Jumat, 29 Maret 2024

Hasan Aspahani: DUKA MANIS

 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Duka Manis
Penulis: Hasan Aspahani
Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta.
Cetakan: I, Mei 2018
Tebal: 208 halaman (99 puisi)
Penyunting: Tia Setiadi
Tata Sampul: Ferdika
Lukisan Sampul: Hasan Aspahani
Tata Isi: Kayla
Pracetak: Antini, Dwi, Wardi
ISBN: 978-602-391-537-8
 
Sepilihan puisi Hasan Aspahani dalam Duka Manis
 
Sajak dengan Beberapa Bait yang Satu
Sama Lain Tidak Ada Hubungannya
 
SEBAGAI ikan, aku tak harus bernaung dari hujan,
merenangi kesepian, selamanya, tuli dari bising suara
kalian.
 
INI bukan bulir embun, tapi air mata mataku yang
rabun. Kabut kesedihan, betapa betah bertahan.
Menunda, mempermalukan hujan.
 
SEPERTI kuliah pertama ilmu pembentukan permukaan
bumi, kesedihan adalah hujan ratusan bulan,
menggerus kesendirian, mengurat parit, kepahitan.
 
DI tepian kesepian, ada perahu kuminta menunggu,
kukira tak akan cukup untuk kita berdua, atau kau mau
kita karam saja di kanal itu?
 
KALAU kusentuh genangan kesepianmu, apakah lingkar
riaknya akan sampai ke seberang, ke tepian kesendirianku?
 
 
Tak Semata Mata dan Metafora Lainnya
 
MATAMU sepasang taman. Kelinci-kelinci
kecil berlompatan, seperti air mataku, jika
aku menangis dulu. Bulu matamu, pagar pandan.
 
Rambutmu serat-serat hujan malam. Aku
menenun dengan tangan. Sepasang balam
berdiam di pagar titian mataku-matamu.
 
Lidahmu hiu kecil merah jambu, bersirip ajaib,
yang mengecipakkan kata-kata mantra,
saat ia merenangi di teluk teduh: mulutku.
 
Alismu kebun buluh. Sebatang kutebang,
kucuri waktu petang. Nanti, di tengah sunyi,
aku mengendap datang: memancing bimbang.
 
Telingamu kupu-kupu. Kepaknya mengonserkan
partitur warna sayapnya. Ada yang ia bisikkan
selalu: larva rindu. Kelak menetas di hatimu.
 
Bibirmu kawanan angsa merah. Berenang
melingkari danau, bening dan hening. Aku?
pemburu piatu, busurku patah, habis anak panah.
 
Dadamu padat kubis, kupuja tumbuhnya
selapis-selapis. Warna putih itu, kutabung
dari terang bangkit, fajar pertama.
 
 
Apakah Rasanya
 
          APAKAH rasanya menjalani cinta padamu sebagai
hukuman? Aku berkali-kali naik banding, meminta agar
vonis ini diperberat dan diperlama.
 
          Apakah rasanya mencintai kamu sebagai tawanan?
Aku bahagia karena kamu adalah sipir yang tak pernah
jauh dari ruang tahananku.
 
          Apakah rasanya mencintai kamu sebagai semacam
pengampunan? Aku tak peduli, cinta tetap cinta, tak
peduli terbukti salah atau benarkah ia.
 
 
Di mana Engkau saat Sajak Ini Kutulis?
 
APAKAH engkau sedang terbaring di rumah sakit bersalin?
 
Dan dia mendampingimu, menggenggam tanganmu, seakan
dengan begitu, terbagilah sakit yang kau tanggung saat itu.
 
Lelakikah anakmu? Atau perempuan? Apakah nanti kata-kata
indah yang kita ciptakan akan kau namakan pada anak yang dia
azankan itu? Pada anakmu dan anaknya –bukan anak kita– itu?
 
*
Apakah engkau sedang di taman? Mengajari anakmu jalan?
 
Dan dia, mencemaskan kalian dari jauh, dari kursi yang teduh.
 
Di kursi itu, harusnya duduk aku, membaca naskah buku puisi,
yang hendak kuterbitkan sebagai persembahan buat engkau.
 
*
Apakah engkau sedang membayangkan aku menulis puisi?
 
Puisi ini, puisi yang mungkin kelak kau bacakan buat anakmu,
anak yang kau namai seperti namaku. “Aku ingin dia menjadi
penyair seperti kamu,” katamu, saat dulu kita berpisah, dan
aku pergi membawa undangan pernikahan, yang mencantumkan
namamu dan nama seseorang (yang pasti bukan namaku) itu.
 
*
Atau, apakah engkau sedang terbaring di sebuah makam?
 
Dia menziarahimu. Bersama anak yang lahir sempat, seperti
bertukar nyawa denganmu. Anakmu-anaknya. Bukan anakku.
 
 
Kita adalah Sepasang Kekasih, dan
Hei, Lihat! Banyak Sekali Sepasang
Kekasih Lain Seperti Kita
 
SEPASANG kekasih adalah sepasang lidah yang mengucap
kata bergantian, kata yang sama, yang bergerak dari mulut
ke mulut mereka.
 
Sepasang kekasih adalah sepasang mata yang tak pernah
muak saling memandang, saling lirik, saling memejam,
dalam terang dan kelam.
 
Sepasang kekasih adalah dua pengembara yang saling
mencari, dan tabah menunggu hingga akhirnya saling
menemukan.
 
Sepasang kekasih adalah adalah sepasang nama yang saling
meminta tempat dalam ingatan, agar tak hilang dalam
kehilangan.
 
Sepasang kekasih adalah sepasang petani yang bergegas
ke ladang tak menunggu reda hujan, sebab cinta adalah
pagi yang subur.
 
Sepasang kekasih adalah sepasang mata dalam malam,
ada cahaya menjuntai indah, dan ada harapan yang
astaga, merajalela.
 
Sepasang kekasih adalah dua larik pada sebait gurindam,
rindu dalam dendam, saling buka dan tutup, mengusik,
meredam.
 
Sepasang kekasih adalah sepasang tangan yang saling
rindu, mengulur ke hampa, seakan hendak mengusapkan
cinta di dahi penuh peluh.
 
Sepasang kekasih adalah sepassang hati yang sekilas saja,
meremang bulu roma, ketika membayangkan rindu
yang akan sangat menyiksa.
 
Sepasang kekasih adalah sepasang buku yang saling
sambung. Buku pertama, berlanjut ke buku kedua, dan
juga sebaliknya.
 
Sepasang kekasih adalah sepasang buku yang saling
kagum pada sampul, sebab teramat tahu apa yang tertulis
pada diri mereka.
 
Sepasang kekasih adalah dua buah buku, saling menuliskan
dan saling membaca, tanpa pernah tertukar halaman-
halamannya.
 
 
Kudengar Kau Menutup Pintu Amat Perlahan
 
SEPERTI aku tinggal di kota ini, sendirian.
 
Jalanan, lelampuan dengan nyala yang enggan,
sebuah alamat ratusan langkah kutinggalkan
 
Sudah kita bercakap, buat kali penghabisan,
kalimat-kalimat singkat, dengan jeda diam,
yang memperlambat perputaran jejaruman jam
 
Seperti aku tersesat di kota ini, sendirian.
 
“Seberapa hampa kau akan merasa kehilangan?”
Kita bergantian, mengucapkan itu pertanyaan,
tadi, di pintumu, seperti pengganti salam
perpisahan. Lalu, aku putar badan, berjalan,
dan kudengar kau menutup pintu amat perlahan.
 
 
Kamus Kehilangan
 
KITA seperti sepasang penyusun Kamus Kehilangan,
bertanya pada semua kata, mahir mengartikan Wiji
dan Munir, cermat menjabarkan tahun dan Tuhan.
 
Untuk sebuah Kata, kita pernah berdebat panjang
Engkau ingin kata itu kita lupakan saja. Sementara
aku ingin kata itu kita perjelas, sejelas-jelasnya.
 
 
Apa yang Kamu Tak Tahu
tentang Balikpapan
                                                            : M Aan Mansyur
 
1. Kantor Redaksi Surat Kabar
 
KANTOR itu ia capai dengan dua kali berganti
angkutan kota. Tentu tak sempat ia singgah
di tempat kos untuk menukar seragam sekolah.
 
Pelajaran tambahan di situ ia dapatkan, banyak
guru, satu mata pelajaran: Ilmu Pengetahuan
Kehidupan (langsung praktik, dan langsung ujian,
sejak hari pertama ia mendaftar dengan 40
lembar kantun yang ia gambar sendiri semalaman)
 
2. Sekretaris Redaksi yang Cantik
 
IA membuat kantor itu seperti miniatur surga
yang dijaga malaikat-manis, berbibir bak segelas
sirup di kantin sekolah sehabis upacara bendara,
mereka rela berebut demi mengecup merah dan
mengecup manisnya, langsung dari bibir-(gelas)-nya.
 
3. Dia Ditelepon oleh Sesorang
 
ITU percakapan lewat telepon pertama dalam hidupnya.
Si malaikat-manis, dan senyum manis di
bibirnya itu menular ke matanya, menular ke pipinya,
menular ke gigi-giginya, “Telepon buatmu (ia
sebut nama adik kelas yang memenuhi otaknya). Ayo,
dia siapa? Cewekmu, ya?” Sebuah pelajaran penting
ia terima: Cinta membuat kemanisan menular ke mana-
mana.
 
“Halo…”
“Ya…” (dia tak tahu arti kata Halo, dan tak tahu
apakah harus menjawab dengan kata itu juga)
“Aku cuma mau tahu apakah kamu sudah sampai
di kantormu…”
“Ya…”
“Sudah, ya…”
 
Ia serahkan lagi gagang telepon, ke si malaikat-manis,
dengan gemetar yang makin ada. “Kamu grogi, ya?
(katanya, dan senyumnya makin menular ke mana-mana)…
 
4. Malam Harinya Dia Menulis Sajak
 
IA menulis sajak tentang seorang lelaki SMA bermimpi
menjadi cupid, menghabiskan semua anak panah, menikam
dadanya sendiri. Sajak itu, esok malam, ia bacakan
bagi si adik kelas yang kemarin meneleponnya.
 
Orang-orang yang antre heran, kenapa dinding-dinding kaca
telepon umum itu seperti bergetar dan bercahaya.  
 
 
Aku Telah Dihukum Mencintai Kamu
dan Bait Lain yang Sepertinya
Tak Saling Berhubungan
 
1. CINTAKU padamu adalah naluri liar yang tak bisa aku
jinakkan. Mencintai kamu adalah keterampilan
sederhana tapi tak pernah sanggup aku kuasai.
 
2. Kata-kata dalam sajak cintaku yang buruk pasti akan
lekas membosankan kamu. Tapi aku tidak akan pernah
jemu mencintai kamu.
 
3. Lidah pada otakmu lupa pada rasa kata-kataku.
Kamu mengucap aku dengan nama lain yang bukan aku.
Lidahmu dan lidahku, lupakah kamu, adalah satu hati ibu.
 
4. Seperti penguasa lalim itu, aku telah dihukum mencintai
kamu dalam sebuah sidang tanpa pembela
Seumur usia hidupku. Aku hanya menerima vonis itu.
 
 
Aku Kira Seharusnya Hari Itu Hujan
 
KITA anak-anak pulang, riang seusai sekolah petang
 
Mencari jalan lain di bukit pintasan, semak mawar cina.
Putih dan merah warnanya, angin yang paham, ia tahu
betapa rapuhnya tangkai itu, bertahan dari petikan usia
 
Kita anak-anak pulang, menemukan pintu rumah rahasia,
rumah berlantai kaca, membarangkalikan segala terbaca
 
Kita anak-anak pulang, tiba-tiba berubah bertubuh kaca
 
“Kita seperti kerasukan hujan yang aku kira seharusnya
hari itu ada,” kataku, mengambang bersamamu, dinaungi
pergola, dikembangi liana, lalu kusunggi engkau ke tangga.
Ke tinggi. Menangga. Meninggi. Sehingga tak tersangga!
 
 
Adalah Cinta Kita
                                    : dhiana
 
Aku cabang, kau dedaunan,
sepasang burung hinggap di ranting
itu, tak tahu bahwa teduhnya
 
adalah Cinta kita
 
*
Aku lelah angin, kau tabah laut,
pantai yang selalu menunggu itu
tak tahu ombak yang sampai padanya
 
adalah Cinta kita
 
*
Aku matahari pagi, kau manis
gerimis, pelangi yang melengkung
itu tak tahu, bahwa warnanya
 
adalah Cinta kita
 
*
Aku mata air, kau liku sungai,
air yang mengalir itu tak tahu
bahwa deras arusnya
 
adalah Cinta kita
 
*
Aku batang lilin, kau sumbu
api yang menyala padamu itu
tak tahu bahwa terangnya
 
adalah Cinta kita
 
*
Aku kukuh akar, kau julang batang,
ranting di cabang itu tak tahu
bahwa bunga yang mekar padanya
 
adalah Cinta kita
 
 
Rindu yang Tak Santun
Dalam Sekurung Pantun
 
          Matahari tak muncul di hari yang buta
          Hujan tergantung, jatuh, aku tertimpa
          Kucari di Google, kucari di Altavista
          Aku tak beruntung, engkau tak kujumpa
 
INI lebih perih dari kutukan bagi Ahasveros
Aku yang menunggu, dan kau menjauh: mengembara!
 
Kita yang tak sempat merayakan pesta wisuda.
Ah, perempuan, kenapa pula hatiku kau bawa?
 
Hari-hari, seperti hari terakhir bagi penyair
tak bisa mengelak memaki-jassin-mencaci-takdir
 
Kekenang hari ganjil, perpisahan yang amat buruk
kau bawa sejilid Chairil, kau tinggal Victorinox
 
kau bagai Che-(betina) ngembara dengan sajak Neruda
 
“Aku tak hendak ke Paris, Kavi. Aku hanya akan
bertemu banyak kisah tragedis! Tiap hari, aku
pasti akan merdu menangis,” kalimat kelat yang
kau ucap dengan lidah basah, bibir yang manis.
 
*
HUJAN di luar bandara. Ruang tunggu menyekapku
udara padat-buntu meracunku sisa aroma tubuhmu.
 
Kursi restoran telah kosong, di depanku, tadi ada
engkau di situ. Aku mulai menghitung beban waktu
Aku kini adalah ‘mereka yang sudah lupa bersuka’.
 
Kudengar ratap lagu Kla, samar Katon Bagaskara.
 
*
KAU bukan Miratku, tunanganku, aku bukan Chairilmu.
Aku masih di restoran ini, hujan masih di luar situ.
 
Senja bikin jingga jadi ranum, bagai biji Anthurium.
 
Di pesawat, kubayangkan kau terpana di halaman 43.
Pada Sajak Putih yang dulu pernah ita baca bersama.
 
Aku mengingat di luar kepala, selarik sajak sempurna,
si binatang, yang jalang berkata, “Kuberi jiwa segala
yang dikira orang mati di alam ini!” Kau menyalinnya,
dan aku tak tahu itulah pangkal segala yang kini
kusebut bencana: tak ada yang bisa menahanmu pergi,
kau ingin menghidupkan Hidupmu yang kau bilang Mati.
 
*
AKU tak bisa menjawab petugas di Biro Akademik,
“Kenapa kau yang mengambil ijazah Shania Saphana,
gadis termanis yang lulus dengan nilai sebaris?
 
Aku simpan yang tak sempat kita pakai: jubah sarjana.
 
Lantas, kujalani habis hari-hari menjadi jurnalis.
Dan kupajang rindu bagai poster besar Guns’n Roses.
 
          Deras musim menumbuk langit tak berangka
          Hujankah atau wajahkukah yang amat basah?
          Telah kukirim berjuta surat-elektronika
          Apakah Gmail mengantar ke alamat salah?
 
 
Dasar-Dasar Ilmu Hukum
 
MELIUS EST ACCIEPERE QUAM
FACERE INJURIAM – Alangkah benarnya!
Mencintaimu jauh lebih baik daripada
kenyataan bahwa kau tidak mencintaiku.
 
UT SEMENTEM FECERIS ITA METES –
Memang aku telah menanam, aku ingin
memetikmu di hatiku. Aku yang menabur,
kirim badaimu padaku!
 
IN DUBIO PRO REO – Jika kau ragu,
secepatnya kau terima saja aku. Jika kau ragu,
selekasnya kau bebaskan aku: mencintaimu.
 
COGITATIONIS PENAM PATITUR – karena
aku memikirkan kamu. Jika siksa hati ini adalah
hukuman atasnya, aku tak akan naik banding!
 
RES NULLIUS VREDIT OCCUPANTI – apakah
aku harus menelantarkan diriku di depan engkau?
Agar kau ambil aku, agar kau miliki aku!
 
LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI –
Cintaku ini adalah undang-undang khususku,
kini. Karenamu, aku patuh padanya!
 
HODI MIHI CRAS TIBI – Lupakan aku, abaikan
rinduku! Aku tak akan bertanya ini imbang atau
timpang: hatiku tetap mengekalkannya!
 
CONTANTE JUSTITIE – Aku tak punya saksi
atas perkara cinta ini. Jika kau tolak, aku
tak perlu pembela. Sidang aku selekasnya!
 
NE BIS IN IDEM – Dan aku sudah dihukum
berkali-kali atas kasus ini: aku mencintaimu.
Adililah aku dengan perkara ini, ribuan kali.
 
 
Duka Manis
 
          Sweet, so would I,
          Yet I should kill thee with much cherishing.
          Good night, good night! Parting ia such sweet sorrow,
          That I shall say good night till it be morrow.
 
          Juliet to Romeo
 
KARENA disentuh hati, menangis piano ini
seperti ilustrasi bagi adegan perpisahan
 
aku Kekasih menegaskan janji, sekali lagi
mengecupi kuncup jemari di pucuk tangan
 
O, harap tak habis, O, duka amat manis
 
Karena dipeluk hati, merintih biola ini
seperti mengalir air mata jadi sendu suara
 
kau Kekasih mengukur jarak ke batas mimpi,
menaksir seberapa jauh yang mampu tertempuh
 
O, ingin tak tertepis, O, duka amat manis
 
 
Tentang Hasan Aspahani
Hasan Aspahani lahir 9 Maret 1971, di Seiraden, Kec. Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kini menetap di Jakarta. Mengelola haripuisi.com dan lokomoteks.com. Buku puisinya antara lain: Orgasmaya (2007), Telimpuh (2009), Luka Mata (2010), Lelaki yang Dicintai Bidadari (2011), Mahna Hauri (2012), Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering (2016). Buku yang lain: Menapak ke Puncak Sajak (2007), Chairil – Sebuah Biografi (2016), Kaidah Terbang Lebah (2011).
 
 
Catatan Lain
            Di halaman persembahan tertulis ini: “Untuk Dhiana,/Aku mencintaimu dengan segala caraku,/aku mencintai caramu mencintaiku.” Penyair menulis pengantar (halaman 7-9) yang dijuduli: Sajak, Cinta, dan Penyair, yang ditutup dengan penanda HAH, tanpa penanda tempat dan waktu. Tulis Hasan Aspahani: “Pada dasarnya seluruh sajak digerakkan oleh Cinta. Sajak tentang kematian adalah penghayatan atas kecintaan kepada kehidupan. Sajak tentang negeri yang buruk adalah pernyataan cinta agar negeri buruk itu menjadi lebih baik. Apatah lagi sajak tentang Cinta./Sajak adalah pernyataan Cinta penyair kepada kehidupan yang ia cintai, ia hayati, ia beri makna pada setiap jejak yang di mata orang yang tidak mencintai kehidupan adalah jejak yang sia-sia yang tak berharga untuk diberi makna./Penyair dan sajak seharusnya dipertemukan oleh Cinta.” Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar