Selasa, 01 April 2014

Iman Budhi Santosa: ZIARAH TANAH JAWA


Data buku kumpulan puisi

Judul: Ziarah Tanah Jawa
Penulis : Iman Budhi Santosa
Cetakan: I, Maret 2013
Penerbit: Intan Cendekia, Yogyakarta
ISBN : 978-979-9857-35-4
Tebal: x + 128 halaman (80 judul puisi)
Penyelia Aksara : Anes Prabu
Tata letak : Harmono
Desain sampul : Latief S. Nugraha

Beberapa pilihan puisi Iman Budhi Santosa dalam Ziarah Tanah Jawa

Ziarah Tanah Jawa

Tinggal satu jalan yang ditunjukkan kota-kota berdebu
pada usia enam satu. “Kembalilah ke Jawa…”
menyusuri jejak ingas kemadu
merawat lempuyang sembukan yang makin jarang
memuliakan gunung sungai, membersihkan halaman
dengan sapu sebelum matahari terbit dan terbenam

Lepaskan pula terompah sepatu dan seluruh buku
menapaklah dengan kaki telanjang
biar pasir kerikil memijat kembali
telapak kakimu yang berkarat dan membesi

Disaksikan rumput ilalang, senyum dan tembang
kusinggahi makam nenek-moyang
tanpa bertanya siapa mereka
apakah keturunan matahari atau rembulan
apakah babad dan serat pernah mencatat atau menyebutkan

mungkin, lewat bunyi perkutut atau derkuku
mengejawantah lagi nasihat para wali
merasuk kembali papatah-petitih ke dalam puisi
merayakan sekuntum melati mekar
pada setiap hati sanubari

2009

Upita Agustine: NYANYIAN ANAK CUCU


Data buku kumpulan puisi

Judul: Nyanyian Anak Cucu, Kumpulan Puisi 1967 - 1999
Penulis: Upita Agustine
Cetakan: I, Juni 2000
Penerbit: Angkasa, Bandung.
Tebal: xxviii + 280 halaman (172 puisi)
ISBN : 979-665-312-5
Desain cover : Drs. Tata Sugiarta
Ilustrasi cover dan dalam : Lian Sahar
Pengantar : Korrie Layun Rampan, Sapardi Djoko Damono, Abrar Yusra, Mursal Esten

Beberapa pilihan puisi Upita Agustine dalam Nyanyian Anak Cucu

Lagu yang Kian Jauh

Kau dengarkah cintaku, lagu yang kian jauh
Melelapkan kita di dunia kerahasiaan
Jangan biarkan dia luput dan berakhir
Dia kan bernyanyi di hatiku dan di hatimu
Merendah dan meninggi
Sepanjang nafas dihembuskan

Padang, 1967


Akan Menghuni Abad Ini Sajakah Kita

Akan menghuni abad ini sajakah kita?
Hidup dalam perubahan warna-warna
Bagaikan nyala lampu lampu di kapal nelayan
Tak bergerak memagari tepi lautan
Mengapung dalam warna senja
Mendatangkan sunyi demi sunyi
Akan kita tinggalkankah abad ini
Tanpa suatu titipan

Padang, 1967

Ali Syamsudin Arsi: PESAN LUKA INDONESIAKU


Data buku kumpulan puisi

Judul: Pesan Luka Indonesiaku
Penulis: Ali Syamsudin Arsi (Asa)
Cetakan: I, Oktober 2005
Penerbit: Swakelola Satu Warna, Banjarbaru.
Tebal: 61 halaman (13 puisi)
Sampul dan Perwajahan isi : Harie Insani Putra

Beberapa pilihan puisi Ali Syamsudin Arsi (ASA) dalam Pesan Luka Indonesiaku

Orang-orang Hilang Dalam

orang-orang hilang dalam
gelembung sabun di ujung jemari ibu-ibu
perempuan yang tetap setia melahirkan
anak-anak di hempasan riak
memperderas arus dari luncuran embun pada
tangkai dahan bulir-bulir merunduk padi
hari-hari menjadi sedih mendanaukan luka di air mata

orang-orang hilang dalam
lapisan kulit kayu hutan dari ranting tanpa akar
tercerabut di gelak tawa dengan bibir retak tengadah
berwajah kayu; mempersombongkan getah daun berderak
ketika dendam dahan yang ternista
tinggal menunggu hitungan; alasan demi alasan
di persembunyian rebahan duri-duri
telinga pun membatu mata pun membatu tangan pun membatu
nadi pun membatu jantung pun membatu hidung pun membatu
darah pun membatu selangkang pun membatu otak pun membatu
bibir pun membatu tulang pun membatu; nama-nama membatu

orang-orang hilang dalam
selongsong mesiu di reruntuhan pijarnya matahari
kehilangan bayang ketika senyap memperlambat jalan
pernyataan-pernyataan yang terpahat di tingkah
muka-muka kayu, dari ketinggian tempat kaki berdiri
yang lain adalah sepi
kokok ayam di pagi-pagi pun dianggap sepi
kedut ujung mata sendiri pun dianggap sepi
desir air di celah batu pun dianggap sepi

orang-orang hilang dalam
lembar-lembar kusam catatan sejarah; kata-kata berdarah
ayat demi ayat mempertontonkan bulu mata terbakar
ucap demi ucap merentangkan nurani terbakar
menggunungkan tingginya keangkuhan di bukit khotbah
walau dalam kesabaran bumi tetap tak bisa diterima

orang-orang hilang dalam
ketajaman kilau mata luka belati; angin membias dilibas
mengatasnamakan percik darah kecurigaan
di rerimbun buangan anak sungai pembalasan

orang-orang hilang dalam
gegap-gempitanya kepalan tangan
di tengah persekongkolan

orang-orang hilang dalam
kardus-kardus kaca penyeludupan
di tengah raung kemiskinan

orang-orang hilang dalam
lubang-lubang hutan menganga di tengah ketidakadilan

banjarbaru, desember 2003

Iswadi Pratama: GEMA SECUIL BATU


Data buku kumpulan puisi

Judul: Gema Secuil Batu
Penulis: Iswadi Pratama
Cetakan: I, Oktober 2008
Penerbit: Akar Indonesia, Yogyakarta.
Tebal: 96 halaman (49 puisi)
ISBN : 978-979-16848-6-6
Supervisi : Joni Ariadinata
Penyunting : Raudal Tanjung Banua
Desain isi dan cover : Nur Wahida Idris
Ilustrasi cover : Dalbo Swarimbawa, “Tanpa Batas”, Acrilik, 2007

Beberapa pilihan puisi Iswadi Pratama dalam Gema Secuil Batu

Gema Secuil Batu
            - SS

ada yang terus menjauh
kebun randu, rumpun perdu, dan angin abu-abu
seperti tepukan pada batu

lalu dongeng-dongeng baru
menutup semua jendela dan pintu
di belakang matamu

di depan langkahmu, tak ada ibu
sungai tempat segala kenang terasa hijau
mengalir ke lubuk lampau

di situ kau melemparkan secuil batu
dan menunggu gemanya sepanjang harap
lalu kau pun tahu, ada yang tak bisa lenyap

tak mungkin lengkap

2005

Abdul Hadi W. M.: POTRET PANJANG SEORANG PENGUNJUNG PANTAI SANUR

 

Data buku kumpulan puisi

Judul: Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Kumpulan Sajak (1967-1971)
Penulis : Abdul Hadi W. M.
Cetakan: I, 1975
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Seri: PJ 167
Tebal: 68 halaman (39 judul puisi)
Gambar jilid: Popo Iskandar
Dicetak oleh: Yamunu, Jakarta

Beberapa pilihan puisi Abdul Hadi W. M. dalam Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur

Langit di Mana-mana

Langit berjalan atas pohon-pohon. Di mana-mana
bayangan mereka di atas air, di atas pasir
dan gelap. Bintang-bintang seperti lampu-lampu yang ditaruh para
nelayan
dan bunyi-bunyian. Ditabuh senja pada batu karang
lapar itu, haus itu! Dan awan cair
menembus hatimu
Ayolah buyung, kaubaringkan tubuhmu
Tak ada bulan, tak ada nyanyian, bagi tumbuhan di bumi
Kami kan tidurkan kamu pada ranjang kayu
muara sungai dan musim kemarau
Ayolah buyung kautembangkan pucung belum tidur
baik di atas mimpimu, putri-putri buih naik ke badan
tengah malam dan jika bintang-bintang menembus sunyi para nelayan
perahu-perahu dagang yang tua, membersihkan laut, bayangan
Mereka di mana-mana. Dan gelap
Ayolah buyung tidur. Ombak sudah siap
menelan lelahmu. Dan dongengmu teramat bagus
Seperti penunggu muara sungai yang ramah itu
Dan bergegaslah pergi, ke mana-mana
Sebab langit di mana-mana. Dan mimpimu di mana-mana
Tanah air di mana-mana

1969

Mansur Samin: DENDANG KABUT SENJA

 

Data buku kumpulan puisi

Judul: Dendang Kabut Senja, tiga kumpulan sajak 1955 - 1970
Penulis: Mansur Samin
Cetakan: I, 1985
Penerbit: Gunung Agung, Jakarta.
Tebal: viii + 140 halaman (58 puisi)
Pencetak : PT Sumber Bahagia Jakarta

Kumpulan sajak Dendang Kabut Senja terdiri dari tiga kumpulan, yaitu Dendang (22 sajak), Kabut (21 sajak), dan Senja (15 sajak).

Beberapa pilihan puisi Mansur Samin dalam Dendang

Kenalan

Ke sana saja duduk, katanya pelahan
kamar, tilam seakan baru didandan
di pojok kembang delima, kaca dan dolanan segar
rumah dan santunnya memikat kawan di mana-mana
melupakan resah melepaskan duka gelisah
kadang semua dipasrahkan memenuhi malam
seolah kami berdua keluarga rukun di dunia

Kala gerimis mengamatinya di Pasarmanis
kunyalakan pelita: sandal, piring dan gauntua
seperti ada ia di sini memanggil darahku lagi
tapi dari kabar polisi terlambat sudah
Rukayah dilanggar mobil tadi pagi ke rumah sakit pusat
karena tiada pamili dimakamkan di tanah wakaf

Mendatangi desa di rimba wilayah selatan kukira
dari pusaka: ladang, risalah sederhana
bekas lurah menggundikinya tak tahu ke mana
di suratnya di bawah tikar yang lunyah
murid madrasah, anak wedana, anggota palangmerah
betapa mudahnya ia hadapi hidup serba warna
datang dan pergi menentukan jalan yang dipilih

Kini pun gerimis
di makamnya kembang delima telah berbunga
dan di balik hari
hidupku kluyuran larut berakhir entah di mana

Sugiarta Sriwibawa: GARIS PUTIH


Data buku kumpulan puisi

Judul: Garis Putih
Penulis : Sugiarta Sriwibawa
Cetakan: I, 1983
Penerbit: PN Balai Pustaka, Jakarta
Seri: BP No. 3169
Tebal: 64 halaman (45 judul puisi)
Perancang kulit : Hanung Sunarmono SD

Beberapa pilihan puisi Sugiarta Sriwibawa dalam Garis Putih

Album Hijau

Kapan kita terlahir kembali
Entah di mana, di suatu saat dan di suatu tempat
Saling memandang meski tidak saling mengenal lagi
Kehadiran masing-masing yang fitri

Mungkin di tepi hutan cendana yang rindang
Di ambang dusun kala pohon belimbing berkembang
Atau di antara kebun tebu
antara Surakarta dan Yogyakarta
Timbul tenggelam warna bajumu
hijau pupus, dan ayun anggun lenganmu

Pasti engkaulah itu
Dan telingamu pun tak akan asing
menyaring suara panggilanku

Atau seperti dahulu, di sebuah pesta perkawinan
Karena kita masing-masing diundang
Kala engkau tertegun beberapa jenak, lalu
menyapaku dengan pandang menunggu
dan harap-harap camas
(Ah, setidak-tidaknya demikianlah tafsiranku)
Dan sesaat aku malah mengelak
Tapi seketika pula aku mengenalmu
Setelah berhasil menghapus jarak waktu

Yakin daku, dalam penjelmaanmu nanti
Aku masih melihat lagi
anak rambutmu yang ikal pada lengkung dahi
dan sebuah jerawat suci di bawah pipi

Mungkin aku melihatmu di sebuah toko buku
Tanganmu membalik-balik buku sejarah dan candi
Mungkin pula engkau yang melihatku
dari balik jendela bis kota,
kala aku berjalan layung-layung
dengan setia dan merenung khayali

Mungkin pula nanti aku penyair setengah baya
Dan engkau mahasiswa peminat sastra
Atau barangkali dalam hati bertanya-tanya
Sekali waktu, nun dahulu entah di mana
Kita berdua pernah hidup seusia

Barangkali jua kita telah terlahir beberapa kali
Di suatu benua dan jaman yang bahagia
Sekalipun dengan nama lain dan usia berbeda
Tapi dengan indera dan naluri yang asali

Karena itu, duhai – puisi ini tercipta lagi
Dan bahwasanya kita masih akan terlahir kembali

Jakarta, 1982