Data buku
kumpulan puisi
Judul :
Surat dari Langit
Penulis :
Eza Thabry Husano
Cetakan :
I, 1985
Penerbit :
Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Prov. Kalimantan Selatan
Tebal :
45 halaman (40 puisi)
Sampul :
M. Muchtar AS
Pengantar :
Hijaz Yamani
Beberapa pilihan puisi Eza Thabry Husano
dalam Surat dari Langit
Aku ingin jadi Seruling Bambu
Aku ingin jadi seruling bambu
bersiul tiap mengerling
Melepas kusut segala benang
di pintalan sang matahari
Seruling sekedar suara
menampar ke batas bunyi
meremas dinding kaca
yang mengurung segala luka
Aku ingin jadi seruling
yang berangkat dari rumpun bambu
mengalir di lorong waktu
deru menderu atas nama Mu.
1983
Kuala
Pada kuala mesti melaut
Katakan pada air dan perahu
Namaku mengalir
Dari bukit ke pesisir
Di punggung bukit
Angin merengkek jadi kuda
Menerjang bulu-bulu mata
Dari gerimis semesta
Pada kuala mesti melaut
Kabarkan pada air dan perahu
Namaku bertambat di pesisir
Menggergaji duri-duri pasir
1984
Surat dari Langit
Tiba tiba mata tertutup selimut Salju pun turun
menyisir rumput
Dingin musim. Langit berlumut
Kuterima surat dari sang Kekasih
dalam sekian kutub percintaan
Telah kubaca selesai. Tanda zaman
hingga titik koma dari hulu
ke muara tulisan tangan alit
:
surat dari Langit
1984
Siklus
Kukenali daun dalam putikku
Di kerimbunan pohon menjulang
Di ganggang sekian masa
Menatap keluasan langit tiada tara
Dari putik tumbuh melebat
Menelusuri tangkai dan daun
Memikul makna batang, akar-akar
serta segumpal tanah
Pucuk-pucuk pun berseri
Pengembaraan pohon menjulang
Tumbuh kemudian tumbang
Dari wajah tanah roboh ke tanah
Ciptaan keluasan langit tiada tara
1985
Rakit Bambu
rakit hanyut
di sukma sungai dari bukit
bangkit dari jeram ke jeram
terhempas di riam
rakit hanyut
mengalir miang kulit bambu
mengayuh bayang dari hulu
memantul di alir dan batu-batu
rakit hanyut
rakit hanyut
merakit riak-riak rindu
untuk menambat rakit bambu
ini. Pada tiang pantai Mu.
1982
Seketika Aku Terkepung Sepi
Engkau Ada di Situ
Langkah siapa itu menyisir sepi
Sepi siapa itu menyeret langkah siapa
Lelaki siapa ini terkepung sepi mengapa
Mengap di sini sepi siapa
Akukah ini?
Yang melangkah ke tebing jurang
dan ENGKAU ada di situ
1980
Sajak Selembar Daun
Selembar daun luruh
mengetuk pintu berkabar duka
tentang ranting yang tak kuasa
mempertahankan kampakan angin
Ia masih berwarna daun
seperti guratan selembar daun
Di halaman tadi sore terdengar
daun luruh selembar selembar
lepas tangkai sangsai. Terkulai
dingin. Sunyi
1983
Tidurku Melompat
Tidurku melompat
ke mimpi lagi
bintang pisuh memisuh
ketika hujan runtuh
sampai pagi. Aku masih sendiri
Sungai-sungai malam
bintang-bintang berlabuh
pasti ke situ. Mengalir mimpiku
Mimpi membara api melompat
dari sebilah korek api
yang telah kugarit. Mati!
1984
Maghrib
Telapak kaki ini sudah di maghrib
Lorong waktu yang tersisa
Menyembah Yang dan menulis puisi
Tegar amali tanpa memaling muka
Mendayung janji ukhrawi
Lepas ke arah pintu langit
Mega-mega mengatup
buku kumpulan puisi dan kerikil duka
harum mawar dan bau getah
yang merekat pada jantera hari
tikungan hakekat manusiawi
1980
Hujan Putih
pundak ini telah kita sediakan
memikul tombak runcing hujan
yang perlahan-lahan
mencompang-camping daun-daun
perjalanan
awan tirai kasa, kuaklah!
di luar tampak kabut sejuta aksara
catatan tentang kelopak rekah kaki
kita yang ungu. Adakah saat jungkiran
waktu
memetik menyiul suara
merangkai hujan putih
pada Yang Maha
1981
Darah Malam
Apa maunya malam
menggunting jalan-jalan
hingga terompahmu
tersita darahnya
royak telapaknya
darah malam
lepuh mendekam
Malam kotakpos kelam
surat cinta dari rembulan
mengalir perlahan-lahan
ke terompah kita
: tak henti-henti Nya
1981
Tentang Eza Thabry
Husano
Eza Thabry Husano lahir di Kandangan, 3 Agustus 1938. Meninggal, 15 Juli
2011(?), saat saya dan beberapa sastrawan Kalsel menghadiri Dialog
Borneo-Kalimantan XI di Samarinda. Buku antologi puisi yang sudah
diterbitkannya Banjarbaru Kotaku
(1974), Dawat (1982), Rakit Bambu (1984), Kuala (1984) dan Lelaki
Kembang Batu (2009?). Bukunya yang terakhir itu memuat 99 puisi. Tahun 1985, ia menerima Hadiah Seni Bidang
Sastra dari Gubernur Kalsel. Tahun 1987, menerima Piagam Penghargaan Seniman
Terbaik dari Bupati Barito Kuala. Tahun 2004, Piagam Penghargaan Seniman Sastra
Terbaik dari Walikota Banjarbaru.
Hal
Lain
Hijaz Yamani yang memberi pengantar di buku ini,
mencatat, adanya perubahan-perubahan kecil pada beberapa buah puisi yang
tadinya termasuk dalam buku puisi sebelumnya, yaitu Dawat, Rakit Bambu, dan
Kuala. Namun masih dianggap berpijak pada warna dasar dan tema semula. Hal-hal
semacam ini (merubah-rubah puisi), menurut Hijaz, juga biasa dilakukan penyair
kenamaan, karena pengembangan imaji penyair, sesuai dengan pendalaman dan
kompleksitas pengalaman batin.
Hijaz juga mencatat bahwa dalam usia perjalanan penyair
yang menuju posisi senior di Kalsel, Eza Thabry dipandang sebagai satu-satunya
sosok dari angkatannya yang masih produktif setidaknya jika dilihat sampai lima
tahun terakhir. (sebagai catatan, sang penyair telah mulai mempublikasikan
puisinya sejak 1959, waktu ejaan masih ejaan lama, coy). Jadi karena itulah
Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalsel memutuskan untuk menerbitkan buku
ini. Hijaz Yamani menuliskan akhir Oktober 1985 untuk menandai pengantarnya.
Saya pernah melihat buku ini di perpustakaan kota
Banjarbaru. Tapi kondisinya sudah memprihatinkan. Sampul luarnya seperti
luntur. Saya akhirnya meminjam langsung ke rumah penyairnya, meminta ijin
membongkar-bongkar koleksi buku milik almarhum. Ternyata sama saja, dari
sekitar 20-an buku Surat dari Langit
yang masih tersimpan, kesuraman warna sampul luarnya tak bisa dikelabui. Oya,
kenapa saya memilih puisi Aku ingin jadi
Seruling Bambu menjadi puisi yang tampil pertama, karena puisi itu pernah
dimuat Abdul Hadi WM dalam ruang Dialog
di harian Berita Buana. Saya berkesempatan melihat kliping puisi itu yang
disusun oleh penyairnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar