Minggu, 10 September 2023

Mathori A Elwa: AKU PERNAH SINGGAH DI KOTAMU

 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Aku Pernah Singgah di Kotamu
Penulis: Mathori A Elwa
Penerbit: PT Kiblat Buku Utama, Bandung.
Cetakan: I, April 2008
Tebal: 66 halaman (33 puisi)
Gambar kulit muka: lukisan “Pelabuhan di Eropa Utara II” (1961) karya Salim
dari buku Salim Pelukis Indonesia di Paris (Ajip Rosidi, Pustaka Jaya, Jakarta, 2003)
ISBN: 978-623-221-005-9
 
Aku Pernah Singgah di Kotamu terdiri dari 3 bagian, Rumah Tinggal (12 puisi), Aku Pernah Singgah di Kotamu (9 puisi) dan Teringat Sebuah Nama (12 Puisi).
 
Sepilihan puisi Mathori A Elwa dalam Aku Pernah Singgah di Kotamu
 
KEPADA UMBU LANDU PARANGGI
 
pertapa sembahyang di pucuk daun alang
rerumput berjemur di tengah sawah
para petani kalimat menanam gelisah
di ladang yang pongah
 
pejalan semadi di puncak hilang
rerumputan menjemput maut di padang-padang
para penari menunggang kuda sembrani
di ufuk matahari kintamani
 
pesolek sembahyang dalam bara api
tulang daging ruh menyelam di kuta
brahmana ksatria bertempur melawan sudra
di nganga ngaben pariwisata
 
penyair samsara
di pulau dewata
 
15, 9, 1995, 2004
 
 
SERENDIPITI
Kepada Penyair Fauzi Absal
 
penyair sejati tak pernah jatuh cinta
sekalipun ada goda dan gelisah. Matanya gosong menatap sajak.
          Mengaum dari kedalaman
kata-kata.
 
mengapa penyair tak pernah jatuh cinta?
benda-benda pedalaman harus dirogoh. Diperjuangkan hingga akhir.
          Nilai-nilai belum cemerlang. Dan sajak-sajak harus seperti luka
tergores di fosil kalimat
 
ada yang harus dibakar
dan dikuburkan. Sepatu, nama-nama, dan sejarah
juga cinta yang cengeng. Karena penyair
tak pernah jatuh cinta
bagaimana penyair dapat jatuh cinta
padahal sajak-sajaknya bebal
kejam
dan dahsyat
 
Cilengrang, 18 Agustus 2003
 
 
TERINGAT SEBUAH NAMA
 
aku teringat sebuah nama
tapi tak mampu kuucapkan
bukan karena dendam atau menutupi kebenaran
 
esok jika ia sudah terkubur
atau aku dikuburkan
biarlah petugas kelurahan yang mencatat
nama itu di kantor desa
mengiringi sebuah laporan kematian
 
semua pasti tercatat
selain mereka yang kita lupakan
 
18 Agustus 2003
 
 
INTIMIDASI
 
mengapa sajak masih ditulis orang
karena kata-kata masih diperlukan
jika kata-kata tak lagi dibutuhkan?
sajak menjelma tindakan
jika tindakan nyata sudah tak boleh dilakukan?
penyair sesungguhnya
mengumumkan perang
 
1995, 1996, 2004
 
 
AKU PERNAH SINGGAH DI KOTAMU
 
aku pernah singgah di kotamu
ruas-ruas jalan, taman-taman kota
kebanyakan makin gersang
membuat aku tidak kerasan
 
di kotamu
kini bertumbuhan gedung pencakar langit
dan sarana industri
hasil utang bank dan luar negeri
kebersihan air sudah tak penting lagi
 
udara penuh asap knalpot dan limbah pabrik
got-got di perkampungan amat jorok dan berisik
bau amis dan bacin terminal
telepon umum yang rusak
dan halte bus tak berfungsi
gedung pemerintahan, sekolah negeri yang tak terawat
para pegawai yang tampak menganggur
adalah pemandangan biasa yang kau jumpai
karena aku pernah singgah di kotamu
 
selalu ada kampanye yang rutin
dan senantiasa menakutkan
sempritan polisi, demonstrasi mahasiswa dan tembakan senjata
karnaval tujuh belasan dan upacara bendera
toko-toko banting harga pura-pura
hotel dan manusia
dipasang tarif menggiurkan
bus-bus kota saling mendahului
meraung-raung menyemprotkan asap hitam
para pengendara sepeda butut yang gemetar dan lamban
adalah panorama biasa
karena akuk pernah singgah di kotamu
kantor bupati, kecamatan dan kepala desa yang rutin
gedung gubernuran dan dewan yang angker
pejabat tinggi, pengamat dan politisi yang banyak bicara
marah-marah dan mengepalkan tinjunya di televisi swasta
entah karena apa
 
aku pernah tinggal di kotamu
 
berita dan pendirian koran yang berubah-ubah
dan masyarakat yang sulit atau mudah percaya
membuat aku kangen pada kampung halamanku
di pinggir sungai yang –celakanya— juga sudah kaucemari
sebuah kampung yang tenang tanpa berita dan kebohongan
sawah-sawah hijau membentang
pepohonan masih bertahan tak ditebang
rendah hati dan saling menghargai amat tinggi
aku ingin sekali jadi petani atau penggembala ternak yang sederhana
meskipun sawah dan ladang sudah tak lagi kupunya
karena aku pernah singgah di kotamu
 
2000, 2004
 
 
KUTA – TELUK BETUNG
 
dari pantai kuta hingga teluk betung
tak kita temukan lagi rimbun hutan jati
kasih sayang atau cinta
yang melebat-merimbun di sanubari
 
kita hanya dapat berdoa
di bawah terik panas matahari
di atas jembatan tak terkenal
sebuah sungai yang airnya keruh
udara bau tengik yang menyengat
dari arah sekian kilometer
pabrik tepung tapioka yang dimaafkan masyarakat
 
kita hanya dapat berdoa
di bahwa kibaran merah putih
di balik hiruk-pikuk ketakpedulian
caci-maki politik, kebrengsekan hukum dan etika
 
dari pantai kuta hingga teluk betung
tak kutemukan pohon bakau
pengorbanan dan rasa iba
yang menghutan di jiwa risau
di tengah pelabuhan merak-bakauheni yang panas
di pulau-pulau dan negeri
yang nyaris tak punya belas kasih
kita tinggal hanya dapat berdoa
selebihnya
amin!
 
2001, 2004
 
 
CERMIN TOPENG
 
tiap hari aku berkaca kepadamu
wajahku makin tua
lihatlah ke dalam matamu sendiri
lorong gelap tanpa cahaya
jalan sesat dari marabahaya
lubang hidungmu
adalah segala pintu gerbang
air comberan limbah industri
kehidupan
masuklah dalam mulutku
lubang ozon raksasa
mengatup dan menganga
menyemprotkan
karbon dioksida
bara api dari neraka kerakusan dunia
kepalaku sudah tak subur lagi
menjelma padang sahara
 
tiap hari aku berkca kepadamu
wajahmu berantakan
 
27, 7, 2003
 
 
MAKA, JADILAH KAU PENYAIR
 
di atas singgasana brengsek
aku bertakhta
permaisuriku putri busuk
yang kurenggut dari comberan
semula aku bernama samoon
angin dan api yang dilempar dari neraka
kemudian adalah kata-kata indah
syair beracun dari kedalaman gelap
dengan takhta kata-kata
aku menyamun
para penyair
mengibarkan bendara malam
dalam pusaran kengerian
kekuatanku adalah retorika
sunyi dari kehidupan nyata
bergabung dengan kami
amatlah menjanjikan
maka, jadilah kau penyair
murung, sombong
dan bohong besar
 
2003, 2004
 
 
MIMPI TELAGA
 
pada sebuah arus rahasia
tak jauh dari tempat berbaring
antara makam dan sebuah musium
kulepas perahu purba
nuh, luth, musa
dan negeri-negeri terkutuk
berseliweran dalam tidur jaga
membentang di antara tahajud
dan tangis yang membusuk, rabbana
seorang tamu ditakdirkan (akan?) datang
pagi-pagi sekali
menagih hutang (kematian?)
mengajak pergi
 
– engkau mungkin nyinyir
tertawa getir
kapankah para pengungsi abadi
pernah punya tempat yang dapat disinggahi
hingga ada yang sempat berpikir
ingin menjumpaimu lagi?
 
hutang demi hutang menumpuk
dalam dada, tas plastik dan sibuk
pegunungan putus asa tumbuh sebagai bisul-bisul
doa apakah yang terkandung dalam derita ayyub
zabur, taurat, injil, al-quran berdengung dalam telingaku yang tuli
puluhan nama nabi dan rasul menziarahi mayat hidupku
samiri, fir’aun, abrahah, abu lahab
jengis khan, hitlet, orde baru tumbuh subur sebagai pohon kalap
gigiku menyeringai di antara jutaan wisatawan dan penganut agama
dada, paha dan selangkangan kalian
adalah dajjal yang menyedot habis nuthfah para pengkritik
jutaan ular weling menjelma bursa efek
bajak laut dan udara kenakan surban para nabi dan rabbi
meledakkan bom dan gunung-gunung rahasia
dalam amarah, dengki dan dendam kesumat
 
kucoba membaca takdir
dan di pagi buta itu
sebelum penagih hutang dan kematian lainnya menjemputku
kuukir terlebih dahulu huruf demi huruf
pada dinding perahu
aku bermimpi nuh bermimpi ibraham bermimpi musa
bermimpi sulaiman bermimpi musthafa habibina
bermimpi tuhan
bermimpi telaga
mata air dari barat atau timurkah itu
menghanyutkan perahu doa dan duka cintaku?
permohonan telah mendidih dalam magma ubun-ubun jiwa
shalawat dan salam padamu, ya musthafa habibina
mengalir dalam hatiku yang busuk
menggumpal dalam dahak dan ludah khilafku yang sempurna
napasku tersengal sebagai sejarah yang terpenggal
menggendong derita dan bahagia
memanggul pelarian
melolong sebagai qithmir
menembus kegelapan makrifat
tersingkir dari jalan tembus khidhir
 
Ramadhan 1421/Oktober 2000, 1424, 2004
 
 
RUMAH TINGGAL
 
kubangun sebuah rumah tinggal sederhana
luas dan besar rupanya
untuk siapa?
cukup lama kalian pergi ngembara
tak ada yang peduli
anak-anak pun juga istri. Rumah tinggal hakikat
di mana kini?
engkau lupa dan tersesat
 
kubangun sebuah rumah tinggal
hakikat. Kalian lama pergi ngembara
lupa
dan
tersesat
 
15, 9 , 1995, 2004
 
 
PAKIJANGAN DINI HARI
 
[1]
aku tiba pada malam lagi
seperti tibaku
menjelang dini hari
kampung halaman siapakah
yang kumasuki berulangkali
bagai mencatat yang samar
jejak-jejak esok hariku selalu saja terbakar
 
[2]
entah suara siapa
senantiasa memanggil
keras sekali
seperti suara deru ribuan kendaraan
(kefanaan)
entah jejak siapa
selalu kuikuti
seperti rintik hujan di subuh itu
mengulang-ulang tapak yang sama
bagai doa yang dilantunkan
bagai tasbih yang diputar
mengingatkan kembali pada asal segala sesal
 
[3]
aku terjaga pada entah
seribu kubangan menganga
sejuta got mengalir
semilyar orang kota anyir
tak berduka tak bersyair
 
[4]
pakijangan, dini hari
kutemukan diri sendiri
dalam badai
dalam pertempuran
dalam bah derita
teronggok di serapah
masa lalu yang menyampah
 
[5]
kupenuhi panggilan azan
mencoba mengingat-ingat nama demi nama
yang selalu sama pada tiap zaman
– adam hawa –
dengan susah payah
kucatat, kueja
dengan sesal satu demi satu
kuhapus
tanpa sisa
dengan tangis terbata-bata
kurindukan yang lama tak tiba
nurul musthafa habibina
laikkah diri yang hina
memanggil-manggil diri yang agung
yang hingga dunia tercipta?
 
[6]
kucoba segala dendam
kubuang-buang
tapi selalu saja maafku tenggelam
jika tak kaudengarkan
harapankku yang tinggal sejengkal
terjungkal-jungkal
 
[7]
kuputuskan untuk mirad
menjauhi para bangsat
karena diri merasa keparat
kutekatkan untuk pergi
dari para mufti
karena diri tak ada lagi
kubuang diri yang hina
dalam kubangan tanpa nama
agar derita segera sempurna
banyak sudah pelajaran yang kulihat
kudengar dan kuterima
wahai kalian para guru
namun diri yang tak berdaya
tak kuat lagi menyangga kepalsuan tak terkira
 
[8]
ada saja impian yang melintas
untuk kembali mencatat sebal
dalam buku diri yang kumal
lewat keangkuhan dan sikap bebal
akulah pelarian itu
yang selalu cemas
menyambut takdir datang tiba-tiba
tanpa surat dan pemberitahuan
akulah pelarian itu
yang selalu terpental
menggotong amanah (amarah?)
jatuh begitu saja
tanpa isyarat dan berita
akulah pelarian itu
yang selalu berantakan
menderita kebaikan dikirim orang-orang
tanpa nama, alamat dan perjanjian
akulah pelarian itu
yang selalu remuk
memamah biak baik-buruk
yang menyerbu dari segala penjuru
tanpa permisi tanpa ragu
 
[9]
pakijangan dini hari
mungkinkah impian dapat dihadang
apakah ilham bisa ditendang
apakah anugerah dibiarkan gentayangan
bagai gerimis
ada jejak yang mengiris
bagai deras hujan
ada saja penagih hutang
mencegat dari setiap pintu dan ruang
padahal hartaku cuma ketakpastian
di manapun kubaringkan tubuh
yang lapuk oleh perang dan garang
di situlah kubayar diri tak berharga
kepadamu hanya
lakukah?
 
Nisf ul-Sa’ban-13 Ramadhan 1421, 1423
 
 
TENGOKLAH SEJENAK
 
tengoklah sejenak
masih adakah sawah ladang
menghijau, teduh dan tenang
pohon-pohon bambu bergesekan
sayur katu, pohon rambutan
 
tengoklah sejenak kampung halaman
masih adakah kelapa, petai dan aneka jambu
bergelantungan
 
di sanalah tempat kita dilahirkan
 
tengoklah sejenak kota itu
adakah berjajar di pinggir jalan
pohon flamboyan, dadap dan cemara
rumputan hijau dan pohon palem tua
 
di sanalah tempatmu dibesarkan
 
tengoklah sebentar negeri itu
masihkah ada peduli
pada bukit-bukit, air kaldera
parit-parit, sungai-sungai dan lautan
masihkah ada sangsi
pada cinta sejati
air yang mengalir dari pegunungan
 
masihkah ada ragu
pada kesetiaan murni
rahmat yang mengalun pada sungai
 
masih adakah bimbang
pada murninya ketulusan
berkah yang melaut pada samudera
hingga kalian tega mengkhianati diri sendiri
di kampung halaman
di kota-kota
hingga negeri ini hancur percuma
 
tengoklah sejenak hati kita
masihkah ada peduli
pada kampung halaman, kota-kota
dan masa depan manusia
 
tengoklah sejenak. Tengoklah
 
21 Mei 2001, 2004
 
 
Tentang Mathori A Elwa
Tak ada biodata Mathori A Elwa di e-book itu. Googling aja ya.
 
 
Catatan Lain
            Tak ada sampul halaman belakang itu e-buku ini. Halaman terakhir (66) memuat Indeks Baris Pertama Sajak. Tak juga ada pengantar dari siapapun. Begitu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar