Sabtu, 13 April 2013

Hasan Aspahani: LUKA MATA


Data Buku Kumpulan Sajak

Judul : Luka Mata
Penulis  : Hasan Aspahani
Cetakan : I, Juli 2010
Penerbit : Koekoesan, Depok
Tebal : xxvi + 83 halaman (97 puisi)
Perancang sampul : MN Jihad
Tata Letak : Hari Ambari
ISBN : 978-979-1442-35-0
Prolog : Damhuri Muhammad


Beberapa pilihan puisi Hasan Aspahani dalam Luka Mata

Kuberi Tahu Engkau Bagaimana Cara Kami Menapaikan Ketan
: untuk mamaku Siti Mariyam, juru tapai paling hebat sedunia

ENGKAU harus yakin telah memilih beras ketan baru, yang seputih
santan, yang berbulir lencir, lalu kau tampi lagi, agar terbang segala
dedak debu. Telah selesai tugas kulit padi. Menjaga bulir yang setetes
demi setetes terisi, membernas di runduk malai, di petak-petak
sawahmu.

Sementara itu engkau siapkan tungku, dandang pengukusan,
dan kayu secukupnya kayu. Api harus tetap menjaga nyala,
menembuskan panas ke dinding dandang, sementara di dalam
dandang itu nanti gelegak air menguji seberapa lekat ketan yang
telah kau pilih, kau bersihkan, dan kelak hendak kau tapaikan.

Engkau mestinya sudah menyiapkan perasan daun pandan yang
kau petik di sumur tempat engkau mandi hari raya, sebelum salat
Idulfitri, pandan yang berumpun subur, hijau dan wangi yang kelak
menyeimbangi aroma fermentasi.

Di nyiru, yang tadi kau pakai menampi, kini seharusnya sudah
engkau lapisi helai daun pisang, jangan terbalik membentang, sisi
atas yang hijaunya sedap dipandang, di situlah engkau hamparkan
nasi ketan yang mengepulkan uap yang baru engkau kaut dari
dandang, lalu biarkan hingga suhu kamar, sambil engkau percikkan
padanya harum dan hijau perasan air pandan.

Aku beri tahu rahasia satu: agar tak lekat tanganmu, celupkan
keduanya dalam air remasan pucuk katu, kami percaya ini akan
banyak membantu, ragi yang kelak ditugaskan berfermentasi, dia
bekerja tidak sendiri.

Rahasia yang paling rahasia sebenarnya adalah saat kau menaburkan
ragi (dan menebarkan ragu, "maniskah kelak tapaiku? Maniskah?"),
pastikanlah bahwa saat itu suhu ketan yang tentu telah menghijau
itu tak lebih panas dari suhu udara di dapurmu. Jika segumpal
saja ada yang masih menyimpan lebih suhu, oh, kau sudah
menggagalkan seluruh ritual penapaianmu. Yang segumpal itu akan
memerah dan memasamkan seluruh manis tapaimu!

Saatnya, engkau menunggu, setelah menyimpan bakal tapaimu
dalam wadah tertutup, sebab ragimu, ragi tapaimu, adalah dia yang
bekerja dalam ruang tak berpintu. Kelak, akan terkabarkan padamu,
wangi manis tapaimu, di pagi hari rayamu.



Marsya Timothy di Kentucky Fried Chicken

AKU kira bukan hanya ujung hidung dan pelipismu yang berpeluh,
ketika kau kunyah renyah dada berbubuk merica, semulut penuh.

"Ini menu baru," seperti begitu, sabda Kolonel Sanders dalam teks
promosi itu, "Kami tambahkan sesuatu, pada 13 rahasia bumbu!"

Dan kami antre di depan kasirmu, seperti barisan umat minta berkat,
atau para duafa berbaris di balai kota, minta sedekah dari penguasa.

Di kerumunan itu, tentu saja tak ada engkau, Marsya, tentu saja tak ada.

Lalu di layar besar itu kau berlalu, setelah mengibas palma tanganmu,
menyeret gaun saos tomatmu, dan aku tak mau menebak arti ajakan itu.


Nah, Nietzsche

IA sentuh ubun-ubun engkau dengan kecup embun,
menuntun aku tentang tabiat Kasih dan Kasihan.

Ia belum mati, Ia belum mati, Puan Kasih! Kasihkan!
Bahkan bila ia berkenan, aku mohon nabi permpuan:
Ia utus kau padaku, satu-satunya pembenarmu.

Kekal cium pada engkau, Puan, di punggung lengan.


Semak, Marx!

MALAM itu, engkau seperti orator ulung,
tubuhku mimbar, sarung tilam bergulung

"Bersatulah orang jatuh cinta sedunia!"

Udara kamar sesak, segala sudut bergetar

Menunggu tiap akhir kalimatmu lalu hingar,
tepuk & teriak, bagai ribuan rakyat lapar!

*

Malam itu, engkau juru kampanye partai besar
aku tak lagi mau peduli pada apa ideologi

"Bersatulah orang-orang tolol sedunia!"

Kusut remang kamar, segala mengerang,
segala pangkal dan asal tak lagi terlacak

Alamak! Aku terjebak, semak janggut Marx!


Lukamata

AKU akan jadi tua
tebu terunduk,

seseruas batang memanjang,

sebelum datang seorang penebang,
dengan parang tak berlidah,
tak kenal manis atau hambar sepah.

Pada mata luka di ruas usia
ada kusimpan
sesisa nanah dan bau segenggam tanah
seperti rekening di bank syariah,
umur akan selesai kucicil,
setoran tak berbunga.

            Siapa itu menyelumur

bagai lepas daun tebu,
mengering tanpa mengerang

jatuh tanpa teraduh-aduh

lalu batal niat-gatal
si tepung-pupur jamur?

*

YA, aku akan jadi tua
duduk, tunduk,
mengenang pokok tebu
seruas dulu kutanam
jadi serumpun kini memagar lingkar sumur.

Lalu lepas sesarang lebah,
kudengar dengung ramai bagai seregu barongsai,
mencuri nektar dari malai.

Manis. Madu. Menangis. Merdu.
            Manis. Madu. Menangis. Merdu.
                        Manis. Madu. Menangis. Merdu.

Lagu tabah ratu lebahkah sampai pada dengarku?

*

AKU akan jadi tua
dan menggali sendiri lubang panjang membujur,
yang bukan sumur.

Ketika itu lidahku akar tebu
mampu sudah mengecap manis dari sesisa air
yang mengalir
        dari tipis pelipis
                dari alur alis
                      dari damai dahi
                             dan tepi pipi.

Dari luka mata. Mataku sendiri


Balada Siapa Saja

IA bernapas dengan harmonika, gamang membayangkan
syair, sajak penyair terakhir, tentang maut & lahir.

Ini seperti balada tentang siapa saja, seperti
petualang menemukan peta pantai hilang, lalu ia
berikrar akan jadi tua, meninggal nama, di sana.

Sebuah lagu akan rampung dihirup-hembuskan, ia
mengecupi harmonika seperti bibir kekasihnya.

Selalu itu membuatnya lebih dalam mematakan pejam.

Ini seperti balada tentang siapa saja, dan itu
berarti yang paling mungkin (dan paling mustahil)
ia akan bernyanyi tak henti tentang Cinta & Sunyi.

Cinta sebab ia telah pernah berani memimpikan mimpi.
Sunyi karena ia tahu akan kembali menjadi sendiri.

Keduanya melahirkan lagu nafasnya pada harmonika,
pada kecup dalam dan lama di lapar bibir kekasihnya.


Apakah Penguasa di Kotamu Suka Memperdagangkan Kekuasaannya?

DI kotaku mula-mula mereka adalah pendusta. Dan dusta mula-mula memang terasa murah dan mudah. Tapi, dusta adalah semacam hewan karnivora , memakan daging sendiri dan itu ongkosnya mahal sekali.

Mereka tak bisa berhenti. Dusta harus dibenarkan dengan dusta. Begitu seterusnya, mereka pun harus terus berdusta. Dari mana mereka menambal ongkosnya? Mula-mula dari harta rakyat yang diamanahkan pada mereka. Nanti, harta itupun tak akan cukup dan mulailah mereka berdagang. Mereka tak bisa berdagang sebenarnya. Mereka miskin, tak punya barang dan jasa, kecuali kekuasaan, dan mulailah mereka memperdagangkan apa yang mereka punya itu.

Mereka berlagak melayani rakyat. Mereka berlakon peduli pada rakyat. Mereka bertopeng senyum palsu, senyum yang paling ramah di khalayak rakyat. Padahal mereka sedang mengincar apa lagi yang tersisa pada rakyat yang bisa mereka minta, atau ambil dengan paksa.

Untuk semua itu, mereka membayarnya dengan dusta. Itulah satu-satunya yang paling lihai mereka perankan, sejak mereka mulai menipu kami, meminta agar kekuasaan dari kami diamanahkan pada mereka, kekuasaan yang kemudian mereka perdagangkan untuk mengongkosi dusta-dusta mereka, dan untuk mengatur strategi berdusta yang baru.

Ah, apakah kamu juga seperti kami? Kami, rakyat yang terlalu sering didustai.


Seorang Tubuhku

JAUH sekali tubuhku, membawaku sampai padamu

Tubuhku adalah sebuah alamat, bertahun-tahun
dihuni orang yang salah, dia yang tak pernah
tahu, selalu kembali semua surat yang ia poskan,
dengan catatan: si penerima tak mengenal Anda!

*

Ingin sekali tubuhku, membawamu sampai padaku

Tubuhku adalah sebuah rumah, dengan selipat
sajadah. Di ruang paling bimbang, aku seperti
sedang menunggu, seseorang yang mungkin datang
lalu mengajak sembahyang. Aku, bayang-bayang,
sedih paling seduh, dan pedih yang tak juga sudah:
kami adalah barisan makmum menunggu, saf yang
semakin rapat, semakin lurus, dan semakin makin.

*

Letih sekali tubuhku mengengkaukan aku padamu.

Tubuhku adalah jalan panjang. Waktu melintas
di situ. Pada setiap ubah-arah, ia buat tanda:
di mata ia kecupkan lebat tangisan; di telapak
tangan ia telusuri garis kecemasan; di leher
ia kenali bau tanah hutan sehabis kebakaran; di
bibir ia rasakan sisa getar doa yang kupinta ketika
munajah seperti sepertiga malam, malam semalam.


Sebelum Pesawat Mendarat

KITA mendengarkan, pemberitahuan yang rutin itu: ketinggian
jelajah, kecepatan tempuh, tabiat cuaca, jangkau jarak pandang,
sabuk pengaman yang harus diketatkan, dan waktu yang harus atau
tak harus disesuaikan.

Kita menenteramkan, cemas yang rutin itu: bagaimana kita akan
saling menyapa dan bertanya soal kabar, peluk rapuh di ruang
kedatangan, salat yang amat terlambat di musala bandara, dan tiket
kepulangan yang sudah harus dipastikan lagi.


Yang Mengapung dan Tenggelam di Matamu
: pada peta bundar Singapore Flyer

KAMU tidak bergegas, ini kali, agar kamera
sempat membuka mata lensa, mempermainkan rana,
menangkap lekas dan lengkap, lingkar lanskap.

Tunggu, apa yang mengapung di matamu itu?

Dari tinggian yang sebentar yang sementara,
semua dapat kaubaca: apa ada yang tak bisa?

Republik ini sebuah plaza, tempat pedagang
menggelar sembarang barang dan jual jasa,
seperti dulu dirancang lelaki Inggris Raya,
namanya tertinggal di jalan dan pusat kota.

Kamu siapa nama? Kamu tanya dua lelaki muda,
sepasang gay melancong jauh dari Polandia.

Kauarahkan zoom ke telungkup tempurung raksasa,
itukah taman pesiar terbuka? Beretalase talam
talas, mempertunjukkan suara sara sandiwara?

Ini bukan disney-dream-land atau lakon bangsawan.

Lagi pula buat apa juga dibedakan? Ini panggung
permainan tak akan bisa lagi dihentikan. Lari.
Lari. Kejar. Kejar. Beli. Beli. Bayar. Bayar.

Tunggu, apa yang tenggelam di matamu?


Sajak Sakit: Pilek

LUAS napas ternyata hanya selapang sepasang lubang,
mudah sekali mengingatkan aku pada mati yang pasti.

Nyawa itu, mungkin seringan bersin tiga kali, terbang,
dan lalu jadi asing pada tubuh yang selama ini ia huni.


Sajak Sakit: Radang

AKU tak juga kenal ini lorong tenggorokan,
pun saat radang mendemamkan badan sebadan.

Di situkah nanti batas akhir Ruh bertahan?

Waktu sakit, aku mengawasi tepian ranjang,
jaga ubun-ubun, di situ nanti malaikat turun?

Lembut mencabut, tak tersibak sehelai pun rambut.
Bagai kecup ibu. Aku tertidur, peluh mengembun.


Indeks Baris Pertama Puisi yang Panjang dalam Buku Puisi yang Belum Ingin Kuterbitkan

1. HAI, engkau! Rasa sakit itu. Masihkah kau kenal dengan
    tubuhku? Tubuh yang belum selesai menjahit koyak jerit sendiri?

2. TUBUHKU adalah sawah yang mencintai musim hujan. Engkau
    pematang liar, beralur licin, melingkar.

3. "MAUKAH kau menanamku?" tanya rasa sakit itu. Ah, aku
    sudah menyemai benihnya, sebelum nanti rasa itu menyemak
    menggulma.

4. MAAFKAN aku hujan. Maafkan aku katak. Maafkan aku
    bangau. Aku tak bisa bermain dengan kalian. Aku sedang dirawat
    oleh rasa sakitku.

5. PETANI itu pernah datang sekali. Berdiri di ambang subuh,
    nyaris rubuh. Lalu pergi, dan selalu tergoda -- tapi menolak -- untuk
    lagi kembali.

6.  TAK ada jejak di pematang. Tapi, semalam ada yang datang.
     Ke sawah ini. Seperti buru-buru, ia tanam sesuatu yang tak ia
     harapkan akan tumbuh.

7. "SEANDAINYA, setiap butirku adalah benih yang tumbuh
    padamu," kata hujan, kepada sawah. Sawah, sering sudah, ia
    mendengar pertanyaan itu. Ia tahu, hujan tahu jawaban apa yang
    ia senantiasakan.

8. MUNGKIN akulah petani itu. Petani yang ingin menanam diri
    sendiri, di sawah sendiri. Memanen luka: luka sendiri.


Di Tempat Pemungutan Sunyi

SUNYI sekali di sini. Aku tak mendengar Engkau. Engkau masih
betah diam? Aku datang, cuma untuk memungut suaraku sendiri.
Engkau, kapan akan memungut aku? Memungut sunyiku?

Sunyi sekali di sini. Aku dan sunyi saling mendengarkan. Aku
menyimak lagi sunyi, tapi yang terdengar nyaring justru diriku
sendiri. Aku tak bisa juga memungut sunyiku sendiri.

Suaraku, kenapa tak berbunyi? Sunyiku, kenapa lebih nyaring
daripada diam Engkau? Ah, aku mungkin harus lebih tekun
mendengarkan Engkau. Mendengarkan sunyi dan bunyi Engkau.


Tentang Hasan Aspahani
Hasan Aspahani berprofesi sebagai wartawan. Tinggal di Batam. mengelola blog http://sejuta-puisi.blogspot.com. Buku puisinya: Orgasmaya (Yayasan Sagang, Pekanbaru, 2007), Telimpuh (Koekoesan, Depok, 2009). Beberapa sajaknya digubah oleh Ananda Sukarlan. (Tak ada informasi TTL di dalam Luka Mata, jadi saya membuka Buku Kalimantan dalam Puisi Indonesia, editor Korrie Layun Rampan). Hasan Aspahani lahir di Sungai Raden, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim, pada 9 Maret 1971. Menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Catatan Lain
Kumpulan sajak Luka Mata karya Hasan Aspahani ini terbagi atas 7 bagian, yaitu Pembuka (1 sajak), Klinik Sakit Hati (19 sajak), Sesayup Saujana (18 sajak), Senota Cerita (23 sajak), Kita Hanya Ingin Menyeberang (14 sajak), Apa Kabar, Jantungmu? (22 sajak) dan Penutup (1 sajak). Total 97 sajak. Penulisan sajak dalam buku ini saling sambung menyambung, sehingga memungkinkan satu halaman ada lebih dari satu sajak. Hal unik lain, kecuali 6 sajak, semua sajak di buku ini, kata pertamanya selalu ditulis dengan huruf Kapital. Hasan Aspahani juga membuat Deklarasi Perpuisian dan Kepenyairan yang dirumuskan dari naskah-naskah telaah puisi A Teeuw, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Rainer Maria Rilke, dll. Deklarasi tersebut berisi 13 pasal, dimulai dengan menimbang, mengingat, memutuskan dan Bab 1 hingga 11. Bab 1. Ketentuan Umum, Bab 2. Antara Cara Ungkap dan Makna, Bab 3. Hak Puisi dan Tanggung Jawab Pembaca, Bab 4. Kebulatan dan Kutuhan Puisi, Bab 5. Peran dan Tantangan Penyair, Bab 6. Penyair dan Kehidupan, Bab 7. sumber Ilham, Bab 8. Pembaca, dan Memaknai Sajak, Bab 9. Bahasa dan Kata dalam Sajak, Bab 10. Sajak Gagal, Bab 11. Penutup.

Dalam pengantarnya, Damhuri Muhammad, membukanya dengan ungkapan begini: "Puisi, sejak dari riwayatnya yang paling usang, adalah dunia tersingkir, dunia tercibir. Dunia yang dipandang sebelah mata. Di mata Plato misalnya, penyair tak lebih dari seorang penutur di jalan sesat. Lelaku kepenyairan sekedar peniruan tak bulat dari dunia senyatanya. dst..." Damhuri di bagian lain juga menulis: Puisi, apapun bentuk dan alirannya, akan selalu bersarang dalam liang keasingan. Dunia lain yang bisa saja terbangun dari hal-ihwal remeh. Namun, di tangan penyair, ia tersingkap dalam rupa yang lain, tak lazim dan sukar digapai oleh kesadaran non-puitik.

Kemudian dicatatnya, bahwa sajak-sajak Hasan Aspahani, tidaklah berangkat dari gagasan besar, tapi dari persoalan remeh dan sepele, yang tanpa dipuisikan pun tetap terpahami. Namun, katanya lagi, persoalannya bukan remeh atau tak remeh, tapi sejauh mana kesadaran penyair dapat menggapai keasingan yang tak tersentuh itu. Ia juga menekankan, pada di titik ini, bukan lagi esensi atau subtansi yang hendak direngkuh, tapi situasi keterhubungan (relasionalitas) yang tak pernah padam antara pembaca dengan sajak. Itu karena cara sebuah sajak menyingkapkan dirinya selalu berbeda pada setiap subyek pembaca. Kira-kira demikian, inti sebagian tulisan Damhuri Muhammad dalam prolog yang dijudulinya Puisi, Dunia Asing, dan Rasa Sakit.

Oya, buku ini barusan saya beli ketika ada kesempatan ke Jogja, sekitar tanggal 13 Maret 2013 yang lalu. Saya tidak tahu harganya, karena saya beli buku borongan. Saya datang sendirian ke wilayah Sapen, belakang UIN Sunan Kalijaga, dan membongkar-bongkar koleksi Indrian Koto, saat yang bersangkutan sedang meradang karena sakit gigi. Hehe.

Kalau ditanya apa kesan saya terhadap sajak Hasan Aspahani, saya katakan, asyik, kalau bisa saya ingin menaruh sebanyak-banyaknya sajaknya di sini. Ia terampil mendayagunakan bunyi dan makna kata. Memasang-masangkan, membolak-balik kata-kata. Saya jalan-jalan ke blog sejuta puisi kala penyair ini sedang getol-getolnya membahas puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Akibatnya, hingga saat ini, saya selalu menghubungkan penyair ini dengan penyair Hujan Bulan Juni itu. Ah, pembaca.



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar