Selasa, 04 Juni 2013

Hamdy Salad: RUBAIYYAT SEBIJI SAWI


Data buku kumpulan puisi

Judul : Rubaiyyat Sebiji Sawi
Penulis : Hamdy Salad
Cetakan : I, Mei 2004
Penerbit : Pustaka Sufi, Yogyakarta
Tebal : xx + 148 halaman (13 judul, 300 rubaiyyat)
ISBN : 979-97400-78-8
Penata Sampul : Kajie Habeb
Pengantar : Prof. Dr. Suminto A. Sayuti (Idiosinkrasi dan Citra Puitik dalam Sebiji Sawi)

Beberapa pilihan puisi (rubaiyyat) Hamdy Salad dalam Rubaiyyat Sebiji Sawi        

Dengan Bismillah! Aku Susun Rubaiyyat ini

Dengan bismillah! Aku susun rubaiyyat ini
ketika biji-biji sawi mulai bergetah
dan merekat dalam detak jantungku
mengitari kelopak cinta di abad duasatu

Bagai sembilu berputar dalam sejarah
aku berseru di sudut layar al-fatihah
mencelupkan mata pena ke dasar laut
ke dasar maut paling sempurna

Kubiarkan jari tangan merogoh sukma
di lubang bulan dan matahari
sampai kata bertemu dengan cahaya
di tengah galaksi benda-benda mati

Tak ada tanda di cekung pipi yang fana
kecuali anak dan usia berpalung mimpi
menanti kebebasan segala rupa
dalam dekapan para pencari

Di negeri para musafir dan perindu
aku berserah, menulis buku di atas bara
mengurai daun sebutir zarrah
dalam ikatan pohon semesta

Kusaksikan duri-duri menjadi mawar
mengekalkan jarak di tangkai bunga
taman-taman menebarkan wewangian
dalam gerak asmaul-husna


Selayak bumi bergerak dalam diam
kuselipkan cincin rindu di jari-jari angin
memasuki ruang dan waktu kosong
di hulu kepompong sang rahim

Siang dan malam meneteskan embun
dalam cangkir dan poci di ubun-ubun
matahari berputar tanpa kesudahan
memberi cahaya pada semua ciptaan

Kuhiasi jasad, hanya busuk yang didapat
kurampasi harta, hanya kafan yang dibawa
kurasuki kesenangan, hanya kutuk yang diterima
kududuki kemegahan, hanya nisan yang ditatahkan

Maka enyahlah tidurku dalam jiwa
dari segala rindu dan cinta
sebab mata akan tertidur juga akhirnya
menjadi lumpur di dasar tanah yang baka

Bangun cintaku, bangunlah!
nyalangkan pelita ke pusat malam
agar bulan kembali padu
dalam hati yang merindu

Bebaskan bunga dari ampas udara
dari tanah berparas api dan air
sampai cahaya menghias kelopaknya
lalu mekar dan menyala tanpa akhir

Setiap taman yang dipenuhi wewangian
akan datang pangeran cinta
menghijaukan daun segala tanaman
sebagai hiasan di dahan pohon para pemuja

Sebelum angin dan musim saling merindu
bumi ini telah berputar lebih dahulu
menggaris cinta di kanvas cakrawala
tapi jiwa dan badanku masih saja berkelana

Karena cinta aku terguling
ke dalam bola matamu yang bening
dan bila engkau pergi
tak seorang pun yang bakal kembali

Karena cinta air menghilang dari banjir
angin pergi dari badai
api melenyap dari pembakaran
lempung dan pasir menyala di pekarangan

Karena cinta burung-burung terbang di angkasa
mencari musim yang belum dikenal
walau hujan berganti panas
tak pernah lelah untuk menyangkal

Wahai penghuni singgasana sunyi
kibarkan tujuhpuluh sayapmu
agar waktu kembali putih sepanjang hari
menyepuh rindu di sayap cintaku

Wahai penjaga siang dan malam
layarkan perahu di darahku
agar jiwa kembali tenang
menegarkan usia di atas gelombang


Sebiji Sawi Terlepas dari Tangkainya

Sebiji sawi terlepas dari tangkainya
mengais diri di ruas matahari
walau sembunyi dalam batu hitam
dan menepi di dasar lautan

Tak ada benda, patung dan dewa-dewa
yang dapat dijadikan sekutu
kecuali syirik dan kufur
menyatu dalam kalbu

Para nabi menebar kisah
sembari duduk dan berdiri
menjadi makhluk paling amanah
di tengah gurun bergunduk api

Segala huruf dan kata bersinar
dalam lembaran wahyu suci
menurunkan hikmah dunia fana
bagi cucu Adam dan Hawa

Jarum waktu berputar seperti kilat
menggambar atlas di langit biru
bagi semua debu yang ditebarkan
ke tengah ladang tak bersekat

Dan ibu telah menumbuhkan jiwa baru
menyalakan tungku di atas benua
walau tubuh menjadi arang dan abu
di tengah riuh anak-anak durhaka

Maka mulia, jangan palingkan muka
dari hadapan segala yang melahirkan
agar usia masih dapat dikenang
dalam selisih lampu Yang Terang

Kenali diri dari delapan penjuru hati
sampai lenyap kepompong nafsu dan birahi
menggenapi tasbih dalam luka dan bahagia
di antara pujian para kekasih Yang Mulia

Sederhanakan langkah kaki
di muka bumi yang serakah ini
sampai angkuh menjadi sirna
dari jejak yang kukuh dalam kembara

Rendahkan bunyi dan suara
di antara lidah para pendusta
sampai habis segala kesombongan
dari gema yang menjalar dalam kekosongan

Bersyukurlah bagai darah dalam daging
memberi anugerah bagi anggota badan
membuka pintu dan jendela jagad raya
sebagai ilmu dan karunia tanpa kesudahan

Bersatulah dengan cahaya dalam kelam
bagai guntur membelah langit dan bumi
menghanguskan segala benda yang berdiam
di atas kepala dan mahkota para petinggi

Sabar juga meniti pada segala bencana
pada semua yang melimbah di sungai ini
walau disakiti dan diuji sepanjang sahara
hingga pohon dan bunga merekah dalam diri


Makhluk Putih Bersayap Kabut Putih

Makhluk putih bersayap kabut putih
melesat dari pucuk kubah yang tinggi
menggenggam tasbih ke arah kiblat
melintasi dinding udara yang telah mati

Kelopak mata membuka syahadat di selaputnya
memandangi luka dalam sujud dunia
mayat-mayat menggelantung di tiang hari
menjadi belatung yang menyayat urat nadi

Dua telinga melebarkan pita dalam senyap
mendengarkan burung-burung khusuk berdoa
meleburkan nyanyian dalam seruling Dawud
hingga semua terasa tertiup; Entah ke mana!

Seperti angin, tangan-tangan melambai
melayarkan bahtera dalam gulungan badai
tujuh gelombang mengepung hidup
meremuk jiwa yang mengapung di laut

Awan raksasa, kain kafan dan bendara
mengepakkan sayapnya di tengah petaka
kuda-kuda berlari menebarkan abu panas
melemparkan kaki-kaki besi dan terhempas

Bagai limbah dan sampah yang terbuang
ikan-ikan, kepiting dan udang telah mengambang
makhluk aneh menyusupi daging-daging busuk
menghisap nanah yang mendidih dalam periuk

Khalifah bumi dan arwah-arwah saling mendaki
sampai bukit tumbuh kembali di puncaknya
tubuh-tubuh terkepung amarah dan rasa kikir
meninggalkan ruh dalam tempurung penuh pasir

Telah dilapangkan semua hati dalam dada
telah diringankan semua beban di atas kepala
telah diangkat semua derajat dan martabat
telah dijawab semua yang berharap dan menghadap

Tapi diri masih saja berzikir dan taubat
mengendapkan airmata dalam bejana
walau si kafir mencari dalil dengan kalimat
hingga jasad menggigil di taring rayap-rayap

Maka lihatlah segala yang nyata
matahari menyempitkan cahaya
sungai-sungai menipis, rawa-rawa kembali amis
menggulung banjir menuju muara tanpa tangis

Sungguh luka tak mungkin sembuh tanpa luka
dan semua yang sakit serasa lumpuh di dasar parit
terperangkap dalam silsilah benda-benda
seolah Tuhan hanya ada dalam dekapan bahaya

Semesta kosong membeku dalam kepompong
ayat-ayat berbisik pada setiap detik
segala duka terkikis di pundak sahaya
janji dan hikmah meneguhkan kaki para kembara

Debu-debu bersujud di atas daun terbakar
menamatkan riwayat masa lalu
di serat kayu yang telah menjadi arang
sendiri dalam kelam, berdiri tanpa bayangan!


Mendedahkan Mahar Cinta

Hawwa merekah, mendedahkan mahar cinta
bagi perkawinan semua yang berjiwa
menebar hikmah dalam ikatan makhluk sejati
pada yang hidup dan yang mati di muka bumi

Hajar melintasi padang pasir tanpa denah
mendaki batu-batu cadas dari Shafa ke Marwa
melahirkan Ismail dalam kembara yang panas
melimpahkan air zamzam bagi semua kehidupan

Maryam mengunyah tuduhan dan cacimaki
di antara wahyu dan gema para pendahulu
hingga Isa terpilih dalam perutnya yang bersih
sebagai tanda kebesaran Sang Pengasih

Aminah menggigil di tengah api kaum Abrahah
menurunkan Nabi akhir dari tulang sulbi
dan rahim suci. Menyala sepanjang waktu
menjadi ibu yang sejati bagi para piatu

Khadijah, pedagang mulia di tanah berdarah
membuka tabir para pecinta di dekat arafah
menjadi permaisuri baginda Nabi yang setia
hingga Nabi melepas doa di atas liang lahatnya

Aisyah berbulan madu dalam keteduhan
menegakkan tiang keluarga tanpa derita
menyelami relung Nabi dengan kejujuran
hingga Nabi wafat di atas duli pangkuannya

Fatimah menjelma bunga dalam sejarah
mengikat tali semua silsilah dari Baginda
memadu barakah dan ketentraman
penghulu risalah sepanjang zaman

Hindun melembutkan hati di medan laga
bagai kuda sembrani menebarkan nyali
lalu gugur dalam keteduhan iman
dan dinobatkan sebagai perempuan pahlawan

Rabiah menjulangkan cinta di atas menara
terangi makrifat tanpa surga atau neraka
tak ada lain yang lebih cahaya dari hati
bagai permata yang tersimpan di dekat Arasy


Bulan Perak, Kapas, dan Cahaya

Bulan perak, kapas, dan cahaya
mendaki kelam di pundak sunyi
mengucap salam ke dasar almanak
sepanjang malam masih diberkahi

Langit hitam berubah warna
menjahit gerhana di wajah paripurna
bagai jubah dan sayap para pencari
mendekap jalan sejuta mimpi

Bintang-bintang memasang pelita
mengibarkan panji di tiang cakrawala
peta-peta terbuka di taman sang nabi
mengantar jiwa yang tenang dalam diri

Angin berhembus dari laut yang jauh
menyapu pasir dan debu dalam teduh
serasa kabut kembali dingin menyiram tanah
menutup sembilu dengan daun tanpa getah

Burung-burung terpekur dalam sarangnya
memintal syahadat, meleburkan shalawat
bagi semua yang tertidur di atas nikmat
dan membujur bagai batang kayu berkepala

Suara-suara bergema di dinding rumah
membuka pasang mata dan daun telinga
dalam jelaga yang dipenuhi kristal mutiara
mengajarkan doa dengan sepenggal hikmah

Dan ketika fajar menyatu di cermin kamar
matahari dari timur kembali bersinar
menerangi gairah dengan seribu pelangi
hingga bayang-bayang tak lagi ragu untuk berlari

Tapi mata tak pernah membaca
pada segala yang belum terbuka
di dasar sungai dan kolam-kolam
yang menyimpan hidup dan rahasia ikan

Roda-roda berputar dan terus berputar
meniti jejak kembara paling sempurna
dari masa silam di rahim ibu
sampai usia terbenam ke lumpur waktu

Kuda-kuda, kerbau dan sapi
menarik pedati di jalan tak bertepi
memberi pelajaran bagi sang hamba
yang tersesat menuju ke puncak sahaya

Bekerjalah seperti lebah yang bekerja
mencari rezeki di atas tangkai berduri
walau kenangan telah dimakan senja
dan bunga-bunga meninggalkan wangi

Jari-jari menggenggam palu dan kapak
memecah batu, membelah kayu bertonggak
meski cuaca dan hujan mengirimkan airmata
dalam bencana yang tak pernah reda

Sekali-kali, janganlah menyeru pada keluh
agar lidah masih dipercaya oleh hati
bagai kepiting di dasar sungai yang keruh
membuka jalan menuju muara sampai mati

Tuhan merapat pada nadi yang bertobat
dan berdiam untuk mensucikan kotoran
hingga jiwa dan badan kembali semburat
seperti permata dalam serat batu pilihan

Semua fana, yang tuli dan yang buta
yang bisu dan yang lumpuh
tak mungkin berlabuh dari pantai kegelapan
kecuali api membakar karang di dasar lautan

Pintu-pintu yang terbuka karena benda
kan tertutup kembali sebagai benda
tak ada kunci yang terjatuh dalam cempuri
kecuali bentangan doa dan airmata sendiri

Dari tanah lempung yang nyala
awan putih bersinar di angkasa putih
menurunkan petitih sepasang kaki
bagi yang duduk dan berdiri sepanjang hari

Segala luka yang bersarang di dada
mengirimkan belerang ke dalam dara
berderak dan terus berderak
menggerus kisah-kisah dari dunia baka

Dan rindu telah bersenyawa dengan cinta
menjadi satu dalam detak jarum jam
lalu bersinar di dinding tua
sampai nyeri berkalung tasbih dari manikam
                                                                                                
Kembalilah dengan tangan tengadah
bagai pohon mencari cahaya di tengah hutan
menembusi makrifat tanah
asal mula pengetahuan

Humuskan jasadmu dalam dedaunan
sampai zarrah menjadi jimat paling inti
dalam gulungan badai dan topan
di dasar benua tempat bersemi

Duhai cinta yang bermukim dalam diri
kembalikan ruhku menjadi bayi
seperti angin yang menjaga musim
menyusu rindu pada puting abadi


Dan Muhammad telah Berikrar

Dan Muhammad telah berikrar
menyampaikan khutbah dari atas mimbar
menyempurnakan risalah para nabi
dari dalam Gua Hira menuju rumah Azali

Lafad-lafad meninggalkan garis wasiat
bagi semua yang dirahmati oleh cahaya
lalu bumi berputar dalam gravitasi syahadat
dan Ka’bah bersinar di hati para mahkota

Abu Bakar menjadi suri penduduk negeri
karena diri dan kuasa menolah singgah
dalam istana mewah; Tak ada butir mutiara
kecuali Tuhan telah mengukir sebelumnya

Umar menghunus pedang di atas kuda sembrani
menentang kelaliman sepanjang atlas benua
yang diterangi; Tak ada sesuatu bisa terlihat
kecuali Tuhan telah menyatu dalam hakikatnya

Usman membangun kerajaan dan kubah-kubah
di muka bumi dan tanah-tanah yang membentang
dalam kesempurnaan; Tak ada celah untuk mengadu
kecuali Tuhan menjadi nyata sesudah itu

Ali membuka pintu dalam rongga setiap dada
menebarkan ilmu dan pengetahuan dengan dzikir
kalam semesta; Tak ada huruf dan kata yang bisa dibaca
kecuali Tuhan bersamanya, sebelum dan sesudahnya  


Kami Masih Juga Berbaring di Rumah Ini

Dan kami masih juga berbaring di rumah ini
menyedot luka yang dingin dari dasar lantai
haluan berputar bagai bulan berputar
mengelilingi bumi dan langit yang bersinar

Lalu meregang dan berdiri di atas gelombang
memutar sampan ke rahim semesta
hingga ruh yang ditiupkan angin
menjadi satu dalam daging percintaan

Meski matahari kehilangan cahaya
dan mengering di dasar rawa-rawa
mahkota kebesaran itu harus dicari
di telapak kaki ibu, perempuan sejati

Mengaji dan terus mengaji di tengah sunyi
merengkuh waktu yang dipanjangkan alam
membuka pintu dalam segumpal darah
sampai senja berserah diri di kekal zaman

Seperti kata dan kalimat berlapis tinta
kami bangun rumah cinta di luar kepala
separuh bumi terpekur dalam pangkuan
membelah bulan dengan warna keemasan

Lalu fajar kembali merah di ufuk timur
mengutuhkan janin dalam sembilan kandungan
sampai mahar menjadi embun penuh berkah
mendendangkan lagu rindu dari segala arah

Bayi-bayi telah dilahirkan dari rahim suci
tanpa fantasi dan kemewahan benda-benda
seperti dalam radio atau iklan televisi
juga pasar dan plaza yang digelar kaum pemangsa

Bayi-bayi telah dilahirkan dengan syair cinta
jauh dari kubur dan aroma kamboja
tanpa kawat dan bersi-besi berkarat
yang menggulung kebahagiaan dalam sekejap

Tak ada lelaki dan perempuan berpasangan
yang berdiri mengetuk pintu di gerbang malam
lalu tersedu dalam linangan airmata
meraung-raung bagai sirine tanda bahaya

Maka itu, sambutlah kedatangan anakmu
bergegaslah bagai Muhammad menjemput Fatimah
menggemburkan kurma dalam mulut bismillah
dan menempelkannya di ujung lidah yang baru

Kambing-kambing menunggu untuk disembelih
dalam rumah cinta yang telah dibersihkan
agar jiwa yang putih menjadi berseri
menerima ketentraman dari pemilik sejati

Seperti Lukmanul Hakim yang terkenal itu
semua anak terpaku dalam panggilan Tuhan
merekatkan selimut paling lembut
hingga rupa dapat berpaling dari lambaian Kan’an

Kalau usia telah mengajak ke alam baka
tak ada suara yang bisa berkabar
kecuali doa bertudung mawar
yang bergerak dari sujud sang anak

Tapi anak bukanlah perahu dalam samudra
bukan pula bahtera rindu
tempat berlayar segala cinta
menuju dermaga di pelabuhan waktu


Tentang Hamdy Salad
Hamdy Salad lahir di Ngawi, Jawa Timur tahun 1963. Lulusan jurusan Pidana Perdata Islam, Fakulatas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kumpulan puisinya, Sebutir Debu di Tepi Jurang (2000), Sajadah di Pipi Mawar (2001). Kumpulan cerpennya, Tahta itu Berkaki Empat (manuskrip). Novelnya, Sebuah Kampung di Pedalaman Waktu (2001). Bukunya yang lain, Agama Seni: Refleksi Teologis dalam Ruang Estetik (2000) dan Syair-syair Jahiliyyah: Khazanah Sastra Arab Klasik Sebelum Islam (manuskrip). Selain menulis puisi, prosa dan esai, juga menulis naskah drama dan menyutradarainya, bersama kelompok Teater Eska Yogyakarta.


Catatan Lain
Buku Rubaiyyat Sebiji Sawi berisi 300 rubaiyyat, dibagi dalam 13 bagian. Di dalam buku aslinya, tiap empat baris diberi nomor dari 1 sampai 300. Dalam pengantar buku itu, yang ditulis oleh Suminto A. Sayuti, dijelaskan pengertian Rubaiyyat: “jenis rubaiyyat (puisi empat baris, atau dalam penulisan Arabiknya berbentuk dua baris berpasangan) lebih dikenal atau disepadankan dengan kuatrain. Akan tetapi, berbeda dengan kuatrain yang lebih menunjuk pada jumlah baris, yaitu empat baris, rubaiyyat lebih mementingkan isi atau kecenderungan tematis, dan bagaimana hal itu diolah sebagai bagaian penting di dalamnya.”
Disebutkan juga bahwa penyair utama dan pertama yang memperkenalkan rubaiyyat ialah Omar Khayyam (w. 1132), yang di barat diterjemahkan dan diperkenalkan oleh Fitz Gerald (th. 1895). Dan sejak itu, pola-pola penulisan rubaiyyat lebih mengarahkan matra dan iramanya pada citarasa yang bersifat spontan, ringkas dan cerdas terhadap percik-percik gagasan religius, etis, dan sufistik, tulis Suminto A. Sayuti.
Adapun judul-judul yang disertakan, bagi Suminto, tidak begitu penting. Ia menulis begini: “Sementara, pembagian itu sendiri, pada hemat saya, tidak begitu penting karena lebih bersifat teknis, dan sekaligus memudahkan pembaca dalam menikmati keseluruhan rubaiyyat yang disajikan. Itulah sebabnya judul masing-masing bagian hanya diambilkan dari larik-larik yang mengawali bagian yang bersangkutan.
            Pernah terbaca sekilas literatur dengan rubaiyyat, jadi ada yang disebut rubai, ada juga yang disebut rubaiyyat, ini untuk membedakan tunggal dan jamak. Hanya saja saya tak ingat mana yang tunggal dan jamak itu, dan kalau tidak salah ingat juga, ada rima khusus untuk rubaiyyat, yaitu a-a-b-a. Namun membaca Rubaiyyat Sebiji Sawi, saya tak melihat adanya pola rima tersebut, barangkali, pola tersebut adalah pola klasik dari rubaiyyat. Entahlah.
            Selanjutnya, Suminto membagi ke-300 rubaiyyat Hamdy Salad ke dalam tiga kecenderungan. Pertama rubaiyyat yang cenderung mengedepankan dimensi muhasabah (kontemplasi ke dalam diri). Kedua, rubaiyyat yang cenderung mengedepankan dimensi musyahadah (kesaksian terhadap realitas), dan puncaknya yang ketiga, yaitu yang cenderung mengedepankan dimensi tafakkur (berpikir dan berzikir). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar