Data buku kumpulan puisi
Judul : Kata
Hati
Penulis : Rifa’i
‘Ali
Cetakan : II, 1975 (terbit pertama di
Medan, 1941)
Penerbit : PT Dunia
Pustaka Jaya, Jakarta.
Tebal : 48 halaman
(34 judul puisi)
Seri : PJ. 254
Gambar jilid : Zaini
Dicetak oleh Firma
Aries Lima, Jakarta
Beberapa pilihan puisi Rifa’i ‘Ali dalam Kata Hati
Surau
Kami
Betul di jantung
kesibukan dagang,
Di Java Street, Kuala
Lumpur,
Di ujung delta Sungei
Klang,
Berdiri mesjid permai
teratur.
Ketiga kubatnya besar
hitam,
Menara ramping
bentukan India,
Di tengah pelataran
kolam pualam,
Semuanya bersih putih
mulia.
Rumput berkeliling
dipangkas rendah,
Ditudungi berpuluh
batang kelapa,
Walau panas menghawa
timah,
Ini desa di tengah
kota.
Awak letih tersandar
ke tiang,
Angin datang bagai
merayap,
Ditambah nyanyian
Sungei Klang,
Timbullah kantuk,
menguap-nguap.
Surau buruk di kampung
kami,
Atap ijuk, papannya
jarang;
Siapa lalu tak usah
permisi
Tidur di situ malam
dan siang.
Danau
Maninjau
Tegak sendiri di malam
sunyi,
Bersandar ke lumbung
tengah ‘laman,
Maninjau danau di
bawah kaki
Dalam sinar terang
bulan.
Sinar qamar perak
terserak
Diarak riang
berkilau-kilau,
Tepi hamparan
bergerak-gerak,
Lenyap perlahan di
hitam-hijau.
Langit tenang angin
diam,
Bukti selingkar dewala
kala,
Kampung berkeliling
tidur diam,
Riak bermain
sendirinya
– Segarlah hati yang
siang ruyup,
Lupa sesa’at derita
hidup.
Ngarai
Si Anok
Berat himpitan Gunung
Singgalang,
Atas dataran di
bawahnya
Hingga rengkah tak
alang-alang:
Ngarai lebar dengan
dalamnya.
Bumi runtuh-runtuh jua
Seperti berabad-abad
yang lepas,
Debunya kirap dalam
angkasa,
Derumnya lenyap
disawang luas.
Dan penduduk di dalam
ngarai
Mencangkul di ladang
satu-satu,
Menyabit di sawah
bersorak-sorai,
Ramai kerja sejak
dahulu.
Bumi runtuh-runtuh
jua,
Mereka hidup bergiat
terus,
Seperti Si Anok depan
rumahnya
Diam-diam mengalir
terus.
Turun
ke Laut
Di bawah gubalan
perada warna
Tinggi-rendah laut
mengalun,
Di tepi langit kabur
dan sayup
Tampak biduk ayahku
punya;
Dalam ayunan gelombang
berpalun
Mencari nafkah
tambatan hidup.
Kalau hari hampirkan
pagi,
Kokok ayam sudah
pelahan,
Terdengarlah jala di
bahu berdesir,
Itulah masa ayahku
pergi,
Murai ucapkan selamat
jalan,
Aku tegak tercenung di
pasir.
Basmalah
Dengan bismillah
disambut bidan,
Dengan bismillah
berkafan badan,
Dengan bismillah hidup
dan mati,
Dengan bismillah
diangkat bakti.
Cerana
Kepada
M.D. – M.
O, mempelai, naik,
diri,
Tabur kunyit goyanglah
kipas,
Naik pes’mandan dengan
biduan!
O, mempelai, naik,
diri
Dara di atas siap berhias,
Inilah cerana turun ke
laman!
Ke
Mana Kita?
Jika dikaji sejarah
lama,
Sejarah bangsa membuat
riwayat,
Ditilik pasal kaum
agama,
Cara baktinya ke tanah
ulayat,
-- Malu terasa dalam
hatiku.
Malu bercampur gemas
dan pilu.
Di atas lembaran hari
kemarin
Tertumpah noda syekh
ulama:
Mengajarkan talkin
guna bermain
Memperbanyak janda di
mana-mana,
Segala perawan semarak
suku
Dinazarkan orang untuk
tuanku.
Siapa tidak gemas di
hati,
Suluh bendang kepada
negara
Mempergunakan syareat
nabi
Penutup ganas nafsu
asmara:
Menaburkan akan di
segenap liku
Dengan laku tak mau
tahu.
Hati mana tidak
kasihan,
Akibat segala jatuh
tertuntung
Ke atas, punggung
bangsa perempuan,
Karena kasihnya ke
anak kandung;
-- Lembar riwayat
fukaha dulu
Kumal ditetesi air
mata ibu
Tapi zaman itu sudah
lampau,
Hari surau boleh
dibalik;
Halaman baru kertas
berkilau,
Hari kita matahari
naik:
Alim moderen pakai
sepatu,
Goyang sepeda tangan
di saku.
Hari kita masih pagi,
Sejarah belum memegang
kalam;
Pemuda-pemuda
putera-puteri,
Angkat kaki jawablah
nalam:
Hendak ke mana kita
menuju
Dalam kebaktian yang
akan lalu?
Sebabnya begitu soalan
saya,
Takut melihat harapan
rakyat,
Kepada kita tumpah
percaya
Mempertaruhkan gadis
satu internaat,
Takut tak cukup tenaga
kalbu
Penanai amanat sebesar
itu.
Darah muda sangat
gembira
Mengajarkan nyanyi
aksi berlonjak,
Murid senyum, ditarek
suara,
Awak menandak
menodak-nodak.
-- Saya cemas kalau
begitu,
Kelak habis selaput
malu.
Jika sungguh hendak
berjasa,
Selubung malu usah
disoyak;
Hormati benar kaum ibunda,
Kebaratan diagak-agak;
Jika kuatir khianat
kalbu
Amanat jangan terima
dulu!
Hari kita belum
tinggi,
Sejarah belum mencapai
kalam;
Pemuda-pemuda yang mau
pergi,
Angkat kaki jawablah
nalam:
Hendak ke mana kita
menuju
Dalam kebaktian yang
akan lalu?
Teratur
Detik ke detik dijagai
sep,
Tepat di saat tanda
diberi,
Baru kereta masuk,
berangkat,
Sekian teliti kadang
pun kasep,
Bertumbuk ekspres
dahsyat ngeri,
Silap sedikit besar
akibat.
Sekitar kita disawang
hawa,
Sejak ribuan abad yang
lalu,
Berlayangan berjuta
bintang.
Walau lajunya tidak
terkata,
Belum terbetik sejak
dahulu:
Bintang bergeser
dengan bintang.
O, tuan, ahli pikiran,
Dapatkah dibenarkan:
Peralaman mati
Teratur sendiri?
Manusia
Aku kagum mencari
gambar,
Pusaka jari pujangga
besar,
Hidup timbul bagai
menggeletar,
Darah di jantung
berdebar-debar.
Sukma serasa tidak di
bumi
Demi menyimak nyanyian
seni,
Terlayang-layang di
atas fani
Atau tercampak ke
sunyi mati.
Kalbu cair mata
berair,
Darah nyawa suci mengalir,
Waktu merasai sari
syair,
Ratap pujangga
terbilang mahir.
Darah beku, kakiku
kaku,
Tampan arca tegak
terpaku,
Mengherani bangunan
sebukit batu,
Tinggi meninju langit
biru.
Lelah otak
mengira-ngira,
Besi terbang atas
udara:
Silam-menyilam dalam
segara;
Di darat bak ular
sendiri mara.
Betul sempurna wujud
insani:
Gaib pendapat akal dan
budi!
Tidak termakan dik
rasa hati:
Kematian manusia punah
bak api!
Kedewianmu
Aku terlihat sekar
belukar
Letai melayuk di
tangkai lampai,
Terbuai-buai diganggu
bayu;
Hati yang tenang kolam
yang tawar
Sekonyong beriak
berbuih rampai,
Memutihlah kasih
ditiup sayu.
O, sekar astakona
ketek,
Sebelum kupetik kubawa
pulang,
Tuan, kemala hidupku
nanti,
Supaya permai tamanku
molek,
Dengar dulu lagu
tualang,
Rahsia hati mencahari
mimpi.
Sekat Pilu dewi di
rimba!
Tahukah ratun pemikat
maut,
Pengubur gelisahku di
diri tuan,
Pengebat kita bersatu
sukma,
Buntar bidikan jeling
seraut,
Rahsia hati takluk ke
tuan?
Bukan daku ditawan
permai,
Kaya raya bangsawan
awan
Atau alim dunia
akhirat;
Belumlah tenteram kalbuku
damai
Dihibur riang – malu
perawan,
Merdu suara dibikin
jimat.
Sekar rindu ungu
bersedih,
Bukan kuingin pedas
dan tangkas,
Srikandi di atas
mimbar,
Malah merahap khayalku
letih,
Menyembah sejati lemah
dan ringkas,
Lemas di pergaulan
sidang belukar.
O, puspa, hanya pada
lemasmu,
Lembut dalam seluhur
arti,
Tertangkut gahku, kosa
terserah;
Didesau-desau
lahir-batinmu,
Di situ daku menanti
mati,
Di situ tercurah
sejati mesrah.
Pulang
ke Tuhan
Terbujur dagang tidak
beruang,
Jauh neg’ri jauh
pamili,
Mati s’orang di rantau
orang
Memang sedih sakit
sekali.
Lebih pedih meracun
mati,
Mati di mata
sanak-saudara,
Bila dapat dibaca
hati:
Mereka tinggal dengan
gembira.
Baru terasa sampai ke
tulang:
Datang ke mari seorang
diri,
Seorang jua kini
pulang …
O, jangan pamili
melalai bakti!
Pulang ke Tuhan selagi
teruna,
Agar hidup tak sia-sia;
Tidak tahu membalas
guna
Terima kasih dari
dunia.
Betapa
Tidak
Maksuk banyak yang
rancak,
Tercapai banyak yang
tidak!
Betapa daku tidak
mengaku:
Ada Penguasa, iradat
berlaku,
Tidak semua pinta
manusia
Bisa terkabul dalam
dunia!
Di
Mesjid Ma’sum
Tiang pualam pirang
dadu,
Dinding di dalam
kuning-coklat,
Kubat cengkerung
biru-abu,
Ukiran air mas
berkilat-kilat.
Mendengung sepenuh
mesjid raya
Dibuat suara kedua
muazzin.
Ketika di pintu
sebelah kanannya
Tersembul arakan kawal
khatibin.
Dua orang pegang
bendera,
Dan satu menyembahkan
tungkat,
Lalu bersila di atas
tangga
Setelah khatib
mengucap selamat.
Walau hamba tidak
mengerti
Pidato khatib berbasa
Arab,
Kehebatan masuk ke
hati
Pengganti keinsafan
yang diharap.
Di
Kuala
Malam silam fajar
menyingsing,
Awan berkuak matari
nampak,
Kabut berpusing daun
berdering,
Sinar kilauan di ombak
rampak.
Sayap terkembang masuk
kuala,
Putih berleret
berbanjar-banjar,
Menyembah syamsiar
tunduk kepala,
Girang cemerlang
berkejar-kejar.
Pelangi warna
perarakan ombak,
Halus tari menyusur
pantai,
Merdu suara alun
bersibak,
Semerbak udara kembang
teratai.
Segenap riak
bersukacita,
Dalam lentunan
keindahan pagi,
-- Ikut pula bergirang
beta
Walau masing-masing
tidak mengerti.
Iradat
Ilahi
kepada
Ibunda Syarifah
Menggunung syukurku
bagiMu Tuhan,
Lapang dadaku terkuak
angan
Demi kumaklumi iradat
Rahman
Melahirkan aku di
kesengsaraan.
Aku diserahkan tiada
berkain
Ke dalam pangkuan ibu
yang miskin;
Biasa bermandi cucuran
‘ain
Milik ibuku tiada yang
lain.
Kalau aku dikirimkan
Allah
Sebagai hadiah ke ibu
lemah,
Inilah tanda, ini
isyarah
Ujud hidupku penyumbat
susah.
Bukan penindih ibu
yang letih,
Penambah pedih pelukai
perih,
Malah pembela sebagai
Almasih,
Begini iradat Tuhan
Pengasih.
Serongkok condong
wajib kutupang,
Tiris atap sisipkan
tulang,
Lantai roboh bahu
penyandang,
Pantang mengerang
tanggungkan sorang.
Demikian warisan
segala nabi,
Diriku termaktub
sunnah Ilahi:
Lahir ke bumi penungkat
umi
Kalau tak puteranya
siapa lagi.
Tentang Rifa’i ‘Ali
Rifa’i ‘Ali lahir Padang Panjang tanggal 24 April 1909. Setelah tamat
sekolah dasar, ia diasuh dalam perguruan agama Diniah dan Tawalib. Perhatiannya
terhadap seni lukis dan sastra cukup besar. Selama tiga tahun ia belajar
melukis pada Wakidi, seorang pelukis naturalis; sedang sajak-sajaknya
kebanyakan diciptakan ketika ia belajar di Islamic College, Padang, tahun 1932.
Di antara sajaknya, ada yang dimuat di majalah Poedjangga Baroe, Semangat, Pemoeda dan Pantca Raja. Untuk memperdalam bahasa Inggris, sengaja ia
menyeberang ke Malaysia, belajar di Von Mullen English School tahun 1935-1940
sambil bekerja sebagai tukang cukur. Kembali dari Malaysia ia bekerja pada
penerbit Firma Tjerdas di Medan dan pada cabang-cabangnya di Palembang dan
Bukit Tinggi sampai 1956. Selama itu terbitlah buku-buku prosanya yang berupa
bacaan ringan seperti Ibu Setan, Merindu Majat, Gadis jang Dinazarkan, dll. Tahun 1948-1950 ia bekerja pula pada
Pema (TNI) Bukit Tinggi. Namun perhatiannya pada karang-mengarang tidak
terhenti. Ia pun banyak menggarap soal-soal agama. Bukunya yang berjudul Tuhan Ada terbit tahun 1968. Kumpulan
puisi Kata Hati, yang terbit pertama
tahun 1941, merupakan kumpulan sajak yang digalinya dari kehidupan dan
keimanan. Di antaranya juga terdapat terjemahan beberapa surat Al-Qur’an dalam
bentuk puisi. (disarikan dari biodata penyair di sampul belakang buku).
Catatan
Lain
Selalu menyenangkan menemukan puisi-puisi lama. Itu
yang saya rasakan. Saya suka geleng-geleng kepala habis membaca sajak-sajak
itu. Kata-kata yang muncul sering ajaib. Entah datang dari negeri mana. Apa
salah cetak, apa saya yang tidak tahu, jika kata itu di masa dahulu pernah ada.
Contohnya kata “kubat”, dalam puisi Di
Surau Kami. Mula-mula saya mengira itu salah cetak, yang benar kubah. Tapi
begitu menemukan sajak Di Mesjid Ma’sum,
lagi-lagi saya menemukan kata “kubat”. Saya berubah pikiran. Jangan-jangan kata
kubat memang ada. Jadi memang butuh kehatihatian jika berhadapan dengan
puisi-puisi lama. Oya, dulu kata “puisi” tak dikenal. Hanya sajak, atau sanjak?
Tengoklah Chairil Anwar, saya rasa, ia tak sekalipun memasukkan kata “puisi”
dalam karya-karyanya, adanya sajak. Demikian juga Subagio Sastrowardoyo. Saya
pikir, kata “puisi” barulah populer sejak masa SDD, Goenawan Mohamad atau
Taufik Ismail. Tak jelas benar siapa yang pertama kali mempopulerkan kata
“puisi”. Tapi seingat saya, STA pernah bikin buku terkait puisi baru dan puisi
lama. Tapi tak jelas tahun berapa terbitnya. Saya rasa, saya perlu mencari
referensi tentang itu. Jika sekalian pembaca mengetahui sejarah penggunaan
“sajak” dan “puisi”, maka bolehlah kita berbagi di sini. Salam puisi, eh, Salam
sajak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar