
Damono dalam Ayat-ayat Api
ADA POHON BERNAPAS
ada pohon bernapas jauh dalam diri kita
di setiap helaannya seratus burung pulang
mendengar cericit anak-anaknya
ada pohon bernapas jauh dalam diri kita
di setiap hembusannya seratus warna bunga
berhamburan menyambut godaan cahaya
SONET: KAU BERTANYA APA
untuk
Wing Kardjo
Kau bertanya apa masih ada harapan. Mungkin masih,
di luar kata. Di dalam kata terdengar tak putus-putusnya
suara orang berkotbah, berceramah, dan berselisih.
Sementara kita mengemis, mencuri, berebut jatah.
menjarah, atau menjadi gila; sementara kita menyaksikan
rumah-rumah terbakar, jaringan telepon putus,
pohon-pohon tumbang – di dalam kata masih saja
setiap aksara dipertanyakan asal-usulnya, setiap desis
diusut keterlibatan maknanya. Konon, dulu,
di dalam kata pernah terdengar desau gerimis kecil,
cericit anak-anak burung, suit daun jatuh,
dan langkah kabut pagi. Konon, dulu, pernah terdengar kita
saling berbisik. Kau bertanya apa masih ada harapan.
Ada yang menunggu kita di luar kata, mudah-mudahan.
DALAM SETIAP DIRI KITA
Dalam setiap diri kita, berjaga-jaga
segerombolan serigala.
Di ujung kampung, lewat pengeras suara,
para kyai menanyai setiap selokan,
setiap lubang di tengah jalan,
dan setiap tikungan;
para pendeta menghardik setiap pagar,
setiap pintu yang terbuka.
dan setiap pekarangan.
Gamelan jadi langka. Di keramaian kota
kita mencari burung-burung
yang diusir dari perbukitan
dan suka bertengger sepanjang kabel listrik,
yang mendadak lenyap begitu saja
sejak sering terdengar
suara senapan angin orang-orang berseragam itu.
Entah kena sawan apa,rombongan sulap itu
membakar kota sebagai permainannya.
TERBARING
kalau aku terbaring sakit seperti ini
suka kubayangkan ada selembar daun tua
kena angin dan lepas dari tangkainya
melayang ke sana ke mari tanpa tenaga
kalau aku terbaring sakit seperti ini
suka kubayangkan kalian nun di Bukit sana
berebut menangkap daun yang melayang-layang itu
dan penuh rindu menciumnya berulang kali
POKOK KAYU
“suara angin di rumpun bambu
dan suara kapak di pokok kayu,
adakah bedanya, Saudaraku?”
“jangan mengganggu,” hardik seekor tempua
yang sedang mengerami telur-telurnya
di kusut rambut Nuh yang sangat purba
DONGENG KUCING
Lengking klakson dan rem mobil itu
meninggalkan jejak asap knalpot, debu,
dan seekor kucing yang sekarat.
Di dalam rumah: tangis seorang gadis kecil,
lalu suara menghibur seorang ibu
menyelundupkan ajal ke negeri dongeng.
Jalan memang dibangun untuk mobil,
manusia, dan juga – tentu saja – kucing;
tak boleh kita mencurigai campur-tangan-Mu, bukan?
TENTANG MAHASISWA YANG MATI, 1966
Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut
rame-rame hari itu. Aku tak mengenalnya,
hanya dari koran, tidak begitu jelas memang,
kenapanya atau bagaimananya (bukankah semuanya
demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan
untuk mencintainya. Ia bukan
mahasiswaku. Dalam kelas mungkin saja
ia suka mengantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat,
atau diam saja kalau ditanya,
atau sudah terlanjur bodoh sebab ikut saja
setiap ucapan gurunya. Atau malah terlalu suka
membaca sehingga semua guru jadi asing baginya.
Dan tiba-tiba saja, begitu saja, hari itu ia mati;
begitu berita yang ada di koran pagi ini –
enyah kenapa aku mencintainya
karena itu. Aneh, koran ternyata bisa juga
membuat hubungan antara yang hidup
dan yang mati, yang tak saling mengenal.
Siapa namanya, mungkin disebut di koran,
tapi aku tak ingat lagi,
dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah
mati hari itu – dan ada saja yang jadi ribut.
Di negeri orang mati, mungkin ia sempat
merasa was-was akan nasib kita
yang telah meributkan mahasiswa mati.
BUNGA RANDU ALAS
Bunga randu alas itu telah
merekah, dan angin
kemarau yang malam hari suka jadi sejuk sering lewat di
sana. “Kenapa selalu terbayang bara sisa ketika kutatap
bunga itu,” kata angin yang diam-diam terlanjur telah
mencintanya. “Kenapa bukan warna subuh, atau
setidaknya batu delima, atau apa saja asal bukan bara sisa”
Pohon randu alas itu
menjulang di kuburan samping
rumah kami; setiap kemarau bunga-bunganya yang
merah suka melengking, bahkan sampai larut malam.
Angin, yang sering terjepit di antara batang bambu, telah
jatuh cinta padanya – hanya Tuhan yang tahu kenapa
jadi begitu.
Angin itu jugalah yang
bersijingkat mengantar
lengking bunga itu sampai ke sudut-sudut paling jauh
dalam tidur nyenyakku. Dalam lengking bunga itulah
tersirat lirih suaranya sendiri, “Mengapa bara sisa yang
terbayang, dan bukan kobaran api?”
AYAT-AYAT KYOTO
/1/
segala yang mendidih dalam kepala
tidak nyata, kecuali sakura
dan kau – tentu saja
/2/
gerimis musim semi –
tengkorakku retak;
kau pun menetes-netes ke otak
/3/
kita sakura –
gugur sebelum musim selesai
tak terlacak pula
SEPASANG LAMPU BECA
untuk
Isma Sawitri
ada sepasang lampu beca
bernyanyi lirih di muara gang
tengah malam sementara si abang sudah tertidur sebelum
gerimis reda
meraka harus tetap
bernyanyi sebab kalau sunyi tiba-
tiba sempurna bunga yang tadi siang tanggal dari keranda lewat
itu akan mendadak semerbak dan menyusup ke dalam pori-pori
si abang beca lalu mengalir di sela-sela darahnya sehingga ia
merasa sedang bertapa dalam sebuah gua di goda oleh seribu
bidadari yang menjemputnya ke surayala dan hai selamat tinggal
dunia
SEHABIS PERCAKAPAN
sehabis percakapan pendek
warna-warna menyisih
ke putih; tamasya yang di luar
sia-sia menunggu
AUBADE
Percik-percik cahaya. Lalu kembali hijau namamu,
daun yang menjelma kupu-kupu, ketika anak-anak bernyanyi –
melintas di depan jendela itu
lalu kembali cahaya sebutanmu, hatiku pagi ini
MEMANCING
batu kecil yang tadi iseng kaulemparkan
ke dalam kolam pemancingan itu
mendadak sadar dan membayangkan dirinya ikan
yang menyambar-nyambar mata kailmu
tapi batu kecil memang bukan ikan
dan kailmu tidak dirancang untuk batu itu
tapi kenapa kau suka iseng melempar-lemparkan
sehingga batu itu mendambakan kailmu
batu itu, murung, ada di dasar kolam sekarang
di sekitarnya ikan-ikan tak acuh berseliweran
sementara kailmu terpencil bergoyang-goyang
di tepi kolam kau terkantuk-kantuk sendirian
DONGENG MARSINAH
/1/
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan pasti.
Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”
/2/
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”
Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”
/3/
Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lengkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.
dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangannya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.
detik pun tergeletak,
Marsinah pun abadi.
/4/
Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:
Marsinah diseret
dan dicampakkan –
sempurna, sendiri.
Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?
Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?
/5/
“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
Ia sudah paham maksudnya.)
“Sengsara betul hidup di sana
jika sudah berpikir,
jika suka memasak kata
apa sebaiknya menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.)
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
Tapi lihat, ia seperti terluka.)
/6/
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya
setiap pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.
(1993-1996)
AYAT-AYAT API
/1/
Mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan
di mana gerangan kemarau, yang malamnya dingin
yang langitnya bersih; yang siangnya menawarkan
bunga randu alas dan kembang celung, yang dijemput angin
di bukit-bukit, yang tidak mudah tersinggung
yang lebih suka menunggu sampai penghujan
dengan ikhlas meninggalkan kampung-kampung
(diusir kerumunan bunga dan kawanan burung)
di mana gerangan kemarau, yang senantiasa dahaga
yang suka menggemaskan, yang dirindukan penghujan
/2/
(kepada
Wislawa Szymborska)
seorang anak laki-laki
menoleh ke kiri ke kanan
lalu cepat-cepat menyelinap
dalam kerumunan itu
dan tidak kembali
tiga orang lelaki separo baya
bergegas menyusulnya
dan tidak kembali
lima enam tujuh orang perempuan
meledak bersama dalam api
dan, tentu saja,
tidak kembali
agak ke sebelah sana
di seberang jalan
seorang penjual rokok
membayangkan dirinya duduk
di depan pesawat televisi
takjub menyaksikan
sulapan itu
/3/
ada seorang perempuan
diam saja berdiri
di dekat tukang rokok
di seberang jalan raya itu
ada satpam memperhatikannya
dari ujung gang itu
ada polisi sekilas melihatnya
dari dekat gardu telepon itu
ada anak tetangga sebelah
menyapanya
ada guru sd
yang masih mengenalnya
menepuk bahunya
ada neneknya di rumah
yang sudah suka lupa –
ada suaminya ada anak-anaknya
(yang
mungkin
saja
sedang
memikirkannya
juga)
yang kini
(tentunya
mungkin
moga-moga
saja
tidak!)
berada dalam sebuah toko besar
(atau
tidak
lagi
bisa)
yang sedang terbakar
/4/
“Entah kenapa, pagi ini,
seluruh tubuhku terasa gemetar,
tidak seperti biasanya. Dulu
kau pernah berkata,
kita ini bagai daun tua
gemetar sebelum disapu angin
gemetar karena menguji diri sendiri
apakah masih kuat bertahan
di dahan
sebelum angin terakhir
sebelum siang terakhir
sebelum tik-tok terakhir –
tapi sudahlah,
aku toh harus juga ke kantor
sehabis tetek-bengek pagi: segelas kopi,
setangkup roti.
Hari ini
akan mendung tanpa hujan,
kata ramalan cuaca.
Aku akan pulang cepat nanti
sebelum makan malam.”
Tapi tukang sulap, entah kenapa,
ternyata punya kehendak lain.
/5/
di antara yang meretas dalam kepala kita
dan api yang berkobar di seberang sana
melandai beberapa patah sabda
di antara yang di kepala, yang berkobar, dan sabda
bergetar ayat-ayat yang kita hapal lafaznya
yang hanya bisa kita tafsir-tafsirkan maknanya.
/6/
ada yang menghitung waktu api
dengan bunyi-bunyi aneh
seperti yang pernah kita dengar
ketika masih dalam rahim ibu
ada yang menghitung jam api
dengan isyarat-isyarat ganjil
seperti yang pernah kita kenal
ketika masih dalam kobaran itu
ada yang menghitung detik api
dengan kedap-kedip pelik
seperti yang pernah mereka lihat
ketika orang-orang memakamkan kita
/7/
gambar-gambar
di koran hari ini
godaan
bagi kita
untuk tetap
menyisakan
aneka
kata seru
/8/
di atap rumah seberang jalan
seekor burung gereja mengibas-ngibaskan
sayapnya sehabis gerimis
di pagi (yang bagai mata kena jeruk) itu
kelopak air berguguran ke sana ke mari
sementara di sudut atas gedung itu
di seberang sana, di bekas sarangnya
asap sisa api kemarin masih juga
/9/
api adalah lambang kehidupan
itu sebabnya ia tak bisa
menjadi fosil
api adalah lambang kehidupan
itu sebabnya kita luluh-lantak
dalam kobarannya
/10/
sore itu akhirnya ia berubah juga
menjadi abu sepenuhnya
sebelum sempat menyadari
bahwa ternyata ada saat untuk istirahat
di antara gundukan-gundukan
yang sulit dipilah-pilahkan
ah , untuk apa pula
toh segera diterbangkan angin selagi hangat
/11/
di akhir isian panjang itu
tertera pertanyaan
“apa yang masih tersisa dari tubuhmu”
isi saja “tak ada”
tapi, o ya, mungkin kenangan
yang tentu juga sia-sia bertahan
/12/
ia akhirnya menerima perannya
sebagai tokoh khayali; digeser ke sana
ke mari: di halaman koran, di layar televisi,
dan sulapan bunyi-bunyian di radio;
ia pun harus pandai-pandai
menempatkan dirinya dalam deretan
gagasan, peristiwa, dan benda
yang harus segera kita lupakan
/13/
kau tak berhak mengingat apa-apa lagi
dekat perbatasan kaurogoh ktp-mu — tapi untuk apa pula
kau akan menyeberangi kenyataan terakhir
sesudah bentukmu diubah sama sekali
kau tak lagi memerlukan apa pun: sisir, sepatu,
pakaian seragam, bahkan ingatan akan penyeberangan ini
duduklah baik-baik, kau tak berhak mondar-mandir lagi
tak berhak punya maksud apa pun: ini bukan lakon Anoman
Obong
/14/
kami memang sangat banyak
astagfirullah
menumpuk di dekat sampah
tak sempat diangkut
tergoda minyak
habis terbakar
kami memang sangat banyak
astagfirullah
/15/
waktu upacara usai kau tak ingat
bahwa kuburan di kampung sudah penuh
mungkin satu-satunya basa-basi yang tersisa
adalah menguburmu sementara dalam ingatan kami
(1998-1999)
Tentang Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940.
Merupakan anak pertama dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Ia tinggal di
kampung Ngadijayan, kampungnya pangeran Hadiwijaya, kira-kira 500 meter dari WS
Rendra dan B. Sutiman yang tinggal di Kampung Patangpuluhan, dan sekitar 500
meter dari Bakdi Soemanto dan Sugiarta Sriwibawa, yang tinggal di Kampung
Kratonan. Masa kanak ia suka mengunjungi beberapa persewaan buku yang ada di
kotanya. Di sana ia mengenal dunia rekaan yang diciptakan Karl May, Sutomo
Djauhar Arifin, William Saroyan, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dll,
disamping berbagai jenis komik seperti yang diciptakan R.A. Kosasih. Bahkan,
bersama adik satu-satunya, ia pernah mengusahakan persewaan komik bagi
anak-anak di kampungnya. Tahun 1957, rumah warisan keluarganya dijual dan
mereka pindah ke pinggir kota di sebelah utara. Tinggal di sebuah desa yang
belum berlistrik, dengan suasana diwarnai rumpun bambu, kicau burung, bunga
sepatu, air kali dan bedhidhing kalau kemarau, jauh berbeda dengan
Ngadijayan yang di pusat kota dan penuh hiruk pikuk itu. Waktu itu ia duduk di
kelas 2 SMA. Dan di waktu itu lah ia mulai menulis puisi, tidak pernah berhenti
sampai sekarang. (lihat hlm. 147). Nah kira-kira demikian yang tertulis di
biodata penyair. Selebihnya, kalian cari sendiri di google, ya. Hehehe.
Catatan Lain
Ada 49 vignet karya Budi Indra Cahaya tersebar di buku
ini, biasanya menempati halaman genap atau sebelah kiri. Sebelah kanannya
biasanya puisi. Tak ada foto penulis, cuma ada satu paragraf pengantar. Begini
isinya: “Kumpulan sajak ini terdiri dari atas tiga bagian. Bagian
pertama berisi sejumlah sajak – yang sudah diubah di sana-sini, yang pernah
dimuat dalam Sihir Hujan, Kuala Lumpur, 1984. Bagian kedua adalah
sejumlah sajak yang pernah terbit terbatas dalam rangka pembacaan puisi di
Pusat Kebudayaan Jepang, 1998-1999, belum pernah terbit sebagai buku.” /Sapardi
Djoko Damono.
Saya
menggarisbawah dari atas karena bagian itu terasa janggal. Demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar