Jumat, 11 Agustus 2023

Oka Rusmini: PANDORA


Data Buku Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Pandora
Penulis: Oka Rusmini
Penerbit: PT Grasindo, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2008
Tebal: ix + 85 halaman (40 puisi)
Editor: A. Ariobimo Nusantara
Penata Isi: Suwarto
Ilustrasi sampul: Wolfgang Widmoser (Gravitation)
Epilog: Jose Rizal Suriaji
ISBN: 978-979-025-280-6

Sepilihan puisi Oka Rusmini dalam Pandora
 
SPORA
 
Apa arti sebuah garis, Anakku? Ketika kau menggenggam pensil,
aku melihat sebuah dunia perlahan tersibak di kakimu. Matamu
yang bulat mengerjap. Menatapku dengan ratusan belati
tanya.
 
Di luar, cuaca sering begitu buruk. Hujan dan angin bertikaman
Asap beracun merobek nafas, menguliti tubuh. Kecemasan
merendam seluruh wujudku.
 
Kau mulai menjelma jadi manusia. Detak jantungmu mengeja
hidup. Tapi aku kian menjelma jadi perempuan penakut. Makin
pandai menelan bongkahan biji mata yang menatapku dengan
asing.
 
Dari jalanan, orang-orang menebarkan bau anyir. Aku mual.
Sanak-kerabat mencangkuli masa lalu. Mengerat otakku.
Bersekutu memasukkanku ke peti mati. Mereka tanyakan kulit
Tuhanku!
 
Negeri apa ini, Anakku? Orang-orang begitu pintar membangun
menara. Mengurai sejarah, menguliti ilmu pengetahuan,
merapal mantra. Mereka berceloteh tentang kebesaran, kejayaan
dan kemasyuran, sembari terus membakar pulau tempat leluhur
mereka tenggelam hilang. Buih kata-kata mereka melukai
sepotong kakiku.
 
Kini kau mulai jatuh-cinta pada angka dan aksara. Kauputar
pensilmu, kadang kautusukkan di kulit bukuku. Negeri apakah
yang kelak menyentuhmu? Siapakah yang akan menemanimu
ketika aku telah tiada? Siapa akan mengajakmu bicara? Berbincang
tentang warna kulit Tuhan, cara menyentuh dan mengenalNya?
Tentang jalan bercecabang para pencari cinta ilahi?
 
Anakku, kelak bila telah kaukuasai angka dan aksara, belajarlah
mengenal cinta. Pahamilah dengan seluruh pikiran dan detak aliran
darahmu. Pahami arti duka, luka dan derita di luar tempurung
akumu. Rasakan keindahan cinta pohon-pohon rindang yang
tiada pernah lelah melindungimu dari cakar matahari. Cintai
dirimu, hidupmu, sesamamu. Juga mulutmu, tingkahmu dan
pikiranmu.
 
Bangunlah, Anakku, matahari mulai mengupas kuntum bunga
kecombrangku. Tidakkah kaulihat daunnya mulai membelai kaca
jendela kamar tidur? Jerang tubuhmu. Jelang harimu.
 
Dunia baru menunggumu.
 
2005
 
 
JEJAK
 
Di luar kulihat cuaca makin berkabut. Jalan-jalan sepi. Tak
kutemukan keping wajahmu di antara basah daun cemara. Aku
menunggumu di sebuah stasiun kecil. Gemuruh suara kereta
api selalu membuat jantungku berdebar. Membakar aliran
darahku.
 
Di sebuah stasiun kecil, kuyup suaramu memanggilku. Apa
kau salah arah? Tak lagi mengenali suaraku? Bau keringatmu masih
menempel di nafasku. Di mana kau sekarang?
 
Di stasiun, langit kulihat berubah warna. Orang-orang ber-
kerumun. Menutupi kereta yang akan membawaku pergi. Tak
kutemukan kau di antara lalu-lalang orang. Tapi aku masih
mendengar suaramu serak memanggil-manggil namaku. Apa
warna kulitmu sekarang? Sudahkah keriput? Juga rambutmu
yang dulu ikal, sudahkah memutih dan bau anyir? Berapa
usiamu kini, Kekasih?
 
Di sebuah stasiun tua, aku resah menunggumu. Mengenang
surat-surat cinta yang kaukirim. Juga beragam bunga yang pernah
kautabur di tanganku. Apakah kita memerlukan upacara untuk
cinta yang kita hirup? Siapa yang telah memanggilmu? Di mana
kau tinggal? Siapakah yang berani mencurimu dari hatiku? Aku
ingin menemukanmu. Di mana kau? Masihkah kauingat
kemudaan kita? Senyum malu-maluku. Juga berjuta mimpi
yang kautanam di mata dan otakku.
 
Di stasiun tua di kota kecil ini aku termangu. Mengingatmu
sambil memandang dedaun gugur dan coba meraba perjalanan
usia kita. Masih kuingat tatap matamu. Bola matamu yang
tajam. Senyummu yang dingin. Parau suaramu.
 
“Mungkinkah kita menjadi sepasang kekasih abadi?” tanyamu
suatu hari. Aku takut menjawabnya. Karena bersamamu,
kutemukan arti menjadi perempuan.
 
“Mungkinkah kau dipilih untuk jadi ibu anak-anakku?” tanyamu
lagi. Aku tetap diam membisu, takut menangkap kilatan hidup
di depanku. Kelihatannya kau pun tidak memerlukan jawaban.
Kau hanya menatapku, berusaha mencangkul keyakinan dalam
bola mataku. Mungkin juga kau sedang merajah pikiranku.
 
Di stasiun ini aku menantimu. Berharap kau turun dari kereta,
dengan sebatang rokok kretek terselip rapi di bibirmu. Aku
hafal aromanya, rasa asam yang meruap dari bibirmu kelabu.
Rambutmu yang ikal, masihkah lebat seperti dulu? Di mana
kau berada, Kekasih? Mungkinkah kutemukan kau di antara
riuh penumpang kereta? Atau kau telah pergi jauh? Meninggal-
kan sebening cinta yang terus berbiak di tubuhku. Cinta yang
tak memahami usia, juga ketuaanku.
 
Aku merasa berada di sebuah stasiun, Kekasih, ketika kucari
dirimu di antara bau anyir rumah sakit. Obat-obatan. Dokter
dan perawat. Aku mencium aroma kembang. Tanah basah.
Udara lelah. Bisakah aku menutup mata, selagi kau belum juga
kutemukan?
 
Berapakah usia kita, Kekasih?
Kenapa kau masih merajang perasaanku? Di kelopak daun
Manakah kau sembunyi?
 
Kudengar orang-orang memanggil namamu. Meneriakkan
ayat-ayat suci di telingaku. Menutup mataku. Menyelimuti
tubuhku dengan kain putih. Mereka mengikatku. Menanamku
di tanah. Kulihat orang-orang meraung. Di mana aku saat ini,
Kekasih?
 
Masihkah kauingat stasiun tua kita?
 
2008
 
 
ULAT
14/5/1995
 
Sebuah pintu kubuka dengan darah. Impian-impian pun pecah
dalam genggaman tangan, berharap sepotong daging akan
menambal lubang yang rajin dicangkul perempuan yang dulu
pernah memintaku jadi anaknya. Sebuah pintu kubuka dengan
luka. “Jangan mendekat. Bara tanganku akan membakarmu.”
Tapi aku tak punya sungai tak punya laut. Sajak-sajak kumuntah-
kan pada seorang perempuan. Sebuah pintu kututup. Mata laki-
laki itu datang padaku. Berpuluh tahun ia menyembunyikan
rahasia kami.
 
Kaumiliki permainan itu. Jangan mendekat. Perahu layar. Laut
yang kuuntai. Huruf-huruf yang kusebar di pejam matamu.”
 
Sebuah jendela kubuka. Penuh belatung, bangkai manusia,
sepotong kepala anjing. Lendir perempuan.
 
1999
 
 
TAROT
Bersama FN
 
“Teh ginseng milikku. Teguklah dengan darah. Potong nadi
sebelum menelan pil puisi.”
 
Kaubuka kartu-kartu hitam di atas kayu-kayu tua. Seorang lelaki
menemuimu, dengan seratus panah terbenam di rakitnya yang
mengering.
 
“Jangan sentuh catku. Biarkan mengering di wajahmu.” Kau
mulai menambal lubang-lubang kayu. “Kupas kartuku.”
 
Senja itu seorang lelaki mendekapku sambil memalingkan
wajah. Dia tinggalkan sekarung ular, sebungkus ulat. Darah
orang-orang yang membuatnya ada dioleskan ke tubuhku.
“Jangan pulang. Nanti kau tenggelam.” Orang-orang berwajah
api dengan beratus-ratus karung di tubuhnya. Dia mau kulitku,
percintaanku. Mungkin juga akan ditelannya impian yang
kupiara di ruas iga.
 
Sampan itu terus kukayuh. Seorang ratu datang. Wajahnya
rembulan. Tubuhnya kelopak bunga. Kudekap kucium aroma-
nya. Bau dewakah ini? Tuhankah yang datang setiap kubuka
peti pandoraku? “Perempuan dengan seratus prajurit di perut.
Seribu naga di kepala. Ikan-ikan adalah milikmu.” Tangan kiriku
memintal kepala laki-laki. Tangan kananku menguliti tubuh-
nya. “Orang-orang akan datang kepadamu. Menyembah kuku,
mengumpulkan remah rambut, menaburkan keringatmu. Padi,
sedikit gandum dan perasan susu, akan diantar para perempuan
kampung. Buka seluruh pintumu.”
 
Air bah datang. Kulihat seluruh manusia telanjang. Mereka
melukisi tubuhnya. Para perempuan melukis puting, menjahit
rahim. Mana wujudku? “Laki-laki itu datang dengan sekarung
ulat dan ular, cat tubuhmu dan aromanya. Tinggalkan sampan
dan kebun bunga. Apa kau masih punya Tuhan?”
 
Berapa kartu lagi harus kubuka?
 
1999
 
 
PANDORA
: AP
 
Li, haruskah kita telan asam tembaga? Atau kita tenggelamkan
pulau. Meletuskannya di telapak kaki. Kau terus menggenggam
keris. Ketika mata kita bertatapan, kautusukkan ke jantungmu.
Kauharap aku mabuk dan menenggak cairan sumsummu. “Aku
ibu. Perempuan dengan mahkota maharatu.” Mungkin kaulupa
sebuah dongeng. Ketika Jupiter menitipkan peti, kitalah Pandora
yang membuatkan pagar untuk para laki-laki. Juga dunia.
 
Li, apakah segenggam perca kecengengan mampu mengupas wujud
kita? Orang-orang hanya pandai menghitung jarinya di setiap
lubang tubuh kita. Kupikir kita perlu laut luas dengan hiu yang
siap mencabik-cabik tubuh. Mungkin kita akan menelan
samudra. Atau menghidangkan pulau.
 
Li, ketika aku kehilangan seorang perempuan, orang-orang
mengiris nadiku. Bahkan ayahku meminta jantungku. Anak-
anaknya memeras butir keringatku, menelannya. Yang kupunya
hanya cairan otak yang menjelma jadi aku-aku baru. “Ke mana
perempuan yang mengandungmu?” tanyamu, selalu dengan lidah
penuh bara. Kulihat naga-naga kecil kaumuntahkan dari kepingan
wajahmu. Diam-diam kau pun senang membakar tubuh, selagi
kita saling melekatkan kulit.
 
Kubuka e-mailmu tadi pagi. Seperti biasa, warna muram dan
rintik hujan di matamu. Kebakaran di kepalaku. Badai
mengamuk di mulutmu. Aku pun mereguknya. Menuangkan
cairan tubuhmu. Seperti biasa. Sebelum mulai bersetubuh, kau
menggigil, “Lelaki itu menguras tubuhku.”
 
Saat perempuan mencangkul puisi, lelaki mengeram ssambil
mendekap seluruh akar-akar tubuhnya. Kita menghidangkan
dunia. Meremas seluruh lubang tubuh agar hidup tetap bergulir.
Aku tidak punya tongkat, sering kuingin meminjam tongkat-
mu. Seorang gadis kecil datang. Tubuhnya berlumur lemak ke-
gelapan. Dia mahir menelan seluruh sunyi dunia. “Kutanggal-
kan perempuan kecilku. Kucari serat benang untuk menutupi
tubuh telanjangku.”
 
Ombak, mata air, letusankah yang telah melahirkan rohmu?
Atau rasa lapar itu?
 
Li, kau terus telanjang. Memagut seluruh tubuh.
 
1999
 
 
KUPU-KUPU
14/5/1995
 
Percakapan-percakapan jadi api. Tubuhku menjelma kayu.
Kutanam dalam bara. Aku mulai rajin menjilati tubuh, me-
nyimpan hati yang mulai hitam. Mana kuburku?
 
Sebuah pesta dimulai. Perempuan dan laki-laki menanam
manusia di rahim bumi.”Kau ikut? Menjadi petani? Beternak
manusia?”
 
Lelaki itu datang bercucuran air mata. Setumpuk kita terbuka
menyiram tubuhku. Mana tubuhnya? Matanya tinggal serpihan
kecil. Ibunya telah menanam impian keliaran dengan dongeng
yang terus berputar tentang lapar tanah-tanah yang dipagari
ulat-ulat. “Dia telah membunuh seorang perempuan dan dua
anaknya.”
 
Kubuka meja. Sebuah permainan mulai digelar. Aku terjebak.
Dan makin rajin membakar usia.
 
1999
 
 
ZIARAH
:MG
 
Engkau menjelma kuda dengan dua kaki patah. Anak lelaki yang
kautanam dalam lautan darahmu memasuki seluruh lubang
pori-porimu. Kaubiarkan tubuhmu terbuka. Bahkan ketika dia
meminta igamu, kau berkata:
 
“Petikkan api di pohon. Siapkan ranting, air suci dan kelopak
teratai. Bingkai wajahku dengan daun sirih, juga ilalang panjang
yang menutupi daging linggaku. Makanlah tanah-tanah yang
kucangkul dari tubuhku. Anakku perempuan. Tak mahir me-
manggul tubuh. Serakkan tulangku di pasir-pasir.”
 
Engkau menjelma elang bersayap satu, mendarat di rambutku.
Kaumakan otakku. Seorang perempuan kautitipkan. Tubuhnya
penuh ulat. Mulutnya nanah. Dia menyiram hatiku dengan
belatung. Ke mana anak lelakimu? Katamu:
 
“Anak lelakiku telah menghabiskan seluruh tanahku. Tanpa
wajah, dia larutkan tubuhku dalam api. Setiap detik uratku
diperas. Kepalanya tombong. Tubuhnya beringin tua.”
 
Engkau meletus. Meninggalkan sepotong perempuan dengan
dua tunas kecil di rahimnya.
 
Tak ada sesaji api membakar tubuhmu. Lelakimu telah me-
ngunyah tanahmu. Menanamnya di tubuh anak-anaknya sendiri.
Aku terus mencairkan wujudmu.
 
Bersama perempuanmu, kujilati butir tanah yang kami pijak.
 
1999
 
 
HIKAYAT PEREMPUAN
:CS
 
“Panggil aku Dirah. Perempuan berambut api dan bermulut bisa
ular. Tubuhku duri pandan dengan ular besar siap memagutmu!
Di setiap lubang pintu, para perempuan menancapkan lidi dan
bawang. Kadang garam disiramkan. Ketika aku datang, kuisap
jabang bayinya. Di setiap pintu rumah kuletuskan tubuh
perempuan. Kuretakkan nafsu laki-laki, mengalirkannya ke
tanah. Diam-diam kuisap cairan lingganya.”
 
Mungkin kau benar-benar paham warna bumi. Juga laut. Tapi
maut? Apa warnanya? Kupesan seratus tangkai mawar merah,
lengkap dengan duri dan kelopak daunnya. “Aku yang akan
menjemputnya. Kau tunggu saja di pintu. Aku mengupas
seluruh tubuhku. Siapkan peti, tapi bukan milikmu. Aku yang
akan tidur di dalamnya.”
 
Orang-orang telah menjemurku di bawah hujan pisau. Ibuku
menguliti hati. Ayahku mencabuti akar pohon manusiaku.
Kekasihku? Hanya seonggok batu yang menghidupkan lumut-
lumut.
 
Kau pandai melubangi tubuh. Kau pun pandai mengurai
dagingnya. Sakitkah? Sering kaulihat kausantap tulang dengan
rakusnya. Untuk apa kauhidangkan semangkuk puisi, lengkap
pula dengan darah dan wujudmu?
 
Percakapan itu melumuri seluruh percintaanku. Seorang
kekasih telah menjemur tubuhku di sungai, memotong kaki
dan tanganku. Telah kututup seluruh luka dengan tarian yang
kutarikan setiap tilem dan purnama. Kukawinkan seluruh bunga
di tubuh. Kurakit seluruh sesaji di telapak kaki. Perjalanan
panjang itu hanya rangkaian jurang yang memeras tubuhku.
 
Aku paham warna tubuhku. Tapi apa warna maut?
 
1999
 
 
EMBRIO
18/9, 17/10, 18/11, 20/11
 
Aku mendengar suara jam dalam tubuhku. Meremas setiap
gulungan lemak di perutku. Ada yang tumbuh. Kurasakan akar-
akarnya melukai dinding dagingku. Menguliti pori-pori ususku.
 
Lelakiku berkata:
“Kuberi nama Pasha, Sarasvati, Bunga… Lelaki atau perempuan-
kah dia?”
 
Apa ini? Pohon besar? Benalu? Dia menyakitiku! Menghabiskan
seluruh dagingku. Dia bertambah besar. Akar-akarnya makin
tajam. Dia memahat seluruh daging dalam tubuhku.
 
Jam tubuhku terus berdetak. Setiap nafasnya menjadi akar. Pandai
sekali pohon itu mencungkili daging tubuhku. Memakannya
rakus-rakus.
 
2001
 
 
LINGKARAN
 
Dulu, pada masa kanak-kanak, seorang perempuan melempar-
ku ke laut. Membiarkan ikan pari mengasuhku. Sekarang
kumuntahkan dagingku sendiri. Akankah kubuang kau ke laut
juga?
 
2005
 
 
GESTURAL
: bersama AH, 21/8/2000
 
Hujan hijau. Deretan bangku-bangku panjang terbenam di
kelopak mataku. Perempuan-perempuan duduk tenang dengan
tubuh berlumur lemak. Hawa panas, muntahan, teriakan
tubuh-tubuh berkeringat. Tarikan nafas dan antrian panjang.
Nomor-nomor dibagikan.
 
Aku mencium daging tumbuh. Inikah judi? Ketika yang lain
berebut membuka pintu, melepas pakaian, membuang tubuh
di kain hitam atau putih, membentangkan paha, menyodorkan
lubang, lalu ditusuk besi, perempuan berwajah pucat itu hanya
melambaikan tangan. Tanpa senyum. Tanpa perasaan. Me-
nyumpahi kami semua dengan kata-kata kasar. Meludahi kami
dengan kutukan.
 
Aku kehilangan potongan wajahku. Rasa sakit. Takut.
Kumasuki sorga itu, di mana akan kutemukan sebongkah cinta,
mungkin kekasih yang lebih paham tentang tubuhku. Di ruang
tunggu, nafas para perempuan membubungkan asap. Lelaki
itu duduk. Matanya tipis. Kulitnya putih. Dahinya penuh
lipatan kulit. Hutan-hutan di kepalanya telah lama gugur.
 
“Masuk. Timbang dagingmu!”
 
Dinding putih. Sebuah kasur busa yang terkelupas. Tangkai-
tangkai besi. Kelopak bunga jeruji.
 
Lelaki itu pelan-pelan mengunyah tubuhku. Mencongkel
cairan. Mengupas daging. Harum bau kematian. Tirai putih terus
teriak minta bagian. Segumpal darah muncrat, menyentuh
kelingkingnya. Seorang perempuan bermata hijau menimbang
dagingku, menaruh tubuhku. Bau nafasnya melukai jantungku.
Tubuhku dibongkar. Sepotong besi, jari telunjuk, membakar satu
demi satu kulit tubuhku. Tak ada rasa malu. Tak ada basa-basi.
 
Lelaki itu terus menguliti daging di atas kakiku. Memasukkan
potogan besi dan membakar serpih-serpih daging tubuhku.
 
Katanya:
“Kepingan awan di dagingmu telah membunuh calon anak-
anakmu.”
 
2001



Tentang Oka Rusmini
Oka Rusmini lahir di Jakarta, 11 Juli 1967. Tinggal di Denpasar, Bali. Bukunya al: Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007). Novel tarian bumi diterjemahkan dalam bahasa Jerman menjadi Endentanz (2007).
  

Catatan Lain
       Kata Yos Rizal Suriaji: “Inilah ketangkasan seorang Oka. Ia menulis, memendam Bali, mencangkul masa lalu, membenturkan tradisi, meringkus pengalaman hidup, dan dengan tanpa sungkan menggasak tubuhnya sendiri demi memperoleh sebuah ars poetica. Inilah “sayap kuat” sajak-sajak Oka, …”
      Lanjut ditulis Suriaji di dalam epilog: “Pandora –entah apakah ia mencoba mengaitkannya dengan kisah dewi Pandora ciptaan Zeus dalam mitologi Yunani, yang bergulung kepedihan setelah membuka sebuah kotak rahasia – adalah kotak kreatifnya itu, tempat ia menyimpan segala kegelisahan, masa lalu, khayalan, pertanyaan-pertanyaan, juga harapan-harapan tentang hidup. Pandora juga merupakan sebuah perjamuan, dengan tubuh memenuhi daftar seluruh menu.”   
            Menurut penuturan penyair di halaman viii, puisi-puisi di buku ini ditulis pada kurun 1999-2008 dan ia mengubah bentuk puisinya menjadi “prosaik”. Setidaknya semua puisi di buku ini ditulis rata kanan-kiri. Sesuatu yang gak bisa dilakukan di blog ini. Jadi pemenggalan kata disesuaikan dengan di bukunya. Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar