Rabu, 04 Desember 2013

Rendra: ORANG-ORANG RANGKASBITUNG



 


Data buku kumpulan puisi

Judul: Orang-orang Rangkasbitung
Penulis: Rendra
Cetakan: I, September 1993
Penerbit: Bentang Intervisi Utama, pt. Yogyakarta.
Tebal: vi + 63 halaman (10 puisi)
Disain grafis: Buldanul Khuri
Ilustrasi cover: Haitamy El Jaid
Tata letak: Heppy L. Rais dan Dwi Agus M.

Beberapa pilihan puisi Rendra dalam Orang-orang Rangkasbitung

Kesaksian Bapak Saijah

Ketika mereka bacok leherku,
dan parang menghunjam ke tubuhku
berulang kali,
kemudian mereka rampas kerbauku,
aku agak heran
bahwa tubuhku mengucurkan darah.
Sebetulnya sebelum mereka bunuh
sudah lama aku mati.

Hidup tanpa pilihan
menjadi rakyat Sang Adipati
bagaikan hidup tanpa kesadaran,
sebab kesadaran dianggap tantangan
                                        kekuasaan.
Hidup tanpa daya
sebab daya ditindih ketakutan.
Setiap hari seperti mati berulang kali.
Setiap saat berharap menjadi semut
agar bisa tidak kelihatan.

Sekarang setelah mati
baru aku menyadari
bahwa ketakutan membantu penindasan,
dan sikap tidak berdaya
menyuburkan ketidakadilan.

Aku sesali tatanan hidup
yang mengurung rakyat sehingga tak berdaya.
Meski tahu akan dihukum tanpa dosa,
meski merasa akan dibunuh semena-mena,
sampai saat badan meregang melepas nyawa,
aku tak pernah mengangkat tangan
untuk menangkis atau melawan.
Pikiran dan batin
tidak berani angkat suara
karena tidak punya kata-kata.

Baru sekarang setelah mati
aku sadar ingin bicara                                      
memberikan kesaksian.

O, gunung dan lembah tanah Jawa!
Apakah kamu surga atau kuburan raya?
O, tanah Jawa,
bunda yang bunting senantiasa,
ternyata para putramu
tak mampu membelamu.


O, kali yang membawa kesuburan,
akhirnya samudera menampung air mata.
Panen yang berlimpah setiap tahun
bukanlah rezeki petani yang menanamnya.

O, para Adipati Tanah Jawa!
Tatanan hidup yang kalian tegakkan
ternyata menjadi tatanan kemandulan.
Tatanan yang tak mampu mencerdaskan
                                      bangsa.
Akhirnya kita dijajah oleh Belanda.
Hidup tanpa pilihan
adalah hidup penuh sesalan.
Rasa putus asa
menjadi bara dendam.
Dendam yang tidak berdaya
membusukkan kehidupan.
Apa yang seharusnya diucapkan
tidak menemukan kata-kata.
Apa yang seharusnya dilakukan
tidak mendapat dorongannya.

Kesaksianku ini
kesaksian orang mati
yang terlambat diucapkan.
Hendaknya ia menjadi batu nisan
bagi mayatku yang dianggap hilang
karena ditendang ke dalam jurang.

Depok, 17 Januari 1991


Sajak Tahun Baru 1990

Setelah para cukong berkomplot dengan
para tiran,
setelah hak asasi di negara miskin ditekan
demi kejayaan negara maju,
bagaimanakah wajah kemanusiaan?

Di jalan orang dibius keajaiban iklan
di rumah ia tegang, marah dan berdusta.
Impian mengganti perencanaan.
Penataran mengganti penyadaran.

Kota metropolitan di dunia ketiga
adalah nadi
dari jantung negara maju.
Nadi yang akan mengidap kanker
yang akan membunuh daya hidup desa-desa
dan akhirnya, tanpa bisa dikuasai lagi,
menjadi jahat, hina dan berbahaya.
Itulah penumpukan yang tanpa peredaran.

Tanpa hak asasi tak ada kepastian
kehidupan.
Orang hanya bisa digerakkan
tapi kehilangan daya geraknya sendiri.
Ia hanyalah babi ternak
yang asing terhadap hidupnya sendiri.
Rakyat menjadi bodoh tanpa opini.
Di sekolah murid diajar menghafal
berdengung seperti lebah
lalu akhirnya menjadi sarjana menganggur.
Di rumah ibadah orang nyerocos menghafal
dan di kampung menjadi pembenci
yang tangkas membunuh dan membakar.
Para birokrat sakit tekanan darah
Sibuk menghafal dan menjadi radio.
Kenapa pembangunan tidak berarti
kemajuan?
Kenapa kekayaan satu negara
membuahkan kemiskinan negara tetangganya?

Peradaban penumpukan tak bisa
dipertahankan.
Lihatlah: kemacetan, polusi dan erosi!
Apa artinya tumpukan kekuasaan
bila hidupmu penuh curiga
dan takut diburu dendam?
Apa artinya tumpukan kekayaan
bila bau busuk kemiskinan
menerobos jendela kamar tidurmu?
Isolasi hanya menghasilkan kesendirian
tanpa keheningan.
Luka orang lain adalah lukamu juga.

Sedangkan peradaban peredaran tak bisa
dibina
tanpa berlakunya hak asasi.
Apa artinya kekayaan alam
tanpa keunggulan daya manusia?
Bagaimana bisa digalang daya manusia
tanpa dibangkitkan kesadarannya
akan kedaulatan pribadi
terhadap alam
dan terhadap sesamanya?

Wajah-wajah yang capek
membayang di air selokan
dan juga di cangkir kopi para cukong.
Bau kumuh dari mimpi yang kumal
menyebar di lorong-lorong pelacuran
dan juga di bursa saham.

Sungguh
Apa faedahnya kamu jaya di dalam
kehidupan
bila pada akhirnya kamu takut mati
karena batinmu telah lama kamu hina?

Depok, 27 Desember 1989


Demi Orang-orang Rangkasbitung

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
Salam sejahtera!
Nama saya Multatuli
Datang dari masa lalu.
Dahulu abdi Kerajaan Belanda,
ditugaskan di Rangkasbitung,
ibukota Lebak saat itu.
Satu pengalaman penuh ujian.
Rakyat ditindas oleh bupadi mereka sendiri.
Petani hanya bisa berkeringat,
tidak bisa tertawa,
dan hak pribadi diperkosa.

Demi kepentingan penjajahan,
Kerajaan Belanda bersekutu dengan
kejahatan ini.
Sia-sia saya mencegahnya.
Kalah dan tidak berdaya.

Saya telah menyaksikan
bagaimana keadilan telah dikalahkan
oleh para penguasa
dengan gaya yang anggun
dan sikap yang gagah.
Tanpa ada ungkapan kekejaman
di wajah mereka.
Dengan bahasa yang rapi
mereka keluarkan keputusan-keputusan
yang tidak adil terhadap rakyat.
Serta dengan budi bahasa yang halus
mereka saling membagi keuntungan
yang mereka dapat dari rakyat
yang kehilangan tanah dan ternaknya.
Ya, semuanya dilakukan
sebagai suatu kewajaran.

Dan bangsa kami di negeri Belanda
pada hari Minggu berpakaian rapi,
berdoa dengan tekun.
Sesudah itu bersantap bersama,
menghayati gaya peradaban tinggi,
bersama sanak keluarga,
menghindari perkataan kotor,
dan selalu berbicara
dalam tata bahasa yang patut,
sambil membanggakan keuntungan besar
di dalam perdagangan kopi,
sebagai hasil yang efisien
dari tanam paksa di tanah jajahan.
Dengan perasaan mulia dan bangga
kami berbicara
tentang suksesnya penaklukan dan penjajahan.
Ya, begitulah.
Kami selalu mencuci tangan sebelum makan
dan kami meletakkan serbet
di pangkuan kami.
Dengan kemuliaan yang sama pula
ketika kami memerintahkan para marsose
agar membantai orang-orang Maluku dan
orang-orang Java
yang mencoba mempertahankan
kedaulatan mereka!
Ya, kami adalah bangsa
yang tidak pernah lupa mencuci tangan.

Kita bisa menjadi sangat lelah
apabila merenungkan gambaran kemanusiaan
dewasa ini.
Orang Belanda dahulu
juga mempunyai keluh kesah yang sama
apabila berbicara tentang keadaan mereka
di zaman penjajahan oleh Spanyol.
Mereka memberi nama yang buruk
kepada Pangeran Alba yang sangat menindas.
Tetapi sekarang pakah mereka lebih baik
dari Pangeran yang jahat itu?

Tentu tidak hanya saya
yang merasa gelisah
terhadap dawat hitam
yang menodai iman kita.
Pikiran yang lurus menjadi bercela
karena tidak pernah bisa tuntas
dalam menangani keadilan.
Sementara waktu terus berjalan
dan terus memperlihatkan keluasan
keadaannya.
Kita tidak bisa seimbang
dalam menciptakan keluasan ruang
di dalam pemikiran kita.
Memang kita telah bisa berpikir
lebih canggih dan kompleks,
tetapi belum bisa lebih bebas
tanpa sekat-sekat
dibanding dengan keluasan waktu.
Bagaimana keadilan bisa ditangani
dengan pikiran yang selalu tersekat-sekat?
Ya, saya rasa kita memang lelah.
Tetapi kita tidak boleh berhenti di sini.

Bukankah keadaan keadilan di sini
belum lebih baik dari zaman penjajahan?
Dahulu rakyat Rangkasbitung
tidak mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati Lebak.
Sekarang
apakah rakyat kecil
sudah mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati-adipati masa kini?
Dahulu
Adipati Lebak bisa lolos dari hukum.
Sekarang
Adipati-adipati yang kejam dan serakah
apakah sudah bisa dituntut oleh hukum?
Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu
adalah kemerdekaan negara dan bangsa?
Negara anda sudah merdeka.
Tetapi apakah bangsa anda juga
sudah merdeka?
Apakah bangsa tanpa hak hukum
bisa disebut bangsa merdeka?

Para pemimpin negara-negara maju
bisa menitikkan air mata
apabila mereka berbicara tentang democratie
kepada para putranya.
Tetapi dari kolam renang
dengan sangat santai dan penuh kewajaran
mereka mengangkat telefoon
untuk memberikan dukungan
kepada para tiran dari negara lain
demi keuntungan-keuntungan materi bangsa
mereka sendiri.

Oh! Ya, Tuhan!
Saya mengatakan semua ini
sambil merasakan rasa lemas
yang menghinggapi seluruh tubuh saya.
Saya mencoba tetap bisa berdiri
meskipun rasanya
tulang-tulang sudah hilang dari tubuh saya.
Saya sedang melawan perasaan sia-sia.
Saya melihat
negara-negara maju memberikan
bantuan ekonomi.
Dan sebagai hasilnya
banyak rakyat dari dunia berkembang
kehilangan tanah mereka,
supaya orang kaya bisa main golf,
atau supaya ada bendungan
yang memberikan sumber tenaga listrik
bagi industri dengan modal asing.
Dan para rakyat yang malang itu, ya Tuhan,
mendapat ganti rugi
untuk setiap satu meter persegi dari tanahnya
dengan uang yang sama nilainya
dengan satu pak sigaret bikinan Amerika.

Barangkali kehadiran saya sekarang
mulai tidak mengenakkan suasana?
Keadaan ini dulu sudah saya alami.
Apakah orang seperti saya harus dilanda
oleh sejarah?
Tetapi ingat:
sementara sejarah selalu melahirkan
masalah ketidakadilan,
tetapi ia juga selalu melahirkan
orang seperti saya.
Menyadari hal ini
tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia.

Tuan-tuan, para penguasa di dunia,
kita sama-sama memahami sejarah.
Senang atau tidak senang
ternyata tuan-tuan tidak bisa
meniadakan saya.
Nama saya Multatuli
saya bukan buku yang bisa dilarang
dan dibakar.
Juga bukan benteng yang bisa
dihancurleburkan.
Saya Multatuli:
sebagian dari nurani tuan-tuan sendiri.
Oleh karena itu
saya tidak bisa disamaratakan dengan tanah.

Tuan-tuan, para penguasa di dunia,
apabila ada keadaan yang celaka,
apakah perlu ditambah celaka lagi?
Pada intinya inilah pertanyaan sejarah
kepada anda semua.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya
yang hadir di sini,
setelah memahami sejarah,
saya betul tidak lagi merasa sepi.
Dan memang tidak relevan lagi bagi saya
untuk merasa sia-sia atau tidak sia-sia,
sebab jelaslah sudah kewajiban saya.
Ialah: hadir dan mengalir.

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
terima kasih.

Bojong Gede, 5 Nopember 1990


Orang Biasa

Apa artinya sebidang tanah?
Apa artinya rumah?
Apa artinya jauh dari sejarah?

Semuanya itu terkait
di dalam kisah hidupku.

Setelah pensiun
sebagai guru SD di Rangkasbitung,
aku menetap di sini.
Sebuah desa kecil, di pinggir kota itu.

Untung aku dulu sempat membeli tanah ini.
Memang murah, tetapi cocok dengan
gaji guru.
Dua puluh kali tujuh puluh meter.
Memanjang ke belakang.
Dengan pagar batu kali. Separoh badan.
Ketika istriku tercinta wafat,
aku makamkan ia di kebun belakang
di bawah pohon gandaria.

Di malam musim kemarau,
angin sangat berharga.
Langit berdandan dengan beribu-ribu intan.
Ada suara serangga-serangga malam.
Ada suara anak-anak belajar mengaji.
Kami termenung dan terpesona.
Aku dan gandaria.

Dekat setelah aku pensiun,
tanahku jadi korban pembangunan.
Tinggal dua puluh kali tiga puluh meter.
Akibat proyek jalan raya.

Hilanglah pohon-pohon nangka.
Bahkan rumah juga dibongkar.
Tinggal tanah enam ratus meter persegi,
pagar batu kali separoh badan,
rumpun bunga kana,
kuburan istriku,
dan gandaria.
Uang ganti rugi aku berikan kepada putra
bungsuku.
Untuk belajar ke Yogya.
Sekarang ia pembantu rektor di Gadjah
Mada.

Putraku yang pertama seorang ksatria
pangkatnya jendral, jabatannya panglima.
Anakku yang kedua wanita.
Kawin dengan bangkir Jepang, tinggal di
Osaka.

Putraku yang bungsu tidak banyak bicara.
Ia terlalu mengerti sifat ayahnya.
Tetapi kedua anakku yang lain banyak
bicara.
Karena tak paham dan juga tak tega.
“Kenapa sisa tanah tidak dijual saja?
Dan ayah tinggal bersama kami.”

Tidak
aku akan menetap di sini sampai mati.
Di bawah naungan gandaria.

Apakah aku bertahan
karena kuburan almarhum istriku?
Tidak.
Batu nisan yang aku dirikan
hanya berguna untuk kami yang hidup.
Sebagai aktualisasi rasa hormat dan cinta.
Kuburan bisa dipindah kapan saja dan
di mana saja.
Di akhirat, di mana istriku berada,
suatu kuburan tak ada maknanya.

Lalu apakah karena ikatan
kepada tanah tumpah darah?
Jelas tidak.
Aku lahir di desa Sengon, Yogyakarta.
Setelah tamat Sekolah Guru Bawah
aku hanya punya satu lowongan
tanpa lain pilihan:
sebuah Sekolah Dasar
di Rangkasbitung.

Barangkali ada ikatan sejarah?
Juga tidak.
Di zaman revolusi kemerdekaan,
meskipun aku masih sangat muda,
aku di Mranggen ikut bergerilya,
melawan imperialis Inggris dan Belanda.
Tidak. Tidak.
Di Rangkasbitung
aku tidak pernah terlibat dalam sejarah besar.
Aku hanya mengajar di Sekolah Dasar
sampai pensiun,
dan tanahku terpotong
gara-gara pembangunan jalan raya.
Jelas ini bukan sejarah nasional
apalagi internasional.

Putriku bertanya:
“Apakah ayah benar mencintai Rangkasbitung?”
Ya! Dengan tegas: ya!
“Tetapi tempat macam apa ini?
Cuma Rangkasbitung!
Tidak sebanding dengan Osaka!”
Cuma Rangkasbitung!
Dan saya: cuma manusia.
Cuma guru SD. Sudah pensiun pula.
Jangan berkata “cuma”
kalau bicara tentang cinta.
Cinta itu peristiwa dalam roh.
Roh. Bagaimana bisa dijelaskan dengan akal.
Kita hanya bisa melukiskan bayangannya
yang ragamnya berlaksa-laksa.
Peristiwa di dalam roh tak bisa dijelaskan.
Ia hanya bisa dialami.
Apakah kami bisa mengalami
pengalaman rohku?

Ya. Memang.
Rohku mencinta
Rangkasbitung.
Dan:
gandaria!

Hm. Gandaria!
Bahkan bukan aku menanamnya.
Ia sudah ada waktu tanah ini kubeli.
Aku sendiri kehabisan kata-kata.
Aku sendiri tak bisa mengerti.
Aku. Rangkasbitung. Gandaria.
Jadi.

Dari bangkai pohon nangka,
beberapa batang bambu,
genteng, dan paku,
aku dirikan rumahku ini.
Rumah bilik. Empat kali lima meter.
Kuat. Hangat. Rapi. Sempurna.
Sisa halamannya aku tanami pepaya-pepaya,
dan rumpun pisang tanduk.
Aku tidak ingin apa-apa lagi.

Putraku yang pertama berkata:
“Ayah kurang ambisi.
Kalau ayah mau
bisa menjadi lebih dari sekadar guru.”

Salah lagi.
Jangan disangka aku tidak pernah mencoba
pengalaman lainnya.
Menjadi tentara. Agen koran.
Penagih rekening. Mengurus restoran.
Tetapi aku hanya mengalami kelengkapan
diriku
apabila menjadi guru.
Semangatku bergelora,
gairah hidupku menyala,
dalam suka maupun duka,
apabila aku menjadi guru.
Memang tidak istimewa untuk ukuran dunia.
Sangat, sangat biasa.
Tetapi aku, Rangkasbitung dan gandaria,
sebenar-benarnya,
adalah sangat, sangat biasa.

Kenapa anak-anakku menjadi gelisah,
hanya karena aku mantap menjadi
orang biasa?
Aku bukan panglima. Aku bukan bankir.
Bahwa aku mendapat ijazah itu
sudah anugerah.
Ilmu hitung dan bahasa Inggris mendapat
nilai lima.
Tetapi! Te-ta-pi …
aku bukan orang yang putus asa
ataupun menderita.
Aku gembira.
Dan aku juga tidak rendah diri.
Aku bangga.
Sangat bangga.
Hidupku indah.
Bukannya aku tidak pernah terganggu
oleh suara lalu lintas jahanam
yang tepat berada di depan hidungku.
Tetapi aku juga melihat
kilasan-kilasan wajah sopir truk,
orang-orang desa yang berjejal naik bis,
orang-orang bule diangkut travel-bureau,
dan debu, dan matahari,
dan percayalah:
pada saat seperti itu
alam semesta terbuka.
Aku masuk ke dalam pangkuannya.
Aku mendengar suara-suara
Sumatra, India, Eropa,
Peru, Australia.
Juga suara-suara kabut di langit,
cacing di tanah, hiu di lautan.
Aku mencium bau minyak rambut ibuku,
bau lemak di kulit Jengis Khan,
bau kulit susu istriku.
Matahari dan rembulan hadir bersama.
Luar biasa. Alangkah indahnya.
Allahu Akbar. Allahu Akbar.

Anak-anakku.
Alangkah indahnya.
Alangkah, alangkahnya …
Bismillahir Rahmaanir Rahiim.
Alhamdu lillahi Rabbil ‘aalamin.
Ar Rahmaanir Rahiim.
Maaliki yaumiddiin.
Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.
Ihdinash shiraathal mustaqiim.
Shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim ghairil
maghdubi
‘alaihim wa
ladh dhaaliin.
Amin.

Bojong Gede, 7 Nopember 1990


Doa untuk Anak Cucu

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Ya, Allah.
Di dalam masa yang sulit ini,
di dalam ketenangan
yang beku dan tegang,
di dalam kejenuhan
yang bisa meledak menjadi keedanan,
aku merasa ada muslihat
yang tak jelas juntrungannya.
Ya, Allah.
Aku bersujud kepada-Mu.
Lindungilah anak cucuku.

Lindungilah mereka
dari kesabaran
yang menjelma menjadi kelesuan,
dari rasa tak berdaya
yang kehilangan cita-cita.

Ya, Allah.
Demi ketegasan mengambil risiko
ada bangsa yang di-mesin-kan
atau di-zombie-kan.
Ada juga yang di-fosil-kan
atau di-antik-kan.
Uang kertas menjadi topi
bagi kepala yang berisi jerami.
Reaktor nuklir menjadi tempat ibadah
di mana bersujud kepala-kepala hampa
yang disumpal bantal tua.
Kemakmuran lebih dihargai
dari kesejahteraan.
Dan kekuasaan
menggantikan kebenaran.
Ya, Allah.
Lindungilah anak cucuku.

Lindungilah mereka
dari berhala janji-janji,
dari hiburan yang dikeramatkan,
dari iklan yang dimythoskan,
dan dari sikap mata gelap
yang diserap tulang kosong.

Ya, Allah.
Seorang anak muda
bertanya kepada temannya:
“Ke mana kita pergi?”
Dan temannya menjawab:
“Ke mana saja.
Asal jangan berpikir untuk pulang.”
Daging tidak punya tulang
untuk bertaut.
Angin bertiup
menerbangkan catatan alamat.
Dan rambu-rambu di jalan
sudah dirusak orang.
Ya, Allah.
Lindungilah anak cucuku.

Lindungilah mereka
dari kejahatan lelucon
tentang Chernobyl dan Hirosima,
dari heroin
yang diserap lewat ciuman,
dari iktikad buruk
yang dibungkus kertas kado,
dan dari ancaman tanpa makna.

Ya, Allah.
Kami dengan cemas menunggu
kedatangan burung dara
yang membawa ranting zaitun.
Di kaki bianglala
Leluhur kami bersujud dan berdoa.
Isinya persis seperti doaku ini.
Lindungilah anak cucuku.
Lindungilah daya hidup mereka.
Lindungilah daya cipta mereka.
Ya, Allah, satu-satunya Tuhan kami.
Sumber dari hidup kami ini.
Kuasa Yang Tanpa Tandingan.
Tak ada samanya
di seluruh semesta raya.
Allah! Allah! Allah! Allah!

Bojong Gede, 18 Juli 1992


Tentang Rendra
Rendra lahir di Solo, 7 November 1935. Selain tekun menulis puisi (beberapa buku puisi lahir sejak tahun 1957), ia juga giat dalam pertunjukan drama dengan Bengkel Teaternya. Kumpulan cerpennya Ia Sudah Bertualang.

Catatan Lain
Buku ini, saya temukan di rak buku penyair Y.S. Agus Suseno. Di dalamnya ada stempel “Milik Perpustakaan Taman Budaya Banjarmasin”. Buku ini, pertama kali saya lihat di perpustakaan SMAN 1 Banjarbaru. Itu sekitar tahun 1996-1998. Waktu itu saya begitu terpesona, sehingga ketika kuliah di Jogja, saya bela-belain nyari buku itu di Shopping Center. Gak ketemu, yang ketemu malah buku Potret Pembangunan dalam Puisi. Akhirnya buku itu yang saya beli. Saya girang bukan kepalang ketika menemukan lagi buku Orang-orang Rangkabitung di rak “tukang kebun” (julukan Raudal Tanjung Banua untuk Y.S. Agus Suseno. Nb. Untuk tahu sejarah julukan itu, tanyakan pada Hajri. hehe). Buku-buku Rendra belakangan, puisinya panjang-panjang, blak-blakan. Dalam satu buku puisi, jumlahnya juga sedikit. 10 puisi untuk buku ini. Dalam buku yang lain, Disebabkan oleh Angin, lebih minim lagi, kalau tak salah hanya ada 6 judul puisi.

8 komentar:

  1. kak, di dalam buku ini kan ada puisi "Kesaksian Bapak Saijah", saya ingin lihat puisinya boleh? mungkin bisa difoto di bagian puisi itu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, buku yang ini adanya di tempat penyair Y.S. Agus Suseno. Saya dulu meminjamnya. Sudah lama tidak ke sana lagi, karena tempatnya yang cukup menguras tenaga (beda kota). Mungkin bisa minta tolong sama beliau, beliau cukup aktif di facebook.

      Hapus
  2. oh seperti itu, terimakasih kak:)

    BalasHapus
  3. izin sahare ya pak, buat orang orang rangkasbitung. Saya pernah beli bukunya tapi di pinjam teman dr papua dan dia suka bukunya...."

    BalasHapus
  4. Demi Orang - orang Rangkasbitung... yah sampai hari ini Rangkasbitung bagai kota tua yg tdk ada gairah utk hidup menurutku,


    Rangkasbitun,22 November 2017

    BalasHapus
  5. Demi Orang - orang Rangkasbitung... yah sampai hari ini Rangkasbitung bagai kota tua yg tdk ada gairah utk hidup menurutku,


    Rangkasbitun,22 November 2017

    BalasHapus
  6. Sesuatu yang sangat bermakna, berharga catatan sejarah yang mendalam

    BalasHapus