Minggu, 03 Maret 2013

Wiji Thukul: AKU INGIN JADI PELURU



Data buku kumpulan puisi

Judul : Aku Ingin Jadi Peluru
Penulis : Wiji Thukul
Cetakan : I, Juni 2000
Penerbit : IndonesiaTera, Magelang. Diterbitkan atas bantuan Perwakilan KITLV di Indonesia (Koninklijk Instituut voor Taal -, Land-en Volkenkunde)
Editor : Dorothea Rosa Herliany
Ilustrasi sampul : Sudwinarno (Duweck)
Disain Sampul : M. Iqbal Azcha
ISBN : 979-9375-07-X
Tebal : xix + 176 halaman
Esai pengantar : Munir, SH

Hanya satu kata, lawan! Kalimat pendek itu lebih dikenali ketimbang Wiji Thukul. Ia telah menemukan api bagi sebuah simbol perlawanan (Munir)

Buku ini memuat 5 kumpulan puisi, yaitu Lingkungan Kita Si Mulut Besar (46 puisi), Ketika Rakyat Pergi (16 puisi), Darman dan Lain-lain (16 puisi), Puisi Pelo (29 puisi), dan Baju Loak Sobek Pundaknya (28 puisi)

Beberapa pilihan puisi Wiji Thukul dalam Ketika Rakyat Pergi

Peringatan

jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

Solo, 1986



Dalam Kamar 6 x 7 Meter

mimpi-mimpi bagusku kubunuh dengan kenyataan
tinggal tubuh kurus kering dan cericit tikus
ketika kuterbaring tidur di tikar dan bantal
yang banyak bangsatnya
tak seluruh mimpi-mimpi itu sirna
tersisa juga yang sederhana:
alangkah bahagia aku andai sudah bisa beli
minyak tanah dan menyalakan lampu teplok
lalu membaca buku sampai malam larut dan menulis
alangkah bahagia aku andai sudah beli kompor
dan masak supermi ketika lapar
alangkah bahagia aku andai sudah bisa menggaji ibu
membeli baju baru bagi adik-adik ketika lebaran
rokok buat bapak dan lain-lain

lapar memang memalukan!
(tiba-tiba aku mendengar jutaan nyawa saudaraku yang
karena lapar menjadi copet, lonte dan gelandangan
tiba-tiba aku merasa lebih kaya tinimbang mereka
rumah punya, nyewa tak apa
makan bisa hutang kiri-kanan
minum tersedia air sumur umum).

justru hari inilah
ketika aku lapar sendiri dalam kamar 6 x 7 meter
di sini ini
aku bersyukur masih sempat nulis puisi
aku bersyukur masih sempat nulis puisi


Bunga dan Tembok

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi

seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!

di dalam keyakinan kami
di mana pun – tiran harus tumbang!

Solo, 87-88


Beberapa pilihan puisi Wiji Thukul dalam Baju Loak Sobek Pundaknya

Puisi Sikap

maumu mulutmu bicara terus
tapi tuli telingamu tak mau mendengar

maumu aku ini jadi pendengar terus
bisu

kamu memang punya tank
tapi salah besar kamu
kalau karena itu
aku lantas manut

andai benar
ada kehidupan lagi nanti
setelah kehidupan ini
maka aku kuceritakan kepada semua makhluk
bahwa sepanjang umurku dulu
telah kuletakkan rasa takut itu di tumitku
dan kuhabiskan hidupku
untuk menentangmu
hei penguasa zalim

24 januari 97


Gentong Kosong

parit susut
tanah kerontang
langit mengkilau perak
matahari menggosongkan pipi

gentong kosong
beras segelas cuma
masak apa kita hari ini

pakis-pakis hijau
bawang putih dan garam
kepadamu kami berterima kasih
atas jawabanmu
pada sang lapar hari ini

gentong kosong
airmu kering
ciduk jatuh bergelontang
minum apa hari ini

sungai-sungai pinggir hutan
yang menolong di panas terik
dan kalian pucuk-pucuk muda daun pohon karet
yang mendidih bersama ikan teri di panci
jadilah tenaga hidup kami hari ini
dengan iris-irisan ubi keladi
yang digoreng dengan minyak
persediaan terakhir kami

gentong kosong
botol kosong
marilah menyanyi
merayakan hidup ini

6 Januari 97


Nonton Harga

ayo
keluar kita keliling kota
tak perlu ongkos tak perlu biaya
masuk toko perbelanjaan tingkat lima
tak beli tak apa
lihat-lihat saja

kalau pengin durian
apel pisang rambutan atau anggur
ayo
kita bisa mencium baunya
mengumbar hidung cuma-cuma
tak perlu ongkos tak perlu biaya
di kota kita
buah macam apa
asal mana saja
ada

kalau pengin lihat orang cantik
di kota kita banyak gedung bioskop
kita bisa nonton posternya
atau ke diskotik
di depan pintu
kau boleh mengumbar telinga cuma-cuma
mendengarkan detak musik
denting botol
lengking dan tawa
bisa juga kaunikmati
aroma minyak wangi luar negeri
cuma-cuma
aromanya saja

ayo
kita keliling kota
hari ini ada peresmian hotel baru
berbintang lima
dibuka pejabat tinggi
dihadiri artis-artis ternama dari ibukota
lihat
mobil para tamu berderet-deret
satu kilometer panjangnya

kota kita memang makin megah dan kaya

tapi hari sudah malam
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
sebelum kehabisan kendaraan
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
siap dijual di pelelangan

besok pagi
kita ke pabrik
kembali kerja
sarapan nasi bungkus
ngutang
seperti biasa

18 Nopember 96


Baju Loak Sobek Pundaknya

siang tadi aku beli baju
harganya murah
harganya murah bojoku
di pedagang loak
di pedagang loak bojoku
pundaknya sedikit sobek
sedikit sobek bojoku
bisa dijahit tapi
nanti akan kubeli benang
akan kubeli jarum
untuk menjahit bajumu bojoku

untukmu bojoku
baju itu untukmu

tadi siang kucuci baju itu
kucuci bojoku

tapi aku bimbang
aku bimbang bojoku
kutitip ke kawan
atau kubawa sendiri
nanti kalau aku pulang
kalau aku pulang bojoku

karena sekarang aku buron
diburu penguasa
karena aku berorganisasi
karena aku berorganisasi bojoku

baju itu kulipat bojoku
di bawah bantal
tak ada setrika bojoku
tak ada setrika
agar tak lusuh
agar tak lusuh
karena baju ini untukmu bojoku

22 Januari 96


Tujuan Kita Satu Ibu

kutundukkan kepalaku
bersama rakyatmu yang berkabung
bagimu yang bertahan di hutan
dan terbunuh di gunung
di timur sana
di hati rakyatmu
tersebut namamu selalu
di hatiku
aku penyair mendirikan tugu
meneruskan pekik salammu
a luta continua

kutundukkan kepalaku
kepadamu kawan yang dijebloskan
ke penjara negara
hormatku untuk kalian
sangat dalam
karena kalian lolos dan lulus ujian
ujian pertama yang mengguncang

kutundukkan kepalaku
kepadamu ibu-ibu
hukum yang bisu
telah merampas hak anakmu

tapi bukan cuma anakmu ibu
yang diburu dianiaya difitnah
dan diadili di pengadilan yang tidak adil ini
karena itu aku pun anakmu
karena aku ditindas
sama seperti anakmu

kita tidak sendirian
kita satu jalan
tujuan kita satu ibu: pembebasan!

kutundukkan kepalaku
kepada semua kalian para korban
sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk

kepada penindas
tak pernah aku membungkuk
aku selalu tegak

4 juli 1997


Catatan

gerimis menderas tengah malam ini
dingin dari telapak kaki hingga ke sendi-sendi
dalam sunyi hati menggigit lagi
ingat
saat pergi
dan pipi kiri kananmu
kucium
tak sempat mencium anak-anak
khawatir
membangunkan tidurnya (terlalu nyenyak)
bertanya apa mereka saat terjaga
aku tak ada (seminggu sesudah itu
sebulan sesudah itu
dan ternyata lebih panjang dari yang kalian harapkan!)
dada mengepal perasaan
waktu itu
cuma terbisik beberapa patah kata
di depan pintu
kaulepas aku
meski matamu tak terima
karena waktu sempit
aku harus gesit

genap ½ tahun aku pergi
aku masih bisa merasakan
bergegasnya pukulan jantung
dan langkahku
karena penguasa fasis
yang gelap mata

aku pasti pulang
mungkin tengah malam dini
mungkin subuh hari
pasti
dan mungkin
tapi jangan
kau tunggu

aku pasti pulang dan pasti pergi lagi
karena hak
telah dikoyak-koyak
tidak di kampus
tidak di pabrik
tidak di pengadilan
bahkan rumah pun
mereka masuki
muka kita sudah diinjak!

kalau kelak anak-anak bertanya mengapa
dan aku jarang pulang
katakan
ayahmu tak ingin jadi pahlawan
tapi dipaksa menjadi penjahat
oleh penguasa
yang sewenang-wenang

kalau mereka bertanya
“apa yang dicari?”
jawab dan katakan
dia pergi untuk merampok
haknya
yang dirampas dan dicuri

15 januari 97


Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa

aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk buat
penguasa

puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka

kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
kau masih hidup

aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa

18 juni 97


Beberapa pilihan puisi Wiji Thukul dalam Lingkungan Kita Si Mulut Besar

Kuburan Purwoloyo

di sini terbaring
mbok Cip
yang mati di rumah
karena ke rumah sakit
tak ada biaya

di sini terbaring
pak Pin
yang mati terkejut
karena rumahnya tergusur

di tanah ini
terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh
terhisap dan menanggung hutang
di sini
gali-gali
tukang becak
orang-orang kampung
yang berjasa dalam setiap Pemilu
terbaring
dan keadilan masih saja hanya janji

di sini
kubaca kembali
: sejarah kita belum berubah!

jagalan, kalangan
solo, 25 oktober 88


Suti

Suti tidak pergi kerja
pucat ia duduk dekat ambennya
Suti di rumah saja
tidak ke pabrik tidak ke mana-mana
Suti tidak ke rumah sakit
batuknya memburu
dahaknya berdarah
tak ada biaya

Suti kusut-masai
di benaknya menggelegar suara mesin
kuyu matanya membayangkan
buruh-buruh yang berangkat pagi
pulang petang
hidup pas-pasan
gaji kurang
dicekik kebutuhan

Suti meraba wajahnya sendiri
tubuhnya makin susut saja
makin kurus menonjol tulang pipinya
loyo tenaganya
bertahun-tahun dihisap kerja

Suti batuk-batuk lagi
ia ingat kawannya
Sri yang mati
karena rusak paru-parunya

Suti meludah
dan lagi-lagi darah

Suti memejamkan mata
suara mesin kembali menggemuruh
bayangan kawannya bermunculan
Suti menggelengkan kepala
tahu mereka dibayar murah

Suti meludah
dan lagi-lagi darah

Suti merenungi resep dokter
tak ada uang
tak ada obat

solo, 27 februari 88


Tong Potong Roti*

tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
kini datang gantinya

tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
bagi-bagi tanahnya

tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
siapa beli gunungnya

tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
kini indonesia

tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
kini siapa yang punya

solo, kalangan, april 89

* diilhami sebuah tembang rakyat dari Madura


Apa yang Berharga dari Puisiku

Apa yang berharga dari puisiku
Kalau adikku tak berangkat sekolah
karena belum membayar SPP
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau becak bapakku tiba-tiba rusak
Jika nasi harus dibeli dengan uang
Jika kami harus makan
Dan jika yang dimakan tidak ada?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau bapak bertengkar dengan ibu
Ibu menyalahkan bapak
Padahal becak-becak terdesak oleh bis kota
Kalau bis kota lebih murah siapa yang salah?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau ibu dijiret utang?
Kalau tetangga dijiret utang?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau kami terdesak mendirikan rumah
Di tanah-tanah pinggir selokan
Sementara harga tanah semakin mahal
Kami tak mampu membeli
Salah siapa kalau kami tak mampu beli tanah?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau orang sakit mati di rumah
Karena rumah sakit yang mahal?
Apa yang berharga dari puisiku
Yang kutulis makan waktu berbulan-bulan
Apa yang bisa kuberikan dalam kemiskinan
Yang menjiret kami?

Apa yang telah kuberikan
Kalau penonton baca puisi memberi keplokan
Apa yang telah kuberikan
Apa yang telah kuberikan?

Semarang, 6 maret 86


Catatan Hari Ini

aku nganggur lagi

semalam ibu tidur di kursi
jam dua lebih aku menulis puisi
aku duduk menghadap meja
ibu kelap-kelip matanya ngitung utang

jam enam sore:
bapak pulang kerja
setelah makan sepiring
lalu mandi tanpa sabun

tadi siang ibu tanya padaku:
kapan ada uang?

jam setengah tujuh malam
aku berangkat latihan teater
apakah seni bisa memperbaiki hidup?

Solo, juni 86


Catatan Suram

kucing hitam jalan pelan
meloncat turun dari atap
tiga orang muncul dalam gelap
sembunyi menggenggam besi

kucing hitam jalan pelan-pelan
diikuti bayang-bayang
ketika sampai di mulut gang
tiga orang menggeram
melepaskan pukulan

bulan disaput awan meremang
saksikan perayaan kemiskinan
daging kucing pindah
ke perut orang!

Solo, 1987

Beberapa pilihan puisi Wiji Thukul dalam Darman dan Lain-lain

Darman

desa yang tandus ditinggalkannya
kota yang ganas mendupak nasibnya
tetapi dia lelaki perkasa
kota keras
hatinya pun karang
bergulat siang malam
Darman kini lelaki perkasa
masa remaja belum habis direguknya
Tukini setia terlanjur jadi bininya
kini Darman digantungi lima nyawa
Darman yang perkasa
kota yang culas tidak akan melampus hidupnya
tetapi kepada tangis anak-anaknya
tidak bisa menulikan telinga
lelaki, ya Darman kini adalah lelaki perkasa
ketika ia dijebloskan ke dalam penjara
Tukini setia menangisi keperkasaannya

ya merataplah Tukini
di dalam rumah yang belum lunas sewanya
di amben bambu wanita itu tersedu
sulungnya terbaring diserang kolera

Tukini yang hamil buncit perutnya
nyawa di kandungan anak kelima


Kota ini Milik Kalian

di belakang gedung-gedung tinggi
kalian boleh tinggal
kalian bebas tidur di mana-mana kapan saja
kalian bebas bangun sewaktu kalian mau
jika kedinginan karena gerimis atau hujan
kalian bisa mencari hangat
di sana ada restoran
kalian bisa tidur dekat kompor penggorengan
bakmi ayam dan babi denting garpu dan sepatu mengkilat
di samping sedan-sedan dan mobil-mobil bikinan asli jepang

kalian bisa mandi kapan saja
sungai itu milik kalian
kalian bisa cuci badan dengan limbah-limbah industri

apa belum cukup terang benderang itu lampu merkuri taman
apa belum cukup nyaman tidur di bawah langit kawan
kota ini milik kalian
kecuali gedung-gedung tembok pagar besi itu jangan!


Beberapa pilihan puisi Wiji Thukul dalam Puisi Pelo

Sajak Tiga Bait
kepada: kun

yang gelisah mengajakku pulang
aku tahu aku tak sendirian
sesenyap apa di mana pun

ada yang mengajak berhenti ketika lari
ada yang mengajak bicara ketika diam
ada yang mengajak terbahak ketika bungkam
ada yang mengajak jaga ketika tidur
aku tak tahu siapa namamu

yang mengajakku pulang
dengan suara rindu bapa pada anaknya
yang membuatku tersedu
di tengah jalan yang panjang dan remang


Tentang Sebuah Gerakan

tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!

aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?

aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku

aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?

1989


Otobiografi

tak pernah selesai pertarungan menjadi manusia
tak pernah terurai pertarungan menjadi rahasia
adalah buku lapar arti
tipis segara habis diburu kubur-kubur waktu

hari-hari pun sajak menagih kata
kata-kata pun ketagihan jiwa
dalam sebuah buku lembar-lembar berguguran
tak seperti bunga tetap kita sirami di taman-Mu ini


Aku Dilahirkan di Sebuah Pesta yang Tak Pernah Selesai

aku dilahirkan di sebuah pesta yang tak pernah selesai
selalu saja ada yang datang dan pergi hingga hari ini

ada bunga putih dan ungu dekat jendela di mana
mereka dapat
memandang dan merasakan kesedihan dan kebahagiaan
tak ada menjadi miliknya

ada potret penuh debu, potret mereka yang pernah hadir
dalam pesta itu entah sekarang di mana setelah mati
ada yang merindukan kubur bagi angannya sendiri
yang melukis waktu sebagai ular
ada yang ingin tidur sepanjang hari bangun ketika hari
penjemputan tiba agar tidak merasakan menit-menit
yang menekan dan berat

di sana ada meja penuh kue aneka warna, mereka
menawarkannya
padaku, kuterima kucicipi semua, enak!
itulah sebabnya aku selalu lapar
sebab aku hanya punya satu, kemungkinan!

Tuhanku aku terluka dalam keindahan-Mu.


Tentang Wiji Thukul
Wiji Thukul lahir 26 Agustus 1963 di kampung Sorogenen, Solo, yang mayoritas penduduknya tukang becak dan buruh. Dia sendiri datang dari keluarga tukang becak. Anak tertua dari tiga bersaudara, berhasil menamatkan SMP (1979) dan masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) jurusan tari, tapi tidak tamat alias DO (1982). Selanjutnya ia berjualan koran, kemudian oleh tetangganya diajak bekerja di sebuah perusahaan meubel antik menjadi tukang pelitur. Di sini lah Wiji yang dikenal pelo (cadel) sering mendeklamasikan puisinya buat teman-teman sekerjanya. Menulis puisi mulai sejak di bangku SD, dunia teater dimasuki ketika SMP. Lewat seorang teman sekolah dia ikut sebuah kelompok teater JAGAT (singkatan Jagalan Tengah). Bersama rekan-rekannya di teater inilah ia keluar masuk kampung ngamen puisi diiringi instrumen musik: rebana, gong, suling, kentongan, gitar, dll. Tidak hanya di wilayah solo, tapi juga sampai ke Yogya, Klaten, Surabaya, Bandung, Jakarta. Juga pernah ke Korea dan kota-kota besar Australia. Tidak hanya di kampung-kampung, juga masuk kampus, selain warung dan restoran. Dalam sebuah wawancara dikatakan bahwa awalnya ia dianggap gila. Akhirnya menurut Wiji, sebelum ngamen puisi, dia ngamen musik (nyanyi) terlebih dahulu. Setelah empunya rumah siap, baru dia ngamen puisi.  Tahun 1988 pernah menjadi wartawan MASA KINI meski cuma tiga bulan. Untuk menyambung hidup, di samping membantu isteri membuka usaha jahitan pakaian, Wiji Thukul juga menerima pesanan sablonan kaos, tas, dll. Saat mengontrak rumah di kampung Kalangan, Solo, ia menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis untuk anak-anak. Tahun 1992, sebagai penduduk Jagalan-Purungsawit ikut memprotes pencemaran lingkungan oleh sebuah pabrik tekstil. Wiji Thukul menerima WERTHEIM ENCOURAGE AWARD di negeri Belanda. Bersama Rendra ia adalah penerima award pertama sejak yayasan itu didirikan untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda W.F. Wertheim. (Selanjutnya saya mengutip biografi Wiji dalam Rahasia Membutuhkan Kata-nya Harry Aveling) Semenjak serangan atas markas besar PDI-P Megawati Soekarnoputi pada (27) Juli 1996, Wiji merupakan salah seorang dari sejumlah buruh yang menentang melawan rezim Suharto (1966-98) yang kemudian mendadak “hilang”, dan tak dapat ditemukan lagi. Sajak Wiji dikumpulkan dan diterbitkan saat dia diperkirakan sudah meninggal, oleh sebuah penerbit kecil yang cukup mencuat, Indonesia Tera, pada Juni 2000 dengan judul Aku Ingin jadi Peluru.  

Catatan lain
Dia tidak punya potongan penyair! Sebuah headline di koran Republika saat saya masih SMA mengutip omongan seseorang, itu masih jelas saya ingat di benak saya. Luar biasa kata-kata itu: Tidak punya potongan penyair! Ada-ada saja. Satu-satunya puisi yang dikutip, seingat saya, yang berisi ini: Apa yang berharga dari puisiku/Kalau adikku tak berangkat sekolah, dst.
Waktu kuliah di Jogja, rasanya saya pernah melihat buku Aku Ingin jadi Peluru, tapi tak punya uang buat beli. Mahasiswa cekak, jangankan beli-beli buku puisi, buku buat kuliah pun tak terbeli. Seingat saya, buku puisi yang saya beli waktu kuliah cuma Celana-nya Joko Pinurbo. Nah, pas Hajri bolak-balik Banjarmasin-Jogja buat nyelesain kuliah S1 yang tertunda (luar biasa kawan kita ini, dia seangkatanku tahun 1998 dan baru kepikiran untuk menyelesaikannya tahun 2013!) – kubilang, carikan buku Wiji Thukul. Lama tak ada kabarnya, beberapa kali ketemu juga tak ada perkembangan. Pikirku, barangkali sudah habis di pasaran, ketika tiba-tiba ia mengabarkan, ia menemukan buku itu di toko buku Bang Yos (maksudnya Jose Rizal Manua di TIM). Saya pun datang bersemangat ke rumah Hajri dan menemukan buku setebal 176 halaman itu. Hajri bilang, ini seperti buku fotocopi. Lantas kulihat sebuah coretan pensil di pojok kanan halaman pertama 62500, barangkali itu harganya.
            Ada lima sub bagian dalam kumpulan ini. Puisi Pelo dan Darman dan Lain-lain pernah diterbitkan oleh Taman Budaya Surakarta. Sub bagian terakhir Baju Loak Sobek Pundaknya, adalah bagian sajak-sajak yang ditulis Wiji Thukul dalam masa pelarian (setelah 1 Agustus 1996) dengan menggunakan nama samaran Budi Bang Branang. Koleksi ini hanya dimiliki oleh Jaap Erkelens yang menerima langsung dari mbak Sipon (istri Wiji) atas permintaan Wiji Thukul sendiri, hingga ia hilang keberadaannya. Dalam kumpulan terakhir ini digabung juga 3 sajak lagi yang ditemukan Erkelens di majalah Pembebasan, yaitu Tujuan Kita Satu Ibu, Aku Masih Utuh dan Kata-kata belum Binasa, dan sebuah di majalah Bergerak “Tanpa Judul” (keterangan ini ditulis dalam Pengantar Redaksi).           
            Di bagian akhir juga ada wawancara Wiji Thukul yang dijuduli Seniman Harus Memperjuangkan Gagasannya. Sepertinya ini wawancara yang dilakukan Kusprihyanto Namma yang dimuat dalam Jurnal RSP (Revitalisasi Sastra Pedalaman) sebagaimana telah dijelaskan dalam Pengantar Redaksi. Saya terharu di bagian ini: Penanya: Anda disebut penyair kerakyatan. Ada komentar? Ini jawaban Wiji: “Dalam menulis puisi saya cenderung tak peduli apa pun. Yang menyebut saya penyair kerakyatan kan orang lain. Bukan saya. Kalau saya yang bilang begitu namanya takabur. Dan memang perlu diluruskan bahwa saya tidak membela rakyat. Saya sebenarnya membela diri saya sendiri. Saya tidak ingin disebut pahlawan karena berjasa memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sungguh saya hanya bicara soal diri saya sendiri. Lihatlah saya tukang pelitur, istri buruh jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang barang rongsokan, dan lingkungan saya semuanya melarat. Mereka semua masuk dalam puisi saya. Jadi saya tidak membela siapa pun. Cuma secara kebetulan, dengan membela diri sendiri ternyata juga menyuarakan hak-hak orang lain yang sementara ini entah di mana.”
            Kalau boleh membagi-bagi, ada 3 kecenderungan puisi Wiji, yaitu Pertama, puisi yang bercorak pernyataan sikap, berisi pikiran dan idealisme Wiji yang disuarakan secara keras dan lantang, Kedua, puisi yang berisi potret orang-orang kecil, memberi deskripsi – perjuangan  dan ironi kehidupan mereka. Dan ketiga, puisi yang berisi kegelisahan pribadi, sebagai seorang kepala keluarga, individu, maupun makhluk Tuhan. Bagian ini terasa lebih liris, sedih, murung. Kata sebuah sajaknya: Tuhanku aku terluka dalam keindahan-Mu. Tapi kadang-kadang juga, ada puisi-puisinya yang merupakan gabungan dari corak-corak yang ada, tidak melulu satu corak an sich.
            Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, saya hanya ingin menyayangkan. Setelah membolak-balik – dari depan ke belakang, dari belakang ke depan, Aku Ingin Jadi Peluru, sempat kepikiran, sempat membayangkan, sempat menginginkan, sempat menahan desakan perasaan: Seandainya hari puisi Indonesia jatuh pada 26 Agustus, hari lahirnya Wiji Thukul! 

9 komentar:

  1. Menarik :D

    Dimanakah sy bisa mendapatkan buku ini? Kalau ada bisa kontak sy di : akarpucuk@gmail.com. Tks.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kata si pemilik buku ini, ia mendapatkannya di Toko Buku Jose Rizal Manua, di TIM. Katanya masih ada beberapa di sana...

      Hapus
  2. hak azasi itu ada,karena proses perjuangan.....
    perjuangan militansi tanpa batas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, betul, dan harga yang pantas bagi perjuangan macam itu adalah nyawa sendiri.

      Hapus
  3. luar biasa.....kata2nya menggetarkan jiwa pembaca..

    BalasHapus
  4. Mau bukunya. Di gramed adakah? 🙀

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak tahu, di kota saya, Banjarbaru, tak ada gramed. Tapi sepertinya tak ada lagi. Coba cari di toko buku online. Covernya mungkin beda.

      Hapus
  5. Perjuangan menuntut hak hidupnya yg tanpa pamrih, tanpa kenal lelah n ttp bersahaja.... Kuharap engkau msh hidup.....

    BalasHapus