Data buku kumpulan puisi
Judul: Hantu, Api, Butiran Abu
Penulis: Dwi Pranoto
Penerbit: Gress
Publising, Yogyakarta.
Cetakan : I, 2011
Tebal : vi + 74 halaman (62 puisi)
ISBN : 978-602-96828-3-0
Pracetak : Siswanto, Suharmono
Cover : Dwi Pranoto
Hantu, Api, Butiran Abu, terdiri atas 3 bagian, yaitu Pemandangan
di dalam Telur (21 puisi), Tamasya
Musim Hujan & Nostalgia (27 puisi), dan Hantu, Api, Butiran Abu (14 puisi).
Beberapa pilihan puisi
karya Dwi
Pranoto dalam Hantu, Api, Butiran Abu
Dalam Keringat Petani
Dalam keringat petani ada
petak-petak sawah lengkap bergalengan,
gunung-gunung di latar
belakang. Langit menghampar di atasnya
tempat meletak harapan. Sedang
kecemasan mengeram di mata bajak,
dihela bersama gumpal tanah
basah dan tahi sapi sebagai rumah bayi-
bayi padi tumbuh.
Dalam keringat petani ada
pondok kecil tempat kata menindih waktu,
atau tempat senyap menyaru
angin dan kerisik dedaunan. Tak jarang
Ibu Sri
singgah di sini, mengusap tubuh
yang sedang ruapkan mimpi.
Dalam keringat petani ada kali
kecil gemericik, tempat kecemasan
dibasuh sebelum senja
memanggil.
Dalam keringat petani ada malam
yang ditambati suluk wayang atau
gending langendriyan. Di
dalamnya ia gembalakan ingatan-ingatan
dari masa kakek buyut.
Dalam keringat petani ada
tikus, wereng, atau walang sangit. Mereka
keringkan mimpi, runtuhkan
langit dan merundung Ibu Sri. Mereka
membakar malam, merampas pusaka
kakek buyut. Mereka menghisap
tandas-tandas kali. Para petani
tahu, mereka bukan binatang
pengerat atau serangga, mereka
adalah raksasa-raksasa lapar yang
lahir di atas meja negara.
Cakrawala yang Mengelupas
Saya akan berbicara tentang hantu, api, butiran abu.
(Derrida)
Kini, tak lagi ada kejutan dalam hari-hari dan
tahun-tahun,
cakrawala telah mengelupas, bikin kita tahu seperti tuhan
sendiri,
serupa tubuh Odysseus yang teronggok sehijau Ithaca,
belaka punya
hanya kenangan tahun-tahun dan hari ini yang hadir
sebagai replika-
replika dalam sebentuk mimpi, karena waktu telah sampai
ujung
buntu, bongkok dan tertatih menyusur kembali momen-momen
rombeng
sambil menggembalakan kata dengan seranting angin,
bersama itu kita
dengar rintih bumi yang tua, suaranya seperti
dentum-dentum dalam
ruang diskotik tempat tubuh-tubuh dibebaskan dan hanya
mengenal
sejenis kelamin dan senjata, tubuh-tubuh yang diasuh oleh
imajinasi
dari imajinasinya Quixote.
Waktu dan
Impian
Pertama-tama manusia menjinakkan waktu,
mengurungnya ke dalam almanak,
mencencangnya dengan jarum,
tapi itu tak cukup,
dengan cahaya ia membekukannya,
menggunting-gunting lalu merakitnya menjadi
kenyataan lain,
kenyataan lain yang diimpikan,
manusia meletakan mimpi ke dalamnya,
mimpinya sendiri,
seluruhnya ditandas,
hingga tak lagi ada untuk sendirinya,
lalu manusia hijrah ke dalam kenyataan lain yang
diciptakannya itu,
agar dapat kembali merasakan lain mimpi,
mimpi tentang kenyataan yang ditinggalkannya,
mimpi tentang dunia,
hasrat dunia,
dunia yang diimpikan dari dalam impian dunia.
Metafor
Ini seperti topeng
Mestinya memang topeng-topeng
Selubung yang seolah lejas, tapi tak.
Janji yang diletak di dalam suatu janji
Sepengetahuan siapapun dan dibuat seremang mungkin
Agar seolah menemukan dengan menggenggam pelita dari hati
mereka sendiri
Agar seakan terlempar dalam kegelapan,
keasingan
yang membuat ketakjuban.
Tapi bukan keasingan benar,
sehanya
ketaktahuan yang diijinkan
Mereka yang seolah menemukan dan tak menemukan bisa
menghibur diri
Di Tepian Kali 1
Lempang jalan
Lengang batu-batu
Tajami desir air
Pepokok Pohon Lambang
Beragam gagasan ilmu pengetahuan dilahirkan oleh epos penulisan
tertentu (Derrida, 1967)
Api Promotheus itu telah begitu rupa teranyam di antara
langit dan
bumi: di tengah keramaian orang sedang bertunas sebentuk
kenyataan
lain, semirip gambaran yang menyerang benak Ikarus ketika
ia
membumbung, tapi tak persis sama dengan terbang,
barangkali
tepatnya ia menghisap segala, menyengatkan sejenis bisa
lupa
hingga orang-orang dapat mengigaukan kejadian-kejadian
saat jaga,
melemparkannya ke antara dunia nyata dan kerajaan mimpi
di mana
percakapan yang mungkin terjalin adalan dengan dirinya
dan nama-
nama karena bahasa telah menciptakan orbitnya sendiri
dalam
lintasan yang sangat tertutup, ramalan-ramalan selalu
kembali
menjadi ramalan lain karena di dunia yang tanpa cuaca ini
riwayat
pencarian Oedipus hanya menceritakan ia menusuk kedua
biji matanya,
dengan begitu tak ada kampung halaman, setiap kelahiran
selalu
sudah dilupakan tanpa ancang-ancang sebelumnya, maka
kehangatan dan
keintiman seperti benua nostalgis tanpa sejarah
penciptaan, ia
dikelilingi lautan yang kelewat berkabut untuk ditembus,
satu-
satunya cara mengunjunginya adalah dengan sebuah
kendaraan mitologi
baru yang dirakit dari pokok-pokok pohon lambang,
pokok-pokok yang
menyesatkan Baudelaire, pokok-pokok yang membuatnya
menggentayangi
kota-kota yang lantak itu kini adalah peradaban itu
sendiri,
peradaban yang mengingatkan pada kisah tragis dua hamba
setia
Ajisaka: suara tubuh-tubuh yang tersungkur dalam keheningan
itu
terus-menerus menggema simpang-siur hingga terdengar tak
berasal
dari tubuh-tubuh; seperti suara panggilan dari dalam diri
sendiri
atau siul angin.
Pemandangan di dalam Telur
Dimanakah cerita besar bersumber?
mengalir cepat melewati garis batas, dan tak terduga
api menyertai perjalanannya yang berair.
Bermula dari sini, cita-cita atau kemustahilan.
Kesan terbentuk dari kursi-kursi yang jungkir balik,
lilin
menyerupai tombak dengan kepala bercahaya, dewa-dewa
bergerak
cepat membuat bayangan membingungkan, suara-suara
belum merupakan bahasa, hanya isyarat
yang memahami dirinya sendiri. Sirene,
bel, alarm bekerja dalam samar-samar, bunyi yang terkacau
derak mesin-mesin, sebagian menghasilkan menara-menara,
sebagian dirampas srigala.
Perempuan berrambut ular itu muncul seribu kali, sejak
laki-laki tua bercawat daun itu mendapat malu.
Bayangannya
menempel pada dinding-dinding gua, membekaskan kelaparan
dalam mulut-mulut licin berlendir, srigala-srigala
bersarang dalam riak-riak sungai kerongkong, ancaman
berbaju bagus sekali, bersinar seperti cahaya bulan.
Waktu meretak cangkang kapur, rel-rel mengantarnya menuju
dunia matahari, dimana kematian adalah perjalanan pulang
yang sedih. Tempat patung-patung diberi makna seribu kali
dalam mimpi-mimpi yang lain, setelah
Tuhan mengasingkan diri.
Kunang-kunang menjaga kanal hitam yang mengancamkan
kesedihan, aku
menggeliat, perlahan keluar daripadanya dengan tubuh
berliur.
Lidah-lidah bercabang membacakan peta dengan suara
berdesis.
Banyuwangi
Berabad kabut turun begitu padat
Pekat belantara dan simpang siur sulur akar gantung
Kemudian cercah cahaya dari bahasa pengasingan
Membentuk gugus-gugus dongeng
Sejak perahu-perahu layar Madura dan Bugis menepi
Bercakap dengan orang-orang Bali yang telah lama memberi
garam dan darah
Kampung-kampung tumbuh di pesisir bersama semarak warna
layar
Hingga Belanda dan Inggris membawa bubuk mesiu
ke Ulu Pampang dan muara kali Lo
Orang-orang pribumi kembali belajar mengenali dirinya
sendiri
Dari genjah arum pun kopi seraya mengingat
nafas bala Mataram yang belum lagi dicerna
Deru ombak dan semilir angin persawahan membawa kembali
nyanyian purba
Ular berkepala manusia, omprog, dan sampur merah
mengapung di udara
Ditiup kiling angklung paglak
Mocoan
Setengah kidung, separuh macapat;
Dari pancang loudspeaker para nabi berterbangan
Selinapi kamar tidur orang-orang Kemiren
Menjadi surai kepala barong keramat
Sejarah berabad berhenti di suatu pematang malam;
tamasya rawa-rawa pesisir purba
Pegunungan Hyang dan Ijen jelma undak tangga
Tuju langit yang dipenuhi kidung Sritanjung
dan kisah bayi wali yang dilarung
02/07
Kematian Pohon Ceri
Dan ia pun gelisah dalam
kecambah-kecambah waktu
yang menggaruki kulitnya dengan
kasar. Tersesat dalam perjalanan
melabirin antara tunas dan
kematian.
berkaca nafas pada kisah yang
terbaca abu-abu
dari perjalanan menyentuh meja
makan yang panjang.
Segera setelah jari-jari
mengusap usia yang kuning
Pintu akan terbanting di
belakang punggung;
ia telah mendengar kabar itu
dari akar-akar yang merintih
Suatu pagi yang jauh
menggigilkan bayangan merpati
mencengkeram dahannya;
menceritakan ranting zaitun
yang digigit paruhnya
berabad-abad lalu,
di sekeliling orang-orang buat
lingkaran,
mereka bernafas pucat menunggu
Nuh.
Pelabuhan dan kota-kota tetap
berwarna gulita
sejak api unggun mengumpulkan
orang-orang di bawah pohon ceri itu,
lalu dibuat pematang-pematang
asap dari taring berwarna pucat,
mereka menduga nama-nama di
bawah kursi, tapi Jesus
tak pernah datang. Hanya angin
yang terus bertumbangan
dalam suara sirine, mengirimkan
roti dan bubur asam lewat lubang
sempit di sudut penjara; tempat
tolak
lokomotif-lokomotif trans
Siberia menyeret
gerbong-gerbong sarat penderita
sampar. Sepanjang
rel berita-berita mengapung,
sayup tentang sebuah kitab dan
laki-laki tua berjenggot penuh kutu; ia
tak menggeram lagi sejak duduk
di bawah pohon ceri yang tidak lagi
berwarna, aromanya persis
keringat buruh tambang batubara.
Sebentar lagi, katanya
bertahun-tahun,
bayangan berlarian di
pangkuannya belaka
menjadi telur retak dalam
perahu yang berlayar menuju pantai penghabisan
Udara turun menjarum dari
tengkuk srigala,
lepas teriakan entah rintihan
merah dari kerongkong, kepung
pelabuhan dan kota-kota.
Pohon ceri melipat sayap,
sontak membusuk dalam pelukan biji.
Pedati-pedati mengabar
kesedihan lewat lenguh lembu Andini.
Langit tanpa keteduhan
menyelinap di atas meja makan
yang menghidang Bhisma dengan
seribu panah menyusup.
Menyusup denting gelas kristal berulang-ulang
setelah
tisu-tisu penuh lendir
menghambur.
Kerajaan Imaji
Maka diciptakan kenyataan dari
cahaya sekilasan,
setidaknya ia merasa demikian,
merasa telah menundukkan waktu
dan membekukannya,
menangkap momen dan
mengurungnya,
menggandakan dan berulang
menggandakannya.
Dengan itu ia ditenangkan,
seperti menumpulkan gigi-gigi
kefanaan,
menjaga benda-benda tetap ada,
seperti sedia kala,
agar di dalam cermin hanya
menemukan apa yang diingini,
agar dapat bercakap dengan
sendirinya yang telah mati,
membuat kebisuan berbicara
melalui dirinya,
mengekalkan tahun-tahun,
mengulur tahun-tahun,
melihat kenyataan mengkloning
diri dari sekepingannya.
Ditiupkan ruh ke dalam jejak-jejak,
yang rombeng berdampingan dengan hari ini,
hingga ruang melepaskan batas-batas khayali,
seperti menghapus garis horison dari cakrawala.
Dunia mengganda dirinya setiap
hari,
menenggelamkan manusia,
ke dalam imaji-imaji yang
menampung manusia,
hasrat-hasrat manusia,
hingga manusia bersalin sebagai
bayangan imaji-imaji,
seluruh dirinya,
sejarahnya,
hari ininya,
meluruh sebagai bayangan
imaji-imaji.
Manusia yang hilang dilahirkan
kembali oleh imaji-imaji,
Sebagai bayangan dari bayangan
penggalan-penggalan waktu.
Perampas Cahaya
Temukan namamu
Di udara tak bercuaca
Ketika seluruh pendar berkerumun
Melahirkan orang-orang seperti aku, sepertimu
Kita; pembunuh malam, para perampas cahaya
Lebih suka warna daripada jiwa
Kita mati! Kita mati!
Bercakap selayak arwah
Tubuh kita dalam tertanam
Ditimbun berkarung hasrat yang konak
Kekaisaran Kafka
Gambar itu tak berlatar seapa, hanya tanah bekas galian
kanal yang
mengunggun, juga cekam dari siksa kata-kata yang
dibisikan. Air
sengkara yang telah disiapkan masih di situ. Hening.
Ia masih menggali ragu. Senja yang terus direnggut malam
melarut
kenang ribuan abad dari nama seperti huruf K. Sebentuk
kecemasan
abadi menempanya. Jadi gheto itu sendiri.
Ini seperti permainan menunggunya Beckett. Kota-kota
hanya
mengenal serapah dan ribuan telinga yang menegak. Tak
mungkin lagi
ia berpaling seperti angan-angan Baudelaire
Ketika tiba juga saat itu ia jadi tahu:
“Seperti seekor anjing” katanya.
Risalah Malam
Adakah yang lebih menakjubkan
dari diri sendiri?
Berabad mempelai malam
membunuhi diri dan menciptakan taman kematian
untuk kekasih cahaya. Namun
bayangan khalayak yang sepengkhianat cermin
tersimpan dalam dinding-dinding
pembuluh berlendir, terkubur
dan terbangkitkan
berulang-gilir
dalam irama detak jantung.
Kenangan
mesum-jorok terhambur dari
bilik sejarah
setua semesta, catatan-catatan
yang memasti kehadiran terus dicoretkan
pada kantung pelir.
Di sini kejahatan ditabur pada
permukaan kulit
yang terbajak, akarnya
menghujam dan mencengkeram kuat
dalam sum-sum belulang untuk
membakari gairah dengan api kehidupan.
Kehidupan dibangkitkan dari
godaan-godaan, lalu meruap
jadi angan yang menyerupai
madah cinta
yang terkurung di puncak
menara.
Sedangkan keheningan ditiupkan
untuk meracuni jantung
dengan debur kecemasan agar
kegembiraan
tak sempat melempar sauh di
lautan nafas hingga kenikmatan
hanya bisa memberikan kesan samar
menggelegak di ribuan ujung
syaraf.
Untuk itulah wanita dihadirkan
sebagai kejinakan yang tak tertundukan
dan membiar separuh jiwanya
menghantui kuduk dengan keliaran
Pengakuan Lain Sritanjung
Di tepian sungai itu Sritanjung
menantang Sidopekso untuk
menenggelamkan dirinya ke dalam
maut.
:
Bebaskan tubuhku dari pikiranmu, wahai. Biarkan darah bercerita
padamu
tentang waktu-waktu yang menggelapi matamu. Biarkan suara-
suara
yang mengalir dalam pembuluh dan mengerogotkan karat dalam
pikiran
keluar dari kepalamu agar kau dengan sendirimu bertemu
binatang-binatang
mesummu.
Tubuhku
tak cukup kata untuk menerangi gelap yang kau lumurkan
padanya,
Suami. Karena hayatku tak lebih kurang adalah hayatmu. Ia
yang
tak pernah benar-benar kumiliki sendiri terlalu penuh hasrat
dan
kehendak. Terlalu mudah dilemahkan angan-angan.
Maka
aku pilih maut menjadi saksiku. Ia yang mashur dan tak
dikenali
hanya punya satu bahasa: keheningan paling sembilu itu
akan
membawamu menyeberang hayat yang menggaduhkan. Mengantarmu
pada
cahaya paling terang seperti yang Rama dapati pada sisa api
pembakaran
Sinta.
Wahai,
Suami, hunuslah lidah api beku yang terselip di pinggangmu.
Biarkan
aku menerjuninya. Biarkan aku menjelma Sinta!
Tubuh Sidopekso bergetar.
Pandangannya dihanyutkan air sungai. Jauh
menjauh-jauh dari tubuh yang
menegak di penjelangnya. Tak sekata
cakapan Sritanjung menyela deru
gemuruh yang membanjiri telinganya.
: Ayo laki-laki wira turunan
Puntadewa. Hunuslah lidah apimu, lalu
sarangkan pada kenangan mesummu. Tak sanggup tubuhku
bermandi
najismu.
Raut Sidopekso mengeras. Tangan
kanannya meraba hulu lidah api di
pinggang. Sementara tangan
kirinya bergerak hendak meraih pundak
Sritanjung. Alangkah! Kenapa mesti laki-laki membunuh
malu,
pikirnya.
Tangan kiri Sidopekso hanya
meraih angin.
Sekian inci sebelum ujung
jarinya menyentuh pundak Sritanjung,
tubuh perempuan itu terhuyung
ke belakang dan jatuh berselutut di
penjelangnya. Tangan kanan
Sidopekso yang bermenghunus membeku di
udara.
:
Tak takutkah kau menelan ludah sesal yang pahit, Suami. Aku
bersumpah
tak barang sekedipan mata berpaling darimu. Paralain
belaka
cemburu padamu.
Sidopekso menatap perempuan
yang bersimpuh itu. Ia ditiup bimbang.
:
Apakah kau akan mengubur kenangan kita? Tega kau piatukan dua anak
kita?
Apa jawabmu bila mereka menanyakan tentang diriku? Kau akan
bilang
kalau kau telah membunuhku karena lidah angin? Atau kau
ingat
laki-laki dari Tarub, lalu bilang selendang yang kembali
kutemukan
telah membawaku meniti pelangi. Oh suami, aku ingin
melihat
anak-anakku tumbuh besar di depan mataku sendiri.
Wahai,
jangan biarkan lidah-lidah angin menerbang-lenyapkan
kenangan
dan harapan kita. Jangan biarkan dengki mereka memenangi
pertempuran
ini. Jangan biarkan sesal bakal
mengutuki seluruh
hayatmu.
Suami,
padamkan lidah api dalam sarungnya.
Ia menciumi kedua ujung kaki
Sidopekso.
:
Baiklah, ampuni aku. Telah lewat batas aku.
Tapi
apadayaku, sundal belaka tubuhku.
Ia menciumi kaki Sidopekso
berulang-ulang kali.
Kepulauan Imaji
I
Perempuan berambut ular di
sampul depan buku tulis tipis;
pengalaman visual masa
kanak-kanak itu tak sudah menumbuhkan
kegelisahan. Bayang-bayang
sebarisan pohon kelapa yang dilemparkan
cahaya matahari yang menyergap
imajinasi Tagore kecil adalah jari-
jarinya yang berwarna merah
terang di suatu pagi. Sepi membawanya
ke dalam lorong-lorong,
menyusuri hamparan persawahan, membenamkan
wajah ke kali, bercakap dengan
lumut yang tumbuh di dinding lembab
rumah kolonial, terbang
menggunting-gunting cahaya bersama burung
layang-layang di atas laut dan
menyusup ke relung-relung gelap gua.
Di padang penggembalaan ia
masuki mimpi Endymion.
II
Alangkah imajinasi yang begitu
membelukar meletakkan keindahan ke
dalam dirinya sebagai
kegembiraan yang membingungkan. Angan-angan
erotik terlarang yang tak
tertahankan membuatnya berpijar di dalam
jilatan melidah-lidah api
nerakanya Rimbaud. Namun, masih ia
membayangkan diri sebagai
kacang polong dalam syair Rumi. Berkas-
berkas cahaya lembut dari mimpi
masa kanak-kanak memanggili:
Perseus! Perseus!
III
Dunia menjadi sebentuk cermin
raksasa. Ia melihat sendirinya di
mana-mana. Di dalamnya juga
terlihat jalan setapak yang panjang
mengular sampai menyentuh
tepian langit. Ia menyangka jalan setapak
itu berakhir di sebuah taman di
mana ribuan puisi berpijaran
membacakan bait-baitnya
sendiri. Malam demi malam disusurinya jalan
setapak di dalam cermin,
membayangkan hikayat odyssey Bima dalam
imajinasi seorang wali pada
abad sembilan belas. Tubuh ia
telentangkan di atas meja operasi,
dibedahnya dan ia temukan air
suci dalam sebotol wiski.
IV
Kehampaan mengurungnya teramat
ketat, semakin dalam menguburnya ke
dalam dirinya sendiri bersama
baris-baris muram puisi Lermontov.
Alangkah beku waktu ciptakan
dunia runtuh hingga menggemakan
kembali jerit kebosanan
Baudelaire: Pergilah ke manapun asal
jangan
di
dunia yang ini!
Kemudian ia menuntun dirinya di
depan pintu Vor Dem Gesetz,
merenungkan biografi Josef K. Pada
awalnya melulu nampak
pemandangan muram musim rontok,
deretan kumuh bangunan rumah Yahudi
yang mirip tempurung di ibu
kota Bohemia, juga penantian Juru
Selamat yang berlarut. Namun
kalimat penghabisan dalam Der Prozes:
seperti
seekor anjing, menawarkan secangkir kopi
komikal tanpa
gula.
V
Saat bertemu dengan Nyonya
Vogler dalam kertas kerjanya Bergman ia
sedang bergelung dalam perut
labirin, menunggu ayah membuatkan
sepasang sayap dan matahari.
Seperti Oedipus sang detektif,
tanpa setahunya ia merancang jalan
untuk takdirnya sendiri.
VI
Puri Elsinore bangkit dari
kabut yang menyelubunginya. Menyelinap
ia bersama mambang sang raja
pada suatu malam penghantuan. Menyusup
ke dalam jubah pangeran ketika
pagi hampir pecah saat mambang sang
raja bergegas pulang. Lalu ia
tuang racun gila ke dalam telinga
pangeran hingga ia
mengandangbabikan ranjang ibu suri dalam raungan
lumpur cemburu hasrat insest.
Ia wujudkan gagasan penjaranya
Hamlet sambil mengandaikan diri
dalam baris-baris pengakuan
Pascual Duarte di balik jeruji penjara
Badajoz. Tapi malah menjadi
Yorick ia; sedang bercakap di pemakaman
bersama penggali kubur yang
tersesat di antara menara stadion
Wembley dan Taj Mahal. Orang
India murtad itu mengenangkan kembali
masa kanak-kanak Hamlet yang
menuntut ciuman selamat malam sang ibu
yang kelak menenggelamkan
Ophelia yang putus asa dengan selaput
dara berdarah.
VII
Menjadi sesosok bayang dan
menyelinap di antara kapal-kapal yang
berkakuan di pelabuhannya
Chairil, meratapi denyut pembuluh halus
di batang penis dan bertanya
jam berapa? Berkeras ia mengenangkan
Bhisma putra Gangga, namun
pendeta dalam Simfoni Pastoral
menyanderanya dalam samaran
untuk Getrude yang buta.
VIII
Bukan Ophelia atau Getrude.
Tapi Woolf! Asap revolusi industri
menggulungnya, kota-kota kelabu
berdebu. Seraut wajah narapidana
pelarian bangkit dari laut
hitam Great Expectation yang kental
bergetah dan memantulkan kilau
semirip warna pelangi.
Tiba-tiba udara digemuruhkan
kereta api Walt Whitman. Gedung-degung
dan ribuan cerobong mengerumun
cakrawala. Teriakan kotor orang-
orang yang menukas-nukas derak mesin-mesin terdengar seperti lenguh
lembu pembajak. Dengan muka
lesu anak-anak memintal angin. Di
ambang pintu rumah pelacuran,
Sisipus dengan rambut masai duduk di
atas batu.
Para buruh mengalir di jalanan
seperti ingin mengulang kisah
keluaran. Tapi mereka tak
menemukan laut merah untuk dibelah dengan
Manifesto. Hanya hantu-hantu
Gogol yang menggentayang dan merampasi
jas mantel di jalanan bersalju.
2008
Tamasya Musim Hujan
I
Hari-hari tercipta dari
mendung;
Menahan uap air dan gelisahkan
udara
Tumbuhkan jamur dan kapang
Cahaya belakang pematang asap:
tipis dan gemetar
II
Hujan yang mampir dini hari
tadi
Hapus kerlip bintang bungsu
Langit belaka bentang asap
Pijar fajar teruntai di
reranting jadi kilau kristal
01/07
Tentang Dwi Pranoto
Dwi Pranoto lahir di
Banyuwangi. Sempat setahun bekerja di sebuah perusahaan pelayaran yang
beroperasi di selat Bali, kemudian pindah ke Cilegon, Jakarta, kembali ke
Banyuwangi, terus ke Jember. Di Jakarta sempat bergabung dengan Teater Tanah Air dan Kelompok Teater Kami. Di Jember
bergabung dengan Kelompok RumahKata
sambil mengisi siaran Apresiasi Seni dan Budaya di RRI Pro 1 Jember.
Catatan Lain
Ada tiga nama yang
mengisi sampul belakang buku dengan komentar-komentarnya, yaitu Ronny
Agustinus, Isnadi dan Hafiz Rancajale. Saya mengutip Hafiz :”Saya bukanlah
pembaca puisi yang baik, namun 15 tahun lalu Dwi Pranoto mengenalkan saya
tentang ‘fantasi kata’ yang jenial tentang kisah-kisah kota, cinta, sex, dan
benda-benda. Nama-nama ‘besar’ yang ada dalam dalam puisi-puisinya menjadi
selubung tak bernyawa, dibunuh oleh permainan kata sang penyair.”
Kemudian ada semacam catatan kecil
di halaman paling belakang buku. Misalnya kita dapat mengorek keterangan bahwa
puisi-puisi yang terhimpun di buku ini ditulis pada tahun 1995-2011. Kemudian
puisi-puisi ini, khususnya yang terhimpun dan sub bagian Pemandangan di dalam Telur, pernah dibacakan di PDS HB Jassin pada
tahun 1997. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar