Selasa, 02 Agustus 2011

Martin Jankowski: DETIK-DETIK INDONESIA



Data buku kumpulan puisi

Judul : Detik-detik Indonesia (Indonesisches Sekundenbuch)
Penulis : Martin Jankowski
Cetakan : I, 2005
Penerbit : Indonesia Tera bekerja sama dengan Paradox Literary Center
Tebal : 120 halaman (30 judul puisi, dwibahasa Jerman-Indonesia)
ISBN : 979-775-001-x
Penerjemah : Katrin Bandel
Editor  : Dorothea Rosa Herliany
Tata letak dan desain  : Gannie D. Rahardian
Link: http://weltanfall.blogspot.com/ (Bhs Jerman) dan
  http://butterflywar.blogspot.com/ (Bhs Inggris)


Beberapa pilihan puisi Martin Jankowski dalam Detik-detik Indonesia


Razia dekat Lembar di Lombok

Coba lihat, kata sopir, saat
di tengah perjalanan
kami mendekati razia polisi
yang ditandai rambu,
menunggu kami di pinggir jalan.

Coba lihat, kata sopir, waktu dia
menyembunyikan tiga lembar uang dalam kepalan tangannya
lalu membiarkan tangannya bergantung keluar
jendela dengan santai, seakan-akan kebetulan saja.
Polisi, dekat mobil kami, memandang ke arah lain.

Coba lihat, kata sopir, sambil perlahan
menjalankan mobil kembali dan menarik
kepalan tangannya, lalu membukanya:
tangan itu kosong. Kau lihat, kata sopir,
sangat sederhana persoalan negeri ini:
semua orang capek dan tak ada yang punya uang.
Kalau kau kenal aturan main
yang kupakai tadi, polisi akan pura-pura
tidak tahu. Hanya saja, kalau kau punya masalah, sebaiknya
kau minta tolong pada preman saja, merekalah yang kadang-kadang
masih punya harga diri.

 


Meditasi Kecil tentang Musik Gamelan

dengan mata setengah terpejam
penabuh gamelan menatap ke dalam kekosongan
dia seperti tak kenal susah lagi
tangannya menari mabuk di atas kuningan

di belakangnya dengan mata setengah terpejam
para penabuh gamelan menatap ke dalam kekosongan
mereka seperti tak kenal susah lagi
tangan mereka mabuk menari di atas kuningan

suara melayang yang tak ada
putusnya padat mengisi udara
menghapus batas antara
penabuh dan udara
dan

tatapan mata setengah terpejam
para penabuh gamelan
menembus kami


Pertukaran Budaya

“Orang Jawa yang kotor dan miskin itu
merusak seluruh budaya kami.”
kata para penjaga pura dengan
ramah sambil melemparkan
pandang menghina
ke bawah

lalu sambil membungkuk
di hadapan sang tamu yang membungkam
mereka minta sumbangan
sepuluh kali lipat dari yang biasa


Malam Purnama di Pantai Bali
untuk Walter Spies

bulan mengembungkan pipinya sambil tersenyum lebar
di tengah biru kehitaman lembut di atas laut dan meludahkan
emas ke atas ombak halus bergoyang keperak-perakan
sebuah perahu kemalaman bergegas melewati ayunan cahaya itu
ke arah kampung di bawah batu karang berkerak
perahu nelayan beristirahat di pantai
pohon kelapa berderak-derak kena angin

gendang malam berbisik
dikelilingi tarian ratusan bayang-bayang
berbagai sosok bergegas melalui jalan setapak
di belakang gubuk-gubuk

arus udara sekering padang pasir membawa
suara gong yang halus dan lagu pujian anjing
pada dewa panas
sang malam

gubukku ditempati roh halus
jika di luar gubuk
para kekasih berjalan berpasangan

ayam jago menjerit sepanjang malam
seakan ada yang mau membunuhnya


Hanoman di Prambanan

saat Hanoman sang raja kera
diam-diam menyerahkan cincin Rama
Sinta tahu dia akan selamat
dan Rahwana akan kalah

sementara ketujuh anak Hanoman duduk
di depan teve di rumah dan menonton
film kartun Jepang sedang istri Rahwana
memasak nasi dengan ikan asin dan suami Sinta
menyopir kijang usangnya sebagai taksi liar di Yogya

di Prambanan busur-busur emas berkilauan
cinta akhirnya menang dan para penari
membungkuk dengan anggun di hadapan tamu-tamu
untuk foto digital yang penghabisan

membungkuk di hadapan tamu dari belanda
dari jepang perancis dan jerman sebab
orang indonesia hanya menginjak tempat pertunjukan
mewah di depan candi suci Prambanan
itu sebagai penari atau pelayan

yang lain terlalu mahal


Perjalanan Pulang dari Wonosari
buat Joni

di atas sepeda motor yang menderu
melalui jalan berbelok-belok
tak habis-habisnya naik turun bukit
melewati sapi-sapi yang sedang melamun
anak ayam dan tukang pikul
di bawah pohon
dalam remang-remang

meditasi manis sambil mabuk
kecepatan
naik turun
kena angin sejuk
di atas boncengan
bersandar pada punggung
hangat pengendara
dikelilingi kedip cahaya merah
dalam terowongan terbuat dari udara dan warna hijau

mungkin lagu yang sama kami senandungkan
pengemudi aku dan sepeda motor
disertai harum aspal
asap knalpot dan debu segar

dan pada langit senja dari emas cair
dengan noda gelap di sana sini yang
membentang selebar jagat raya di cakrawala
tak hentinya puncak hitam
Merapi yang mendidih
menorehkan garis asapnya
menyeberangi lembah yogya
lalu memasuki malam


Pohon-pohon di Pantai Sundak

meninggalkan hiruk pikuk kota
bagiku auman hempasan ombak pun
menjadi puisi

segerombolan raksasa yang bermain
lempar-lemparan batu vulkanis
telah menciptakan pantai untukku

di sini aku duduk mengharapkan masa yang lebih baik
di belakangku kampung sedang menunggu dan di depanku
laut yang mematikan

di lapangan kampung yang berdebu pohon-pohon membentangkan
tangan-tangan kayu mereka menjadi atap teduh
mereka mengangkat tangan

dan kalau aku menatap laut tanpa suara mereka menarikan
twist tropis di belakang punggungku
kawanan bergairah dalam ekstase siang

entah kapan rasa lapar ini akan surut
yang membuatku menjelajahi negeri-negeri asing
mungkin ombak yang tahu

hanya sekilas aku menoleh ke belakang
dan terhentilah gerakan
pohon-pohon yang menari

kalau aku kembali menatap laut
mereka melanjutkan tarian mereka


Tentang Martin Jankowski
Lahir tahun 1965, besar di bagian Timur negara Jerman. Menulis lagu, puisi, cerpen, naskah drama dan esai. Novelnya adalah “Rabet oder Das Verschwinden einer Himmelrichtung” (Rabet atau hilangnya sebuah mata angin, 1999), kumpulan cerpennya “Seifenblasenmaschine” (Mesin gelembung sabun, 2005). Datang pertama kali ke Indonesia tahun 2002 atas undangan Rendra, ikut dalam “Festival Puisi Internasional Indonesia”

Catatan Lain
Buku ini kubeli di toko buku Riyadh Banjarbaru dengan harga yang miring untuk jamannya Rp. 10.000,- tahun 2010 lalu. Menurut catatan Sainul Hermawan, Martin Jankowski pernah menyempatkan diri datang ke Banjarmasin (Kamis, 7 Desember 2006), bersama Agus R. Sarjono, untuk memperkenalkan Detikdetik Indonesia ini. Tepatnya ke Aula I FKIP Univ. Lambung Mangkurat. Di sana dia duet baca puisi dengan penyair Arsyad Indradi dan Ali Syamsudin Arsy. Konon, dalam acara itu hadir pula Jamal T. Suryanata, Tajuddin Noor Ganie, Zulfaisal Putera, Micky Hidayat, YS. Agus Seseno, Isuur Loeweng, Ersis W. Abbas, Sandi Firly. Saya waktu itu belum “lahir”. Masih belum kenal siapa-siapa dan masih menjadi penggemar setia –yang kadang-kadang tidak setia juga- rublik “Cakrawala Sastra” asuhan Sandi Firly. Jadi momen itu terlewatkan begitu saja. Kalau tak salah ingat, saya masih bertapa di Tamban, mengawani Kai Janggut Naga. Hehe.

4 komentar:

  1. Martin Jankowski, novel: RABET, Runtuhnya Jerman Timur (Penerbit Waktoe, Magelang 2010, Bahasa Indonesia, see: http://www.duniatera.com/penerbit-waktoe)

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah berkunjung dan memberi koreksi. Ijinkan saya culik beberapa puisi Anda buat kami belajar. Saya suka sajak yang keren, seperti puisi-puisi yang ditampilkan ini...

    BalasHapus
  3. Tulisan yang bagus :)
    Bolehkah saya pinjam buku Detik-detik Indonesia kak? Saya sudah mencari ke semua toko buku tidak menemukan. Saya juga menghubungi penerbit tidak ada jawaban. Saya membutuhkan buku ini untuk skripsi saya kak. Bolehkah saya dibagi emailnya untuk berkomunikasi lebih lanjut?
    Terima kasih.

    BalasHapus