Sabtu, 01 Maret 2014

Samsir Mohamad: ANGIN BURANGRANG





Data buku kumpulan puisi

Judul : angin burangrang
Penulis : Samsir Mohamad
Cetakan : I, April 2007
Penerbit : Ultimus, Bandung.
Tebal : xii + 148 hlm; 14 x 20 cm (82 judul puisi)
ISBN : 979-99560-7-2
Editor : Bilven
Gambar sampul : S. E. Dewantoro
Desain sampul : Ucok
Foto belakang : Fajar
Sketsa wajah : Panji
Kata penutup : Prof. Drs. Jakob Sumardjo

Beberapa pilihan puisi Samsir Mohamad dalam angin burangrang

sajak dua baris

walau surga menanti
tak seorang berniat pergi
     *
walau amat pahit di bumi
selagi bisa elakkan mati
     *
egaliter baru di bahasa
dalam kehidupan belum nyata

2006



sebuah nukilan

lima tahun kusandang senapan
lawan serdadu penjajah
untuk bela negaraku dan
kemerdekaan bangasaku.

lima belas tahun
aku hilir mudik
sebisaku berbuat baik
untuk tujuan kemerdekaan.

nyaris lima belas tahun
jadi penghuni rumah tahanan
penjara dan pengasingan
tak pernah ke pengadilan
dan itu dilakukan oleh negaraku sendiri
yang kubela dan kuhormati
dengan taruhan mati.

itulah suatu ironi
hendaklah tak berulang lagi
untuk mereka
setelah aku pergi.

betapapun
telah kulakukan
apa yang aku mampu dan bisa
untuk negeri
orangtua dan istri
padaku tak ada sesal untuk semua itu.

kelak, apa pun putusan ilahi
akan kuterima dan jalani.

2006


aku rela

lagi dua bulan, 80 umurku
15 tahun di penjara
dan pengasingan
10 tahun menduda.

maka kukenal dengan baik
derita dan kesunyian
sunyi di badan
sunyi di hati

tubuhku kini rentan
beringsut layu
linu menyayat otot
dan tulang kakiku.

tetapi…
lebih linu dan didera kepedihan
saksikan bangsaku
berkerudung takhayul
memuja batu-batu berlumut
dan besi tua.

jika bisa disingkirkan
biarlah kupagut
bersama kematianku.
dan jika itu dosa
aku rela masuk neraka.


kasihan

kasihan
si tua bangka
yang dulu berdarah-darah
mencuri kuasa
lalu semena-mena
pada sesama

kini tubuhnya renta
dicabik-cabik
beragam penyakit

apakah hatinya menjerit
untuk dusta dan dosa-dosa
yang bantai dan sengsarakan
sesama manusia

hanya orang gila ingkari kebenaran
dan kebenaran adalah sumber
hukum dan hukuman
adakah pintu tobat baginya
supaya tidak dimangsa neraka
semoga tuhan mengampuninya


anak petani

ke mana bapakmu
ngabedug
ke mana ibumu
ngabungbun
ke mana kakakmu
ngala suluh
duduk di tanah, mengasuh adiknya
yang merangkak, menggapai-gapai
tanah di tangannya
tanah di kakinya
tanah di mukanya
tanah di badannya
tanah di mulutnya
matanya bening
hatinya bersih.

1985
Keterangan:
Ngabedug : memburuh mencangkul sampai bedug berbunyi
Ngabungbun : memindahkan benih dari persemaian ke dalam seonggok tanah yang diwadahi daun pisang untuk kemudian ditanam di kebun
Ngala suluh : mencari kayu bakar


dalam derai ombak

dalam derai ombak
di pesisir landai
dan deburnya
di pantai terjal

di kesuburan bebukitan
dan kerontang tanah gersang
kudengar bumi berbisik:
“aku subur dan kaya
tak pantas kalian sengsara”
angin lalu menertawakanku.


menghendaki

menghendaki
kesejahteraan
untuk semua
manusia

apakah
itu
sebuah
dosa


bekalku
: Ruth I. R.

kutangisi dan kutangisi
dia pergi juga, pergi
dan tidak kembali

kurindui dan kurindui
dengan tubuh dan hati
nyatanya dia telah tiada
kerinduanku karam sendiri,
ke lubuk hati.

sadarku berbisik lembut
“esok ada hari lagi dan jalani”
kuraih dengan pikiran dan perasaan
kujadikan bekal dan penuntun
sampai ke ujung perjalanan
terpujilah sadar
anugerah dari tuhanku.

2006


kekuasaan

oleh ulah para petinggi
yang genggam kekuasaan
jutaan dibantai, putus nyawa
dengan rupa-rupa cara mengenaskan

seratusan ribu ditahan, dipenjarakan
disiksa, dianiaya, lalu disengsarakan
dikuras harta dan tenaganya,
tidak pernah ke pengadilan!

setelah belasan tahun
yang remaja jadi dewasa
yang dewasa menjadi tua
tidak pernah diberitahu
apa salah mereka

mereka dilepaskan dengan
upacara dan janji
yang mengikat diri
mereka sendiri

tidak usai di situ
masih berlanjut dengan stigma
dan semacam “perdata mati”
sampai pada anak dan cucu

cuma satu presiden yang kyai
meminta maaf dan diturunkan
sebelum habis masa jabatannya

pelaku puncak dan para
bedebah pendukungnya
berperilaku seperti bertangan bersih
meniru Pontius Pilatus

mereka lupa adat dunia dan akhirat
“tangan mencincang bahu memikul”
jika mati mereka membawa dosa

dan aku membawa luka
luka di badan, luka di hati
aku pasrah pada ilahi
itulah iman dan ketakwaanku

2006


di pihakmu

alam membentuk
keindahannya sendiri
dalam untaian harmoni
yang menghidupi

selebihnya,
yang dianggap bagus dan indah,
yang nyaman dipakai,
yang lezat ditelan,
yang asri dipandang,
yang serba menyenangkan,
lahir dari tenaga dan kerja manusia,
emas, intan, dan uang
datang dari sana.

tetapi engkau manusia pekerja
ribuan tahun sulit capai kecukupan
sedang yang mahir tulis baca dan berhitung,
melimpahi diri dengan berlebihan.
dikecohnya si pekerja dengan uang
yang tergeletak mati di pundi-pundinya
sehingga uang bagaikan di atas segalanya.

hai pekerja,
manusia yang bertenaga,
bukalah mata dan
guncang sadarmu.

dari cucuran keringatmu
semua kemudahan dan kebagusan menjelma
dari tenaga dan kerjamu laba mengalir
dan diselingkuhkan.

kehendakmu cuma satu,
keadilan yang adalah
mahkota kebenaran.
karena itu
aku di pihakmu.

2006


kebenaran asasi

ketika pikiran dijeratkan
pada uang yang disebut modal
mendewalah uang di atas segalanya
lapangan kerja perlu uang
kemiskinan perlu uang
segalanya perlu uang
kesimpulannya:
perlu dan butuh
pendatang yang punya
dan bawa uang.

ketika pikiran
menggenggam kedaulatannya
uang bukanlah segalanya
tanpa tenaga dan kerja,
uang tidak berdaya

letakkan segunung uang
mencabut sehelai rumput pun
tak akan bisa
itu nyata, maka itu benar adanya

selagi ada
tenaga dan kerja
tidak perlu
menjual atau
menggadaikan
apa saja.

tidakkah dimengerti
bahwa segala yang ada
datang dari tenaga dan kerja
bukan dari uang yang berumur muda
sejak keberadaan manusia

2000


cukuplah sudah

siapa yang ajarkan kekuasaan
di atas segalanya sehingga dijadikan tujuan?
tataplah kenyataan
sepanjang abad yang lalu
dengan hati bersih dan pikiran jernih

di mana-mana manusia jadi korban
berjuta-juta, berpuluh juta
disiksa, dianiaya
ditebas nyawanya dengan berbagai cara,
semua itu cuma untuk rebut kekuasaan

sepanjang abad yang lalu
nyaris dua pertiga penduduk dunia
dimelaratkan, dimiskinkan
dijadikan sapi perahan

itulah ulah si kaya dengan emasnya
untuk meraup laba dan keuntungan
yang lahap, rakus, tak pernah puas
apalagi kenyang

butir-butir kebajikan dan kearifan
yang dihasilkan peradaban manusia:
egaliter dan peri kemanusiaan
dikempit si penguasa dan si kaya
dipayungi “hukum” yang dibuatnya
dikawal senjata dan teknologi
yang digenggam si penguasa bersama si kaya
diselingkuhkan, diselingkuhkan
untuk kekuasaan dan kekayaan

cukuplah sudah dan tiba saatnya
hayo! kibarkan panji-panji
bukan untuk kekuasaan,
tetapi untuk kesejahteraan
kehidupan manusia

itulah kehendak dan tujuan
yang mulia dalam dunia
supaya bumi ini berguna untuk semua
sehingga kita betah menghuninya.
untuk itulah perlunya penyelenggara negara
jika tidak, akan sia-sia dan percuma saja

2006


sendiri

sendiri aku memilih
terjun ke kancah yang mendidih
taruhannya, segalanya
tubuh dan nyawa

ternyata ketika itu
banyak yang seperti aku
sehingga mengerucut
dan lahirlah barisan

bertahun-tahun dalam perjalanan
yang tewas berjatuhan
disimpan dalam kenangan
dalam degup jantung dan airmata

sendiri aku mencari dan mencari
yang terbaik buat kehidupan manusia
ternyata ada juga yang seperti aku.
dengan olah pikir berlantai sadar,
lahirlah sebuah kehendak.

kehendak yang mulia
untuk kehidupan manusia
sebab bumi ini milik dan
untuk kita semua.
tuhan pun akan
meridoi dan memberkatinya.

1951


apakah ada

apakah ada
yang lebih terhormat
dari memihak rakyat
dengan perbuatan
dan perilaku?

apakah ada
yang lebih hina dan jahat
daripada menyengsarakan
dan mengorbankan rakyat?

jika engkau pejabat atau aparat
tanyailah dirimu sendiri
supaya ajal tidak menghantui

sesal kemudian tidaklah berguna
sesal dahulu adalah pendapatan
terpulang pada dirimu sendiri
tuhan pasti tidak bisa didustai

2007


laporan seorang jelata

ibuku cuma bisa baca “arab gundul”
sejak umurku lima tahun pisah dari ayahku

ibu dan aku dibawa bapak baruku
merantau ke tanah jawa

di sana aku dibesarkan dan disekolahkan
bapakku ahli dan pedagang barang antik

ibuku perempuan rumah tangga
yang rajin mengaji, sembahyang, dan puasa

dari perigi pepatah aku kenali
“raja adil raja disembah,
raja lalim raja disanggah”

guru agamaku mengabarkan bahwa
memihak duafa dan sabar serta
suka belajar, disayangi sang pencipta

badai perang dunia yang kedua
mengubah jalan hidupku
dari mimpi jadi pegawai kantoran
menjadi “anak bawang” dalam perjuangan

ketika fasis jepang dikalahkan
dan indonesia merdeka diproklamirkan
aku terjun ke dalam kancah pergolakan

bertahun-tahun menyandang senapan
melawan tentara kerajaan belanda
yang hendak kembali berkuasa

ketika itulah kukenali semangat
dan kehendak merdeka
penduduk desa, yang mengiringi doa
dengan perbuatan nyata.

saat-saat itulah kukenali
cantik-cantiknya pohon randu
teduh-rimbunnya rumpun bambu,
landai-landainya kaki bebukitan
serta curam terjalnya
punggung pegunungan
beningnya air di ketinggian
mengalir deras menyentuh
riang bebatuan, gemersik
membisikkan kehidupan.

sejak awal aku bergabung dengan sesama
para muda, ada pelajar
ada mahasiswa dan sejumlah
sarjana yang baru.

mereka yang berperan dan berbuat
untuk mendesakkan proklamasi kemerdekaan
kepada para senior yang
menempati posisi “pemimpin”

sekitar setahun kemudian terjadilah
selisih pendapat dan sikap
dengan para senior
yang menduduki jajaran pemerintahan

mereka melakukan kompromi
yang dikemas dengan
apa yang disebutnya “diplomasi”
yang melahirkan perjanjian Linggarjati

menyusul kampanye dan propaganda
yang mempromosikan perjanjian itu
sebagai keberhasilan yang gemilang
dan puji-pujian terhadap orang
yang menandatangani perjanjian itu
“si kancil yang cerdik”
walau isinya
menciutkan republik proklamasi

tahun berikutnya
belanda ingkar janji
lakukan agresi di bulan juli

masih dilanjutkan tahun berikutnya
dengan berunding lagi
yang membuahkan pengosongan
kantung-kantung gerilya
dan hijrah ke jogja.

itulah buah diplomasi
yang dihasilkan
otak-otak dalam kepala
tukang kompromi
yang sejak semula ragu
pada kemampuan
dan tenaga
serta kekuatan rakyat jelata
yang bersatu
dan haus merdeka

puncaknya di tahun berikutnya
kawanan diplomasi
jatuh ke tangan belanda
yang melenggang
duduki jogja

lalu, lewat apa yang dinamakan
penyerahan kedaulatan
dari kerajaan belanda
kepada yang menandatangani
proklamasi kemerdekaan indonesia
diterimalah RIS yang mengandangi
“negara-negara” buatan belanda
termasuk RI di dalamnya

si anak jelata cerai-berai
tersingkir dan disingkirkan
oleh kaum diplomasi
yang walaupun
tandatangani proklamasi 1945
bersetuju dengan belanda
masuk kandang RIS yang
menanggalkan UUD 1945

itulah lakon proklamasi 1945
sampai 1950 dan sirnalah
tekad dan semboyan
“merdeka atau mati”


Tentang Samsir Mohamad
Tak ada biodata penyair di buku Angin Burangrang. Namun dari catatan penutup oleh Prof. Drs. Jakob Sumardjo, ada pembocoran riwayat hidup Samsir Mohamad. Beliau memperkirakan usia penyair ini dari sajak Laporan Seorang Jelata, yang saat puisi itu ditulis, penyair berusia 81 tahun. Jadi berdasarkan itu, diperkirakan penyair ini lahir sekitar 1926 atau 1925. Tulis Prof :”Sudah tebal rasa kebangsaannya di zaman Jepang. Masuk kelompok golongan muda Menteng 31 yang mendesak Soekarno-Hatta secepatnya memproklamirkan kemerdekaan. Ikut angkat senjata berjuang mempertahankan republik muda ini antara 1945-1950.// Samsir adalah saksi hidup republik ini yang berada dekat dengan kekuasaan negara. Bahkan sempat duduk di Konstituante RIS. Tepai dalam sajaknya dia mengatakan 15 tahun “diasingkan” tanpa pengadilan. Kita semua tahu apa yang dia maksud.”.

Catatan Lain
Harga buku ini sebenarnya tercetak di sampul belakang buku (sesuatu yang jarang saya temui), yaitu Rp. 22.000,- Namun, saat saya beli di TB Karisma pada Senin, 12 September 2011, harganya Rp. 24.400,-       
Tulis Prof. Jacob Sumardjo, Angin Burangrang tidak istimewa secara sastrawi, namun menjadi penting dan menarik karena ditulis oleh seorang Samsir Mohamad. Lain lagi menurut Soni Farid Maulana: “Ada kesepian, kesunyian, dan kesendirian yang bergerak di dalamnya menyapa kita. Semua itu terjadi bukan karena ia semata-mata ditinggal pergi oleh istri tercinta untuk selama-lamanya, akan tetapi disebabkan pula oleh sebentuk pengkhianatan yang menyebabkan dirinya terlempar dari garis edar perjuangan yang diidealkannya.”
            Ah, ya. Begini kutipan tulisan Prof. Jacob Sumardjo yang perlu direnungkan: “Dosa politik penyair ini semata-mata karena sangat peduli pada nasib petani. Inilah sebabnya di akhir pengasingannya, ia memilih menjadi petani…. “Dosa” semacam ini sampai sekarang masih populer. Bagi mereka yang mencoba-coba untuk membela, memperjuangkan, empati, simpati pada kaum tani, identik dengan komunis. // Harus diakui bahwa pada Pemilihan Umum pertama 1955, partai komunis menduduki peringkat 4 hasil pemilihan. Peristiwa ini tidak pernah menjadi pusat perhatian, akibat cara berpikir pars pro toto tadi ini. Golongan mana yang pernah menaruh perhatian pada mayoritas penduduk Indonesia ini? Siapa yang keluyuran ke rumah-rumah reyot petani di bukit-bukit? Siapa mendengarkan keluhan kekurangan mereka? Siapa peduli ketika anak mereka sakit? Ketika panen gagal? Ketika ditipu tengkulak? Terlepas dari janji gombal atau apa pun bagi mereka yang mendekati para petani, tetapi golongan mayoritas diam ini tak pernah dipedulikan oleh mereka yang intelektual, ormas, pejabat atau apa pun namanya. Karena percuma saja dekat-dekat orang miskin. Dapat ketularan menjadi miskin.// Setelah kegagalan komunis, kaum tani ini tetap diabaikan sebagi sebuah “kekuatan diam”. Mereka hanya didekati menjelang pemilu saja. Janji dan kata-kata harapan, seperti diungkapkan Samsir, melayang ke desa-desa. Setelah kursi didapat, kembali nasib mereka diabaikan.” (hlm. 145)
            Lalu apa sih cara berpikir pars pro toto itu? Kata Prof: “Sebuah cara berpikir strukturalis-komunal yang berlaku di zaman pra-modern. Kalau ayahnya memberontak raja, maka seluruh anggota keluarga si ayah itu harus dimusnahkan, baik istri dan anak-anak cucunya, mantunya, kerabat dekatnya, pamannya, orangtuanya, kakeknya, buyutnya. Bersih lingkungan.” Ini untuk menerangkan tentang jika sebuah lembaga melakukan makar, maka apakah anggotanya juga makar. Institusi itu dikatakan sebagai lembaga impersonal. Di sana ada hierarki kekuasaan lembaga. Jadi jika atasan salah, belum tentu bawahan juga berdosa.
            Kalau boleh saya menilai, “dosa” politik penyair ini adalah sikap tanpa kompromi. Dalam sajak laporan seorang jelata (hlm. 3-7) hal ini jelas terlihat. Ia keras menyerang si tukang kompromi. Dan sikap tanpa kompromi itu jelas berisiko tinggi dalam politik. Sikap tanpa kompromi adalah musuhnya politik. Benturan-benturan keras bakal terjadi pada siapapun yang memiliki sikap tanpa kompromi. Siapa yang kuat, akan terus eksis. Yang kalah, tak ayal lagi, bakal dengan kejam disingkirkan, disingkirkan hingga mencapai tingkat kompromi yang diijinkan si kuat. Entahlah.  

1 komentar:

  1. puisi yang begitu dalam maknanya...terima kasih sehingga saya mendapatkan hal-hal yang baru dari sini
    (Wisnu Murti,http://tulisandenpasar.blogspot.com)

    BalasHapus