Jumat, 14 Juli 2023

Dodong Djiwapradja: KASTALIA

 

Judul buku: Kastalia (Kumpulan Sajak 1948-1973)
                                                   Penulis: Dodong Djiwapradja
Penerbit: PT. Dunia Pustaka Jaya
Cetakan: Pertama, 1997 (cetakan 4, 2013)
Tebal: 122 halaman (73 puisi)
Desain sampul: Ayi R. Sacadipura
Pengantar: Rendra (Penyair yang Waspada)
 
Kastalia terdiri dari 5 bagian: Jalan Setapak (1948-1949) – 10 puisi, Getah Malam (1951-1959) – 12 puisi, Kastalia (1960) – 24 puisi, Jari-jemari (1961-1963) – 7 puisi, dan Lahir di Tanah Air (1970-1973) – 18 puisi
 
Sepilihan puisi Dodong Djiwapradja dalam Kastalia
 
Makna Sebuah Sajak
 
Makna sebuah sajak
arti sebait syair
Kata indah yang bulat,
ialah tanah air
 
Makna sebuah kata
arti sebaris kalimat
Inti segala perjuangan,
ialah rakyat
 
Makna sebuah lagu
arti sebuah nyanyian
Musik yang paling merdu,
ialah perdamaian
 
Makna dari segala makna
arti dari segala arti
Dan suara yang paling nyaring,
ialah kemerdekaan
 
1960
 
 
Pak Tua
          (sajak akhir tahun 1960)
 
Dengan angin di kuduknya, tersampoklah muka keriputnya
Berderak dahan-dahan usia, gemeletuk buluh-buluh
lututnya
Dan dari batang-batang yang doyong
Diangkutnya nafas sisa, perlahan, jangan sampai bolong
 
Tiada mimpi atas kepalanya, hanya pecahan duka
Tajam merasuk antara dada:
      Pak Tua, mana tongkatmu?
      Pak Tua, mana topimu?
      Pak Tua, mana arlojimu?
      Pak Tua, mana kacamatamu?
      Dan mana pula anak-cucumu?
 
Tidak! Tidak!
Tak satu pun di kantung celana
Kecuali tembakau sisa,
apak – sebab lama
 
Malam bergumam di dagunya, bagai laba-laba
Merayap dalam jaring-jaring uban hidupnya
 
1961
 
 
Merangkak
 
Merangkak-rangkak
Dari pagi sampai petang
Menyeludup-ludup
Dalam keramaian orang di pasar
 
Dalam jalan ini
Airnya coklat gatal-gatal
Dan peluh bau asam macam-macam
 
Antara orang sebanyak ini
Aku juga orang di pasar
Ikut campur tangan
 
Merangkak-rangkak
Dari pagi sampai petang
Dalam riuh di tengah pasar
 
1948
 
 
Tantangan
 
Jika dunia bakal terpanggang di ujung bayonet
Mestikah kita duduk
Dengan lutut gemeletuk?
 
Penyair!
Nyanyikanlah lagu:
 
Tentang kemerdekaan
 
1060
 
 
Di Makam Ayah
 
Maut bagimu bukan datang tiba-tiba
Tapi beri tanda, serupa sebuah maklumat
 
Bagi yang tua renta, dimulai dari kaki
Kemudian menyelinap, sampai paha
Derita adalah sesuatu yang fana
Bagi setiap orang, biar ia lelaki
 
Tapi ini bukan derita, namun panggilan
Karena, bila sampai di dada
Lalu kausebut nama Tuhan
 
Kemudian tersenyum, bagai peristiwa perpisahan
Di stasiun, di atas tangga kereta
 
Atau
Pelan-pelan pudar
Terasa bagai cahaya
Dari sebuah pelita
Padam, menghilang
 
Yang tinggal hanya nisan
 
1960
 
 
Lukisan Fidus*
Der verlorene Sohn
 
Selesai mencari, jawaban sunyi
Rumput-rumput sepanjang parit kecil tergenang
Dan batas permukaan bumi jauh sayup
Langit luas, bumi jauh, alam tak bertiang.
 
Tangan melipat di dada luka
Dan kepala penuh duka
Hanya pikiran mencari melangit tinggi
Terbang jika bersayap antara langit dan bumi
Tidak ketemu jua.
 
Air putih di parit kecil tegang tak berujung
Samar dusun jauh sayup
Antara yang mencari:
Ke manakah pergi?
 
1048
* Seorang teman di Purwakarta punya semacam buku album lukisan dunia dengan diberi teks dalam bahasa Belanda, yang pada intinya menerangkan tentang perkembangan seni lukis di Eropa sebelum PD 1, reproduksinya banyak yang menarik sekalipun tidak berwarna; yang paling berkesan di hati saya ketika itu lukisan karya Fidus yang berjudul, dalam bahasa Jerman: Der verlorene Sohn (Si anak hilang) sehingga tergeraklah hati saya untuk membuat sajaknya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1947.
 
 
Kastalia
 
Kota
ialah tiang-tiang listrik
trem
becak
 
Unsur-unsur kehidupan
bumi fana
larut dalam kebalauan sukma
 
Debu ialah atom
inti penipuan
melekat pada bagian tubuh
paling bernafsu
 
Penyair
nabi
wali
adalah zat,
meleleh di atas aspal
hitam kumal
 
Pemimpin
ialah istana
Tentara,
senjata
Dan dari relung-relung mesum
datanglah pendeta
 
Kehidupan
ialah tanah liat
yang oleh tangan-tangan sakti
ditenung
jadi patung
 
1960
 
 
Puisi
 
Kun fayakun
Saat penciptaan kedua adalah puisi
 
Tertimba dari kehidupan yang kautangisi
Bumi yang kaudiami, laut yang kaulayari
 
adalah puisi
Udara yang kauhirupi, air yang kauteguki
 
adalah puisi
Kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli
 
adalah puisi
Gubuk yang kauratapi, gedung yang kautinggali
 
adalah puisi
Dan dari setiap tanah yang kaupijak
 
sawah-sawah yang kaubajak
katakanlah sajak
 
Puisi adalah manisan
yang terbuat dari butir-butir kepahitan
 
Puisi adalah gedung yang megah
yang terbuat dari butir hati yang gelisah
 
1970
 
 
Khotbah Depan Gubuk Tua
 
I
Apa yang kita mengerti
Tentang kehidupan ini: hidup kemudian mati.
 
Dari zaman ke zaman, abad demi abad
Bangsa-bangsa bangun bangkit, benteng lama rubuh runtuh
Dan dari puing-puing berlumut kita hanya dapat menerka
Dengan mata merayap-rayap pada tulisan kuna setengah
gelap
Tertutupi debu waktu – lalu bikin catatan
Dari janggut-janggut huruf yang lama tersimpan.
 
Gunung-gunung lembah lautan, kali kolam dan daratan
Warisan yang belum terbagi, harta seluruh penghuni bumi
Kita berkata: inilah milik kami!
Sebab di sini kami kawin, beranak berkeluarga
Dengan perasaan lega lalu berkata: sebab itulah kami kerja!
Sebagian bercita-cita, yang lainnya turut serta
Ada juga yang melamun, mimpi hampa di luar segala yang
nyata
Atau gandrung sesuatu, perihal ihwal perempuan.
 
Terkadang berkelahi, ramai membawa senjata
Atau sama-sama berperang, bangsa lawan bangsa
Sebagian atau seluruhnya, hingga muka babak belur
Dan kota hancur lebur
Sebab terjadi kelicikan, lecut cambuk perkosaan
 
Terkadang pengkhianatan, dikhianati teman kita
Mungkin juga istri kita
Itulah sebagian derita kita.
 
Terkadang kita merasa, punya diri begitu kecil
Kita bicara tentang putus asa, kita bicara tentang sia-sia
Lalu berkata: inilah batas hidup dan mati!
Tapi alangkah kecutnya kita, sebab tak ada keberanian
          hidup
Memang, kematian jadi taruhan hidup kita
Karena nyawa kita, jiwa kita, adalah yang paling berharga
Tapi adakalanya tak begitu, ada yang lebih berharga:
kehormatan, keadilan, cinta dan kemerdekaan
Sering bagi diri sendiri – sayang!
Jarang buat tanah air
Tapi bagaimana pun itulah perbandingan, bahwa di atas jiwa
Ada yang lebih berharga.
 
II
Terkadang berkeluh kesah
Dan mengira, dunia ini selalu gelisah
Tak ada ketenteraman, tak ada ketenangan
Seperti gemersiknya pohon, daun-daun yang gugur jatuh
Atau seperti bunyi senjata yang mengganggu keamanan desa
Atau jatuhnya berpuluh-puluh bom, yang tertumpah di atas
kota
Seperti yang kita kenali, seperti yang dialami
Sebab kegelisahan yang menghasut jiwa tersembur ke luar
Anak-anak panah yang tajam tercelup racun kebencian
Sudah itu berselimut, tidur di atas tilam kain prasangka
Dan bermimpi – surga yang hilang ditemui dalam mimpi
 
Lalu gembira, itulah kebahagiaan!
Dan tatkala bangun, terdengar anak menangis
Kemudian bertanya, mengapa manusia begitu bengis?
Pandanglah kenyataan!
Tataplah kehidupan!
 
Memang,
Kita terkurung oleh waktu, toh dengan keinsyafan tertentu
Kita terikat pada ruang, dengan pandangan jauh ke seberang
Seperti selalu dikatakan: langit merah adalah senja
Langit mendung tanda hujan, langit cerah tanda pagi
Sedangkan burung-burung pun menggeleparkan sayapnya
lalu bernyanyi, karena hari ini mereka punya
Seperti tak ada hari kemarin, hari esok atau lusa
Tapi mengapakah mereka membuat sarangnya?
 
Dari sebab dan tujuan terhimpunlah segala kekuatan
Bunga api yang tersembur dari besi baja yang pijar
Bara api kehidupan, sinar-sinar kekuatan
(Perjuangan tak semata perkelahian)
Hal ihwalnya ialah pembelaan, pembelaan terhadap hak
Kemerdekaan dan perdamaian, ialah membela kaum yang
          lapar
Bangsa-bangsa yang tertindas, seperti selalu kita bilang:
Demi keadilan!
 
Pabila tiap puisi adalah nyanyian jiwa sendiri
Mestikah berteori, seperti misalnya Paul Valery?
Apa yang dikatakannya, hampa dari segala-galanya
Seperti cahaya yang menyendiri, kemudian terpisah
dari hablur permatanya, seberkas nilai tanpa tujuan
 
Arti tanpa Makna
Rasa tanpa hati
Hakekat tanpa zat,
Itukah kehidupan?
 
Adakah lengking tangisan terpisah dari makna
          kesakitannya?
Adakah jerit si miskin terpisah dari makna kemiskinannya?
Adakah birunya laut terpisah dari makna laut-lautnya?
Adakah?
 
III
(Dan inilah singkat ceritanya)
………………………..
Betapa dinginnya di puncak gunung, depan rumah gubug tua
Kesunyian yang menghantu, merajai bumi sepi
Dan malam menghidangkan layar kelam, kelap-kelip bintang
genit
Permainan sepanjang masa, penggugah lagu kekekalan
Hingga, terbangkitlah duga khayalan
Jarak jalinan semesta, tersusun dari angka-angka
Kemudian menghitung, terdapatlah bilangan bulat
Tidak lebih kecil, dan tiada lebih besar
Dari butir beras
Angka gaib Pythagoras.
 
Dan dari kesunyian yang dalam, merajuklah musik alam
Sebentar tergantung, sebentar melayang
Wujud setengah dewa, angin kencang menyampok telinga
Inilah keributan!
Tak ada kesunyian
 
Kekekalan yang menggenang, dengan bintang-bintang
menantang
Seketika layar pun turun, pandangan pun silam
Babak kedua mulai, tersingkaplah gumpalan awan
Suara badai, bahana lembah, teriakan menerjang …
 
Akh, begitu terharu ia, seorang tua yang bijaksana
Turun dari puncak gunung, karena tahu di sana tiada yang
tahan
Juga lagu kekekalan …
 
Dan ketika pawai lewat jembatan
Ia pun turun membawa semboyan.
 
1963
 
 
Getah Malam
 
I
Kuhisapi udara malam sebab ia bagian dari kehidupan
Lampu-lampu pijar jalan panjang kesibukan orang dan
                                                                                kendaraan
Tulang dan jiwa di sini bersatu, kehidupan daging dan
                                                                                          cita
Kusuka cinta di malam sunyi sebab suatu pengharapan
Juga cinta di malam gelisah sebab suatu perpisahan
 
II
Malam bertemu di Pasar Baru kemesuman di pojok jalan
Dan bintang tersawang tinggi, kebulatan cita dan
pengharapan
Terpagut mata pada bayangan senja malam besi tua
– serupa si tua bangka membungkuk di ujung usianya
Keharuan ditimba dari air kali yang lesi dan gang sendat di
perapatan
Atau karena suara lonceng gereja , adzan Tuhan diserukan
 
III
Terbaring di tikar Senen dalam pijitan tertawa rabaan
perempuan
Sedap ditingkah kecewa antara kehidupan remaja dan
                                                             bayangan hari tua
Kegelisahannya melekat pada jalan rumah makan dan
tempat dansa
Di sini kehidupan cuma daging dan tulang
Namun di celah kelenteng tua kakek berdoa dan
sembahyang
 
IV
Sekarang hujan, kita tidak berpayung apa pula jas hujan
– serupa kesediaan yang tak sedia terhadap suatu
peperangan
Berteduh di emper jalanan, yang lain di bawah jembatan
 
Kita tidak berumah
Kita tak bertempat tinggal
 
1953
 
 
Jari-jemari
 
1
Dalam perjalanan mimpi-mimpinya
       seakan kebenaran tersingkap
                seakan matahari pagi
                        seakan bunga meletik
                                – pada kuncup-kuncup daunnya
 
Tatkala perlahan bangun, jari-jemari gemetar
Gemuruh lutut, dirabanya segala benda
Hanya bantal dan selimut!
 
2
Sinar tajam menembus kaca jendela, hari telah siang!
Begitulah waktu berlalu
Jika nyata tiada, terkadang mimpilah tempat berpaut
 
3
Bayang-bayang lal, bayang-bayang larut
kerna malam, kelamlah!
Tak ada bayangan, melainkan tangan sendiri
Di dinding: permainan anak-anak
Sia-sia waktu
Sia-sia usia
 
4
Dalam bayang-bayang mimpinya:
       pohon-pohon dan rumput-rumput,
               kasur empuk penggembala
                       betapa hijaunya!
 
      dan lagi seruling bambu
              (bukan senjata)
                       berlagu
       kali-kali yang jernih, lautan yang biru
 
Maka dari sumber-sumber yang murni meluaplah air
Demi jari-jemari pun pada bergerak…
 
1961
 
 
Pidato Seorang Petani Menjelang Akhir Hayatnya
 
Teman-teman setetangga,
 
Akhirnya kita berpisah juga
domba-domba pulang ke kandang
burung-burung pulang ke sarang
cuma, inilah bedanya:
aku tidak akan kembali
ke ladang seperti biasa
karena jagung punya umur
kacang punya usia
dan akulah padi
yang tidak berbenih lagi.
 
Semua karena tiba waktunya
jalan sudah sampai di batas
sungai sudah tiba di muara
begitulah usia, begitulah manusia
apalagi aku
petani yang ketiban penyakit
 
Kuucapkan terima kasih
kepada kalian, teman seperjuangan
yang telah berjalan bersama
bekerja bersama, menggarap tanah
bukan punya kita.
Namun demikian kita tetap gembira
atau seakan-akan gembira
demi terlihat oleh anak cucu kita
yang juga akan seperti kita
ataukah lebih dari kita?
Namun sebagai orang tua mengahrap
supaya kata-kata lebih
tidak dalam arti lebih buruk
kuharap mereka lebih baik dari kita
 
Sekali lagi kuucapkan
terima kasih
kepada teman-teman
yang sudi menengok waktu sakit
meski tak punya duit.
Hanya, dalam pada itu
maafkan jika keterlaluan
bukan tidak tahu aturan
cuma karena desakan hati
yang tak tertahankan.
Maaf bila kuberkata:
apakah maknanya ini
Upacara setengah keramat
atau puji-pujian mengantar mayat?
 
Bila ada yang menangis
silakanlah menangis
sepuas suka –
karena malaikat, datang bagaikan kilat
tidak seperti penarik pajak
yang dengan teliti cermat
menagih rakyat melarat …
 
(Ketika jam tiga lewat
maka, setelah kakinya tersentak
sejenak
lalu mata pun tertutup
dan nafasnya berhentilah).
 
1970
 
 
Penyair, yang Lahir di Tanah Air
                                                                                           Inilah aku,
                                                              Burung unta dari seberang
                                                                       Bulu-bulunya terbuat
                                                    Dari pantun, sajak dan tembang
 
                                                                    (Vladimir Mayakovski)
 
I
Di balik puncak segala kemegahan
Meringkiklah aneka bencana, duka nestapa
Bangsa yang primitif menari-nari
Di atas kepala-kepala kurbannya
Maka nabi pun berkata:
         “tunjukkanlah jalan kepada mereka”
 
II
Semarak warna api pada senja, saat-saat ajal tiba
Tumbuhnya kerajaan gelap, seorang pun tak tahu
Unsur demi unsur lenyap, tiada gejala
Tak ada yang berteriak, tak ada buka suara
Melalui tubuhnya yang dingin, tergeletak
Tergores sejenak:
         “dari asal pulang ke asal”
 
III
Di jalan-jalan yang sesat, di pojok-pojok ketololan
Perempuan-perempuan centil dan genit
Memasang jerat, menghimpun magnit
Dan tak tahulah kita, apa ini surga atau neraka
1001 macam impian dalam 1001 macam permainan
Usialah yang menandainya, sudah cukup tuakah kita?
 
Ketika bayang-bayang maut merangkak pada
                                                             tengkuk dan pundak
Semuanya baru ingat, semuanya baru tahu
Juga para dewa, kecuali yang satu
Bahwa sebenarnya bukan begitu
Maka mereka pun berdoa, buat kesekian kalinya
        “ampunilah segala dosa”
 
IV
Kuasa tanpa senjata, panglima tanpa tentara
Itulah nasib, mendadak menyapa kita
Memberi perintah buat menyerah
 
Hanya para mertua yang penuh curiga
Atas menantunya yang banyak bicara
Melihat pada keping-keping kebodohannya
Tersembunyi pada hati yang kurang teliti
Dan batuk mendeham, sekadar menutup kepalsuannya
Masam rasa yang menari di atas kemanisan muka
 
V
(Jam dua belas malam, bangun tersentak
Kulihat istriku dan anak-anak
Nyenyak tertidur, barangkali sedang mimpi
Di sini, tak ada mistik
Demikian pula politik
Hanya selimut buat mereka, dan nyamuk pada pipi
Harus kujentik)
 
Melalui celah-celah tembok, langkah-langkah mata
Menyusuri bayang-bayang masa, abad demi abad
Dan tumpukan waktu, hingga zaman jahiliyah
Di mana bayi-bayi yang murni dan perempuan
tak berdosa
Tertimpa malapetaka
Mestikah terjadi, berkali-kali
Justru pada abad ini?
Sentuhlah dahi, bahwa semua itu pernah selalu terjadi
 
VI
Umpan-umpan pada kail mata pancing
Ikan-ikan yang malang
 
Kebutaan demi kebutaan terhuyung
Dipapah oleh kedunguan
Tersaruk-saruk di lorong-lorong kepicikan
 
Penyair yang lahir hari ini
Pulang pergi dicaci-maki, sia-sia kata
Tanpa banyak ambil peduli, atau dicurigai
Bikin pusing bapa menteri, dan jawatan imigrasi
 
Duhai penyair, yang lahir di tanah air
Lorca dan Lumumba, Hafiz dan Tagore
O Ronggowarsito, bilanglah pada Hasan Mustafa
Inilah aku,
Tempat asal Indonesia
 
1970
 
 
Kapalku
 
Kapalku bertolak
telah jauh dari pantai
Gelombang memutih
sejauh biru pula tampak
langit dan air berciuman…
 
Jika nanti kapal ini kujumpa pula
Bekas kapalku dalam air ta’ nampak
membiru juga
 
Hanya dalam kenangan
dan buku catatan
tercoreng peta kapal hidupku
Nampak!
 
1948
 
 
Tentang Dodong Djiwapradja
Dodong Djiwapradja lahir di Banyuresmi, Garut, 25 September 1928. Pendidikan terakhir, Perguruan Tinggi Hukum Militer, tamat tahun 1963. Menjadi perwira hukum di Lanuma Husein Sastranegara, Bandung, sampai pensiun tahun 1976. Setelah pensiun bekerja sebagai dosen luar bisas pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (1979-1985). Sejumlah sajaknya dimuat dalam Gema Tanah Air (1948) susunan H.B. Jassin, Laut Biru Langit Biru (1977) disunting oleh AjipRosidi dan Tonggak (1987) editor Linus Suryadi A.G.
 
 
Catatan Lain
          Rendra menulis 3 halaman pengantar di awal buku. Dibuka dengan paragraf ini: “Secara sekilas, begitu selesai membaca buku ini, terkesan bahwa syair-syair Dodong Djiwapradja penuh gambaran frustrasi dan rasa tidak bahagia. Tetapi bila kita baca lebih teliti, ternyata tidak begitu. Sebenarnya Dodong sangat menyadari situasi-situasi tragik dan kefanaan di dalam hidup ini. Oleh karena itu, seluruh sajaknya memperlihatkan sikap hidupnya yang hati-hati, tekun melindungi kemurnian hari nuraninya, dan sangat menghargai saat-saat bahagia yang kecil dan sederhana, penuh rasa syukur kepada keindahan-keindahan yang mengharukan yang diberikan oleh alam, yang semuanya itu ia lukiskan dengan cermat dan bagus.”
          Penyair sendiri menulis catatan pendek sepanjang 1 halaman (2 paragraf saja) setelah pengantar Rendra. Ia berkata: “Sajak-sajak saya yang paling awal, untuk pertama kalinya dimuat dalam majalah-majalah: Mimbar Indonesia, Gema Suasana, dan Siasat (dalam ruangan “Gelanggang”) pada tahun 1948.” Di penghujung catatan ia menulis: “Sajak-sajak yang tidak dimuatkan di sini ialah yang tidak dapat ditemukan pada saat pengumpulan, dan selebihnya adalah sajak-sajak yag saya anggap gagal atau yang kurang saya senangi.”
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar