Rabu, 02 Agustus 2017

Kurniawan Junaedhie: SEPASANG BIBIR DI DALAM CANGKIR


Data buku kumpulan puisi

Judul: Sepasang Bibir di Dalam Cangkir
Penulis: Kurniawan Junaedhie
Penerbit: Kosa Kata Kita, Jakarta.
Cetakan: I, Februari 2011
Tebal: vi + 42 halaman (36 puisi)
ISBN: 978-6028966-177
Setting/layout: Danar Satria Kinantan
Desain sampul: Azalika Avilla Adinda
Proofreader: Betsyiela Bebi Bianca

Beberapa pilihan puisi Kurniawan Junaedhie dalam Sepasang Bibir di Dalam Cangkir

IKLAN KULKAS

Hidup dalam kulkas, menyegarkan. Persis seperti bunyi
iklannya: to be cool. Aku bisa bercengkerama bersama daging,
ikan segar, buah segar, sirup, dan telur ayam. Sementara di
luar kulkas, hidup sangat busuk. Suhu yang panas
menjungkirbalikan kata-kata dan benda. Gosip jadi meja,
malu jadi lidah, lalat jadi pisau, pispot jadi bibir, Kau jadi
miauww. Orang saling menggergaji dengan kaki dengan
tombak. Lidah berjuntai-juntai, dengan pinggirannya yang
tajam di mal, atau di kafe. Padahal hidup di dalam kulkas,
menyenangkan. Kita tak perlu mandi, atau berkumur. Hidup
jadi beku. Keindahan jadi abadi. Tak ada yang tumbuh liar.
Kita tak perlu bercukur kumis atau jembut. Aku bisa bikin
pesta sendiri bersama daging, ikan segar, buah segar, sirup,
dan telur ayam. Pesta kebun? Yups, yummy, kataku, seperti
iklan kulkas

2010


BUKAN SAMBAL TERAKHIR PERSEMBAHAN ISTRI

Adik makan rendang di depan komputer. Kakak main boneka
di dalam kamar. Di dapur, istri bikin sambal kesayangan
untuk Ayah tercinta. Ini sambal terakhir yang
kupersembahkan bagimu, kata istri di dalam hati sambil
mengulek terasi. Ayah terus mengetik. Ia sedang asyik
membuat puisi. Ketika tiba di bait terakhir, Ayah
mengernyitkan dahi, ”Aku mencium harum terasi dalam
sajakku,” serunya. Beberapa meter dari situ, istri juga
terperanyak. ”Puisi cinta siapa ini di dalam sambalku?’’
tanyanya. Tapi keributan itu tersimpan dalam plafon. Di
depan komputer, di dalam piring rendang, adik terus
memainkan sendok dan garpunya. Bersama boneka kakak
menyanyi di dalam kamarnya. Ini bukan sambal terakhir yang
kupersembahkan bagimu, kata istri sambil membaca puisi.

2-2-2011



PENYAIR YANG DITUMBANGKAN

Ayah sudah menjadi penyair 30 tahun. Menjadi seseorang
dalam waktu lama Ayah pun menjadi diktator seperti
Firaun. Bukan hanya kepada kami anak-anaknya; bahkan
terhadap kata-kata ayah juga bertindak kejam dan lalim. Ia
selalu menggertak setiap ada kata yang punya pendapat
berbeda. Kata-kata yang dibentak itu biasanya terdiam, ciut
dan sungguh-sungguh takut beneran. ”Mirip kakak,” kata
Adik menuding jidatku. Selama menjadi penyair puluhan
tahun itu, ayah sangat lihai membangun kroni bersama
kata-kata kesayangannya. Mereka digunakan untuk
melawan kata-kata yang dianggapnya membangkang. Tapi
sepandai-pandai penyair, akhirnya kekuasaan Ayah
tumbang juga. Suatu hari, sejumlah kata berkomplot untuk
menggulingkan Ayah. Diam-diam mereka menyelinap ke
kamar kerja ayah, menculik dan memaksanya
menyerahkan kekuasaannya. Sejak itu Ayah tak lagi
menjadi penyair. Sementara kata-kata terus menuliskan
sajak-sajak baru, ia sibuk minum kopi dari satu kafe ke kafe
lainnya.

2011


KELUARGA BAHAGIA KETIKA HUJAN
DI HARI MINGGU

Hujan di pagi hari menyebalkan. Aku menarik selimut sampai
dagu. Tanganku kelu di bawah bantal. Istri dan anak-anak
sudah mandi. Ke Mal, teriak mereka. Jendela tidak bohong.
Kaca penuh embun. Selebihnya kabut. Aku menarik selimut
sampai kepala. Tanganku berputar ke arah guling. Istri dan
anak-anak sudah mandi. Ke Mal, teriak mereka. Aku menarik
selimut menutup kepalaku. Gelap dalam selimut. Anak istriku
ikut masuk ke dalam selimut. Istriku meninju guling. Anak-
anak meninju mukaku. Aku tidak bohong. Kami keluarga
bahagia.

2010


SEPASANG BIBIR DI DALAM CANGKIR

Aku sedang duduk di dalam kafe. Pelayan kafe meletakkan
cangkir kopiku pelan-pelan di atas meja. Aroma kopi
mengudara, membuat kaca kafe berembun seperti hari
menjelang senja. Ketika si pelayan berlalu, tiba-tiba saja
kulihat kamu sedang melambaikan tangan di kaca itu. Aku
terkesiap dan memburu, membuat cangkir terguncang oleh
sendok sehingga air kopi itu berpusing-pusing jatuh ke pisin,
menitik di lantai, sebelum lelerannya jatuh berdenting. Ketika
aku tengadah, kamu sudah mengabur dari kaca yang masih
berembun oleh aroma kopi. Sekarang aku melihat sepasang
bibir di dasar cangkir dekat air kopi di pisin menyeru-nyeru
namaku. Siapa pemilik bibir itu? Tanyaku sambil membaui
aroma dan ampas kopi yang rebah di lantai.

Gatro, Cikini Raya, 9 Okt. 2010


KISAH TENTANG MEI
YANG MENEMU REMBULANNYA

Dari jauh, Mei memanggilku. Apa yang kau tangisi, Mei?
Perempuan dengan mata sipit itu memalingkan wajahnya ke
arah rembulan. Aku sudah tahu jawabmu, Mei, kataku
gemetar. Kulitnya yang kuning langsat itu tersayat seperti
layang-layang membelit di kawat. Saat itu, cuaca seolah-olah
berderak-derak. Kalender terbakar. Langit menangis untuk
Mei. Petir dan halilintar menggelegar untuk Mei. Tapi
kenangan ternyata bagai lipan yang tidak berjejak. Bahkan
ingatan menggeliat seperti pesakitan untuk Mei. Di antara
perasaan tertekan khianat, ia menuliskan kalimat: “ Aku yang
tak pernah kaumiliki sudah menemu rembulan di lain
tempat.” Kata-katanya singkat, tak tersendat. Rupanya waktu
telah jadi batu bagi Mei. Aku pun kehilangan bulan Mei yang
seperti rembulan di langit pekat, yang hangat dan menawan.
Mei membeku dalam waktu. Apa lagi yang kautangisi, Mei?

Mei 2010


TUHAN SEDANG MENGUJI KEHEBATAN SAYA

Seorang perempuan mengirimi saya bunga. Aku mencintai
kamu, katanya membuat saya ternganga. Diam-diam hati
saya berbunga-bunga. Gila. Dari orang sedunia, dia hanya
mencintai saya. Bukankah ini gila? Rupanya perempuan itu
menceritakan kehebatan saya pada temannya. Kehebatan apa,
saya hanya menduga-duga. Yang jelas temannya itu lalu ikut
menggilai saya. Sekarang dua perempuan tergila-gila saya
pada waktu yang sama. Gila. Bagaimana hati saya tidak
berbunga-bunga? Dan ternyata, perempuan kedua ini juga
mengabarkan pada teman-temannya tentang kehebatan saya.
Sudah bisa diterka, dalam waktu seketika enam perempuan
menggilai saya. Setiap hari saya harus mendengar dering
telepon, dan membalas ratusan pesan singkat. Kuping saya
lelah, tangan saya jontor dan hati saya kelu. Dari orang
sedunia, ternyata Tuhan hanya ingin menguji nyali saya
sebagai seorang pengumpul bunga.

5 Juli 2010


YOGYAKARTA, ONCE UPON A TIME (3)
-Untuk ADW & SEA

Hari itu aku bangun pagi. Sudah lama aku merindukan Jadah
Tempe, Kripik Paru, Sate Klathak, Gudeg Kendil, Lodeh
Terong, atau Brongkos. Selama ini aku diajar hidup serba
cepat. Keluarga terbiasa keluar masuk Kentucky, McD, JCo,
Hoka Hoka Bento atau Tepanyaki. Bahkan tak hanya bisa
makan cepat, kami juga terbisa makan lahap sambil asyik
bercakap. Sehingga nasi, chicken, donat, french fries atau apa
saja  yang kami makan terbiasa dikunyah dalam mulut
bersama kata-kata. Begitu juga gagasan dan hasil renungan
pun selalu kami kunyah bersama dan seketika. Makan
menjadi pekerjaan berat yang menguras energi. Begitu
beratnya, sehingga selama –dan terutama setelah— makan,
tubuh kami pun berkeringat.

Jadi, hari itu aku bangun pagi; dan ingin benar makan gule
kental dengan kluwek yang disebut Brongkos. Dari jauh,
warung Brongkos itu terasa hangat. Aroma got menyengat.
Penjualnya sudah tua. Bangku-bangkunya tua. Di atas
plafon, ada sarang laba-laba. Di bawah meja, dekat irisan
daging sengkel, ada seekor kucing mengintai. Tikus kecil
berlarian dekat gule, semut berkerumun dekat potongan
buncis dan tahu. Bangku berkeriut ketika aku duduk. Tapi
seperti Yu Mul penjual Brongkos itu, aku cuek saja.

Jadi, hari itu aku menghabiskan dua piring nasi, semangkuk
Brongkos dan segelas teh Nasgitel. Bahagianya hatiku, di
mulut dan di perut, Brongkos, nasi dan Nasgitel itu tahu
tempatnya sendiri-sendiri. Mereka tak perlu merebut
kebahagiaanku cepat-cepat dengan mencampurkan kata-kata,
impian dan gagasan dalam kunyahan mulutku. Aroma
kemiri, asam jawa, lengkuas, jahe dan ketumbar masuk ke
dalam perut seperti nyanyian. Pelahan dan berirama.

Sekarang sambil melonggarkan gesper, aku ingin bercerita
padamu tanpa buru-buru. Kata Yu Mul: Hidup tak perlu
grusa-grusu*. Sareh Pikoleh. Orang sabar justru akan
memperoleh.

Yogyakarta, 11 Januari 2011

-------
*Grasa-grusu = tergesa-gesa


KATA-KATA YANG BERENANG DALAM AIR KOPI

Ketika mengaduk kopinya,
seorang lelaki tua berteriak
dan bersungut-sungut.
Ada kata-kata berenang dalam kopiku, serunya
Tadinya pelayan menduga, itu lalat atau cecak.
Tapi laki-laki tua itu berkali-kali menegaskan,
matanya cukup awas untuk membedakan keduanya.
Pelayan kafe segera datang bergegas
memungut kata-kata itu keluar dari air kopi
lalu membungkusnya dengan kertas tisyu.
Sekarang laki-laki tua itu bisa menikmati kopinya
tanpa kata-kata yang merisaukannya.

2010


BIBIR DI BAWAH BANTAL
Untuk si pemilik bibir

Ada bibir perempuan terjatuh dari genting yang bocor. Pluk.
Bibir itu terjerembab di kasur rumahku. Kelopak bibir itu
basah merekah. Merah seperti delima. Kelopak itu
menengadah, seperti pasrah. Pasrah kepada siapa? Sedang
aku tak tahu ini bibir siapa?

Di luar, langit hijau semata karena tertutup hujan yang turun
tergesa. Pemandangan kabur. Pohon-pohon tampak baur
ditiup angin. Aku termangu dan bertanya-tanya, siapa
kiranya si pemilik bibir. Jangan-jangan ia seorang perempuan
yang sedang duduk di kedai kopi, yang geram kepada
suaminya sehingga bibirnya terlempar ke udara lalu masuk ke
rumahku. Atau ia seorang perempuan yang sedang kesepian
lalu mengerang sehingga bibirnya meloncat ke langit, dan
masuk ke dalam jendela kamar tidurku. Jangan-jangan ia
malah sengaja mencopot bibirnya, lalu melemparkannya ke
arahku untuk mengusik tidurku. Apa salahku? Sedang aku
tak tahu ini bibir siapa?

Aku termangu, menatap bibir itu dari bawah bantal,
sementara hujan terus turun berayun-ayun dari langit
berembun.

21 Januari 2009


EPILOG

Aku sudah hapal jalan menuju rumahmu. Masuk tol, belok
kiri, menikung kanan, kanan lagi, belok kanan, kanan lagi,
lalu terus saja menuju ke hatimu. Sebaliknya bila pulang, aku
belok kanan, menikung kiri, belok kiri, kiri lagi, lalu terus saja
menempuh jalan pulang dengan hati lapang. Aku senang
telah menyelami lubuk hatimu, dan merayapi jantung dan
parumu, meski jalannya bersimpang-simpang.

2010


Tentang Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Junaedhie lahir di Magelang tanggal 24 November. Menulis puisi di media massa sejak 1974 ketika duduk di bangku SMA di Purwokerto. Bekerja sebagai wartawan sejak 1977 ketika kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik (STP) Jakarta. Pernah bekerja di kelompok Kompas Gramedia menjadi redaktur beberapa majalah antara lain Redaktur Pelaksana Majalah Jakarta-Jakarta (1985-1989) dan Pemimpin Redaksi Majalah Tiara (1989-1999). Menulis beberapa buku pers. Puisinya tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama. Kumpulan puisinya: Armageddon (1976), Waktu Naik Kereta Listrik (1977), Selamat Pagi Nyonya Kurniawan (1978), Cinta Seekor Singa (2009), Perempuan dalam Secangkir Kopi (2010), 100 Haiku untuk Sri Ratu (2010) dan Sepasang Bibir di Dalam Cangkir (2011). Kumpulan cerpennya: Tukang Bunga & Burung Gagak (2010), bersama Agnes Majestika, Kurnia Effendi dan Ryana Mustamin. Dan Opera Sabun Colek (ditulis: segera terbit).


Catatan lain
Penulis membuat kata pengantar sepanjang 1 halaman, terdiri 3 paragraf, bertanda Jakarta/Serpong, 14 Feb. 2011. Ada diakuinya: “…., saya bukan termasuk golongan penulis puisi yang produktif. Mungkin karena saya terlalu percaya pada ilham dan suasana hati.” (hlm. v). Di sampul belakang buku, memuat biodata dan foto penyair. Tulisan paling akhirnya berbunyi: “Sepasang Bibir di Dalam Cangkir” memuat puisi-puisinya yang ditulis pada tahun 2010 hingga awal tahun 2011. Sebagian besar pernah dimuat di media massa dan sisanya di-posting di Facebook.

            Halaman persembahan bertulis: Untuk hati dan paruku,/yang selalu memompa optimismeku/agar terus hidup dan mencintai!

1 komentar: