Senin, 02 Februari 2015

Bambang Widiatmoko: KOTA TANPA BUNGA



Data buku kumpulan puisi

Judul : Kota Tanpa Bunga
Penulis : Bambang Widiatmoko
Cetakan : I, 2008
Penerbit : bukupop, Jakarta.
Tebal : viii + 116 halaman (109 puisi)
ISBN : 978-979-1012-29-4
Perwajahan : Nanok K.
Rancangan sampul : Jeffry Surya

Beberapa pilihan puisi Bambang Widiatmoko dalam Kota Tanpa Bunga

Danau Tahai

Ada yang tak pernah berubah
Air danau yang hitam
Serupa bayangan matahari berpendar
Di atas jembatan kayu yang panjang
Terasa benar bedanya – alam terasa lapang

Air yang hitam mencipta keteduhan
Seperti bola matamu – terasa teduh
Karena belantara kehidupan telah kau tempuh
Dengan jiwa yang tak sempat mengeluh
Menghanyutkan diriku ke dasar danau
Dalam pusaran cinta – tapi terasa sia-sia


Taman Siring

Pusaran air sungai Barito
Begitu menakutkan
Seperti daya magis yang dipancarkan
Daun-daun tersedot entah menuju ke mana

Malam berjalan perlahan di Marabahan
Pucat cahaya bulan, pucat pula
Kehidupan dalam alunan sungai yang dalam
Entah bagi cinta, masihkan terasa sia-sia?

Malam ini aku tetap setia
Mempermainkan kata, mempermainkan
Pedang menancap sukma
Jika cinta bicara, angin ikut tertawa




Sungai Airmata Semesta

Di atas pelayaran perahu
Kota seribu sungai
Hanya ada gelombang mempersingkat siang
Perahu lalulalang meninggalkan alur panjang
Kehidupan terasa ditebang dengan parang

Tak ada senyuman di air dalam
Mewaspadai tonggak kayu tenggelam
Barangkali juga buaya yang menyelam
Kita telah semakin jauh berlayar
Di sungai Martapura – sungai airmata semesta


Saluang

Anak dendang melantunkan tembang
Dengan iringan musik saluang
Angin berhenti meniup
Di trotoar sudut pasar yang redup

Adakah tembang menyiratkan
Hati yang bimbang?
Ataukah kehidupan malam ini telah tumbang
Karena sorot matamu menyimpan kegetiran?

Tiupan saluang menyimpan
Misteri bersama endapan ampas kopi
Bahkan rembulan pun enggan pergi
Cahayanya jatuh di ujung kaki, menjelang pagi


Parangkusumo

Menguji kesetiaan, kepercayaan atau pelipur lara
Asap membubung terbang bau kemenyan
Adakah bisa membawa doa dan harapan
Menembus cakrawala sampai ke tangan tuhan
Sedangkan ombak laut selatan berdebur menakutkan

Serupa bunga setaman yang harum baunya
Hanya airmata dan kepasrahan belaka
Kehidupan telah kalah dipertaruhkan
Jatuh seperti pelepah daun lontar
Di luar tembok, pelacur terus saja berkelakar

Di petilasan Parangkusumo – bulan purnama
Kehidupan serupa pertunjukan wayang
Boleh saja kita menonton dari kejauhan
Atau ikut berperang dalam pertempuran
Kalah atau menang – garis nasib di telapak tangan


Anak Bajoe

Di atas titian papan yang bergetar
Kumasuki rumah tak berpintu tak berpagar
Anak-anak Bajoe berlompatan di sela-sela tiang
Menganggap laut bagian tulang rusuknya

Menyelam di kedalaman laut
Dengan mata dan hidung terbuka
Tubuh laksana ikan layang-layang
Timbul tenggelam di sisi perahu nelayan

Anak-anak Bajoe bertubuh legam
Matanya menyiratkan kejujuran terpendam
Menjemur teripang dengan bertelanjang dada
Matahari telah bersatu dengan jiwanya


Pengantin Jagung

Antara jagung bakar dan kematian
Alangkah dekat pertautannya
Asap wangi yang menyebar ke udara
Kurasakan seperti bau tulang yang terbakar

Hendak kujumput nafas kehidupan
Di bawah beringin alun-alun utara
Tapi bau jagung yang dibakar
Membakar habis tulang-belulang semesta

Jiwaku hangus dalam kesendirian
Cintamu membara dalam tungku perapian
Dub buah jagung bakar tergeletak di tikar
Seperti sepasang pengantin tanpa undangan


Lembah Harau

Seperti tokoh dalam cerpen Iwan Simatupang
Aku duduk di bangku panjang
Tapi tak tahu siapa yang kutunggu datang

Bukit tegak lurus dengan langit
Menjepit perasaanku tak mudah berkelit
Mungkin suatu saat akan runtuh
Mungkin juga akan tetap teguh
Mengumandangkan gema
Ketika kuteriakkan kata-kata cinta

Air terjun memancarkan cahaya
Lantas tenggelam di balik tubuh
Anak-anak yang berenang

Daun mahoni yang gugur
Berubah menjadi perahu bergoyang perlahan
Barangkali akan mengantarku pulang
Sebelum matahari benar-benar tenggelam


Dorolonda

Di tengah lautan luas tak bertepi
Hanya ada harapan – di geladak kapal Dorolonda
Waktu terasa amat panjang
Sejauh mata memandang – penuh gelombang

Kita tak akan pernah tahu
Melewati gelombang pasang Masalembo
Terasa nyali tinggal seujung kuku
Hidup dan mati – menjadi renungan abadi

Di atas geladak angin menerjang
Menggetarkan tubuh – pelayaran masih jauh
Kita hanya serba menunggu
Sesekali melihat arloji – lalu kembali meditasi


Rumah Kaca
: Sapardi Djoko Damono

Di rumahmu di tepian Situ Gintung
Mengapa dosa menjadi bayangan
Yang memantul di pintu dan jendela
Ketika petir menggelegar
Membuat nyali jadi padam

Langit kelabu menampar kesendirian
Menumpahkan hujan – hanya ada sesal
Bumi semakin tua
Dan aku pun tak berdaya
Sujud di atas sajadah – rumah penuh kaca


Rahasia Cinta

Kebahagiaan yang hanya sesaat kukecap
Biarlah tertambat menjadi kenangan tak terucap
Jemarimu yang pernah kugenggam erat
Kini terlepas dari hati yang penat

Bukankah cinta tak berarti memiliki
Tapi mengapa jiwa terasa kosong dan sepi
Akan tetap kujaga rahasia cinta sejati
Sampai kita temukan jatidiri yang tersembunyi


Goa Leang-leang

Langkah kaki membawaku ke sini
Tertatih-tatih berjalan mendaki
Merayap dari batu ke batu
Memasuki goa dengan rasa haru

Lukisan telapak tangan zaman prasejarah
Seakan menyapa dan menyapu gelisah
Sisa kulit kerang yang dulu sampah
Telah menjadi fosil dan catatan sejarah

Betapa telah panjang riwayat kehidupan
Dalam jejak lautan dan kepulauan
Tak sekedar kata-kata dan bendera
Tapi telah terukir di dada

Lukisan telapak tangan di goa Leang-leang
Peradaban dunia yang dulu lengang
Kini serupa cermin, betapa kita semakin miskin
Dan kian asing, tak menghargai angin

Kesunyian telah direkam burung gagak
Juga kotoran kelelawar yang terserak
Meninggalkan lorong goa yang gelap
Terasa jiwaku tertinggal, tak lagi gemerlap

Betapa tak akan habis dicatat dalam kitab,
: Indonesia
Warisan sejarah, dibaca berabad-abad
: Indonesia


Kota Tanpa Bunga
: Wan Anwar

Ketemu kota tanpa bunga
Apalagi kata-kata, telah dipatuk burung gererja
Hanya deretan pohon asam tua
Pertanda dulu pernah jaya

Debu menyebar di alun-alun kota
Yang tampak tak tertata
Menghitung jejak yang tertinggal
Mungkin hanya sajak, lantas terinjak

Menemu malam, sepanjang jalan raya
Deretan lampu terukir Asma’ul Husna
Barangkali menjaga tutur kata
Atau tempat kita berjanji, melangkah pergi

Benteng tua muncul di depan mata
Juga mesjid dan menara
Menghitung peziarah, menghitung peminta-minta
Semua penuh harap, hatinya mengerjap

Kota tua berselimut doa
Tersandar  di tepi dermaga
Bagai perahu tua sarat luka
Siap terkubur di samudera


Bendera
:Alm. Ari Setya Ardhi

Mengapa kita begitu kecil
Dan terpencil
Dalam luasnya semesta
Dan hanya berbekal kata-kata

Setelah lama tak saling jumpa
Mungkin engkau menatapku di balik cakrawala
Dunia penuh misteri dan tanda tanya
Dan kita terlalu asyik menuliskannya

Sebuah sajak lantas tercipta
Mengisi keheningan dan batin pun terjaga
Dan engkau membacakannya penuh pesona
Di hadapan ratusan bidadari di nirwana
Yang tak lagi berbatas ruang dan waktu
Tak ada lagi kata lelah dan jemu menunggu

Seandainya usia tak terbatas seperti cahaya
Sajak akan menggantikan bendera
Berkibar di sepanjang jalan raya
Dan kita pun berbaris: menanti ajal tiba


Bantimurung

Ada juga keajaiban semesta
Dalam tatawarna seribu kupu-kupu
Diterpa cahaya matahari senja
Dan gemuruh air terjun Bantimurung

Angin sejuk berhembus di sini
Adalah tiupan nafasmu
Untuk kembali bercermin di sungai
Mengolah kejernihan hati

Aku ingin kembali lagi ke sini
Memasuki goa mimpi
Dan terbang bersama kupu-kupu
Menembus kabut dalam keabadian waktu


Stasiun Payakumbuh

Stasiun pun kini telah mati
Menghembuskan nafasnya – ketika rel
Diangkat dari jalan panjang yang sunyi
Jangan bicara tentang jasa
Karena jelaga hitam sisa tungku
Sudah tak ada
(Merajut cerita seperti ular
Merayap di hutan bukit barisan)

Aha, stasiun pun bisa mati
Tak mengingat jasa ribuan jiwa kerja rodi
Tapi di stasiun ini
Barisan semut menggotong remah roti
Selalu melewati loket tanpa tiket


Candi Mendut

Selepas meninggalkan candi Mendut
Hujan turun dan langit berkabut
Daun bodhi gugur – melekat di pagar
Yang memisahkan kenyataan
Samadi dan kehidupan
Adalah kemungkinan yang berbeda
Seperti garis di telapak tangan

Meninggalkan candi Mendut
Dunia kian terasa sempit – menyusut


Nyaru Menteng

Berjalan perlahan lewat titian papan
Menembus kesenyapan hutan belantara
Hanya orangutan yang bisa bercanda
Menertawakan diriku yang terasa bodohnya

Mungkin hanya kesadaran yang sederhana
Kehidupan di tengah hutan
Hanya pepohonan sejauh mata memandang
Tapi di sini: masa depan semesta dipertaruhkan


Pasar Gading

Sehari-hari pasar kian terlantar
Menampakkan sisa kejayaan yang pudar
Pedagang ikan mengusir lalat-lalat nakal
Mengeluh pada nasib yang terasa kekal

Menghirup teh kental di pasar Gading
Seharian duduk ditemani dinding
Mbok bakul mengatur sobekan daun pisang
Bersimpuh bertahun dalam samadi yang panjang


Tentang Bambang Widiatmoko
Bambang Widiatmoko lahir di Yogyakarta, menulis puisi, cerpen dan esai. Tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama. Menyelesaikan pendidikan di Ilmu Komunikasi Pasca-sarjana Universitas Hasanuddin. Kini menjadi dosen Universitas Mercu Buana dan berberapa universitas di Jakarta. Tahun 2003 dianugerahi sebagai Pelestari Budaya oleh Pusat Lembaga Kebudayaan Jawi (PLKJ) Surakarta. Kumpulan puisinya Pertempuran (1980), Anak Panah (1996), Agama Jam (2002).


Catatan Lain
Mayoritas puisi dalam kumpulan ini pendek-pendek. Diantaranya berisi semacam laporan perjalanan di berbagai daerah: Sumatera Barat, Lampung, Makassar, Palangkaraya, Bali, Kalimantan Selatan, beberapa tempat di Jawa. Nampaknya belum ada yang berlatar luar negeri. Dan semua puisi di sini tanpa keterangan tempat dan waktu penulisan, jadi agak susah untuk melacak perkembangan puitik penyair ini, utamanya bagi saya.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar