Selasa, 04 Februari 2014

Ragil Suwarna Pragolapati: SALAM PENYAIR


Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Salam Penyair
Penulis : Ragil Suwarna Pragolapati
Cetakan : I, November 2002
Penerbit : Bentang Budaya, Yogyakarta (pernah terbit terbatas pada 26 Februari 1989 oleh SYS; Studiklub Yoga-Sastrapers)
Tebal : viii + 118 halaman (51 puisi)
ISBN : 979-3062-48-7
Penyunting : Mustofa W. Hasyim
Perancang sampul : Buldanul Khuri
Gambar sampul : Alfi
Pemeriksa aksara : Winarti, Yayan R. Harari
Penata aksara : Ari Y. A.

Beberapa pilihan puisi Ragil Suwarna Pragolapati dalam Salam Penyair


Puja-Puji untuk Petruk

Terpujilah namamu, Truk! Sekarang zaman keemasanmu
Kawula Republikku memuliakan kau, di tahta agungmu
Rezim Puntadewa-Bima-Arjuna-ku sudah lama bangkrut
Bharatayudha paripurna. Para seniormu gulung tikar
Gatotkaca-ku tewas. Padahal Parikesit-ku kurang siap
Langgenglah di tahta agungmu. Memerintah Republik!
Rakyatku sengsara butuh humormu. Pelipur frustrasi

Kaum wanitaku memujamu, Truk! Kau jangkung, anggun
Publikmu suka kau periang. Dukacita rakyatku hilang
Dalam nestapa seberat apa pun, Republikku tersenyum
Hidup pun jadi ringan. Tidak lagi serius dan ilmiah
Apalagi stafmu dari atas ke bawah seluruhnya pelawak
Hidup rakyatku bagai ringan-damai-nyaman karena tawa
Dungu-rakusmu bukanlah cacat-noda bagi politik humor

Dimuliakanlah dirimu, Truk! Ideologimu pun bersahaja
Dua tanganmu mengomando ke atas, dua telunjukmu searah
Jikalau tangan kirimu lepas, terkulai mengurus bawah
Telunjuk kirimu menuding belakang. Jari kanan ke depan
“Rujak sentul!” keluhan orang. Itulah politik lawakan
“Ke selatan!” perintah atasan. Kawulaku pun ke selatan
“Ke utara!” tafsir bawahan. Rakyatku pun wajiblah paham

Salam, Truk! Di zamanmu, Republikku bagaikan makmur
Seluruh lelaki hamil, perut gendut, meniru sosokmu
Sirnalah duka-nestapaku, Indonesiamu berpesta humor-mu
Lapar dan miskinku terlipur. Tawa jadi obat mustajab
Republikku turun-temurun milikmu. Inilah dinasti lawak

Jakarta, 1986; Yogyakarta, 1988

Komang Ira Puspitaningsih: KAU BUKAN PERAWAN SUCI YANG TERSEDU


Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Kau Bukan Perawan Suci yang Tersedu
Penulis : Komang Ira Puspitaningsih
Cetakan : I, Mei 2012
Penerbit : Ning (ning.publising@yahoo.com)
Tebal : 104 halaman (44 puisi)
ISBN : 978-602-19629
Editor : Komang Ira Puspitaningsih
Desain isi: JR Wahyu
Ilustrasi isi : Dwi S Wibowo, Yulwinar Eka Saputra
Desain dan foto cover : Ibed Surgana Yuga
Sketsa profil : D. Zawawi Imron

Beberapa pilihan puisi Komang Ira Puspitaningsih dalam Kau Bukan Perawan Suci yang Tersedu

Kau Bukan Perawan Suci yang Tersedu
: saras

Aku tak sedang menyulam
kenangan
Atau menyeberangkanmu
ke musim yang semi

Tanamlah jarum sulamku
Menjadi semak berdaun duri
Sebelum bandul pendulum itu
Menjemputmu,
bayanganmu
Menjemput semua yang luput
dari matamu

Aku tak sedang memintal tangismu
jadi nasib baik
Roda pemintal telah kuistirahatkan

Kau bukan Saraswati
Yang menggugurkan helai-helai teratai
di tangan kirinya
Bukan juga perawan suci
yang tersedu

Tuhan tak akan berkata di telingamu
Karena angsa-angsa pergi
Meninggalkan rebab, genitri, dan
keropak meragu, juga
tangkai teratai yang layu

Jogja, 2005


Kerikil Berjatuhan dari Langit
                : tsabit kalam banua

Tiba-tiba
Kerikil berjatuhan dari langit
Menjelma hujan yang
membangunkan tidurmu

Lalu kau memanjat jendela
Mengintip halaman perlahan
Mengintip hujan, pohon-pohon kedinginan
dan ayunan basah

M. Sulaiman Najam: SEBATUNG MELUKIS DALAM KACA


Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Sebatung Melukis dalam Kaca
Penulis : M. Sulaiman Najam
Cetakan : I, Januari 2009
Penerbit : Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru, Kab. Kotabaru, Kalsel.
Tebal : xvi + 127 halaman (89 puisi)
ISBN : 978-6028414-05-0
Editor : Y. S. Agus Suseno
Desain isi dan cover : Hery S
Tata Letak : Rony Syafriansyah
Lukisan sampul : M. Syahriel M. Noor
Prolog : Sainul Hermawan
Epilog : Burhanuddin Soebely

Beberapa pilihan puisi M. Sulaiman Najam dalam Sebatung Melukis dalam Kaca

Renungan Senja

Di senja ini
Lengkung langit
Menatah merah cerah
Di kepakan sayap awan merona saga
Dan bola emas mencelupkan kaki
Di permukaan biru menjadi kemerahan
Tenggelam menggeliat resah
Bagaikan ular melata

Kurenungi
Batang usia di senja ini
Kutatap bola emas menyala
Di penghujung perjalanannya
Menanti
Sesaat lagi malam bertahta
Gelap menutup pintu gerbang
Bintang-bintang gemerlapan
Di batas hamparan permadani
Seberkas cahaya
Penyejuk rasa dan embun yang menyirami
Tinggalkan butir-butir bening
Di permukaan bumi

Tangkai-tangkai rapuh
Daun-daun menguning
Kelopak demi kelopak
Berguguran
Semua sirna
Hilang
Kembali kepada tiada
Tinggalkan gurat-gurat dalam membekas
Di pelataran
Kehidupan nyata

Iverdixon Tinungki: AKU LAUT, AKU OMBAK



Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Aku Laut, Aku Ombak
Penulis : Iverdixon Tinungki
Cetakan : I, Oktober 2009
Penerbit : Kutub, Yogyakarta
Tebal : x + 110 halaman (61 puisi)
Penyunting : Ahmad Syubbanuddin Alwy
Penata Aksara : Edeng Syamsul Ma’arif
Pra cetak : Hidayat Muhammad Arif
Layout : Muhammad Syahri Romdhon
Design cover : Aminuddin TH Siregar
Gambar cover : “Stuck in Reverse” karya J.A. Pramuhendara (teknik Charcoal di atas kertas tahun 2006)
ISBN : 979-975830-8
Pengantar : Meilia Handoko Kolondam

Beberapa pilihan puisi Iverdixon Tinungki dalam Aku Laut, Aku Ombak

Sambo Ghenggona

Tuhan sajak bungabunga, bungabunga sajak Tuhan
            Dalo dalo ia medalo mesuba Ruata
sembah syairsyair nafas, nafas syairsyair sembah
            Ghenggona Langi Duatang Saruruang
kelip bintang tepi duka, duka di kelip bintang
            Iamang ianang Fattimah magenda putung
amuk ombak samuderasamudera, samudera amuk ombakombak
            Su hiwang Baginda Aling
pujaan sajaksajak laut, laut sajaksajak pujaan
            Dalo dalo ia medalo
Keperkasaan semesta mata ibu, ibu mata semesta keperkasaan
            Ghenggonalangi medadingan su gaghenggang
hati lepuh cair diratap mantra, mantra ratap dilepuh hati
            Iamang ianang Fattimah magenda putung
ya Esa... esakan duniaku, dunia esa ya... Esa
            Su hiwang Baginda Aling
dari arasaras jalan menikung, menikung jalan arasaras
            Dumaleng suapeng nanging
menuju denting surga, surga harapan denting hati
            Manendeng mbanua mbanua Duatalangi
menuju kupu menafsir cahya, dan cahya menafsir kupu
            Sole tama sole buntuang taku makibang
yang mencari pagi punya matahari, karena matahari punya pagi
            O, Biabe sukakendagu Ruata, e

2008
* Sambo (Sasambo) adalah syair pemujaan dan pengajaran (sasasa). Sejak Nusalawo masa purba sasambo dinyanyikan dengan menggunakan Tagonggong (alat tetabuhan). Ghenggona (Ghenggonalagi = Ruata) adalah ilahi pencipta semesta dan pemimpin para moyang tertinggi (dewa). Pesambo (orang yang menyanyikan sasambo) biasanya mengubah syairnya secara spontan mengikuti cita rasa hatinya. Syair itu dibawakan secara berbalasan antara beberapa pesambo. Estetika sasambo terletak pada ornamensi kanon dan rima bunyi, bukan pada makna diksi.

Juniarso Ridwan: SEMUA TELAH BERUBAH, TUAN


 Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Semua Telah Berubah, Tuan
Penulis : Juniarso Ridwan
Cetakan : I, Februari 2006
Penerbit : Ultimus, Bandung.
Tebal : xxxvi + 225 halaman (186 puisi)
ISBN : 978-979-99560-2-1
Editor : Bilven
Gambar Sampul : Diyanto
Desain sampul : Ucok
Prolog : Yasraf Amir Piliang
Epilog : Afrizal Malna

Kumpulan puisi Semua Telah Berubah, Tuan terdiri dari 2 (dua) kumpulan yaitu Perjalanan (98 puisi) dan Buih (88 puisi). Perjalanan terbagi atas 4 (empat) subbagian, yaitu Semua Telah Berubah, Tuan (27 puisi), Starting Over Again (27 puisi), Kau Bukan Tukang Sulap (34 puisi), dan Surat Api untuk Nyonya Margho (10 puisi). Adapun Buih terbagi atas 3 (tiga) subbagian, yaitu Pohon Kegetiran (24 puisi), Perjalanan Gelap Tuan X (39 puisi) dan Karpet Bunga di Jalan (25 puisi).
 
Beberapa pilihan puisi Juniarso Ridwan dalam Perjalanan

Ziarah

siapakah menyeret bayangan ini
mencari sumber cahaya. Penglihatan
semakin kehilangan warna,
terpaku pada kerlip-kerlip bintang

jadilah diri bergerak pada kepekatan abadi,
seperti kelelawar terbang
dengan gema suara. Mempertanyakan
jarak antar ruang kehidupan:
sekadar menilik diri
sebagai larva busuk.

1990