Senin, 22 April 2013

Dedet Setiadi: GEMBOK SANG KALA





Judul : Gembok Sang Kala
Penulis : Dedet Setiadi
Cetakan : I, Juli 2012
Penerbit : Forum Sastra Surakarta
Tebal : viii + 100 halaman (87 puisi)
ISBN :  978-979-185-385-9
Editor :  Sosiawan Leak
Desain isi dan sampul : Ronny Azza dan Sosiawan Leak

Beberapa pilihan puisi Dedet Setiadi dalam Gembok Sang Kala

Gembok

Gerbang langit terkunci
tak bisa dibaca
sebelum gembok berhasil dibuka

mengetuk-ngetuk tabir bahasa
sajak hilang rasa!

Di ujung pintu
aku dengar langkahmu cethat-cethit
mengayunkan jarum arloji
ke arah langit yang masih terkunci

malam larut
kau pun datang ternyata
tak sekedar sebagai kilatan cahaya
tapi menjelma kunci
yang melepas gembok dalam jiwa
merogoh sukma

di awal fajar
langit membuka- melebarkan bayang semesta
tapi kau menolak sirna
bahkan berkata
akulah kunci yang akan selalu ada
ketika hendak kau buka gembok semesta jiwa

Magelang, 2012

Sabtu, 13 April 2013

Ayatrohaedi: PABILA DAN DI MANA


Data Kumpulan Puisi

Judul : Pabila dan di Mana
Penulis : Ayatrohaedi 
Cetakan : -
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal : 80 halaman (59 puisi)
Gambar jilid : A. Wakidjan
Dicetak oleh : PN Percetakan Negara RI, Jakarta

Beberapa pilihan puisi Ayatrohaedi dalam Pabila dan di Mana

Leuwimunding

Jalannya penuh berdebu
antara sawah dan kali
antara gunung dan tegal
di bawah kilat belati
anak pulang dari kota
mengaca mayat sendiri.

Dan rindu makin menggunung
antara mata dan hati
rindu kampung kelahiran
di bawah kilat belati
melurus jalan ke makam
bawa cinta sampai mati

1958


Nyanyian Keabadian

Hujan jatuh di luar musim
menghijaukan rumput di jalan

Hujan jatuh bersama angin
melambaikan daun di dahan

Hujan jatuh membawa dingin
menyejukkan rindu di badan

Cinta yang tumbuh setiap musim
adalah cintaku pada keabadian

1958

Hasan Aspahani: LUKA MATA


Data Buku Kumpulan Sajak

Judul : Luka Mata
Penulis  : Hasan Aspahani
Cetakan : I, Juli 2010
Penerbit : Koekoesan, Depok
Tebal : xxvi + 83 halaman (97 puisi)
Perancang sampul : MN Jihad
Tata Letak : Hari Ambari
ISBN : 978-979-1442-35-0
Prolog : Damhuri Muhammad


Beberapa pilihan puisi Hasan Aspahani dalam Luka Mata

Kuberi Tahu Engkau Bagaimana Cara Kami Menapaikan Ketan
: untuk mamaku Siti Mariyam, juru tapai paling hebat sedunia

ENGKAU harus yakin telah memilih beras ketan baru, yang seputih
santan, yang berbulir lencir, lalu kau tampi lagi, agar terbang segala
dedak debu. Telah selesai tugas kulit padi. Menjaga bulir yang setetes
demi setetes terisi, membernas di runduk malai, di petak-petak
sawahmu.

Sementara itu engkau siapkan tungku, dandang pengukusan,
dan kayu secukupnya kayu. Api harus tetap menjaga nyala,
menembuskan panas ke dinding dandang, sementara di dalam
dandang itu nanti gelegak air menguji seberapa lekat ketan yang
telah kau pilih, kau bersihkan, dan kelak hendak kau tapaikan.

Engkau mestinya sudah menyiapkan perasan daun pandan yang
kau petik di sumur tempat engkau mandi hari raya, sebelum salat
Idulfitri, pandan yang berumpun subur, hijau dan wangi yang kelak
menyeimbangi aroma fermentasi.

Di nyiru, yang tadi kau pakai menampi, kini seharusnya sudah
engkau lapisi helai daun pisang, jangan terbalik membentang, sisi
atas yang hijaunya sedap dipandang, di situlah engkau hamparkan
nasi ketan yang mengepulkan uap yang baru engkau kaut dari
dandang, lalu biarkan hingga suhu kamar, sambil engkau percikkan
padanya harum dan hijau perasan air pandan.

Aku beri tahu rahasia satu: agar tak lekat tanganmu, celupkan
keduanya dalam air remasan pucuk katu, kami percaya ini akan
banyak membantu, ragi yang kelak ditugaskan berfermentasi, dia
bekerja tidak sendiri.

Rahasia yang paling rahasia sebenarnya adalah saat kau menaburkan
ragi (dan menebarkan ragu, "maniskah kelak tapaiku? Maniskah?"),
pastikanlah bahwa saat itu suhu ketan yang tentu telah menghijau
itu tak lebih panas dari suhu udara di dapurmu. Jika segumpal
saja ada yang masih menyimpan lebih suhu, oh, kau sudah
menggagalkan seluruh ritual penapaianmu. Yang segumpal itu akan
memerah dan memasamkan seluruh manis tapaimu!

Saatnya, engkau menunggu, setelah menyimpan bakal tapaimu
dalam wadah tertutup, sebab ragimu, ragi tapaimu, adalah dia yang
bekerja dalam ruang tak berpintu. Kelak, akan terkabarkan padamu,
wangi manis tapaimu, di pagi hari rayamu.

PERCAKAPAN LILIN


Data buku kumpulan puisi

Judul : Percakapan Lilin
Penulis  : Riki Dhamparan Putra
Cetakan : I, Juni 2004
Penerbit : AKY (Akademi Kebudayaan Yogyakarta) Press, Yogyakarta.
Tebal : ix + 81 halaman ( 53  judul puisi)
ISBN : 979-98626-0-4
Tata letak : Sazhs
Desain dan Ilustrasi sampul : Windutampan
Pengantar (kata kawan) : Puthut EA

Beberapa pilihan puisi Riki Dhamparan Putra dalam Percakapan Lilin

Nyepi

Kukuuuruuyuuuuuuk

1998


Pantai demi Pantai

lapak-lapak rinduku
buyar
  di tepi kanal
ketika di bawah debur lampu
aku melihatmu pamit
dari pucuk-pucuk kirkit
yang melambai
dengan penuh sesal
seperti engkaulah pantai
dan keriuhan itu
tamasya-tamasya kosong
yang mencengangkan
darimana dongong-dongeng
lahir
membukakan pintu-
   pintu malam
angin laut yang jahat
dan bidari-bidari
yang menyulut sumbu
kiamat

hamba menyerah, tuanku
dari pantai yang tak kunjung
kukenal
di mana aku memeliharamu
pada serunai kapal
di kejauhan
mungkin tak kan ada yang tiba
hingga waktupun berhenti
dan aku istirah
memejam mata
di karang yang selalu basah
di antara batu-
batu yang tertidur
memeluk surga

1999

Korrie Layun Rampan: UPACARA BULAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Upacara Bulan
Penulis  : Korrie Layun Rampan
Cetakan : I, 2007
Penerbit : bukupop, Jakarta.
Tebal : xviii + 127 halaman (101 judul puisi)
ISBN : 978-979-1012-17-1

Beberapa pilihan puisi Korrie Layun Rampan dalam Upacara Bulan

Aku Memilih

Aku memilih tanah
Tapi ayahku berang
Ia memberiku sungai,
“Datangi sumbernya di udik sana,
Yang mancur di antara akar dan batu-batu.”

Aku memilih arus
Tapi abang memberiku air
“Ikuti arusnya sampai muara,”
Suaranya menghentak jiwa.

Aku ragu saat kudengar suara ibu
Yang mana harus kupilih
Muara atau sumbernya.
“Kau harus pilih kehidupan,”
ibuku tersenyum sambil meraba cahaya harapan

Aku gagu melangkah di antara tasik dan pegunungan
Di manakah kehidupan?
Adikku berseru, “Kau harus pilih hati dan cinta
Sumber segala cahaya.”

Di antara enggan dan keinginan
Aku bertanya rumah cinta
Di mana?

“Yang bersih hanya kasih,”
Kakekku berkata menunjukkan benih
Aku tengadahkan dada
“Di sini?” aku menunjukkan kepala

“Bahagia selalu ada di dalam sepi dan ramai,”
Nenekku menimpali sambil membersihkan kuali
Adakah kehidupan berbiak di antara tungku
Di dasar nyala api?

Aku menyusuri segala mula jadi
Fajar di kaki: di mataku jalan panjang sekali!