Selasa, 04 Februari 2014

M. Sulaiman Najam: SEBATUNG MELUKIS DALAM KACA


Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Sebatung Melukis dalam Kaca
Penulis : M. Sulaiman Najam
Cetakan : I, Januari 2009
Penerbit : Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru, Kab. Kotabaru, Kalsel.
Tebal : xvi + 127 halaman (89 puisi)
ISBN : 978-6028414-05-0
Editor : Y. S. Agus Suseno
Desain isi dan cover : Hery S
Tata Letak : Rony Syafriansyah
Lukisan sampul : M. Syahriel M. Noor
Prolog : Sainul Hermawan
Epilog : Burhanuddin Soebely

Beberapa pilihan puisi M. Sulaiman Najam dalam Sebatung Melukis dalam Kaca

Renungan Senja

Di senja ini
Lengkung langit
Menatah merah cerah
Di kepakan sayap awan merona saga
Dan bola emas mencelupkan kaki
Di permukaan biru menjadi kemerahan
Tenggelam menggeliat resah
Bagaikan ular melata

Kurenungi
Batang usia di senja ini
Kutatap bola emas menyala
Di penghujung perjalanannya
Menanti
Sesaat lagi malam bertahta
Gelap menutup pintu gerbang
Bintang-bintang gemerlapan
Di batas hamparan permadani
Seberkas cahaya
Penyejuk rasa dan embun yang menyirami
Tinggalkan butir-butir bening
Di permukaan bumi

Tangkai-tangkai rapuh
Daun-daun menguning
Kelopak demi kelopak
Berguguran
Semua sirna
Hilang
Kembali kepada tiada
Tinggalkan gurat-gurat dalam membekas
Di pelataran
Kehidupan nyata



Melukis dalam Kaca

Aku ingin tenggelam
Di sinar laut-Mu yang putih
Menggapai riak-riak mimpi
Di air bening mengalir
dari sungai-sungai firdaus-Mu
yang belum tersentuh

Aku ingin mereguk hikmah kesucian
Dari pancuran magfirah-Mu yang hakiki
Bermandikan cahaya malam seribu bulan
Tinggalkan bahtera layar hampa
Menggantung bayangan mati

Di taman cahaya yang Kau cipta
aku tersungkur merendahkan kepala
Merajut sukma membelah dada
Di ujud nyata satu jiwa
Di bingkai rasa lukisan rahasia
Aku telah tiada


Di Pendakian

malam dingin
bumi seperti rumah tak berpenghuni
angin menari
menggerakkan daun-daun kenari
tak diam sepanjang hari
dunia menjelang mati

ketika liku-liku jalan dilalui
enggan bicara soal nanti
tikungan akhir
di antara sepasang kaki
menghimpun napas
tak ada pembicaraan
malam pun jauh di pendakian


Lagu kecemasan

bayangan mimpi
menggantung di lazuardi
senandungkan lagu sukma
di ruang semesta
liriknya segumpal kelelahan
dan sekeping kecemasan

namun ia tak henti
mengais kulit bumi
dari jejak ke pintu doa
kabulkanlah kiranya
letakkan di tikungan jalan itu
lipatan waktu lembar demi lembar
agar kecemasan yang mengharu biru
padam memudar


Akal Budi

Panorama menyedihkan
Dalam lukisan akal budi
Sudah ditating bagai minyak penuh
Masih beriak gelembung kosong
Eko dalam reportase penyair
Tiga puluh tahun penyair menulis puisi
Menggoreskan kanvas diri pada peristiwa
Puisi tetap kerontang
Kata yang tidak disapa
Hati menangis
Kota ini, negeri ini tidak lagi
memberi kesejukan
Alamnya tidak hijau lagi
Gundul terkoyak

Bandar kasino merebak datang
Mengadu untung dalam perjudian
Menapak senja di kilat malam
Berlindung di bayang kelam
Betapa menyedihkan seorang petani
Termangu di tepi jalan
Menopang dagu kebingungan
Sukar mendapatkan jerami
Ternak-ternak sekarat
Lukisan akal budi
hanya cerita memikat hati


Musyafir, 2

begitu jauh memasuki gurun
tak berpintu
jendela awan di ufuk berkabut
menyeret langkah tapak demi tapak

meninggalkan yang disayangi
mencari yang dicintai
tidak susut sehelai rambut
meski badai mengancam
menggulung dan menerbangkan
segala yang di depan

segumpal daging membatu
sebening embun menyiramnya
berjalan tidak mengenal waktu
lupa diri hilang rupa

bertemu seorang tua membawa suluh
di siang hari mencari wajah
serupa dalam mimpinya
lebih tua dari gurun
lebih perkasa dari badai

aku menyapa mencari siapa
aku pun tak tahu, katanya
kami duduk bersama bayangan
mencari yang serupa tapi jauh
mengharap yang dekat tapi tak tersentuh


Mayat dan Mimpi

Engkau telah keluar dari dirimu, meski ratap tangis tak
berbilang waktu, karena kau mencintainya. Kodratnya tak
dapat disentuh dan enggan diraba, sebab kehendaknya
melipat segala makna.
Air matamu basah mengaliri keringat di tubuh kami dan
memandang dirimu pada sekujur badan yang terlentang kaku
dingin, dalam sunyi dan hening.
Di sela suara surah yasin tadarus meliputi ruangan, hanya Allah
Yang Maha Tahu. Engkau telah berpindah dari alam nyata ke
alam gaib. Perjalanan duniamu telah putus, awal memasuki
pintu akhirat. Kau pergi tanpa bekal, kecuali hidup yang
bermanfaat, amal saleh dan amal jariah.
Kini kau diam tak bisa bicara. Tak ada tegur sapamu, tak ada
senyummu, tak ada senda guraumu. Semua kau bawa pergi.
Jauh tak kembali. Hanya bertemu dalam mimpi. Mimpi yang
indah sekali...

Rembang petang awal Februari. Hujan rintik-rintik. Langit
masih mendung ketika sayup-sayup terdengar suara gemuruh
ombak di pantai. Surat itu tenggelam bersama alunan biola
yang menyayat hati. Lemas mengiba, gelisah menyentak, lirih
mendesah, membelai dan menurun tipis seperti empasan
kapas. Begitu syahdu dan mendalam, terhenti segala kepak
sayap, terhenyak segala yang melata. Menggetarkan hati
nurani, memukau semua makhluk yang bernafas. Itulah lagu
persembahanku.

Tiba-tiba tersingkap tirai jendela sebelah rumahmu. Wajah
bidadari tersenyum ceria. Di wajah itu terpancar suara hatinya,
kuterima persembahan lagumu itu. Namun, hanya sekejap
suara biola terhenti dan wajah itu pun lenyap di balik tirai.
Tinggallah sebuah lukisan di balik tirai itu. Lukisan pertautan
dua hati. Kini semuanya tiada, karena kau bawa pergi
selamanya...
  
(nb. dalam buku, puisi di atas menggunakan tipografi paragrafik)


Urat yang Putus

menebar di penjuru angin
kampungku daerah basah
pendatang cepat kaya
punya usaha
punya rumah

kepala desa jadi tersohor
RT sampai kepala dusun
tidak ketinggalan
panggung komedi dalam adegan
lakon improvisasi
di luar naskah
dan kehendak sutradara

penonton kecewa
bayar karcis tidak serupa
cita dan ilustrasi
pertunjukan membosankan
ada yang tidur
ada yang meninggalkan
tidak tampak kesan

di luar
panji-panji berkibar
hebat menggemparkan
iklan tontonan
sangat menggoda
ternyata hanya obrolan


Sebuah Makna

Kuraba pucuk kehidupan ini
Di sela tangkai ranting dan daun
Kucium aroma kehidupan ini
Di antara bunga-bunga mekar
Kujelajahi kehidupan ini
Di hutan rimba yang gelap
Kurenangi di sungai-sungai
Laut luas tidak bertepi
Kucari makna kehidupan ini
Di awan berarak di angin berhembus
Kutanya di bulan purnama
Mentari ketika di puncak
Kutantang kehidupan ini
Di ujung pedang dan tombak
Di amuk badai topan dan angin ribut
Aku tidak menyerah
Kutanya kepada Nabi Ayub
Tentang derita kehidupan ini
Di mata air kucari jawaban


Sebatung, 2

seusia waktu
seperti kekasih
sejak aku lahir
kau ada di depanku
di muka rumahku
di lembah kakimu

pernah kau bisikkan padaku
saat kupanggil namamu
getar dadamu
selimut mega di rusukku
kau dan aku adalah sungai kehidupan
camar menari di semesta kegembiraan
kau pohon rindang
menutup bayang

kini kau menatap
airmata membasah hutan ladang
duka mengalir ke tepian musim
kau gelisah
kehilangan riwayat dan sejarah
duka di liang luka
engkau kaya
tapi mengapa aku tak punya

aku mau bertanya
mereka menutup telinga


Jendela

kulihat dari jendela
kota itu seperti bayangan
seberkas cahaya gelisah
di permukaan laut

tangan dan kaki menari
tubuhnya lenyap dalam temaram
terbaring degnan gitar tua
anggur merah di sisinya

malam pun semakin dingin
sedingin mataku di tepi jendela
pupus kehilangan arah
mengecil di bola mata

tertutup dalam katup
tak ada bayangan lagi
kota lenyap dalam gelap
sunyi dalam mimpi


Kotaku

kotaku hilang di laut khayal
karena badai menghapus mimpi
kotaku adalah kapalku
muatan angan-anganku

sebuah kota yang indah
terapung antara dua selat
selat laut yang cantik
selat makassar yang bertuah

kota bergaya legenda
pulau palinggam cahaya
dalam cerita lamut
bijaksana sakti mandraguna

elok mengagumkan
pertautan alam dan kota
bagai sepasang kekasih
kehidupan abadi

lampunya terang benderang
bagai kota seribu satu malam
airnya bersih
seperti perak di pagi hari
jalanan mulus
kadang berkelok
bagai ular melata di tempat licin

rakyatnya yang asih
bahagia dan sejahtera
karena alamnya kaya raya

kini kotaku hanya mimpi
tenggelam di laut khayali


Rumahku

datanglah ke rumahku
atapnya mega
dindingnya samudera
lantainya emas hitam
halamannya berpagar meranti

datanglah
datanglah ke rumahku
rumahku memiliki dua pintu
di utara dan selatan
memiliki dua jendela
di timur dan di barat

rumahku indah menyenangkan
udara segar hawanya nyaman
perpaduan bukit, lembah dan laut
melankolia pun mudah disembuhkan

anak-anak kami ramah
mudah tersenyum dan bergembira
suka membantu yang perlu dibantu
lebih utama menyenangkan orang
ajaran budi perilaku

tapi jangan disakiti
dia akan marah
seperti ledakan gunung berapi


Jadilah Dirimu

bila engkau tidak menjadi gunung tinggi
jadilah bukit batu
menghiasi tepi jalan

bila engkau tidak menjadi samudera biru
jadilah danau
di lembah indah

bila engkau tidak menjadi cemara rindang
jadilah pohon pinus
memagar taman kota

bila engkau tidak menjadi semak-semak
jadilah rumput hijau di halaman
sejukkan pemandangan

bila engkau tidak menjadi jalan raya
jadilah jalan setapak
tak sunyi dilalui

bila engkau tidak menjadi panglima
jadilah pahlawan
panji-panji kemenangan

siapa pun engkau
jadilah yang terbaik
apa pun engkau
itulah dirimu


Tentang M. Sulaiman Najam
M. Sulaiman Najam lahir di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau Laut Barat, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, pada 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan Penilik Kebudayaan ini pensiun sebagai Kasi Pendidikan Masyarakat di Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Kotabaru (1991). Sempat dua periode menjadi anggota DPRD Kab. Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak 1960-an. Menulis puisi, cerpen, naskah drama, menjadi sutradara, anggota Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), Pembina Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Menerima penghargaan Tokoh Budayawan dari Bupati Kotabaru (2001). Puisinya tersebar di berbagai antologi puisi bersama. Sebatung Melukis dalam Kaca adalah kumpulan puisi tunggalnya yang pertama.

Catatan Lain
Saya suka dengan pembuka tulisan (alm) Burhanuddin Soebely yang menjadi catatan penutup kumpulan ini. Beliau menjudulinya “Tentang Sebuah Kota, Tentang Saksi Sang Kala”, begini pembukanya: “Masih ingatkah Anda pada lirik lagu legendaris Anang Ardiansyah, Paris Barantai? Kotabaru gunungnya bamega/Umbak manampur di sala karang. Gunung bamega itu agaknya adalah Gunung Sebatung. Pada waktu-waktu tertentu mega-mega putih berlayapan di situ, bagai serabut rambut dan juntai surai dari seorang makhluk penjaga sekaligus penyaksi keberadaan sebuah wilayah, Kotabaru. Sebatung –yang konon merupakan jelmaan dari Raja Kerajaan Halimun, Sambu Batung – dengan demikian merupakan salah satu ikon, sebuah penanda yang tidak cuma berkait dengan sebuah wilayah tetapi juga berkelindan dengan “dunia dalam” para penghuni wilayah itu.”  
     Penyair Burhanuddin Soebely menyebut M. Sulaiman Najam sebagai saksi dari perjalanan sang kala, dengan ..... “pilihan kata yang sederhana, ungkapan yang sederhana, tapi berbagai dimensi kemungkinan dalam perilaku kolektif maupun individual tergetar di situ. Dan kita juga menemukan ketulusan di situ, ketulusan papadah dari seorang tua yang telah matang dilimbur waktu, “ pungkas Bung Ibuy sembari memberi penanda akhir: Kandangan, tengah Desember 2008. 
Di bagian depan, Sainul Hermawan menulis “Mitos Sastra dari Kotabaru”. Karena saat itu sedang membaca terjemahan buku Mythologies karya Roland Barthes (Hill and Wang, 1983), maka dikait-kaitkanlah. Yang menjadi informasi baru di tulisan itu adalah bahwa buku puisi ini memuat 89 puisi yang ditulis dalam rentang tahun 1970 sampai 2008. Padahal tak ada penanda tahun yang tertulis di bawah puisi-puisi di buku ini.  

Juga ada Sekapur Sirih dari Ketua Umum KSI Kotabaru, Eko Suryadi WS. Penyair ini memberi kesaksian sebagai berikut: “Dalam komunitas seni di Kabupaten Kotabaru, dia lebih menempatkan dirinya sebagai “orangtua” yang senang menasehati, memberi petuah dan motivasi, lengkap dengan “kecerewetannya”. Meskipun barangkali ada yang pernah merasa “terganggu” dengan sikapnya itu, tak seorang pun ragu: ia seorang pengampu. Mungkin karena ia dahulu guru.” Nah lo.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar