Selasa, 04 Juni 2013

Mudjahidin S.: CERMIN WAKTU





Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Cermin Waktu
Penulis : Mudjahidin S
Cetakan : I, Desember 2012
Penerbit : Pustaka Banua, Banjarmasin
Tebal : x + 74 halaman (38 puisi)
ISBN : 978-602-98648-3-0
Pengantar : H. Ahmad Makkie, BA

Beberapa pilihan puisi Mudjahidin S dalam Cermin Waktu

Kehidupan di Ranah Nyata

Jadilah kita aktor-aktor berwatak
di dalam sandiwara cerita dibuat
penontonpun ketawa terbahak-bahak
melihat badut-badut berperan kocak

Di sudut gedung ada ketawa geli
alangkah lucunya drama yang dimainkan
tapi di sudut hati ini ada silet yang mengiris
alangkah sedihnya akhir cerita dipentaskan

Dan penonton di luar gedung
Yang menunggu kampung dan gunung
Yang berladang dalam rimba
Yang mencari ikan di hulu rawa
tak tahu kalau nasibnya dibawa-bawa
dalam adegan berlusin cerita
Kisah gerimis di matanya yang tidak pernah mengalir
Kisah nestapa
yang tidak pernah diobati
bilamana pementasan selesai
para pemain bersorak, lalu bubar
membawa oleh-oleh pulang ke rumah
anak isteri menanti ramah

Besok main sandiwara lagi
ya bapakku yang kami hormati

Banjarmasin, 170784



Kehidupan

Bagai Rama kehilangan Shinta
di ranjang perkawinannya
tanggung jawab merangkulnya
di atas peperangan nasib
di antara suka dan duka
menusik nusik

            sampai juga
            nasib bagai Rama mencari Shinta
            di negeri Dasamuka
            demi cinta, was-was selalu mempesona
            demi kehidupan, curiga selalu melilitnya

kemudian,
bagaimana Rama menyatakan Shinta perawan
kalau cincin kawinnya sudah tergadaikan
ke seberang lautan
bagaimana nasib negrinya bagus diperankan
jika pemainnya kehilangan hakikat peran

Akhirnya,
kehidupan negri ini
adalah pertemuan Rama dan Shinta
Di atas api ujian besar
menyala
            Tak mau padam, selamanya
Selamanya!

Banjarmasin, 4775


Ular dengan Manusia

Jadilah
Dinikahkan Adam dan Hawa
Di sorga
tak kenal malam dan siang
Ularpun menawarkan bisa-bisa penggoda
Khuldi meledakkan birahinya

Janji keabadian dilanggarnya
Ular dan manusia diturunkan dari sorga
Perjanjian purba disepakati
ular dan manusia saling dendam
sepanjang jaman
tiada damai di antara keduanya
ular mengintai menggigit
kepada yang lalai
manusia menjebak, memukul mati
hati hati ada manusia seperti ular
lidahnya bercabang duri

wahai
jika bermula titismu dari sorga
sebelum habis melanglang buana
hapus dendam
tugal kehidupan
jadilah matamu penglihatan cinta
jadilah telingamu pendengaran cinta
jadilah lidahmu bicara cinta

jadilah
arah ke depan
teken perjanjian
disaksikan tenggang rasa kehidupan
dengan cap stempel bermatrai jujur dan adil

Banjarmasin, 2004


Puisi Qasidah

Qasidah
meloncat loncat
            di atas tiang bumi
                        ke batas malam sunyi

Qasidah diri,
terus berlagu, tetapi
            tak tahu apa iramanya
                        dalam diri melayang kian meninggi
                        tak kenal sayap kanan dan kiri
                        tak kenal rasa dan nurani
                        entah ke mana kau berlari

Qasidah Nabi
menjerat kepak burung malam
memadamkan api
mengunci rumah-rumah setan!
melebar jalan sorgawi
Memberkati fitri dalam diri

Qasidah
adalah bulan sempurna dalam lautan kehidupan
menyatukan napas berwangi
qasidah adalah mantari di kegelapan
jembatan silaturrahmi
dalam hati

Qasidah puisi suci
tidak terikat pada bumi
yang sudah telanjang pada musim
Tidak terpesona pada bintang
Yang sudah terpelanting pada rotasinya
Tidak terlena pada atas nama tradisi
yang sudah parau napas maknanya
Tidak terkejut pada udara
yang sudah lama gampar sejuknya.
                                                Qasidah!
                                    bukan yang dikeramatkan
                                                di sini,
                                    cintaku kasih ilahi
                                                Rabbi!

Banjarmasin, 1987


Suatu Malam di Kota Batam

Malam berkeringat di pasar Nagoya
Bulan tergantung rendah menjilati jendela
Hotel, menungguku terbuka

Di sudut taman
di balik pepohonan napasnya nakal
kedai-kedai lampu kristal
satu-satu siap berpisah
bertiga minum kopi, melepas lelah
Sepasang budak silih berganti masuk kamar
Lampu merah berkedip samar-samar
Ah aku kesal, lalu bubar

Mobil taksi berlari mengejar maut
Sopir mabuk penumpang gelisah takut
Sobat, ini Batam malam berkabut
Banyak tamunya berperan badut
Lucunya, ada studi banding di sini, yang ikut
            berebut!

Batam, September 2002


Memandang Banjarmasin dari Atap Hotel

Memandang Banjarmasin dari atap hotel
Gedung dan rumah, ruko berlapis lapis berhimpit
perlu dididik tentang etika lalu lalang hilir mudik
parkir-parkir di jalan sempit di situ aku macet
Kaki lima jadi kaki toko, ah pejalan kaki kakinya sakit
Sementara berita pagi tadi dua remaja mati
kebut kebutan malam tadi

Di jantungnya udara asap makan asap
beraroma sampah-sampah ratik
Got dan saka tersumbat plastik
Abang becak di muka gang menunggu nasib
diterpa hujan banjir jalanan becek

Sungai dan antasan diampang pampangan
merumbih tebing kehidupan
Jukung-jukung lapuk dimakan globalisasi
Air cuci air mandi rasanya ragi

Memandang Banjarmasin dari atap hotel
Jauh di kampung, kebun-sawah jadi rumah kredit
Ikan-ikan di rawa kehabisan bibit
Di sepanjang sungai
Segumpal mendung merendah
Hatinya menahan gundah

Bapakku yang terhormat,
Lebih baik makan saluang di benua sendiri
Daripada makan daging bikinan luar negri
Ikan sampai dapat, serapang jangan belong
Di situ lelaki ini hadir
Tak tahu di mana prediksi ini berakhir.

Banjarmasin 2003


Suatu Waktu

Suatu waktu
kau hadir bertamu
Transit di pangkuan kefanaanmu

Kau ngembara
nasib yang dijaja
Memilah beribu-ribu perkara
Menantang beribu-ribu perdaya
di wajahmu berkerut tua

Sebelum kau berlabuh
Dunia ini sudah berlaksa tanya
sekarangpun kau bertanya-tanya
nasib yang disilang digulati sebelum berbunga

Sementara aku baru tahu bahwa hidup
adalah menyelesaikan satu urusan
membangun jembatan pengembaraan
menuju suatu pertemuan

Suatu waktu
Urusan selesai disepakati
Kau akan berangkat, tak bisa menolak, pasti
membawa catatan sendiri

Sebelum kau pergi
Tanya pada diri
            Benarkah!
Langkah diolah
            yang ditinggal tidak gelisah

Palu, Sulteng, 1994


Upacara Balian

Burung sakung burung anggang dari sorgaloka
Memekik mengepak sayap menari menolak bala
Menghentak kaki di atas kenong irama ditata
Gemerincing gelang meniti gema gendang
Ini upacara di sini upacara moyang
Jangan diganggu jangan dirajam
Fuaaahh!
       Apa
               Kenapa
                        Ahhh tidak apa-apa

Hai sangiyang ranjing hatala – sangiyang ranjing hatara,
aku titis Rangga Bapantung Nyahu tutus Sahawung Bulan
Tempua Bua Penyang
utus ke sini Burung Ringang bawa daun Batang Caring
barang selembar
Semoga upacara kami tak keluar pagar
Fuuaahh! Tari membanjar awas Ingupang
Mamang balian rasuk ke sukma melata padang
Sesajen beraroma kemenyan,
air tuak, air kelapa, darah ayam dikipas setundun mayang
Ini upacara di sini upacara
Dawen sawang jadilah penyang
Diri kami sudah lama sakit-sakitan
Rimbaku digunduli impian berkabut sejuta hektar
Bukitku disolongi, emas – ramin – rotan lama tergadai
Jahit lukaku obati sakit kami adalah sakit anak negri, setiap kali
dusunku banjir menggelepar, setiap musim perutku
menahan lapar

Hai Ranjing Hatala – Hatara Ranjing
Wartakan upacara kami di Batang Caring
Sampaikan pada Camat sampai Presiden
ilegal stouning Ilegal loging
di hotel nyenyak taguring
Upacara tak pernah selesai, seperti derita kami
Di balian ini kami lahir, entah di mana kami mati

Kalteng, pedalaman Buntok, 2002


Di Laut Itu

Di laut itu
Dirajutnya jala kehidupan, ke laut bebas
Jala ditebar mantra disyiar
Biar ganting jala hidupku, pantang rajutan putus terdampar

Jika angin kabut mengamuk, perahu pulang haluan dibelok
Wajah berkerut kecut. Anakku hari ini kita gagal dalam hidup
Hari-hari mereka membagi suka duka
Robek jala harapan kalah
Patah kemudi hatinya gundah
Hilang kiblat salah arah
Sebelum angin sampai ke darat
Sebelum perahu menuju alamat
Ikan nasibnya hilang dirompak
kapal-kapal berat
Bapak berdasi bapak terhormat, yang menikmati ikan-ikan,
enak
sudahkah melayat,
ada perahu nelayan kehabisan minyak
tenggelam jadi mayat

Tabunio, 1992


Tentang Mudjahidin S
Mudjahidin S, lahir di Banjarmasin 14 Juli 1946. Pensiunan pegawai Infokom Kota Banjarmasin tahun 2002. Menulis sejak tahun 1972. Puisi pertamanya dimuat di Majalah Caraka, Jakarta di tahun tersebut. Dan mulai sejak itu karyanya dimuat al di SKH Banjarmasin Post, Upaya, Media Masyarakat, Barito Post/Kalimantan Post, Pelopor Jogja, Masa Kini Jogja, Harian Merdeka Jakarta. Antologi puisi yang pernah memuat karyanya adalah Panorama. Penyair ini merupakan salah satu pendiri Himpunan sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalsel dan Kota Banjarmasin bersama H. Hijaz Yamani, Prof. H. Andi Amrullah, Adam Burhan, Ismail Effendi dan Drs. H. Yustan Aziddin. Juga menulis naskah Mamanda dan Japin Carita. Pernah bergabung dalam Teater Tradisonal Mamanda dan menyutradarai pementasan. Saat ini diakui oleh Lembaga Seni Qasidah Indonesia (LASQI) sebagai pakar perkusi rebana (Qasidah Rebana, Qasidah Maulidan, Sinoman Haderah). Tahun 2011 mendapat anugerah Astaprana dari Kesultanan Banjar atas dedikasi dalam memajukan seni budaya Banjar Islami.   


Catatan Lain
Beberapa lama menjadi “peminjam setia” buku-buku Hajri, buku ini tak pernah terlihat sebelumnya. Rupanya ini koleksi baru Hajri. Nama penyairnya pun baru kali ini saya dengar, tepatnya setelah Sainul Hermawan menulis ulasan tentang buku ini di Media Kalimantan. Tapi jangan salah, penyair ini telah malang melintang sejak 1972. Komentar Hajri tentang buku ini, jika disimpulkan dalam satu kalimat: “Buku ini perlu seorang editor!” Hehe, ada-ada saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar