Rabu, 01 Juli 2015

Heri Maja Kelana: LAMBUNG PADI




Data buku kumpulan puisi

Judul : Lambung Padi
Penulis : Heri Maja Kelana
Cetakan : I, Maret 2013
Penerbit : asasupi, Bandung.
Tebal : 102 halaman (38 puisi)
ISBN : 978-602-176141-0
Desain cover : Langgeng Prima Anggradinata
Tata letak : Mochamad Latif Faidah

Lambung Padi terbagi dua bagian, yaitu Kitab Kekecewaan Lelaki (14 puisi) dan Lambung Padi (24 puisi)

Beberapa pilihan puisi Heri Maja Kelana dalam Lambung Padi

Jatitujuh

sejarah bukan hanya pada sawah. malam
yang hampir punah. atau burung-burung berpindah
ke kebun-kebun binatang. malam. tepat aku singgah
di kotamu. tak ada bulan. sungai mirip muntahnya
orang-orang serakah. malam: kotor dan busuk. padahal
orang-orang berbicara cinta. api menyala dari tungku surabi
seperti tak ada yang aneh. padahal disentri, demam berdarah kerap
menyerang kota ini. malam. begitu kiranya sejarah bukan hanya
pada sawah atau tujuh jati yang tinggal dua
malam. gelisah. sungai cinamuk tetaplah berwibawa
setelah menghanyutkan makam bagus rangin
leluhur jatitujuh, tempat orang-orang datang meminta
keselamatan atau asihan. sederhana. sangat sederhana

seperti kita mengagungkan cinta. sekedar malam



Januari yang Cantik

aku menyapa lambung yang sakit
kaki yang terhenti di pintu ke 5
pintu rambut dan kenangan
antara kau dan aku terjebak di tanah ayah

januari yang cantik, rambutmu lilin
aku menjaga setiap cerita
lalu kembali terjebak di tanah ayah

januari yang cantik, aku menyapa
setiap waktu-waktu
dan tak mengenalmu


Nyi Rambut Kasih

siapa saja boleh datang ke tanahku, subur
serta penuh wibawa. bulan batik langit
menarik tubuhku setiap doa panen tiba
tubuhku hapa

rambutku hutan, siapa saja boleh datang
siapa saja boleh memetik buah maja
buah yang tumbuh dari rambutku
buah yang membuatku merasa terasing
: bulan datang, hening berundak
wajahku melampaui usia
aku mencintai kemenyan
aku mencintai setiap kepulangan
dan kembang

siapa saja boleh datang ke tanahku
sertakan kemenyan juga kembang
aku berada di gunung haur
siapa saja boleh datang  ke  tanahku

aku akan menemui tubuh kosongmu


Variasi Bulan: Bait-Bait Perjalanan

(bagaimana apabila kita menukar arloji
menukar kenangan dengan bara api
supaya semuanya menjadi hilang entah ke mana)

di 12 malam, wajahmu hilang

mungkin di belakang awan atau ke balik pohon-pohon
atau entah ke mana. suara serta harum asap rokok kretek
menutup kenangan serta apa saja yang melilit jari-jari manis
juga pundak yang ditutupi angin. angin yang kemudian
bernyanyi dari pundak ke ibu jari yang resah

seperti kura-kura hilang rumah

siapa yang sebenarnya mencipta asmara, di riak kolam
yang penuh ikan dan angsa. bunga-bunga melilit jantung
dan seakan tidak mau kembali bertemu dengan musim
yang menjatuhkan kupu-kupu atau loncatan perasaan
yang tidak terduga. perasaan yang tidak sampai terbawa
oleh tangan-tangan malam, gedung-gedung tua
tebing pembatas jalan, jembatan, atau rumput trotoar

malam selalu tak pernah jujur
juga kau ketika lewat di depanku
ketika semua berubah menjadi sumur-sumur
kosong. luka memanjang

luka memanjang. malam hampir tua
wajahmu muncul bersama parfum keringat seorang pelacur
lelah. seakan menukar dengan adzan subuh
seperti pernikahan yang tak pernah jadi

siapa yang mencipta asmara
semua memanjat tebing-tebing kesedihan
sebaiknya kita tak pernah bertemu
sebab luka semakin seperti bulan, semakin penuh
dan kemudian hilang kembali

mungkin begitulah aku


Langkah Pulang

ia siramkan air-air kerinduan pada tubuhku
melangkah pulangkan doa ibu
menggenggam kenangan batu

berbagi langkah. mari mengusir sepi semadi
kala hujan membaringkan teratai
hatiku tiga warna danau. nama dari segala doa

ia sabarkan tubuhnya. berkelana di hutan jantung
langkahku semakin jauh untuk pulang

kabarkan


Sundamala

siapa yang percaya dengan semua hening
apakah ada lingga atau yoni dalam kidung sundamala
mereka misteri seperti batu. seperti kelahiran kita


Surat Cinta untuk Pratiwi

wi, ingatkah ketika kita melihat orang buta
di pinggir jalan. dia melihat dengan kaki
tangannya kompas. rambutnya tahu isyarat angin
sedang kulitnya memberi tahu siang dan malam

wi, ingatkah ketika kita melihat orang bisu
jari membuat kata-kata merdu. semerdu adzan
kita dengar di antara suara knalpot

wi, ingatkah ketika kita melihat orang pincang
matanya menjadi kaki, terus bertualang
tak pernah ada ujung. ketika lelah, hidungnya
mengganti mata mencium kehidupan. lewat aspal
rel yang panjang. aku mencintaimu wi

mereka, juga


(Bandung, Suatu Ketika)

bandung memang istimewa untuk kita adili
dengan mata terbuka. mungkin indah mungkin juga
sebaliknya diantara bangunan neoklasik, ada yang
tertidur dengan alas kenangan. ada yang menggoda
ada juga yang sinis tersenyum. juga menangis

kusampaikan padamu. tentang cinta yang tidak pernah
selesai kita bicarakan. cinta lampu-lampu, gedung
dan udara yang begitu setem. cinta kutemukan di antara rel
jalan-jalan, gang kota raya. menghubungkan kenangan
menuju perpisahan. cinta yang kutemukan pada gadis-gadis

kecil kelaparan. para pejalan yang kehilangan. ada yang ingin
kusampaikan padamu, namun aku tidak bisa
sebab bahasaku reklame lembut dan sensitif. kadang-kadang
sinis, seperti kota ini memandang setiap waktu. bandung

mungkin kuucap terima kasih. di kota ini aku telah
menemukanmu. meski harus berpisah. cepat. bisa juga
lambat. namun pasti terjadi pada setiap kata abadi

suatu ketika, bandung


Aku Menemukan Nama-nama

mengalir bersama usia,aku menemukan jisim;
kerut di wajah adalah jalan menuju rumah
tempat istirah. merebahkan jasad kenangan

jasad setiap keheningan, para pertapa

adalah kesedihan seperti sketsa palawa
yang menjadi karangan bunga. orang-orang berpelukan
kemudian tiba-tiba menyerupai jalak batu
mereka terkapar seperti perahu, di pelipis pantai
malam datang dengan cuaca yang tak lagi biru, tua

aku merasa menjadi rusuk tanah atau tebing-tebing goa
tubuhku, tak pernah ada yang punah yang bernanah
ikan-ikan pelus masih bermain di mataair ketiga belas
semua berjalan biasa, bulan datang, angin datang
meski keduanya mempunyai tujuh jarak
seperti aku mencintaimu pada setiap nama rumput

kutemukan lagi nama-nama
kubu suda kiara begitu tegas menunjuk langit
menunjuk langkah leluhur, musim
begitu aku memandangmu sebagai gelisah bayi

batu-batu meretakkan diri
bukit-bukit meremas sempurna
tak ada suaka atau cerita naga

kita adalah tanah
pada setiap keheningan
menuju rumah, para petapa

daun, dan batu, dan laut, dan sisik bulan
adalah naga


Lumar: Wajah Pitaloka

pergilah ke perbatasan, kabarkan
tentang permusuhan

waktu reda, hujan lindap. ke mana kau akan berangkat
membawa syair setelah semuanya berakhir, luka-luka
disihir menjadi kenangan yang melayang-layang
bagai daun lepas entah ke mana. Pada kedalaman lumar

aku bagai manyar menebar debar, agitasi ke diri
pada tanah yang mengandung tangis pitaloka
adakah kau menerima sisi gelapku lagi, kekasih?

lorong tubuhmu telah menyisakan asmara yang ganjil
serta konde yang menjadi ujung sunyi
di mana kau sembunyikan
hujan yang lindap, api yang hilang harap

masehi berganti, bulan sakit. sesakit ujung tombak
yang ditancapkan, kemudian kau cabut dengan perlahan
di dada kiriku. wajahmu wajah waktu
memilin kisah yang terasah di pasir pasundan.

“pitaloka, di mana kau sembunyikan kuda-kuda yang berlari
seperti detak jantungku. mengejar persembunyian
sebelum lumar benar-benar padam, sebelum keranda
berada tepat di mana kau menunggu

harapan mungkin lilin di kamar pengantin
menunggu padam. Pitaloka, aku akan menelanjangimu
kau seperti lenyapnya kubur leluhur
lumar di tanah, sendiri


Kepada Umbu

kenanglah kuda-kuda putih dari tanah kelahiranmu
jika sajak yang kau gali maka kehidupan selesai
di ujung kata-kata. melepas keindahan tanah, ayah
merangkum keindahan dewata

tanah lot
pura besakih
serta kecantikan seorang perempuan
dengan kebaya gantung
adalah sajak-sajakmu yang merindu
di ujung pengelanaan

maka sejatilah padaku namamu
maka sejatilah namamu
pada daun-daun kering
            pada pasir-pasir pantai
                        pada purnama
                                    pada kata-kata yang menjelma

dan sejatilah namamu
sejauh pengelanaanmu

sebuah perenungan panjang pada jiwamu
menitip raga semesta
dalam percakapan dua selat
            sajak-sajak kecil
                        melodia
                                    ibunda tercinta
                                                serta upacara terakhir

pertapaan telah terukur
terusir sunyi melepas pantai
detik-detik menyulut kembali percintaan asing
di atas asih asuh seorang pengelana
ada kerinduan yang menggelora
maka terusir gelisah purba
sejatilah namamu
            sejatilah namaku
pada sajak
            pada pengelanaan

di atas mahkota pulau dewata
di atas singgasana tanah sunda
tumbuhlah sajak-sajak tanpa batas usia

seperti tujuh cemara


Kepada Seorang Planolog

“sekali waktu, memandangmu bukan dengan mata”

pagi. tegas aku menyampaikan salam. selenting lagu
lonceng atau jerit rem, akrab di telingaku. begitu aku
memandangmu bukan dengan mata. berjalan di atas trotoar
maka akan kita rasakan sesuatu yang lain, menghadang
seperti berada dalam arsitektur yang lupa mata. segala

kenangan menjadi warna telinga, sejarah baru
sejarah yang rancang dengan tangan terbuka. seperti alinea
pidato atau narasi koran-koran, yang membuat kota ini gaib

aku tidak mengenalmu, hampir saja. barisan bangunan neoklasik
flamboyan sekali memeluk. tak ada percakapan yang berkelanjutan
padahal kita lahir dengan cara yang sama. dengar

apabila selenting lagu suara lonceng atau jerit rem tidak pernah
sampai padamu, maka akan merasakan perih hari pada titik nol


Naga

mengakrabimu sebagai mite, mungkin
seperti ibu yang menidurkanku
saat mencari kutu di setiap lapis rambut
bercerita ksatria, putri salju, timun mas
pitak sangkuriang, batu malin
perempuan sepatu kaca. Aku tak sadar
telah lama terlelap di pangkuannya

sebagai mite. di sana ada api!


Tentang Heri Maja Kelana
Heri Maja Kelana lahir di Majalengka. Pernah menjadi ketua Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) Universitas Pendidikan Indonesia periode 2008-2009. Karyanya tersebar di berbagai media dan antologi bersama. Sekarang menjadi Ketua Pusat Kajian Sastra Institut Cikalong.


Catatan Lain
Heri menulis catatan di awal buku, yang dijudulinya “Lambung Padi dan Heri”, berikut ceritanya: “Suatu malam seorang Ibu pernah bermimpi pisang raja dan jam dinding tua yang tergeletak di depan rumah. Ia mengambil keduanya dan disimpan di atas tumpukan padi yang belum digiling. Jam dinding tua berbentuk persegi panjang tersebut berputar ke kiri, berbeda dengan jam-jam yang lain. Ibu itu merasa heran, lalu ia memakan pisang raja yang semula diletakkan di atas padi. Setelahnya, jam dinding yang dipandanginya berputar ke kanan serta memunculkan nama Heri. Ibu tersebut adalah ibuku.”
            “Cerita mimpi kelahiran, saya dengar ketika berumur 4 tahun dan teringat kembali saat ini, tepat ketika menulis pengantar puisi saya (Lambung Padi). Lambung adalah pusat atau wadah (bisa juga sebagai jalur) berbagai makanan yang masuk ke tubuh. Saya memandang lambung sebagai proses laju kompleksitas budaya yang kemudian dialirkan oleh darah ke seluruh tubuh. Sedangkan padi adalah bahan makanan pokok di beberapa daerah, bahkan hampir di seluruh daerah. Padi, saya pandang sebagai pusat budaya yang memunculkan narasi-narasi besar. Oleh karena itu, saya memilih judul Lambung Padi dalam antologi puisi ini. Lambung dan Padi dapat mewakili perkawinan sosial, moral, mitos, legenda, dongeng, dll. pada puisi saya.”
            “Kelahiran buku ini, mungkin ada kesamaan dengan proses kelahiran saya dan kemunculan nama Heri Maja Kelana. Semuanya tidak terduga, hanya jam yang mengetahui segalanya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar