Sabtu, 03 Agustus 2013

Nugroho Suksmanto dan Triyanto Triwikromo: ANAK MENCARI TUHAN, PERTEMPURAN RAHASIA

Satu Buku Dua Kubu:
Kubu Satu : Anak Mencari Tuhan oleh Nugroho Suksmanto
Kubu Dua : Pertempuran Rahasia oleh Triyanto Triwikromo

Data buku kumpulan puisi 1


Judul : Anak Mencari Tuhan
Penulis : Nugroho Suksmanto
Cetakan : I, Mei 2010
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : vii + 87 halaman (60 judul puisi)
ISBN : 978-979-22-5755-7
Lukisan Sampul : Danarto
Desain sampul : Rully Susanto
Setting : Sukoco
Prolog : Putu Wijaya

Beberapa pilihan puisi Nugroho Suksmanto dalam Anak Mencari Tuhan

; anak-anak dan kehidupan

Bagi anak-anak
Kehidupan adalah;
Adzan pada waktu subuh
Lonceng di menara teduh
Sesaji di pintu candi
Layang-layang terbang
Dan
Kerlip kunang-kunang



; doa anak Semesta Alam

Wahai Penguasa Jagad
Yang bersuara di dalam angin
Yang bernapas melahirkan kehidupan

Tegakkan langkahku menapak dalam kehidupan
dan tegarkan mataku menatap sinar mentari pagi
Jagalah tanganku menghargai segala ciptaanmu
dan telingaku tajam mendengar bisikanmu
Tuntunlah aku menggali makna
yang kausembunyikan dalam daun dan batu

Kan kuhimpun kekuatan
tidak untuk membuatku lebih besar dari saudaraku
tapi untuk memerangi musuhku terbesar; diriku sendiri
Jadikan aku insan yang datang kepadamu
dengan tangan yang bersih dan mata yang tegak
Sehingga saat kehidupan sirna bagai tenggelamnya senja
arwahku tak malu mengahadap-Mu

Dikembangkan dari sajak Indian “With clean hands”


; wajah Sastra terkini

Tak muncul Wiji Tukul
Tak lahir orasi Munir
Tak terdengar resah Marsinah

Yang hadir penyair langganan
Tampil elite di Koran Kompas
Menyingkirkan karya-karya “picisan”


; Sastra kita

Ketika sastra hanya olahkata
Makna tak berarti

Ketika kata belaka menghiasi media
Sastra seakan mati

Ketika media menjadi alat penguasa
Sastrawan mengabdi … atau dikebiri!


; di China dan di Kita

Di China
Bebas tak beragama
Orang-orangnya santun
Saat menentang Agama

Di Kita
Agama sedikitnya lima
Orang-orangnya beringas
Saat membela agama

Di China
Pemimpinnya keji
Saat memberantas korupsi
Tak segan menembak mati

Di Kita
Para pemimpin baik hati
Berderma dari hasil korupsi
Pergi haji berkali-kali


; Bumi

Di sana aku berpijak
Sejak tangis pertama
Setelah ketuban pecah

Jeritku melepas siksa
Mengiring air mata haru

Tersipu dia menatapku
Sambil bergumam;
Kini aku jadi ibu!

Lalu aku menyusu
Lalu aku berguru
Lalu aku berkarya
Melukis cakrawala

Saat diam aku bertanya
Kepada siapa kuharus berbakti
Terbayang Ayah memberi jawaban
Dan Tuhan mengiakan
Kaulah yang dimaksudkan, Ibu;
Sebagai pribadi dan pertiwi!


; Guru bagiku

Guru,
Untuk ilmu kaubukakan pintu
Dan aku tinggal memasuki

Tentang agama kausingkap makna
Dan aku tinggal menghayati

Budi pekerti kauteladani
Dilakukan dengan kesadaran

Kumengerti
Kau tak memberi kepintaran
Tetapi hanya
; membuka wawasan
; memandu penghayatan
; menggugah kesadaran


; duka anak orang kaya

Kusaksikan keriangan yang tak kudapatkan
Saat banjir merendam Jakarta
Anak-anak berenang
Bermain air
Tersedak
Berduka pun mereka tertawa

Sedang aku,
Berenang di kolam … sendirian
Tetangga
hanya mendengar debur airnya
Tawaku tersembunyi
Di balik duka
Jadi anak orang kaya


; Buku

Buku membuatku bahagia
Dia mengajakku berkelana
Menguak belantara kehidupan
Yang hanya dapat dibayangkan
dengan gambar dan kata-kata
Sebagai kelana kadang aku menjadi penakluk
membuat musuh-musuh bertekuk
Kadang aku menjadi pemabuk
yang hidupnya tersuruk-suruk
Kadang kubayangkan menjadi binatang
yang menginginkan kasih sayang
Atau sebagai tanaman
yang membutuhkan sentuhan tangan
Selesai membaca
Buku-buku kusimpan
berbaris dalam pustaka
Suatu saat kan kuperlukan sebagai rujukan
Ketika tanganku tergerak menorehkan kata;
menggubah karya
merajut tulisan
Itulah yang kuidamkan
Membagi pengalaman
Berperan mencerdaskan
Sebagai cendekia yang kaya akan wawasan


; mencari Tuhan (3)

Tuhan itu ada tapi tiada,
Kata Filsuf
Karenanya, pertanyaan-pertanyaan tentang Dia
Terus disampaikan
Tapi tak pernah terjawab

Tuhan itu tiada tapi ada,
Kata Ulama dan Pendeta
Karenanya, jawaban-jawaban tentang Dia
Terus disampaikan
Tapi tak pernah dipertanyakan

Bagi perindu jalan sejati
Para Sufi mengajak
Mencari Tuhan lewat pintu hati


Tentang Nugroho Suksmanto
Nugroho Suksmanto lahir 12 November 1952 di Semarang. Setelah meraih gelar insinyur di jurusan arsitektur ITB, melanjutkan studi di University of Southern California, USA. Kumpulan cerpennya; Petualangan Celana Dalam dan Impian Perawan. Menulis antologi cerita, L.A Undercover bersama Budi Darma, Chavchay Syaifullah, Eka Kurniawan dan Triyanto Triwikromo. Juga menulis Renung Canda Pelawak Bersorban. Saat ini tinggal di Jakarta.


Catatan Lain
Putu Wijaya menyumbang esai pengantar yang dijudulinya Teror Mencari Tuhan, ditulis di Jakarta 7 Februari 2010. Ia membuka tulisannya dengan pernyataan bahwa catatannya bukan analisis seorang kritikus. Ia hanya mencoba membagi kesan! Bagian tulisan Putu Wijaya yang saya sukai adalah ini: “Saya membaca ratusan sajak yang dimuat di Koran sejak dua tahun lalu (2008 dan 2009), karena menjadi salah seorang juri Anugerah Sastra Pena Kencana. Saya lihat kecenderungan puisi Indonesia menjadi prosa liris. Kian lama kian cerewet. Bertutur panjang seperti cerita pendek atau esai. Ada yang berpretensi menjadi sangat intelektual. Seperti orang menyusun disertasi. Kata-katanya berdandan, jumpalitan tapi kadang-kadang makna yang disampaikan sama sekali tak menarik, karena yang penting adalah gaya.//’Kostum puisi’ di atas menjadi semacam tren sehingga sajak bukan lagi ungkapan keharuan terhadap sebuah kebenaran, tetapi hanya pameran ketrampilan merangkai kata. Ada lagi yang cenderung menjadi ingin terkesan pintar. Tak mau ketinggalan zaman. Tak pelak pola puisi menjadi tiruan puisi-puisi terkenal dari mancanegara.//Saya tidak memusuhi atau mencela tren itu, karena banyak yang memang pas dan bagus. Saya hanya ingin mengatakan, Nugroho menulis sajak dengan membebaskan diri dari tren tersebut. Ia sama sekali tidak ingin menontonkan kecerdasannya. Ia lebih tertarik dengan ceplas-ceplos spontan, atau katakanlah, ia tetap percaya kepada kecerdasan pembaca.


Data buku kumpulan puisi 2



Judul : Pertempuran Rahasia
Penulis : Triyanto Triwikromo
Cetakan : I, Mei 2010
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : vi + 98 halaman (33 judul puisi)
ISBN : 978-979-22-5755-7
Lukisan Sampul : Danarto
Desain sampul : Rully Susanto
Setting : Sukoco
Prolog : Sapardi Djoko Damono
                
Beberapa pilihan puisi Triyanto Triwikromo dalam Pertempuran Rahasia

Hikayat Togog

Mereka bilang aku lahir dari kulit telur yang dierami malaikat
berkepala anjing
Mereka bilang namaku Tejamantri yang mulutnya senantiasa
sobek saat gagal menelan gunung runcing dan puncak kuil
menjelang senja gumpil

Karena itu atas permintaan Dewi Rekatawangi, ibuku, aku di-
usir, dari Surga dan hidup bersama gelandangan dan para raksasa
Karena itu atas perintah Sang Hyang Tunggal, ayahku, aku
dititahkan hanya untuk hidup bersama kejahatan
dan kecurangan semesta

Ah, bukankah aku sesungguhnya cahaya yang disembunyikan
Semar dan Manikmaya
Bukankah aku kembaran para pemelihara dunia
Bukankah aku cermin indahmu juga

Jadi jelas aku bukan sekadar kelelawar yang menutup jalan
masukmu ke suwung kencana
Aku bukan lebah buta yang mengganggu tidur abadimu
sebelum pencabut nyawa melengkingkan denting kecapi gila

Apakah aku hanya azab, Ibu? Apakah aku hanya kutil kesengsaraanmu?

2008


Tangis Aswatama

kau memang mendengar tangisku serupa ringkik kuda kau
memang mendengar jejak kakiku serupa ladam beradu dengan
batu kau memang mendengar  ayahku terbunuh hanya karena
menyangka aku telah mati dalam Bharatayuda kau memang
mendengar aku dihajar gada hanya karena lahir dari dewi yang
bercinta dengan pria bersayap angin di sungai gangga kau memang
mendengar tak ada ampun bagi anak yang tidak pernah percaya
kepada kebenaran sang pohon hayat, ayahanda yang diimani
sebagai anjing hutan yang melolong tak henti-henti hingga fajar
tiba kau memang mendengar tangis terakhirku sebagai kuda

Tapi kau telah mengiris telingamu, Ibu
kau telah mengiris sejarah cinta
dari silsilah getirmu

2008


Ramalan Durga

Telah Kaubuang aku ke Setra Gandamayit dalam timbunan bang-
kai dalam kepungan demit. Kau sendiri yang akan mati setelah
aku menjelma Uma setelah aku menjelma kata-kata fana yang
rumit.

2009


Perlawanan Lambu Andini

Jika pada suatu hari kau melihat bianglala itu berkepala sapi
betina itu berarti Batara Guru sedang menghajarku, itu berarti
aku sedang mereguk air laut agar ikan-ikan, naga hijau, dan
kemarahan dunia terhisap ke dalam perutku, terhisap ke dalam
relung-relung usus, ke dalam kesunyian lendir-lendir nirwanaku.
Sebagai ikan turbah, aku tahu, kau lebih senang berenang
dan bersembunyi di bunga-bunga karang di perutku, kau lebih
senang bertapa mencari taksu mencari marwah mencari cinta
yang disembunyikan Batara Guru di dalam taring Durga di
dalam kekalahan-kekalahanmu dalam pertempuran tak berguna
itu. Ayolah, Uma, bersekutu dengan aku, Lembu Andinimu.

2009


Tamsil Ramabargawa

Tak seorang pun akan mengutukku mengapa aku membunuhmu,
Ibu. Tak seorang pun akan membiarkan Dewi Renuka bercinta
dengan Raja Citraratra di telaga penuh ganggang dan sulur-sulur
merah kesumba, sementara Jamadagni, sang suami, berusaha
menjelma kupu-kupu di dalam samadi di gua pertapaan penuh
lipan dan lintah jelita

Tak seorang pun akan membunuh Ramabargawa karena
telah mencekik perempuan yang berkhianat kepada suami yang
menetaskan kebenaran hanya dengan duduk terpejam di batu
gunung di keheningan telinga waktu

Tak seorang pun akan mengutuk anakmu: surga sejatimu

2008


Pembakaran Sinta

1
Aku ingin menjadi abu
dari arang yang kaubakar
dengan amarahmu, Ibu

Aku ingin jadi ibu
bagi api Rama
yang menghanguskan kesetianku

Tapi hujan begitu cepat menghapus gigitan cinta Rahwana di
leherku. Hujan begitu cepat menenggelamkan kenangan indah
percakapan rahasiaku dengan ular-ular kencana yang
menjulur-julur di pohon angsoka itu

Jadi bagaimana aku akan moksa sebagai angsa jelita bagaimana
aku lahir kembali sebagai ikan bersirip merah di kegaiban telaga
bagaimana aku menjelma sabda yang menetas di bulir-bulir padi
dari sawah tanpa lintah tanpa hama

2
Bukankah bagimu aku hanya kayu lapuk, ibu
Bukankah aku bagimu hanya wajah remuk
yang kausembunyikan dalam peti rahasia di ladang kering itu

Maka jangan harap aku mengenal wajahmu
dalam kabut asap pembakaranku
jangan harap aku mengenalmu sebagai anjing buntung
atau kera bermata biru

Jangan harap aku mengenalmu sebagai surga
sejak raja janaka memungutku
dari rahim semestamu

3
Dan hujan api itu, Ibu
hujan api itu tak hendak menjilat bibir ranumku tak hendak
memanaskan gelegak berahi suciku pada Rama – menantu
pengecut kesayanganmu

Dan setelah pembakaran itu sembunyikan lagi aku
ke dalam tanah terbelah
surga yang tak pernah dijamah oleh raksasa santun
dan ksatria pengecut yang selalu kaupuja itu

Dan kelak, katakan kepada cucu-cucumu:
kau memang tak pernah mengenal Sinta kau memang tak
pernah mengenal kisah kesetiaan seekor angsa pada
keheningan telaga

Maka aku ingin menjadi abu
dari arang yang kaubakar
dengan amarahmu, Ibu

Aku ingin jadi ibu
bagi api Rama
yang menghanguskan kesetianku. Aku ingin …

2009


Kutukan Rahwana

1
        Aku telah cukup tabah meminta Wararodra memancung
leher Trikala dan Kalaseki hanya agar Sinta menganggap Rama
dan Laksamana binasa, Paman Prahasta, aku telah cukup tabah
menyajikan sepasang kepala penuh ceceran darah itu di nampan
kencana hanya agar Sinta gemetar dan memujaku sebagai Dewa
Cinta, tetapi mengapa malah kauimpitkan sepasang gunung
runcing di Gunung Suwela yang telah menindihku? Karena itu
kukutuk kau jadi batu agar lebih mudah kauremukkan sepuluh
kepala yang senantiasa menghardikmu…

2
        Seperti dalam kisah-kisah pertempuran masa lalu, aku tak
pernah bisa mati, Ibu, aku tetaplah hujan penuh darah yang
tak pernah mau mendengarkan megatruh rapuhmu aku tetaplah
swara-swara gelap dari gua pertapaan para mambang dan segala
hantu

        Jika pada akhirnya aku mati oleh panah Rama atau gada dewa
yang tak kelihatan, hanya satu yang akan kukutuk sepanjang
waktu: engkau, wahai ibuku, ibu yang tak melahirkanku sebagai
erang gunung atau desau waktu. Jika pada akhirnya aku tak juga
bisa menyunting Sinta atau dewi paling suci tanpa nama hanya
satu yang akan kukutuk sepanjang waktu: engkau, wahai ibuku,
ibu yang tak melahirkanku sebagai ksatria bermata biru

3
        Apakah setiap yang najis hanya boleh bersekutu dengan senja
yang amis, Ibu? “Tidak, anakku, kau akan jadi raja harum, kau
akan jadi resi wangi, kau akan jadi kekasih sejati …” tapi kelak aku
akan remuk, Ibu, kelak aku akan terpuruk… “Tidak, anakku, kau
bukan pecundang, kau dan istana indahmu akan senantiasa dikenang
oleh musuh-musuhmu…”

2008


Pertobatan Kresna

1
        Ia masih ingin mengatur bagaimana menumpas habis Kurawa
ketika tak ada lagi pertempuran di Kurusetra. Ia masih ingin
mendengar roda kereta kencana menggilas kepala musuh ketika
tinggal kepulan debu yang tersisa. Ia masih ingin melihat panah-
panah api melesat di angkasa dan menghunjam di tubuh rapuh
para prajurit yang telah mengabur dalam ingatan para pujangga.
Ia masih berharap memenangkan perseteruan yang tidak pernah
dibayangkan oleh Kunti atau Gendari yang senantiasa menangis
sesenggukan sebelum genderang Bharatayuda ditabuh kesetanan
oleh para niyaga. Setelah itu, aku titisan dewa yang kauberi nama
Kresna, akan belajar memahami kematian. Aku akan mengenal war-
na muram keranda, panas api pembakaran, dan keindahan guci yang
bakal kaugunakan untuk menyimpan abu hangat pembantaian.

2
        Pada mulanya aku tidak menyangka Aswatama akan membunuhku
dalam mimpi-mimpi terakhirku sebagai raja. Pada mulanya aku juga
tidak percaya Antarareja berniat memenggal kepala dan memotong
lidahku sebelum para dewa membetot jantungku. Aku tidak paham
pula mengapa Karna menusuk punggungku dengan keris berbisa. Apa-
kah tak ada lagi yang setia pada prabu sakti yang mereka elu-elukan
dari ujung istana hingga pangkal hutan penuh kera? Bisma yang
telah lebih dulu gugur tertawa dan merasa tak perlu bertanya
mengapa lesatan panah-panah yang menghunjam ke tubuh ia
rasakan sebagai tebaran melati dari surga. Abimanyu yang tewas
mengenaskan tersenyum dan tak perlu memprotes mengapa pem-
bunuhan yang dilakukan kepadanya terjadi pada musim kemarau
yang tandus dan bukan saat gerimis yang lembut dan jekut. “Kau
tak akan pernah bisa mati, Tuan. Karena itu kau tidak akan per-
nah merasakan keindahan. Keindahan kematian,” Krepa men-
desis dan para kawi segara mencatat betapa Kresna menyesal
mengapa ia tak dilahirkan sebagai manusia biasa.

3                              
        Apakah titisan dewa boleh bunuh diri, Ibu? Maka ia pun mendaki
gunung suwung dan menggelindingkan tubuh hingga membentur
batu-batu di lembah dan jurang. Berkali-kali. Berhari-hari. Tak
mati-mati. Maka ia bertikai dengan para mambang dan Dewa
Perang. Berbilang-bilang. Berbulan-bulan. Tak tumbang-tumbang.
Apakah titisan dewa tak boleh mati?

4
        Baiklah, Gusti, akan kuhabiskan napasku dengan menulis kitab
tentang kebisuan-Mu hingga kata-kata tak tersisa, hingga tak perlu
kuburu makna surga atau apa pun yang mengekalkan kejumawaanku
sebagai Kresna.

5
        Maka ia pun kini sedang mencari cara bagaimana menga-
barkan kemenangan dalam pertempuran terakhir melawan Yama
-- dewa yang juga tidak mati-mati itu – kepada Arjuna. Inilah
ayat dan firman sejatiku kepadamu, Bunga, inilah ajaran yang harus
kautebarkan kepada sepi dan waktu yang celaka.

2008


Rajah Betara Kala

Aku lahir dari api yang tak bisa dipadamkan oleh siapa pun
Tapi kau tahu batara guru menebar muslihat dan bilang, “Engkau
anakku, Kala, engkau adalah waktu yang kutunggu-tunggu. Kemarilah,
aku akan mengasah calingmu agar kelak jadi keris Pandawa agar kelak
menjadi senjata yang akan menggugurkan para ksatria perkasa.”

Aku dilahirkan di tengah-tengah samudera entah oleh Uma entah
oleh Durga. Aku pun mengira seekor ikan raksasa telah melahirkan
aku dari benih dewa gunung dari telur yang menggelinding dari
surga Suralaya. “Engkau anakku, Kala, engkau adalah putra yang kuutus
untuk membunuh manusia yang melanggar pantanganku. Kemarilah,
kelak akan kuberi kau pengantin yang lahir dari harum kubur dan
wangi bangkai manusia.”

Lalu Batara Guru memaksaku kawin dengan Durga. Ia ajari aku
bercinta dengan ibunda bertaring naga.

Kau tahu, Yamadipati, aku dan Durga selalu mengasah taring bersama
sambil mendenguskan ayat-ayat purba hanya untuk memuja para
betara. Karena itu selalu sehabis bercumbu kami lapar dan
senantiasa ingin memangsa manusia busuk, memangsa segala
yang dikutuk Batara Guru hanya untuk menjadi keheningan sesaji
dan korban para raksasa.

“Apakah kau mencintai Durga?” kau bertanya.
Aku mencintai taring indahnya.

“Apakah membenci Batara Guru?”
Aku tak membenci siapa pun yang akan menghanguskan Tanah
Kuru.

“Apakah kau tahu siapa yang akan membunuhmu?”
Aku tak tahu siapa yang akan menyelamatkanku.

“Kau tahu siapa yang akan membunuhmu?”
Aku tahu siapa yang menguburku.

“Kau tahu dengan apa mereka membunuhmu?”
Aku tahu dengan apa mereka memujaku.

Maka pada suatu hari pada saat dunia hendak binasa
kudengar juga seorang pertapa mendesiskan rajah kematianku

yamaraja jaramaya
yamarani rinumaya
yasiraya yarasia
yasirapa parasia
lawagna lawagni
sikutara sikutari
sikutaka sibintaki
sidurbala sidurbali
sirumaya sirumayi
sihudaya sihudayi
sisrimaya gedah maja
sidayudi sidayuda
hadayudi nihudaya

Kaudengar tangisku mulai menyayat, Yama? Kau tahu segala
kesaktianku telah rontok hanya karena para petani memuja pertapa
dan menangis tersedu-sedu saat memainkan Murwakala?

Aku berserah padamu, Yama. Aku berserah pada yamaraja jaramaya
yamarani rinumaya
yasiraya yarasia yasirapa parasia lawagna lawagni sikutara sikutari
sikutaka sibintaki sidurbala sidurbali sirumaya sirumayi sihudaya sihudayi
sisrimaya gedah maja

Aku berserah pada sidayudi sidayuda
hadayudi nihudaya

aku berserah pada keajaiban cinta Durga

“Tak takut dosa?” engkau bertanya
Aku hanya takut pada Kala …

Aku hanya takut pada yamaraja jaramaya yamarani rinumaya
yasiraya yarasia yasirapa parasia lawagna lawagni sikutara sikutari
sikutaka sibintaki sidurbala sidurbali sirumaya sirumayi sihudaya
sihudayi sisrimaya gedah maja

Aku hanya takut pada sidayudi sidayuda
hadayudi nihudaya

Aku hanya takut
pada manusia yang tak pernah berhasrat membunuh Kala

2009


Bisma Moksa

1
      Maaf, tak sanggup aku menunda kematianmu, Amba, tak
sanggup kupadamkan amuk unggun yang kaunyalakan dengan
dendam kesumat, tak sanggup kuhentikan keinginanmu untuk
mati wangi dalam kobar api yang kaunyalakan sendiri dengan
hikmat

      Api kembali pada api
      nyeri kembali pada nyeri
      dengki kembali pada dengki

                                                2
      Dan pada malam hampir hilang aku tak berani bercakap
tentang takhta dan cinta, Amba, aku ragu memilih menjadi raja
atau resi tanpa taman tanpa kupu-kupu bersayap wangi senja.
Aku tak berani, sungguh tak berani, menatap kilau mata dan
bebuncah berahi yang menusuk-nusuk ke ulu hati

      Cinta lepas dari cinta
      duka lepas dari duka
      jiwa lepas dari jiwa

                                                3
      “Kaukira aku tak bisa membunuhmu,” katamu sambil terbang
mencari titisan dendam, “kaukira Amba tak bisa membentang
busur, menghunus keris, dan melayangkan gada ke tubuh rapuh-
mu?”

      Hujan berhenti menjadi hujan
      awan berhenti menjadi awan
      lautan berhenti menjadi lautan

                                                4
      Aku tahu kau akan bisa membunuhku, Amba, panahmu akan
menancap di jantungku, dan para dewi akan menyayatkan megatruh
perih ke lambungku.
      Tapi tidak sekarang, Amba, tidak saat Sungai Jamuna memberimu
wisik dan wahyu tentang hari kematianku. Tidak sekarang. Tidak
saat angin memahatkan nama perempuan perkasa pembunuhku di
gunung-gunung dan kabut yang meratapi kesedihanmu.

      Maka sekuntum melati jatuh dari langit dan terkubur
      seekor burung jatuh dari awan dan terkubur
      sesosok bayang-bayang jatuh dari gunung dan terkubur

                                                5
      Engkaukah, Amba, yang menggerakkan peristiwa-peristiwa
rahasia itu?
      “Hamba Srikandi, Tuan, hamba hanya utusan, hanya titisan,”
katamu meledek kegentaranku, “Apakah tidak sebaiknya
Sampean meminta maaf atas segala kesalahan?”
      Tidak, Amba, kematian ini telah kutunggu, telah kutunggu
sejak aku tahu hidup hanyalah kutukan kitab pada seayat
wahyu pada selarik doa kekecewaanmu.

                                                6
      Maka pada akhirnya aku pun moksa dalam hujan panah yang
juga tak terlihat mata
      Aku berharap bisa terbang bersamamu dalam hujan darah
yang tumpah di Kurusetra yang sebentar lagi punah dalam suluk
kemenangan para pemujamu
      O, Engkaukah, Amba, yang menggerakkan peristiwa-peristiwa
rahasia itu?
      “Hamba Srikandi, Tuan, hamba hanya utusan, hanya titisan,
hanya penutup riwayat remuk Sampean.”

      Maka yang busuk kembali ke tanah
      yang remuk kembali ke tanah

      kembali ke tanah
      kembali ke tanah

      dalam hujan panah
      dalam hujan darah

                                                7
      Apakah kau akan minum darahku
      dari tuwung merah itu, Amba?

      “Aku Srikandi. Janganlah Tuan terus memejamkan sepasang
mata Sampean.”

                                                8
      Mataku tak lamur, Amba
      mari kita melesat moksa bersama

      “Aku Srikandi, Tuan, akulah gerimis amis yang menghentikan
cerita Sampean.”

                                                9





2009

  
Tentang Triyanto Triwikromo
Triyanto Triwikromo, menulis puisi dan cerpen. Antologi puisi bersamanya antara lain Panorama Dunia Keranda. Kumpulan cerpennya: Rezim Seks, Ragaula, Sayap Anjing, Anak-anak Mengasah Pisau, Malam Sepasang Lampion, dan Ular di Mangkuk Nabi. Kumcer yang disebut terakhir mendapat penghargaan sastra 2009 dari Pusat Bahasa.


Catatan lain
Sapardi Djoko Damono membuka esai pengantarnya dengan kalimat ini: “Dalam buku puisi ini, Triyanto telah memutuskan untuk menjadi dalang.” Terus bagaimana? Sapardi menulis di bagian lain “….Triyanto menghidupkan kembali tokoh-tokoh yang terlibat dalam sejumlah peristiwa yang, setidak-tidaknya dalam pementasan wayang kulit, lebih banyak menampilkan tindakan tinimbang renungan. Peristiwa, dengan demikian menjadi lebih penting – antara lain karena wayang adalah tontonan. Namun, bagi dalang Triyanto yang penting bukan peristiwa tetapi tokoh, bahkan mungkin bukan si tokoh tetapi apa yang mendidih dalam benak si tokoh.” 



5 komentar:

  1. luar biasa, puisi-puisinya bikin merinding ..(Y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya lebih merinding jika puisi-puisimu yang di blog itu, dibukukan... hehe.

      Hapus
    2. ada jalankah buat di bukukan ?, kasih sarannya dong :D

      Hapus
    3. Dengan ijinNya, nanti puisi-puisimu sendiri yang akan menuntun jalannya... :D

      Hapus
    4. amin amin...... suwun njeh :)

      Hapus