Selasa, 01 April 2014

Sugiarta Sriwibawa: GARIS PUTIH


Data buku kumpulan puisi

Judul: Garis Putih
Penulis : Sugiarta Sriwibawa
Cetakan: I, 1983
Penerbit: PN Balai Pustaka, Jakarta
Seri: BP No. 3169
Tebal: 64 halaman (45 judul puisi)
Perancang kulit : Hanung Sunarmono SD

Beberapa pilihan puisi Sugiarta Sriwibawa dalam Garis Putih

Album Hijau

Kapan kita terlahir kembali
Entah di mana, di suatu saat dan di suatu tempat
Saling memandang meski tidak saling mengenal lagi
Kehadiran masing-masing yang fitri

Mungkin di tepi hutan cendana yang rindang
Di ambang dusun kala pohon belimbing berkembang
Atau di antara kebun tebu
antara Surakarta dan Yogyakarta
Timbul tenggelam warna bajumu
hijau pupus, dan ayun anggun lenganmu

Pasti engkaulah itu
Dan telingamu pun tak akan asing
menyaring suara panggilanku

Atau seperti dahulu, di sebuah pesta perkawinan
Karena kita masing-masing diundang
Kala engkau tertegun beberapa jenak, lalu
menyapaku dengan pandang menunggu
dan harap-harap camas
(Ah, setidak-tidaknya demikianlah tafsiranku)
Dan sesaat aku malah mengelak
Tapi seketika pula aku mengenalmu
Setelah berhasil menghapus jarak waktu

Yakin daku, dalam penjelmaanmu nanti
Aku masih melihat lagi
anak rambutmu yang ikal pada lengkung dahi
dan sebuah jerawat suci di bawah pipi

Mungkin aku melihatmu di sebuah toko buku
Tanganmu membalik-balik buku sejarah dan candi
Mungkin pula engkau yang melihatku
dari balik jendela bis kota,
kala aku berjalan layung-layung
dengan setia dan merenung khayali

Mungkin pula nanti aku penyair setengah baya
Dan engkau mahasiswa peminat sastra
Atau barangkali dalam hati bertanya-tanya
Sekali waktu, nun dahulu entah di mana
Kita berdua pernah hidup seusia

Barangkali jua kita telah terlahir beberapa kali
Di suatu benua dan jaman yang bahagia
Sekalipun dengan nama lain dan usia berbeda
Tapi dengan indera dan naluri yang asali

Karena itu, duhai – puisi ini tercipta lagi
Dan bahwasanya kita masih akan terlahir kembali

Jakarta, 1982



Kereta Kencana

Kereta janazah, kami duduk bersanding dengan sawur
            kembang mempelai

Pejamlah, debar darah sesal karena was-was kehendak suara
Jiwa mengetuk asing, tapi suara tinggal melampung-lampung

Telapak tangan waktu yang mengusap pucat
Mengapa merindukan wajah hari penghabisan
Dengan gemetar mengenakan kalung sungkawa karangan bunga

Kita lewat daerah, di mana-mana penduduk tinggal mengeluh
Wabah dendam pada mereka yang berebut hidup
Dengarlah, mereka pun orang sahid yang luput kecewa

Sawurlah kembang, aku dengar gema mereka, betapa jauhnya
Bagai hujan riris pada tanah mandul yang pernah terkutuk
Kita di kereta jenazah, kita sawurkan kembang mempelai

Tiada kubur kiranya, temanten larung dari tanah wabah
Suara kami asing yang menggapai tangan waktu
Kita gali, wahai – terasa denyar nadinya di saat terakhir.


Sepanjang Lapar
Buat Ramadhan

Memanglah kurasa, karena habis menanti
Adalah kata-kata budiman
Bagai rasa sayang yang terlempar
Di luar tadah penerimaan kosong
Tiada tercari mulut yang harus membohong
Senyum sia-sia karena kepala ditundukkan lapar

Ah, mengapa kelegaan tindak hanya sesaat
Bukan menggelenyar bagai penderita yang terkapar
Akankah kututup telapak tangan di kulai muka
Hanya karena tepukan bahu yang kurasa
Telah kukira terlalu manja

Akan kusebut, kata-kata aneh
Asing bagai tamu yang mati saat mengetuk pintu
Juga kutahu, berterus terang betapa sulit perihnya
Bila padaku, rasa sayang hanya ada di muka pucatku

Kita akan berjumpa di lurung-lurung sesal
Di lurung-lurung tak kenal singgah
Ketika sadar membedakan arti
Nafsu dan derita lapar


Panggilan

Tengadah dada garis mati putih tertegun-tegun pergi
Gemetar meniti sunyi bergayut tonggak usia
Seberang senja tepian pamit terbentang

Garis bertaut masih terengah melabuh
Ke terawang asing terasa cacad yatim piatu
Rendah menangis disapa, disangka alam hiba

Selembar senja bersukma bapa bermuka bunda
Putihmu putihku dari nyawa yang diliput duka
Pulanglah meniti hinggaplah di teduh warna noda
Patahnya garis pucat kuraba tangan menangkup dada


Elegi

Mulanya pun samar memperhitungkan akhir
Dari tengah jarak yang ditarik mati antara
(kita hanya menjawabkan ruh)
Ah hati, hati yang masih kenal menyesal
Bertanya diri yang menanggung
Ketika muka-muka yang berkabung
Timbul kata-katanya
Menjadi kucinta dan kuhiba

Ajal pastilah pula kali lain bukan penyelesaian
(Muka-muka menatap tak tahu pada arah)
Keanehan yang selalu ada
Dan akan semakin panjang
Semakin bertanya
Tapi diturutinya sebab bukan ketakutan

Di seberang-menyeberang sepihak-sepihak menyeru
Dai yang lampau dengan amsal-amsal tua
Tapi laku dan tindak mengiraikan kendali
Justru dipesona dongeng-dongeng kelahiran
Dari hasil yang dicintai
Dari tubuh yang dinamai
Pernah dan masih dan akan bisa keliru

Diakuinya
Lahir nama masing-masing
Dikaguminya: telah ada awal?
Lantas tumungkul karena sama tahu
(Aku yang mengerti takut akan kengertianku)
Sesal yang ternyata ditagih dari kehidupan

Tapi kemudian saling berjabat tangan
(Aku yang mengerti puas akan kengertianku)

Kapan ada kisah dendam yang berkobar
Akhirnya padam dan berarang
Lalu pamitlah
Melipur muka-muka yang sungkawa


R.S.

Kini kami di hadapan-Mu, tapi tiada kudengar kata-Mu
Ataukah nanti di kamar mati, semua jenazah bertanya-tanya
Ah, tiada sempat tercatat pada setiap abad
Kami lempung yang sejenak tertawa bila menurunkan anak
Kemudian bebal, bila tak sanggup bunuh diri

Kini kami di hadapan-Mu kutunggu sabda-Mu.


La Canebiere

La Canebiere senantiasa mengundang senja
Bersalaman, berangkulan sepanjang bulevarda
Kami orang asing mengikuti bertanya manja
Mengapung musim gugur rebah di dada

Bintang-bintang turun lebih cepat menyala
Lebih rendah, karena kabut lembut laksana kelambu
Memulas mataku dalam sejuk cahaya biru
Tangandah, semua maklum tanpa menyela

Semua yang singgah sejenak saling berpandangan
Masihkan kita sesama asing kelu berdiaman
Setelah tadi petang membuang sauh di bandar Marseille
Kita pun anak senja di bulevarda La Canebiere

Marseille, 1961


Sampur

Wahai dunia kenangan berkatalah
Pulas terbaring dalam sedekap tanganku
Akan menitis, sealun lagu di lunglai rambutku
Renyap berdenyut, betapa kuangguk tahu

Telah kubantah iman dengan curiga
Sekilas durjana dan pasi wajahku terjamah
Meleleh peluh kutunggu mahkamah
Kata-kata dalam ketuk terjaga

Aku pun maklum, dan kucoba senyum
Kabur karena tanah-tanah ayunan kubur
Telapak gemersik, dan mungkin mereka tak tahu
Langkah itu kulihat tegap, tapi terasa meninggalkan

Wahai dunia kenangan, berkatalah
Bening selagi kudengar dilingkar kelam
Lagu yang jernih di luar camuk nafsuku
Menyusur batas, di sana segala tanyaku tenggelam.


Sala

Lentera jalan makin sepi
Rumpun bambu malam wingit
Kalau kemarau kali berpasir

Orang desa bermimpi pada
Kentongan menyadar pertama
Membawa urat diri ke kota

Senyum priyayi berbudi
Lupakan kepenatan
Orang akan menggelar tikar

Tapi dingin gardu tua
Hilir juga di pendapa

Ah, malam ini yang ganda dupa
Aku cuma berziarah saja


Tubir Jurang

Di situ memang tempatnya

Sekali badai tersekap dalam dinding jurang
Di langit pun guntur terperangkap mendung
Sekali itu matanya terbelalak, terpaksa menantang
Memeras makna, demi alam yang terkungkung

Segala desau dan gelegar menjadi kutuk
Membersit, melampaui lembah lalu melayang
Membubung, atap langit bagai kerucut, terantuk
Sesaat bergantung lalu jatuh bagai ditayang

Tempatnya memang di situ


Musuh yang Terbunuh

Letus bedil menjerit jauh
Sesayup malam yang berjaga hiba
Matinya anak murtad yang meronta

Letus menjerit hatinya
(Jahatku karena laparku
Laparku karena kejamnya!)

Kami terus berbunuhan lagi
Anak-anak yang tak kenal orang tua
(Sampai kau menyeru, bapa?)


Sajak Hijau, Putih dan Jingga

Senzoku

Sarang burung bisu
Merangkum kabut
Mencengkeram lagu


Payung

Payung terkembang
Angin badai ditantang
Kabut melayang


Yokohama

Berkaca duka
Pelabuhan terbuka
Kubasuh muka


Salju

Pusara bumi
Putih dalam sedekap
Terbujur senyap


Ari-cang

Terlena ancaman
Rahim dalam bayang
Boneka sayang


Kebun Binatang Ueno

Ria sejenak kera
Pedihku sandiwara
Melipur anak


Lumut

Ikan terlena
Mata sisik mutiara
Hijau nirmala


Hibiya

Sejuta kembar wajah
Matanya bertanya
Aku berbaju zirah


Musim Gugur

Bumi yang sahid
Ah, tak kusangka pamit
Daun yang jingga

Tokyo, 1966


Humbalang

Angin tergugah menjelang pagi
Tak sempat menyapa
Tapi kudengar bumi terjaga
Halimun tersibak fajar

Sekali ini ada tangan mengusap dada
Secercah mata
Pasti ia si perantau yang dihumbalang takdir
Hendak membuka-buka lembaran hari
Lalu melangkah seperti burung jenjang
Ah, silakan, silakan engkau mengucap pamit
Sampai ketemu di samar senja

Mungkinkah angin menggerebak merusak pagi
Dan sepanjang hari aku akan tinggal di rumah
Kau tak lagi kuingat
Karena di ujung musim angin berpusar arah
Awan bagaikan terban, bergulung kelabu basah

Mamang angin bangkit menggertak hari
Kudengar desaunya
Kubaca geram galaunya
Memang, memang ada iramanya
Karena ingat pesan si perantau salih:
Tak ada, tak ada hari yang naas

Kapan angin melanda sore
Ia pun pulang dengan langkah burung jenjang
Tak selembar bulu tercabik
Hanya matanya berdebu, tapi suaranya bangga:
Aku tahu makna kutuk prahara

Sekali saat daun-daun coklat gugur
Dengan irama iringan menggersik
Membungkah warna-warna baru kelopak bunga

Diriku diam
Tak menyela.


Pertemuan Malam di Kanda

+ :     Selamat malam, orang asing
          Aku pandang wajahmu seperti buku
          Yang dapat aku baca sambil tiduran
          Lebih-lebih di musim dingin ini
          Dalam kamar hangat tanpa gerisik angin
          Yang suka memanjakan khayal kala menonton sandiwara
          Pun wajahmu seperti koran
          Yang bingung melaporkan peristiwa dan kejadian
          Lalu mengecam diri dengan pena majal

- :      Terima kasih, saudara
          Jangan salah faham, justru saudara sebenarnya tarih
          Sejarah, yang mencatat kekalahan dan kemenangan
          Dengan tokoh kata yang tampak sebagai huruf besar
          Dalam filsafat, matematika dan ilmu hayat
          Tanpa hukum tanpa dalil
          Hanya denyut dada dan sinar mata
          Mencipta nilai untuk 90 atau 100 tahun
          Tegasnya sepanjang hidup sebelum jaman pikun

+ - :   Bukankah kita sebenarnya satu nafas satu darah
          Yang terengah-engah dalam langkah sejarah
          Dan

+ :     Ah, tidak, tidak!

- :      Memang tidak?

+ :     Baik kita masing-masing pulang
          Selamat malam

- :      Masih ada sepotong malam
          Kita habiskan di jalanan

+ - :   Mari!

+ :     Dengar, aku memang suka menulis lakon
          Sejarah, dari babak hidup petualangan
          Dengan membagi peranan dan watak
          Si kurang ajar yang mengucapkan kata-kata mutiara
          (Pasti, bukan? Hatiku menebak)
          Dan penonton akan bertepuk tangan

- :      Cobalah, letakkan naskahmu yang akan datang
          Di pangkuanmu, lalu renungkan judulnya

+ :     “Dialog Penghabisan”. Benar?

- :      “Dialog Permulaan”. Benar!
+ - :   Selamat malam

Tokyo, 1965


Mahkota

Ketika noktah-noktah kemerlap
Turun bagai mahkota di ubun-ubun
Aku justru terjaga di mimpi pertama
Detik-detik waktu lamat-melamat
Lalu kucoba mengenali alam
Duhai, betapa lama aku kaulupakan
Ah, bukan, bukan
Betapa jauh kau kutinggalkan

Ketika geliat tangan menyundul awan
Bola mataku terpaku
Tapi raga terseret gelandang waktu
Retas-meretas, gapai-menggapai
Buyar bagai tangan menggenggam air
Maka kucoba mengasihani diri
Ah, tidak, tidak
Terlalu sederhana aku merumus tafsir

Ketika kantuk kusibak
Kudengar isak meniti
Kapan detak-detik waktu lari
Sambil menggelengkan muka
Kini teriakku runtuh, menjilat pasir
Di sepanjang pantai dengan pecak tapak
Kaki sejarah, yang lenyap digulung ombak

Mimpi pertama, ketika kusahut noktah kemerlap
Ketika aku menafsir waktu
Ketika awan-awan memuntahkan mangsa guntur
Kilat-berkilat, maka kuyakini mata berkejap
Benar, benar itu adalah mahkota
Noktah-noktah kemerlap di ubun-ubunku
Berguguran


Tentang Sugiarta Sriwibawa
Sugiarta Sriwibawa lahir 31 Maret 1932 di Surakarta. Pernah menjadi mahasiswa F. Sastra, Universitas Gajah Mada dan F. Sastra Universitas Indonesia jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kemudian bekerja sebagai wartawan “Antara” Jakarta dan beberapa lama menjadi wartawan dan kepala cabang “Antara” Tokyo. Mengumumkan sajak-sajaknya yang pertama tahun 1951 di Mimbar Indonesia, lalu Zenith, Seni, Siasat, Kisah, dan Budaya Jaya. Juga menulis cerpen, artikel, juga menulis dalam bahasa Jawa. Buku hasil terjemahannya Puisi Jepang Modern (1975), Bayangan Memudar (bersama Toto Sudarto Bachtiar) dari Vergeelde Portretten (Breton de Nijs) dan Jembatan Impian (Junichiro Tanizaki). Juga menulis buku bacaan anak-anak dengan nama samaran Prabandaru. Kini bekerja sebagai editor dan kepala bagian redaksi Penerbit Pustaka Jaya.

Catatan Lain
Saya tak mengenal nama penyair ini jika tidak menjadi anggota perpustakaan provinsi. Artinya, namanya baru saya telinga dalam waktu yang dekat ini saja. Seperti kebiasaan buku-buku zaman itu, biografi ditulis di sampul belakang. Ada fotonya di sudut kiri atas. Pakai kacamata ber-frame tebal, mengingatkan saya pada Subagio Sastrowardojo. Puisinya pun, saya kira, dekat dengan Subagio, meski kalau mau diteliti pasti ada saja perbedaannya.      
            Dalam kata pengantar penerbit dikatakan: “Garis Putih berisi sajak-sajak lirik yang sederhana namun mengundang keharuan. Sajak-sajak ini merupakan kesan dan catatan pengalaman pribadi penyairnya. Sugirta Sriwibawa tergolong penyair generasi tahun 1950-an dan dengan kumpulannya ini dia membuktikan bahwa penyairnya punya watak sendiri.//Di dalam buku ini terkumpul kurang-lebih 40 sajak-sajak yang ditulisnya selama jangka waktu hampir 20 tahun.”  

2 komentar:

  1. Ada yang terbalik isinya, yaitu Puisi PANGGILAN dan ELEGI (lihat Majalah Kisah, Nomor 7 Tahun III, Juli 1955)

    BalasHapus