Kamis, 19 Oktober 2023

Tjahjono Widijanto dan W. Haryanto: KEAJAIBAN BULAN UNGU



                                                 Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Keajaiban Bulan Ungu
Penulis: Tjahjono Widijanto, W. Haryanto
Penerbit: Dewan Kesenian Surabaya, Surabaya.
Cetakan: I, 2000
Tebal: 34 halaman (17 puisi, 2 esai)
Gambar Sampul: Saiful Hadjar
Desain Sampul dan Layout: Bengkel Press
Diterbitkan untuk Acara Forum Sastra Dewan Kesenian Surabaya, 16 Oktober 2000
Esai: W. Haryanto (Membaca “Epos” Tjahjono Widijanto: Dunia Jadi Sebuah Cerita yang Tak Utuh) dan Tjahjono Widijanto (Sajak-sajak W. Haryanto: Sajak-sajak Gelisah dalam Kosmologi Hiruk-pikuk)
 
Sepilihan puisi Tjahjono Widijanto dalam Keajaiban Bulan Ungu
 
KABA DARI NEGARA SENJA
 
Bersama detak jam aku menghayuti alirmu
memecah-mecah heningmu dengan fantasi selaskar-laskar pasukan
bertaring hiu memetiki bunga-bunga di lekuk gambut yang kusinggahi
inilah, telah dibuatkan mantra-mantra baru buat dewa-dewa:
bernama peta pengganti sesaji di altar-altar tua
tempat anak-anak dan pertapa disembunyikan
 
Matahari akan menyimpan malam sebelum sempat memandikan bumi
orang-orang mencoba berkaca diiringi derap sepatu lars
kita menari bersama roti, anggur, dan sesobek bendera kusam
juga bedil bersanding mawar lengkap dengan duri-durinya,
pertapa-pertapa suci itu akan berkata:
                                                            – sebuah pentas digelar para dewa!
                                                                                       siaplah jadi pemain!
 
Pada tiap tasik kusebarkan benih
kelak ia akan mengarang-ngarang cerita
kisah bapa-bapanya bertaring hiu metiki bunga-bunga
lalu ibu – perempuan itu – direbutnya jadi miliknya sendiri
rahimnya melahirkan karang-karang, batu-batu,
fosil yang meriwayatkan epos-epos seratus tahun perjalanan
dengan bahasanya sendiri (dan kau takkan bisa mengerti)
 
Apa yang bisa dilakukan di sini?
samadi, menerka silir angin, menjumpai lumut-lumut
perlahan mengerak di pungung-punggung batu
sementara kita cuma bisa mendulang cerita
bertukar legenda, epos-epos keramat
                                                                – cobalah kembali cium jejaknya!
 
Pada sebuah tasik dengan fantasi selaskar-laskar pasukan
bertaring hiu memetik bunga-bunga di lekuk gambut
kita dapat kembali merangkakinya
bersama jarum kompas yang patah
di sebuah negeri senja bersama sejarah yang luka
dimana kampung-kampung kita berubah
jadi belukar yang memaksa kita mengigil
pasrah pada kehendak musim
 
Lawu, 1998/1999
 
 
PALASARA
 
bukan niatku menyaingi Adam
menurunkan pewaris syah bumi ini
aku hanya sekedar pertapa
yang coba-coba belajar mengayuh perahu
menekuri rahasia sungai sampai hulu-hulunya
menyimak kicau burung yang mengajariku
makna silsilah dan riwayat-riwayat
 
bukan niatku menyaingi Adam
menurunkan biji-biji bumi ini
aku sekedar pertapa
yang terpaksa memunguti ceceran cinta
karena amis sungai disulap jadi wangi bunga
 
ayo, beri aku galah bambu lapuk ujungnya!
buat mengaduk-ngaduk liang rahim istriku
dan anak-anakku akan berloncatan bersama
mahkota menutupi kepalanya yang retak
setelah balita mulai gemar mengayun-ayunkan
martil ke kepala bapanya sendiri
“Bapa, bapa, kutagih kembali
air susu ibu bersama atlas perjalan
yang kau simpan dalam saku jaketmu!”
 
bukan niatanku menyaingi Adam
menurunkan perwaris syah bumi ini
aku hanyalah pertapa
yang coba-coba menemu pusar sungai
dan menukar sorga dengan amis keringat wanita
 
 
REQUIEM AETERNAM
 
Secuil lempung ini kubuat bentuk tubuhmu lamat-lamat
kusuruh menyanyi menari bersama gesekan biola
yang menerjemahkan kata-kata bersama
bulan yang miskram
di sudut malam saat pecah pada tangkainya
 
telah disiapkan sebuah tempayan bolong pantatnya
menadahi ceceran-ceceran air mata yang menjelma mata air
yang kau buat berkubang saban hari
kecipaknya menjelma instrumentalia perkabungan
bersama kelebat bendera yang turut menjadi sayu
dan kau bisa menghikmatinya sembari dansa-dansi
sebelum terpeleset ludah sendiri yang menjelma
songkah akar tunggang meliliti kaki
 
bersamanya boleh kau sarapan semeja
dengan dentam meriam yang disiapkan sendiri
dentum terakhirnya muncrat bersama otak meleleh-leleh
esoknya anak-anak mendulang tanah tempat berkubur
meramunya jadi cat, menggores-goresnya pada kanvas raksasa
memajangnya pada panorama senja pucat dikeringkan angin
 
“papa, mama, requiem aetemam!”
 
 
DARI NEGERI KERAMAT
 
Gong yang teramat panjang ditabuh ini
dengung-dengungnya menghantarkan waktu
dalam ruang-ruang udara yang ganjil
 
Pertapa dengan guci-guci dan jubah antik
mengelilingi altar di tanah keramat
kini ditumbuhi lelumut yang mulai mengerak
 
“Selamat datang inilah negeri suci
tempat manusia berbusana dewa
bersama-sama melupakan nasibnya sendiri!”
 
Moyangku adalah manusia-manusia perkasa
seperti lakon-lakon yang dapat disaksikan dalam
cerita-cerita wayang yang digelar di simpang jalan
 
Kita mengabadikan dengan kegemaran
menghikmati bau tengik sol sepatu
sebagai bukti ahli waris setia dari sebuah negeri keramat
 
Pemburu-pemburu bersliweran dengan kuda-kuda perkasa
ringkiknya halilintar lidahnya api
“bawakan lagi perancang peta untukku?”
 
Gadis-gadis berdiam di ceruk-ceruk lembah
diam-diam menorehkan gincu di bibirnya
(warna merah adalah kesukaan pemburu, mereka menjeratnya)
 
Begitulah, lalu di rahimnya mereka menyimpan
bocah-bocah pesolek dengan jubah bunga-bunga tapi mata api
rajin merangkai upacara-upacara menziarahi kubur moyang-moyangnya
“Bapa-bapa, kubawakan kembali lakon-lakonmu,
sembari menghafalkan potretmu!
 
Epos-epos tua dikeluarkan lagi dari bilik-bilik waktu yang berdebu
sejarah telah rapi dilipat dan digeramangkan bersama bisik-
bisik pendeta tua yang tak lagi fasih mengeja mantra-mantra
 
“Selamat datang di negeri kami, negeri suci
warisan keramat para pemburu
tempat manusia berbusana dewa
berusaha melupakan nasibnya sendiri!”
 
Ngawi, 1999/2000
 
 
PERJALANAN DI URAT-URAT NADI
 
Hanya pada deras darah sendiri
kulayarkan perahu,
                                         setapak-setapak
dengarlah bagaimana gemuruh irama
membelah kota-kota pada otot-otot kaki, tangan, kepala
sebelum terdampar di urat nadi
 
jangan, jangan kau seru aku!
perahu ini tak bisa terima penumpang
hanya salam yang dapat kau titipkan
bersama kelepak camar yang memburu
berak dan beranak di situ
membangun reruntuhan-reruntuhan
yang menghantammu tak henti-henti mengintipku
sementara kepala terantuk-antuk jendela tak berkaca
                                          “Upacara-upacara ini tak selesai-selesai!”
 
gaung doa-doa, mantera-mantera merangkaki
rel-rel yang menjerit
bersama kerikil yang tiba-tiba menyala
perciknya melambai gugus angin
sesaat sebelum nempel pada lorong terakhir
bersama nyanyi nahkoda merindu berlabuh
pada tasik berlumpur perak matahari
menyediakan oase, lengkap dengan peta terbuka
lalu lanjutkan jalan, ke arah manapun
sampai tiang layar melapuk sendiri
dan mata angin tak lagi bisa terbaca
 
 
MEMO KEDELAPAN BELAS
 
“gelap ini menyimpan lampu-lampunya sendiri!”
 
itulah yang dikabarkan lelawa dari ceruk-ceruknya yang gelap
rahasia waktu yang ditembusi malam tak usai-usai
seseorang telah menanggalkan masa lalu
menyeberangi palung-palung musim
menjumputi nasib cintanya sendiri
 
kepeng-kepeng logam itu tak mampu bicara apa-apa
kecuali kesaksian musykil tentang musafir
yang diharuskan menghafal kembali namanya sendiri
 
“masa laluku adalah batu dimana kau
menyisakan sedikit coretan di perutnya!”
 
bisik-bisik itu pecahan batu kerikil menorehi luka
terus menganga membuat goa-goa pertapaan baru
bermukim di tiap kelenjar darah, timbunan
pori-pori dan helai rambut dibasuhi keringat
terowongan dengan bau kasturi juga tajam duri mawar
 
“tanam bunga itu tapi jangan tinggalkan runcing durinya!”
 
Sine Ngawi, 05/00
 
 
 
Sepilihan puisi W. Haryanto dalam Keajaiban Bulan Ungu
 
ZAMAN
 
                                    “karena tak ada Sang Juru Selamat bagi semua
                                    akhir dari lanskap kejahatan kita, ketika
                                    masa lalu adalah candu, ketika masa depan
                                    adalah neraka, ketika hari ini adalah jurang
                                    terdalam dari ingatan.”
                                    Buat Indra Tjahyadi
 
1
                                    (percakapan dari pinggiran kota)
 
Maut telah mendekati kemayaannya, tetap suaraku
          berdiri di balik perbukitan –
Di mana aku dan malam menyadari jalan-jalan yang pengap;
Arakan burung berhimpun seperti lengan mantelku,
Ketika mataku akan sekusam akhir dari sebuah lukisan:
          tentang lanskap pinggiran kota,
                                                                  Yang tak bertahun;
Dunia ini menecil dan menyurut;
                                                            Labirin tumbuh lebih subur,
Dan mataku akan memulai lagi siklusnya.
Dunia ini akan meliuk menyerupai lengkung-lengkung pohon,
          dan lagu-lagu hidup yang kau tiupkan tapi tak usai,
Aku ingin hanyut di lubuknya,
          Menyadari seluruh kedangkalan zaman ini –
Malam yang mengukir rasa tubuhku dengan lengan pesonanya.
Akan kupekikkan ke seluruh zaman,
          bagaimana Maut tercuri dari tanah yang disamarkan badai;
seperti gundukan sang semut,
          Aku menjadi monumen
                                                     Di pinggiran kota;
Mulutku menghimpun peralihan yang kuning di angkasa,
Seperti bentuk mati dari kesadaran;
Seperti sosok bayangan yang mengendap;
Seperti isyarat yang menggaungkan keterpencilannya.
Bahkan hujan bukan milikku, dan kulihat jejak-jejak yang
Ranum di tanah basah ini –
Akan kutuliskan seluruh lanskap keletihanmu dan
          Menjadikannya hamparan kebun-kebun jagung yang kering;
Ketika hari melepaskan topi teriknya.
Kita telah melampaui semua wujud peristiwa;
Seperti embun di atas daun, potret kita memburam pada dinding
          seakan nasib kita disalibkan oleh waktu.
Rasa bersalah kita bernafas di akhir cakrawala –
Lihatlah ke masa lalu,
Lihatlah gundukan pikiranku di belakang langkahmu,
Di mana kemarau menggeraikan warna kuningnya;
                                dan hujan,
                                                 adalah satu-satunya Keyakinan –
seperti wilayah pinggiran kota yang diam-diam raib.
 
2
                                                                                    (kisah bulan)
 
Mungkin tak ada yang tumbuh dari ranum kecantikanmu.
Kiranya bulan membujukmu menjauh dan terlena,
          di bukit-bukit yang menjorok ke angkasa –
Dan memberi batas-batas nyata pada waktu.
 
Melupakanmu, lukaku tumbuh lebih jenjang seperti diri
          yang terusir dari bayangan.
Malam membuncah tandas dan bentangan jalan kereta api ini
Tak hendak membekas di wajahmu.
 
Menyangsikan cinta, stasiun terlihat kian jauh,
Seperti gundukan tanah ketika senja.
Kepergian ini bukanlah tanah kapur. Denging angin menjadi
Lingkaran dalam otak, tahun-tahun seperti mantel yang robek.
 
Pagi meludahkan ingatan kuningnya, seperti jejak-jejak
          yang bersuara.
Hari ini kita mengulangi seluruh pembalikkannya. Pada malam,
Kita dengar dongeng dan bayangan raksasa yang menukik.
 
Cinta menjalar dan berduyun ke arah pantai.
Bau kesepian ini, bentuk hiduup dalam tidur dan menjelma
Aliran sungai:
          “Selamat tinggal, Bulan!”
 
Kiranya kita mengungsi dan melebihi pantulan ingatan, rumah
Rumah kayu yang sehijau matamu, dunia pohonan yang meledakkan
Anganku. Berjalan ke batas sepi, nyawa kita terasa kering
Dan meranggas
          meleleh seperti tumpahan air;
                                                                        inikah rindu?
 
3
                                                            (setelah zaman)
 
Bau keletihanmu akan mengingatkanku pada seluruh
Arakan awan yang kuning. Dari arah timur, apakah kiranya
Yang termaknai dari kubah-kubah, yang terlihat
 
Dan menyerupai perumpamaan-perumpamaan yang meliliti
Seluruh waktu. Mengenali diri pada seseorang yang
Terlena di dasar sungai, di mana kita akan membayar
 
Seluruh kebejatan ini, seperti tanah kapur.
Ingatan kita menciptakan lebih banyak alur
Dan liku-liku. Rasa lapar yang tak sepadan,
 
Ketika siang mencicit dan memberi wujud nyata
Di gaung angin. Arakan burung-burung menjadi panjang
Dan akan melebihi batas cakrawala.
 
Sebuah akhir ada di barat. Tak ada mimpi
Tentang musim kemarau, di mana umurku hendak
Sampai di kota-kota sunyi.
 
Ketika ketakutan bernyawa dan menyerupai dongeng
Dongeng tanah muasal, batu-batu dengan seluruh
Retakannya akan terlibat di sabit alismu.
 
Kubayangkan sebuah dunia di balik pintu hatimu
Yang tertutup, antara kegelapan dan bau kutukan
Pada waktu. Imajinasiku akan memanjati jalan-jalan
 
Yang ranum dan terlihat langsat di pagi hari.
Mimpi bergerak seperti anak kecil dengan lagu
Lagu gaibnya di tengah hujan. Kiranya tanah muasal ini
 
Memberi jejak rasa bersalah, dan kota-kota sunyi
Tumbuh tanpa detak jantungnya. Di ingatan kita,
Kata mungkin mati, mungkin tenggelam di arus kabut,
 
Mungkin telah membuang anak-anak maknanya pada
Ketidakterhinggaan. Otak kita, pada mulanya, adalah
Ladang tandus, atau denging angin menikahi kegelapan.
 
Tak kupahami sejarah di sabit alismu. Seperti debu,
Perubahan kian menebal dalam tahun-tahun di mana
Kita tak hendak membayangkan bagaimana sebuah akhir
 
Tanpa rasa bersalah. Pada mimpi-mimpi ini, tubuh melepuh
Oleh lengan gerimis, dan sajak-sajak terlihat hidup
Dalam cahaya siklusnya. Tidur kita tinggal seteguk
 
Dan hendak menghentikan alurnya, bila dunia ini
Ditorehi lebih banyak luka. Di akhir malam, bisu kita
Telah berkendi-kendi, dan tanah muasal tersungkur
 
Di dalam lumpur. Lewat mata ingatanmu yang sekarat,
Lihatlah bagaimana matamu yang blisatan, menatap
Ke arah jalan yang licin seperti bayangan tersamar.
 
(studio teater Gapus, 1999)
 
 
EPISODE PENAKLUKAN
 
Rumah-rumah seakan menyala oleh bulan,
Dan auman lonceng memberinya jiwa dan nyawa,
Di mana semua mimpi tinggal tetesan pikiran.
Sementara bayangan masa lalu tetap menempel
Pada tembok. Tapi di manakah akhir dari tanda
Tanda zaman ini – ketika sebentuk bisikan melecut
Dan mengagetkanku.
 
Kau tetap bernafas dengan mulut yang hidup, kesadaran
Tak membekas, kita bermakna: musik gerimis memendar
Seperti bayangan, bahkan tak ada yang masih kuingat –
Bagaimana kau berada di antara parade orang gila, para badut,
Para pemimpi, dan sebuah laut tak tertanda: kata tinggal
Auman. Lampu-lampu mempertegas kehidupan ini seperti kunang
Kunang membuat lingkaran cahaya di tepi danau.
 
Di celah gerimis, di antara musik yang mulai terasa
Seperti pekikan – kukhayalkan kota-kota, kelokan-kelokan jalan
Yang riang dan kadang terimat genit, juga puisi-puisi yang
Menorehi kesadaranku – tapi tetap saja, kita tak dikenali,
Kau, aku, juga malam. Kecuali jejak-jejak di jalan,
Jadi sumber bagi ingatan, bagi sebuah sejarah yang tersungkur,
Sementara cahaya bulan hanya memperlihatkan sepenggal
Dari mimpi ini, mimpi yang hampir berbau bangkai. Seperti kata.
 
Surabaya, Agustus 2000
 
 
DJATI BENING, 1270
                                                                        – buat Deny Tri Aryanti
 
Kesunyianku adalah sebuah jalan: aku belajar
Untuk mencair seperti cahaya, atau bayangan dengan
Baju musim semi dari kulit kerang. Duniaku alir dengan
Penggal ketiadaan yang meniup seruling.
 
Kutangkap selarik musik dari burung camar, musik yang
Menyeberangkan matahari. Luka memar telah membelah
Jadi bayangan dengan bentuk paruhnya pada bening gelas –
Tapi apakah yang bersisa di mimpi ini?
 
Isak daun memercik. Dan hutan jadi nyata memerangkap
Penglihatanku. Keterpesonaanku pada sunyi mirip musik lebah
Dan memberi nyawa bagi pohon jati. Ingatanku bangkit
Untuk memulai hari, menghirup rasa pahit yang tak selamanya
Kekal oleh kata. Juga doaku membatu di kerongkongan –
 
Aku mencari jiwa dalam baju musim semi. Sunyi menyanyikan
Musik riangnya. Tapi di manakah jalan-jalan ini mesti
Berakhir, jadi perlambang, di mana kau mengingat-ingat
Kembali bagaimana dunia ini pada akhirnya: yang bersisa
Hanyalah angin, dan ingatan, setelah musik sunyi perlahan
Memudar di tepi danau.
 
(studio teater Gapus, 1999)
 
 
RUMAH SEORANG PENYAIR
– buat Ayu Nilasari
 
Negerimu bermula dari tanah liar. Dan sebuah
retakan menggelayut di tubuh pelangi, membuat
wajah perunggumu berkilau
di awal musim hujan. Jadi setetes air yang
memar, setelah lukisan sungai sekusam bentuk
perbukitan. Pikiranmu tidur, tapi hendak
meluncurkan sepenggal nyanyian –
nyanyian pasir kepada hujan yang hidup,
akankah kau sangkal air, jalan-jalan malam hari
yang basah, pohon-pohon dengan mantel kabutnya
yang tebal,
          akankah kau sangkal awan, yang menggelayut
seperti pesona puting seorang perawan, seperti lonceng
lonceng raksasa dengan dentamannya yang teramat
mendebarkan. Gerimis, adalah wujud lain dari
ingatanmu. Akan tetap kukenali kata-katamu,
jadi kiasan: sebuah dunia antara kegelapan
          dan cahaya. Kau ucapkan setetes air, jadi bisikan
yang memendam rasa sakit, seperti kendi-kendi tanah
liat yang membara setelah tertikam api,
          ini dosa siapa? Apakah dosa seekor kupu-kupu?
          Atau sebuah jembatan yang memperpendek jarak:
Antara kau, ingatanmu, dan setetes air.
 
(2000)
 
 
HANTU BULAN AGUSTUS
 
Lukisan sebuah puri yang memerah. Waktu berjuntai,
Ketika kefanaan jadi tembok-tembok memanjang,
Bau bangkai hampir kuning dan sekusam tatapanmu,
Kepolosan yang selamanya memabukkan. Musik ini –
Adalah surga, kegilaan dalam nyeri, seperti baju
Baju musim semi.
 
Petiklah kuntum-kuntum cemas yang bisu. Juga puri
Puri dengan getah bulan Agustus yang memekik tertahan,
Yang memberi sepenggal kecupan. Seperti mimpi, jadi
Peristiwa pada batu-batu – tapi segera bebaskan ingatanmu
Ketika sesuatu hendak tumbuh dalam musik ini: Hantu-hantu
Yang tua dan bersenandung.
 
Lukisan puri ini tetap memberimu sebuah kolam,
Dan bayanganmu telah berkarat di dasarnya. Jadi labirin
Waktu dengan anak-anak tetangganya yang penuh daun pakis,
Lumut yang basah, dan getah matahari yang memberi nyawa
Bagi musik ini. Pada retakan di tembok puri, petiklah
Rasa pahit. Dan langit telah menyeret mendung, hingga
Seluruh kelam tersembunyi di balik puisi-puisiku.
 
Akan kutuliskan, bagaimana kegembiraanmu telah memabukkan
Dalam nyeri, di mana lukisan puri ini melebihi igauan burung
Burung hantu. Dan pikirkan bagaiman topi kulitku hendak
Memperlambangkan mimpi. Dan racun. Dalam kepalsuan.
 
Surabaya, Agustus 2000
 
 
Tentang Tjahjono Widijanto dan W. Haryanto
Tjahjono Widijanto lahir di Ngawi, 18 April 1969. Lulusan IKIP Negeri Malang, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Puisinya termuat dalam berbagai media massa dan antologi puisi bersama, salah satunya Mimbar Penair Abad 21 (DKJ, 1996). Bekerja sebagai guru dan dosen di kota Ngawi.
 
W. Haryanto lahir di Surabaya, 14 Oktober 1972. Kuliah di Fisip Universitas Airlangga (jurusan Sastra). Terlibat dalam Teater Gapus Fakultas Sastra Unair, juga menjabat sebagai redaktur budaya lembar Luar Pagar majalah Retorika, Fisip Unair.
 
Oya, biodata para penyair tertulis di sampul belakang buku.
 
 
Catatan Lain
          Tjahjono menyumbang 10 judul puisi di buku ini, sedang W. Haryanto menyumbang 7 judul puisi. 10 puisi Tjahjono itu adalah Perjalanan di Urat-urat Nadi, Legenda Musim, Notasi XXXIII, Kalinyamat, Dari Negeri Keramat, Kaba dari Negara Senja, Legenda I, Memo Kedelapan Belas, Palasara dan Requiem Aeternam. Sedang sajak-sajak W. Haryanto, adalah Moment Opname, Hantu Bulan Agustus, Episode Penaklukan, Rumah Seorang Penyair, Teluh Litost Sang Mesianis, Zaman dan Jati Bening, 1270.
          Tulis Tjahjono Widijanto dalam esainya: “Berhadapan dengan sajak-sajak W. Haryanto dapat ditemukan sebuah upaya pembebasan imaji dan upaya mendekonstruksikan konsep pencitraan konvensional terutama konsep-konsep pencitraan visual. Imaji-imaji dibiarkan hadir dan tumbuh liar, penggunaan bahasa yang rumit dan citraan-citraan yang tidak saling berkaitan serta campur baur sehingga menimbulkan kekaburan makna yang mengingatkan kita pada teknik persajakan kaum Dadais seperti Andre Breton dan Tristan Tzara. Dapat pula dikatakan bahwa cara seperti ini berakar dalam sajak-sajak aliran surealisme, dimana penggunaan citraan yang saling berjauhan kaitannya saling berbenturan dan membangun suasana yang mencekam, kosong, sekaligus gegap gempita. … Kerapkali imaji-imaji yang tampil secara surealistik tersebut membongkar kelaziman logika, dan dapat pula hadir menjadi teror di kepala pembaca. Juga kadang-kadang pula imaji tersebut hadir sebagai rimba gelap yang tanpa pintu bagi pencari makna, sekaligus sekedar hadir sebagai mosaik bende-benda, atau deretan kata-kata tanpa maknsa yang jungkir balik dan centang perenang logika pencitraannya. … Sebenarnya gambaran yang ingin ditampilkan oleh penyairnya sendiri cukup jelas yakni ingin menggambarkan suasana jiwa yang gagap dan gamang menghadapi kosmologi sosial budaya yang sedang dialami, sehingga nyaris puisi-puisinya memberikan suasana ketertekanan, hiruk-pikuk, anxiety, ketidakpercayaan, kemuakan, alienasi dan kegelisahan, …”  
            Tulis W. Haryanto: “Kekhasan sajak Tjahjono, adalah pencapaian lebih dari diksi-diksi semacam: legenda, cerita, riwayat – di sini, Tjahjono menumpahkan “akunya” antara minat untuk membangkitkan kembali sebentuk karakter  otobiografis dunia (yang berada jauh di masa lalu) dan keengganan untuk  melibatkan keterilhaman ini dengan mempertahankan kewarasannya (yang bereksistensi di masa kini). Tjahjono menjadi pewarta, pendongeng, dan terus menerus mencelupkan tangan-tangan “imajinernya” ke telaga riwayat tanpa membuat tangan imajinernya basah oleh air telaga riwayat yang telah keruh oleh tumpahan minyak. Keniscayaan, dalam riwayat, tidak berhenti sebagai lambang-lambang dari sisi lain dunia, namun si penyair harus melahirkan dirinya di semesta muskil itu sekaligus ia menyatakan keberadaannya, lantas dengan sadar ia mengalami perjalanan muskil pada dua sisi dunia – dunia yang semata bernyawa dalam riwayat, dan dunia yang terlihat di luar riwayat. … Epos, atau riwayat, adalah sisi lain dari dunia, tidak berarti identik dengan teknik meriwayatkannya. Perspektif menjadi vital. … Bahwa, kelemahan sajak-sajak Tjahjono lebih karena tidak hadirnya perspektif yang tegas. Tapi perspektif tidak hadir secara otomatis, tetapi adalah evolusi dalam aliran seni. Hal ini yang belum terlihat dalam sajak Tjahjono. Kupikir ia perlu membuka diri dengan belajar pada aliran (dalam tradisi besar dunia), sehingga sajak-sajaknya mencapai sublimitas yang luar biasa.” Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar