Data Kumpulan Puisi
Judul buku: Empedu Tanah
Penulis: Inggit Putria Marga
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Cetakan: I, Oktober 2020
(pernah diterbitkan Lampung
Literatur, November 2019)
Tebal: 76 halaman (30 puisi)
Ilustrasi sampul: Bebe Wahyu
Desainer isi: Fitri Yuniar
ISBN: 978-602-06-4806-4 (PDF)
yang terbuat dari botol-botol air mineral
yang ia susun vertikal pada sebuah rak di pekarangan
batang tumbuhan itu runduk seperti tubuh manusia
bungkuk. daun-daun sekulai tangan tak bisa
merentang, tak mampu menerima sekaligus melepas
segala yang diberikan kehidupan: cahaya matahari atau
udara berpolusi, bulir-bulir pupuk daun atau percik ludah
mulut manyun. di larutan dalam pot botol berdinding lumut,
helai-helai akar menyerupai rambut tergerai dan terendam,
cacing-cacing merah muda berenang bagai melayang
bergerak bukan sebab ingin pergi atau hendak pulang
bergerak karena waktu dan ruang memberi peluang.
menanam pohon jambu, yang ia panen: daun benalu
menabur benih sawi, yang tumbuh: rumput teki
memupuk ladang pepaya, yang subur: ragam gulma
memelihara cita-cita, yang membesar: keluh kesah saja
biasanya, ia rayakan gagal panen
dengan pesta bakar ladang atau tebang pohon
namun, kali ini, sambil pegangi kepala yang memberat
seperti habis menyantap sop kambing, beralas tikar rumput
yang terhampar di pekarangan rumahnya, ia hanya duduk
ditemani beberapa bongkah tahi kucing. ujung pisau nasib sial
yang menikamnya kali ini, barangkali, tak terlalu runcing.
menggantikan kerja matahari, ia akan mendekatkan
ujung telunjuknya yang tertembus jarum jahit no. 9
ke mulut botol obat luka, setelah cairan merah
yang menitik dari sana menyatu dengan merah lain
di ujung jari yang luka, penjahit itu akan mencopot
benda yang menusuk telunjuknya dari posisi penting
di tubuh mesin jahit. jarum jahit no. 9 akan tergeletak
dalam asbak, bersama puntung dan abu, bersama
hal-hal yang tak lagi dianggap perlu.
menghukum pihak lain atas kesalahan yang tak mereka lakukan.
beralas punggung meja tempatnya biasa menggambar pola
di antara hamburan benang ragam warna, aneka bentuk kancing
spul, bobbin, pita ukur dan kapur jahit, dibantu sepasang lidah
sembil berkata: kau berdarah kareana kau bergerak tak sesuai arah.
sebagaimana adanya, kadang-kadang, tidak melulu berasal
dari luar raga. setidaknya, bagi mataku, sewaktu memandang
sebuah kota dari pucuk bukit yang menghadap ke laut.
bukan kepul asap dari cerobong pabrik yang menghalimuni
mataku hingga kota seakan-akan meja makan. namun,
uap dari lapar yang mendidih dalam perutku
yang menabiri pengelihatan.
selembar roti berkismis. orang-orang yang hilir-mudik
di tepiannya, di pasir tak jelas warna, menyerupai gerombol
semut yang berbaris di pinggiran roti, merompak remah
segala yang manis. hanya yang manis.
laiknya puding pandan yang sebagian badan telah dimakan.
truk-truk pengangkut pasir dan batu – roda mereka
menggilas kaki gunung itu – umpama lalat-lalat hinggap
lalu lekat pada saus vanila yang menggenangi bagian
bawah puding.
rumah dinas walikota, gedung perkantoran, hotel, sekolah
pom bensin, lapangan sepakbola, supermarket, bengkel
serta bangunan lain yang sesak terserak bagai tak berjarak
di antara laut dan gunung, semacam belatung-belatung
menghimpun diri di piring berisi kepala ikan bakar basi
di tengah meja.
persis kucing yang terkunci dalam kandang besi, meringkuk gemetar
memandangi meja makan dari atas lemari pakaian, dalam rumah
lelaki yang mati kekenyangan karena mengira di tengah tubuhnya
ada samudera yang kuasa menerima apa saja yang dimasukkan ke sana
padahal, perut semata.
di dalam kamar, dengan tubuh bersalut kebaya merah mawar
kutunggu kedatangannya tanpa setitik gentar.
kubiarkan rambut terurai agar tunai tangannya membelai.
kain berhias benang emas membalut pinggang hingga mata kakiku
menyembunyikan sumur sonder dasar, tempatnya melepas
jutaan mahluk serupa anak katak dari dalam tubuhnya.
di atas ranjang yang kulapis sprei sewarna abu, perlahan ia lesapkan
jutaan mahluk itu tanpa sisa ke dalam diriku, menjadi milikku.
sementara jauh di atas kamar kami, awan-awan mekar
setenang dan sesunyi lotus merekahkan kelopak di permukaan telaga
keindahan yang ditebar tanpa suara.
sepasang burung gereja yang biasa berkicau di ranting kenanga
akan bersamadi dan menelan seluruh cericitnya,
hingga yang dihamparkan alam semesta hanyalah keheningan
keheningan yang pecah oleh desah nafas dan derit ranjang percintaan
gunung dapat bergeser, kabut mau menipis, awan tak meledak jadi hujan
langit tak melecutkan kilat, pusaran angin bergeming
matahari tak sembunyi di kejauhan, doa yang dirapalkan teman perjalanan
mampu mengetuk pintu kamar tuhan, malaikat maut melepas cengkeraman
dari badan pesawat yang gemetaran, atau sepasang sayap menyeruak
dari dalam punggungku, mengepak, membawaku terbang menjauhi api
yang tak berampun menghabisi isi perut dan seluruh tubuh rajawali besi
tapi gunung tetap pada tempatnya, seinci pun kabut tak menipis
seperti gerombolan setan turun dari neraka, hujan berluncuran
di persembunyiannya, matahari meringkuk menyaksikan langit
mengibaskan kilat, doa yang dirapalkan bibir-bibir gemetar
hanya jadi peluru yang lepas lalu sasar
cengkeraman malaikat maut di tubuh pesawat semakin gawat
sayap tak tumbuh di punggungku saat rajawali besi lunglai diabukan api
tangis, jerit, dan lolongan yang memanggil nama tuhan
menghantam punggung pegunungan, bayangan wajah kekasih bertaburan
bersama repih tubuh-tubuh manusia yang berhamburan
ke dalam mimpi indahmu, aku kini menyelinap
meminta bantuanmu untuk mencari tahu
apakah berita hancurnya sebuah pesawat
remah tubuhku yang tak berjejak dan tak beralamat
serta pernikahan yang urung dihelat, membuat kekasihku
sulit lelap atau tidur dalam nyenyak yang sangat?
yang bergoyang sejenak lalu diam
jendela kamar yang terbuka
melambai sesaat lalu diam
poni di dahinya sebentar terangkat
lalu jatuh tanpa debam
liontin perak berbentuk telinga kancil
desir darah dalam tubuh mungil
saat menyaksikan angin sore menggerakkan
segala hal di luar jendela, segala hal
yang baginya tak lagi sama:
kini memekarkan sejumlah rumpun saja
dulu, singgasana ibu
tempatnya mati menenggak racun cemburu
tempatnya memandang matahari pulang
sambil melingkarkan tangan di pinggang perempuan
yang dikawini sebelum nyawa istri meregang
tapi di mana gadis kecil itu meletakkan air mata
tak pernah berbeda: di tirai jendela
30 orang beriringan menuju makam
10 orang menggotong keranda
sisanya membawa ragam benda:
payung, teko, bunga, airmata, doa.
sekadar gerimis pun tak berkelebat.
orang-orang berjalan dalam kepungan
sinar matahari yang setajam tepi daun tebu.
mereka menarik dan menghembuskan nafas
di udara sesak debu.
perempuan berbaju warna api
berjalan di tengah rombongan ini.
ia tahu mengapa makhluk dalam keranda
meregang nyawa saat hari jelaga. namun,
mulutnya terkunci seperti pagi tadi
saat nenek sampaikan pesan ibu:
pakailah baju hitam bila ke makam
supaya duka tampak lebih dalam.
ia tatap pundak para lelaki yang menandu
keranda berisi raga ayahnya. di matanya
pundak-pundak itu bagai bersatu,
menyusun diri jadi pundak bapaknya:
tempat ia duduk mengayunkan kaki di kala balita
tempat ia menitipkan airmata di kala dewasa.
ketika pandangannya bermuara di perempuan tua
yang jalan terseok di barisan depan.
pundak makhluk itu sesekali terguncang.
di sebelah kiri wanita tua, perempuan lain
pada pundak rapuh itu, sesekali beri sentuhan.
namun, mulutnya terkunci seperti pagi tadi
saat melihat ibu berjalan dalam iringan lain
menuju tempat lain. di kanan-kiri ibu, berjalan
dua lelaki berseragam. di tangan kanan-kiri ibu,
dua gelang logam melingkar bertautan.
langkah para penandu keranda makin cepat.
masih tak ada hujan lebat, sekadar gerimis pun
tetap enggan berkelebat.
berlari meninggalkan rombongan.
ia ke mana? ia ke rel kereta.
dari liang, tempat tubuh ayahnya
kelak dilebur cacing lalu terurai jadi unsur hara
benda itu hanya berjarak beberapa puluh meter saja.
setelah kelopak matahari mengatup
dari balik bukit berpohon sedikit
kepala purnama menyembul
matanya menabur cahaya
serupa cakra mata ketiga yang mekar sempurna
seperti tangan petani menebar benih
di tanah yang matang oleh doa
ke tangan istri yang sedang mencengkeram leher kekasih suami
ke tangan ibu yang gemetar menghapus keringat dingin di dahi bayi
ke kucing pincang yang tak henti mengeong
usai dilempari batu oleh penghuni rumah yang disinggahi, ke anjing
yang terbaring di rumput menunggu kedatangan tuannya, ke balita
yang lari ke sana-kemari, tanpa berpikir untuk apa ia lahir
dan ke mana kelak pergi setelah detak jantung berakhir, ke lelaki tua
yang sibuk merayu malaikat maut agar tak datang buru-buru
sebab dosa-dosa masa lalu belum sempat tersapu.
purnama menebar cahaya
tak seperti petani
tak berharap menuai yang ditabur di bumi.
yang pagi tadi diantarkan tukang pos padaku.
sebilah jarum seperti mencucuk jantungku
saat nama pengirim sekilas terbaca. nama yang sama
dengan yang kuberikan pada seorang putera.
dengan dia, telah puluhan tahun, akuk tak bertatap muka.
plafon mengibarkan benang laba-laba, rombongan rayap
berumah di kusen jendela, tirai berwarna semuram ketam
meja dan kursi hilang kaki, lemari kaca dihuni tumpukan panci
jam dinding ditumbuhi fungi, televisi nyala tanpa warna, sofa busa
koyak pembungkusnya, dua gulungan wol hijau jeruk purut,
perempuan keriput duduk merajut.
seluruh benda yang tergambar di situ. tidak, tidak seluruhnya.
tergeletak di meja tak berkaki, buket mawar dengan kartu ucapan
bertuliskan “untuk ibu” adalah yang asing di antara semua yang akrab itu.
seasing perasaanku menerima kado dari anakku: ia yang kukubur
usai kulahirkan puluhan tahun lalu.
ketika di tepi laut, aku berdiri, meletakkan tatapan di hamparan camar
di bagan-bagan apung yang berderet membentuk barisan, di kapal-kapal
yang berlayar membawa harapan dan penyesalan. tampak samar
gerak asap kapal membentuk selendang, melayang lalu hilang,
sesaat putih lalu bening tanpa bayang, bagai wajah orang-orang
di masa silam, yang hilang setelah gemuruh ledakan gunung
di tengah laut ini berangsur hitam.
berpegangan tangan tanpa percakapan, diam memperhatikan
orang-orang menanti kepergian atau menunggu kepulangan.
sebagaimana aku, di tepi laut ini, dua remaja itu kerap berdiri
melepas dan menyambut kapal yang hendak berlayar atau menepi.
di kapal yang kukira akan menghantarku ke muasal:
ibu, sekuntum bunga yang melindungi aku (saat masih putik)
dengan lembaran petalnya. di sisi kiriku, dua remaja itu duduk
berpegangan tangan, masyuk membincangkan kota-kota
yang kelak jadi tujuan. sesekali mereka tertawa, sementara aku
sepanjang waktu mengenang wajah ibu yang tak pernah kulihat
ribuan minggu.
ledakan itu terdengar. sebongkah gunung telah melontarkan batu
dan menumpahkan api ke laut. angin panas penuh abu dan debu
mendatangkan kawanan halilintar yang menyambar, mencambuk
dan mengoyak permukaan laut. sambil memeluk sebuah tiang, dalam kapal
aku dengar orang-orang menjerit. kulihat seorang ibu terkapar
saat menyaksikan, ke laut, bayinya terlempar.
bagai mengiring nyawa-nyawa menuju rumah pemilik langit yang agung.
memeluk sebuah tiang, aku terpanggang. aku tubuhku melayang,
bersatu dengan debu, terbawa angin ke muasal lain, muasal yang bukan ibuku
tetapi tempat dulu kapal menjemputku, tepi laut yang mempertemukanku lagi
dengan sepasang remaja yang telah, sebagaimana aku, menghantu.
Inggit Putria Marga lahir di Tanjugnkarang, Lampung, 25 Agustus 1981. Lulus dari fakultas Pertanian, Universitas Lampung tahun 2005. Kumpulan puisinya: Penyeret Babi (2010) dan Empedu Tanah (2019), yang menjadi pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2020.
Tak ada puisi yang berjudul “Empedu Tanah” di buku ini. Juga setelah di searching, pun tak ada puisi yang memuat frase itu. Sampul belakang buku memuat puisi “Tamu tak Bermalu”. Puisi paling pendek di buku ini, hanya 1 bait dan 4 baris. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar