Senin, 02 September 2013

Sanoesi Pane: MADAH KELANA


 Data buku kumpulan puisi

Judul : Madah Kelana
Penulis : Sanoesi Pane
Cetakan : 1978 (terbit pertama: 1931)
Penerbit : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta.
Keterangan tambahan: Tidak Diperdagangkan, diterbitkan kembali seijin PN Balai Pustaka, BP No. 528.
Tebal : 62 halaman (50 puisi)

Beberapa pilihan puisi Sanoesi Pane dalam Madah Kelana

Dibawa Gelombang

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah kemana aku ta’tahu

Jauh di atas bintang kemilau,
Seperti sudah berabad-abad;
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi, yang kecil amat.

Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin didaun;
Suaraku hilang dalam udara,
Dalam laut yang beralun-alun,

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah kemana aku ta’tahu



Awan

Awan datang melayang perlahan,
Serasa bermimpi, serasa berangan,
Bertambah lama, lupa di diri,
Bertambah halus, akhirnya seri,
Dan bentuk menjadi hilang
Dalam langit biru-gemilang.
Demikian jiwaku lenyap sekarang
Dalam kehidupan teduh tenang.


Teratai
Kepada Ki Adjar Dewantara

Dalam kebun di tanah airku
      Tumbuh sekuntum bunga teratai:
      Tersembunyi kembang indah permai,
Tidak terlihat orang yang lalu.

Akarnya tumbuh di hati dunia,
      Daun berseri Laksmi mengarang:
      Biarpun ia diabaikan orang,
Seroja kembang gemilang mulia.

Teruslah, o Teratai Bahagia,
Berseri di kebun Indonesia,
      Biar sedikit penjaga taman.

Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat,
      Engkaupun turut menjaga Zaman.


Sajak

O, bukannya dalam kata yang rancak,
Kata yang pelik kebagusan sajak.
O, pujangga, buang segala kata,
Yang ‘kan cuma mempermainkan mata,
Dan hanya dibaca selintas lalu,
Karena tak keluar dari sukmamu.

Seperti matari mencintai bumi,
Memberi sinar selama-lamanya,
Tidak meminta sesuatu kembali,
Harus cintamu senantiasa.


Tanah Bahagia

Bawa daku ke negara sana, tempat bah’gia
Ke tanah yang subur, dipanasi kasih cinta.
Dilangiti biru yang suci, harapan cita,
Dikelilingi pegunungan damai mulia.

Bawa daku ke benua termenung berangan,
Ke tanah tasik kesucian memerak silau,
Tersilang sungai kekuatan kilau kemilau,
Dibujuk angin membisikkan kenang-kenangan.

Ingin jiwa pergi ke sana tidak terkata:
Hatiku dibelah sengsara setiap hati,
Keluh kesah tidak berhenti sebentar jua.

O, tanah bah’gia, bersinar emas permata,
Dalam dukacita engkau mematahari.
Pabila gerang tiba waktu bersua?


Betapa Kami Tidakkan Suka

Betapa sari
Tidakkan kembang,
Melihat terang
Simata hari.

Betapa kami
Tidakkan suka,
Memandang muka
Sijantung hati.


Arjuna
Kepada R. P. Mr. Singgih

Aku merasa tenaga baru
      Memenuhi jiwa dan tubuhku;
      Hatiku rindu ke padang Kuru,
Tempat berjuang, perang selalu.

Aku merasa bagai Pamadi,
      Setelah mendengar sabda Guru,
      Nerendra Krisjna, di ksetra Kuru:
Bernyala ke dewan dalam hati.

Tidak ada yang dapat melingtang
      Pada jalan menuju maksudku:
      Menang berjuang bagi Ratuku

Mahkota nanti di balik bintang
      Laksmi letakkan d’atas kepalam
      Sedang bernyanyi segala dewa.


Kepada Krisjna

Aku berdiri sebatang kara,
      Tidak berteman, tidak berkawan.
Tangan tertadah k’atas udara.
      Jiwa menjerit disayat rawan.

Hatiku kosong, tanganku hampa,
      Tidak ada yang sudah tercapai:
Aku bermimpi di dalam tapa.
      Mengingat untung termenung lalai.

O, Krisjna tiadakanlah kembali
      Titah yang dulu menyuruh daku
      Meniup suling di tanah airku.

Biarkan daku sekali lagi.
      Jatuh ke dalam jurang gulita,
      Supaya lupa, tidak bercita.


Taj Mahal
Kepada “Anjasmara”

Dalam Taj Mahal, ratu astana,
      Putih dan permai: pantun pualam
Termenung diam di tepi Jamna
      Di atas makam Ardjumand Begam,

Yang beradu di sisi Syah Jahan,
      Pengasih, bernyanyi megah mulia
Dalam malam tiada berpadan,
      Menerangkan cinta akan dunia,

Di sana, dalam duka nestapa,
      Aku merasa seorang peminta
      Di depan gapura kasih cinta,

Jiwa menjerit, di cakra duka
      Ah, Kekasihku, memanggil tuan.
      Hanya Jamna membalas seruan.


Penyanyi

Pujangga, kalau ajal sudahlah sampai,
Engkau menutup mata di dalam damai,
Sebab mengetahui terang rahasia alam,
Engkau, yang bermahkota susunan ilham.

O, Pujangga, kalau dunia gundah gulana,
Engkau bersila, jiwa tersenyum jua,
Sebab merasa kegemetaran nyawa dunia,
Engkau, Penyanyi lagu mulia.


Lautan Waktu

      Jiwaku talah lama merenang lautan waktu dan aku berhenti,
membiarkan diriku dipermainkan gelombang.
      Aku bermimpi dibawa arus ke darat sejahtera di bawah langit
bertabur bintang.
      Mata kubuka: awan mengandung guruh berkumpul di langit.
      Badai turun dan setinggi gunung gelombang naik, mengem-
pas-empaskan daku seperti tempurung.
      Tangan kukembangkan dan mulai lagi mengharung laut,
sebatang kara dalam ‘alam tidak berwatas.


Doa

      O, Kekasihku, turunkan cintamu memeluk daku.
      Sudah bertahun aku menanti, sudah bertahun aku mencari.
      O, Kekasihku, turunkan rahmatmu ke dalam taman hatiku.
      Bunga kupelihara dalam musim berganti, bunga kupelihara
dengan cinta berahi.
      O, Kekasihku, buat jiwaku bersinar-sinar!
      O, Keindahan, jiwaku rindu siang dan malam, hendak me-
mandang cantik parasmu.
      Datanglah tuan dari belakang pegunungan dalam ribaan pagi
tersenyum.
      O, beri daku tenaga, supaya aku bisa bersama tuan melayang
sebagai garuda menuju kebiruan langit nilakandi.


Kecapi

      O, Kekasih, dunia hiru-biru.
      Kita duduk berdua saja, terasing dari yang lain.
      Biarkan daku membunyikan kecapi dan berceritera dengan
bernyanyi.
      Siapa tahu ada orang yang berjuang yang rindu kepada
kedamaian dan keteduh-tenangan.
      Ia mendengar beberapa lagu dan ia terkadang menyanyikan-
nya dalam malam duka nestapa.
      O, Adinda, barangkali ia teringat akan kekasihnya dan pan-
tunku menghiburkan hatinya.


Bimbang

      Aku duduk dalam kesunyian jiwaku dan mencoba membu-
nyikan lagu pada kecapi. Ah, tiada suara yang keluar dan
aku menundukkan kepala, termenung akan tanah air menge-
luarkan lagu yang tidak menyambung waktu silam.
      Adinda datang dan berkata dengan suara penuh duka,
      “Mengapa Tuan termenung saja, tidak membunyikan lagu
penghibur hati? Sudah lama cantingku berhenti, tidak sanggup
melukis tenunanku, karena engkau tidak kudengar membunyi-
kan kecapi.”
      Aku mengangkat kepada dan memandang dia dengan mata
murung caya.
      “Aduh, Adinda, hatiku lemah mendengar suara yang tidak
sepadan dengan kehijauan tanah airku.”


Syiwa-Nataraja
Kepada R. Soeratmaka

Pada perjalananku melalui Langka purbakala,
Mengunjungi tempat keramat, dengan harapan bernyala
Di dalam hati, di bumi India yang mulia,
Yang dari dulu sampai ke akhir zaman dalam dunia
Tinggal kuat dan sakti dan termasyhur, aku melihat
Di Sailan, tempat zaman telah silam berkilat-kilat.
Astana Rawana sebagai bulan purnama raya.
Dan di negara Godawari dan Krisjna, Nataraja,
Mahadewa sebagai Penari, Sungai Mahanadi,
Dengan meninggalkan India Selatan, kuseberangi,
Dan mataku termenung memandang Pataliputra,
Tanah daratan, tempat Ayodia dan Hastinapura.
Mediadesa, kulalui dan aku berdiri, terkenang,
Penuh rindu dendam akan waktu yang silam, dipandang
Kuruksetra. Aku berada di Sarnath Negara,
Tempat Buda pertama kali mengeluarkan sabda.
Di Agra dan Fatehpur Sikri, di tepi Jamna,
Aku mengherani gedung marmar yang indah tidak terkata.
Dalam taman dan astana Taj Mahal, Mutiara Timur,
Tempat Syah Jahan dan Mumtaz-i-Mahal bersanding berkubur,
Aku bermimpi mengenang cinta.
                                    O, jiwa India
Kupandag gilang-gemilang, kurasa mahamulia.
Tetapi, yang kuingat seperti yang paling utama,
Ialah, ketika aku, setelah aku sejurus lama,
Memandang naiknya Surya Dewa ke cakrawala,
Dengan mulia raya, cerlang-cemerlang, bernyala-nyala.
Di tepi Gangga yang sakti, melutut dalam Samadi,
Dalam candi Kencana, yang berdiri di jantung hati
Tanah Hindustan.
                                    Aku terkenang akan Nataraja,
Yang kuherani denga mata yang bercaya-cahaya
Di Ratnadwipa dan India Daksina: Syiwa menari
Dalam lingkungan api bernyala-nyala, yang tahadi
Belum pernah aku dapat, biarpun aku sudah
Memandang hampir segala yang indah, yang belum punah
Oleh zaman dan tangan yang ganas, saksi bercaya
Dari abad kemegahan, abad yang kaya raya.
Di Indonesia, tanah airku,
                                    Natesa berdiri
Di atas buta, tangan kanan memegang gendang, kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya: angan-angan
Keindahan.
                                    Genta candi, merdu, bersahut-sahutan
Dan aku merasa sebagai berada dalam lautan
Kedamaian, tiba-tiba ‘ku memandang dengan jiwa,
Menari dalam api dunia terang benderang, Syiwa.
Dalam dirinya bergerak dan beredar, tidak terperi
Berapa banyaknya, bersinar-sinar, berseri-seri,
Matahari, bulan dan bintang, semua mengikut bunyi
Gendang yang mahamerdu dan nyaring, yang tiada sunyi
Dari memenuhi seantero dunia, Alam yang muram
Melayang ke dalam hati teratai api dan suram
Diganti sinar caya yang terang benderang dan alam
Kembali beredar dalam dunia, menari dalam
Pesta cahaya dan suara.
                                    Tiap alam berhati
Sendiri, emas yang bersinar-sinar, teratai api
Yang kembang, machluk yang indah permai, yang gilang-gemilang
Masuk ke dalam, keluar kembali sebagai bintang,
Terbang bernyanyi, antara alam yang silang bersilang.
Beradu kebagusan, banyaknya tiada terbilang.
“Pandang kebagusan dunia, o putera Duka Nestapa,”
Kedengaran satu suara yang halus-merdu berkata,
“Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri,
Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi
Dari luar, apa yang kau pandang terjadi sekarang,
Tidak ada waktu dulu dan nanti, semua barang
Sudah ada, ada dan akan ada dalam sebentar
Itu jua. Supaya segala makhluk tahu benar,
Bahwa ia harus turut menari dalam pesta caya.
Agar berbahagia, ia harus dalam api bernyala
Membakar segala ikatan buta yang dikarangnya.
Dibikinnya sendiri. Api memusnakan kebatannya.
Dan jiwa merasa siksa, tetapi, lihat, ia terbang
Sebagai dewa, indah permai ke dalam cuara terang,
Tetapi belum ia merdeka, berkali-kali lagi.
Ia msuk untuk membersihkan diri ke dalam api,
Sehingga akhirnya ia sadar, bahwa Nataraja
Ia sendiri, bahwa dunia semata tidak ada
Di luar dirinya. Jalan ringkas, putra Nestapa.
Mencapai kemerdekaan ini, pandanglah dengan nyata.”
Seorang orang duduk termenung seorang diri,
Matanya muram, seperti dukacita dunia ini
Sekaliannya dirasanya. Pandangannya menyayat
Hatiku, membakar jiwaku, membuat ‘ku teringat
Akan sengsara kemanusiaan dan malapetaka.
Diri sendiri. O, ‘ku sudah pernah memandang mata
Yang demikian rupanya itu di alam jasmani,
Mata, yang menyuruh daku merdeheka atau mati,
Api bernyala-nyala datang mengelilingi dia,
Bertambah tinggi, bertambah besar, dan antero dunia
Tercengang, karena ia tinggal samadi, diam semata.
Akhirnya dalam kalbu hati dunia ia bertakhta.
Sekalian alam berhenti beredar memberi hormat.
Jiwanya makin lama makin lebar dan pada saat
Ia berdiri dari kalbu hati dunia, segala alam
Segala matahari, bulan dan bintang ada dalam
dirinya: Ia satu dengan Nataraja, Mahadewa,
Ialah dia: seseorang yang mencari sudah merdeka!
“O, putra Duka Nestapa, yang berjalan dari candi
Ke candi, dari negeri ke negeri, mencari
Kelupaan dan penglipur buat hatimu, yang dibelah
Oleh malapetaka dan keinginan, yang belum pernah
Bisa diobati,barang suatu, ketahuilah,
Bahwa Bah’gia berada dalam hatimu. Satuilah.
Tari segala alam, masukilah Api bernyala,
Sehingga engkau akhirnya jadi Syiwa-Nataraja.”


Mencari

Aku mencari
Di kebun India,
Aku pesiar
Di kebun Junani,
Aku berjalan
Di tanah Roma,
Aku mengembara
Di benua Barat,

Segala buku
Perpustakaan dunia
Sudah kubaca,
Segala filsafat
Sudah kuperiksa.

Akhirnya ‘ku sampai
Ke dalam taman
Hati sendiri.

Di sana Bahagia
Sudah lama
Menanti daku.


Tentang Sanoesi Pane
Sanoesi Pane (1905-1968) dikatakan mula-mula menulis sajak-sajak yang dimuat dalam majalah-majalah di Jakarta dan Padang. Buku pertamanya Pancaran Cinta (1926), disusul Puspa Mega (1927), dan terakhir Madah Kelana (1931). Juga mengarang buku Sandyakala Ning Majapahit, Kertadjaja dan Manusia Baru.


Catatan Lain

Milik Departemen P dan K/Tidak diperdagangkan. Demikian bunyi serangkai kata yang dibingkai kotak persegi di pojok atas halaman judul buku ini. Yang saya pegang cetakan tahun 1978, jika menemukan yang lebih tua lagi, pasti memilih “Madah Kelana” yang lebih tua. Sewaktu dulu menemukan Puspa Mega di Perpustakaan, buku ini belum saya temukan. Ketemu baru-baru saja dan begitu ketemu langsung pinjam yang ini. Yang berbeda hanya penulisan nama, sudah disempurnakan ejaannya: Sanusi Pane. Tapi di blog ini, saya tetap menggunakan ejaan lama, Sanoesi Pane, biar klop dengan buku Puspa Mega. “Buku Madah Kelana ini berasal dari terbitan Balai Pustaka di masa lampau. Kami terbitkan kembali untuk menambah pengertian dan apresiasi terhadap sastra masa lalu.” Demikian tulis pengantar buku ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar