Selasa, 01 Juli 2014

Hr. Bandaharo: AKU HADIR DI HARI INI




Data buku kumpulan puisi

Judul : Aku Hadir di Hari Ini
Penulis : Hr. Bandaharo
Penerbit : Ultimus, Bandung
Cetakan : I, Maret 2010
Tebal : viii + 180 halaman (66 puisi)
Editor : Putu Oka Sukanta, Bilven
Desain sampul : Dhany A.
Desain buku : Bilven

Beberapa pilihan puisi Hr. Bandaharo dalam Aku Hadir di Hari Ini

Antara Dua Sungai
untuk Pai Yu-hua

I
Senja itu aku berdiri di tebing-beton Sungai Mutiara
Berapa lama sudah air ini bulak-balik ke laut?
Dia membawa duka dan suka dari muara,
derita berganti diusung dan dihanyutkan.
Kanton lahir dan tegak menjadi tua
bercermin air mengalir, pasang dan surut;
dia mengenal wajah sendiri dalam membisu
dia memikul beban tiada mengeluh.
Sudah berapa lama mesin-mesin menderu di sini?
Tanyakanlah pada air yang tak pernah membeda-bedakan,
lawan dan kawan didukungnya datang, didukungnya pergi.
Tanyakanlah pada Kanton yang membisu dan menahankan
pukulan dan hantaman sejarah yang membesarkannya.
Air sungai ini sejak dulu bercampur darah dan peluh
rakyat yang banting-tulang melanjutkan hidup diperas.
Pahlawan-pahlawan Pemberontakan Kanton sekali membalas
dan berdirilah komune selama tiga hari penuh.

Mungkin mayat-mayat pejuang pernah mengapar di sini
berkisar antara muara dan Kanton
menatap langit rendah musim rontok yang larut.
Di sini dimulai revolusi didukung dua kaki, kanan dan kiri
jatuh-bangun selama 38 tahun, akhirnya menang, tunggal dan merah.

Ketika malam mati di langit tak ada bintang
gumpalan-gumpalan awan bergerak berat menyimpan hujan
Sungai Mutiara seperti naga tidur membuntang
di sana-sini caya lampu membias di riak-air, membayang
seolah-olah sisik mengilatkan warna.
Kanton kelihatan bertambah tinggi tegak menegang
mendungak menupang langit yang akan runtuh.
Kapal-motor membawa barang kemalaman dari muara
mendengus kesaratan, sesekali menyentak menjerit panjang;
suara peluit itu terempas pada keterjalan kelam
menjadi serak dan pecah seperti lenguh sapi kelelahan.


Di saat-saat begini orang hanya berteman diri sendiri.
Ada yang rindu lalu menangis melegakan hati
ada yang memendam cinta, mengigau lena bermimpi
yang berdosa menyesali hari-hari lalu, harap pengampunan datang
yang dirundung duka merintihi luka dalam kesepian.
Di saat-saat begini aku merangkul dunia ke dalam pelukanku
terasa seluruh keharuan melebur dan kunikmati
dalam kegairahanku menyambut hari baru.
Tiada kesendirian pada kematian malam
karena genderang fajar menyingsing kudengar bertalu.

Dan Si Mungil diperkenalkan padaku sebagai teman
dalam perjalanan antara dua sungai, Mutiara dan Yalu.
Ah, alangkah lapang terasa dada, ketika Si Mungil menyapa
mengulurkan tangan sambil tertawa, “Selamat datang di negeri kami!”
Kenyamanan bukanlah bikinan, dia memancur dari hati
yang diantar ucapan Si Mungil, “Anggaplah negeri ini negeri sendiri.”
“Mungil,” kataku, “aku ini pengembara sejak mudaku;
hatiku melintasi samudra dan berada di semua benua
pikiranku menerawang menggarisi angkasa ke semua penjuru.
Negeri ini negeri tua yang puas dilanda derita setiap zaman,
tapi terlihat dan terasa sesuatu yang baru sedang mengembang
menebar di bumi dan langit yang mempesona setiap orang
untuk berdiri atas dua kaki dan mempergunakan tangan
siang-malam mengolah tanah, memperbarui yang lama
serta menegakkan kokoh yang baru-baru, berlomba-lomba
dengan kepulan asap pabrik menjulang tinggi.
Katakan padaku, apa sedang bersemi di negeri ini?”
“Negeri ini negeri kerja,” kata Si Mungil, “dan musim semi abadi
meliputi hati kami. Rakyat yang tegak melemparkan duka-duka lama.
Dari perut bumi kami gali kehidupan dan kami tegakkan bersama-sama
menjadi kenyataan yang memberi bahagia dan suka.
Dan bunga baja memerahi seluruh negeri.”


II
Di daerah antara dua sungai ini tiada persoalan pemilikan
tanah; orang sudah menguasai tanah dengan dua tangan.
Mereka suburkan tanah tandus dan keringkan rawa-rawa
mereka ratakan gunung dan timbuni laut, dan begitu saja
mereka alihkan arus dan pindahkan lembah-lembah.
Aku melihat tanah ditundukkan dan dipaksa menghasilkan
menurut ketentuan yang diperlukan dan menurut jatah-jatah.

Tanah seolah-olah gembira menyerahkan isinya yang terpendam
ratusan, ribuan tahun: bijih-bijih besi dan berbagai logam,
batu-bara dan segala macam yang sekalipun Jules Verne
tak pernah mengangankan. Pabrik-pabrik dan tanur-tanur berdiri
mulai dari bengkel-bengkel dan dapur-dapur kampungan
sampai kepada pabrik-pabrik dan tanur-tanur raksasa di Ansan,
di Wuhan, dan menebar di seluruh negeri
sebab di daerah antara dua sungai ini kerja tak pernah henti.
Ai, alangkah mempesonanya kerja ini:
kerja yang pertama-tama menciptakan dua belah tangan
kemudian dua belah kaki, dan terciptalah manusia baru,
manusia yang berjalan atas dua kaki dan bekerja dengan dua tangan
manusia yang menguasai tanah dan menundukkan tanah itu
menurut rencananya: lima tahun pertama, lima tahun kedua,
maju melompat menunggang kuda bersayap, dan menang.

Aku melihat petugas-petugas pilihan rakyat bekerja berlomba-lomba
dengan pemilih-pemilihnya; dipilih berarti dipercayai
dan di sini kepercayaan lebih berharga dari mas-intan
karena kepercayaan berarti kesempatan dengan kecakapan mengabdi negeri.

Bayangkan seorang pekerja terbaik di antara 600 juta manusia
yang jadikan kerja kebutuhan hidup, serupa minum dan makan;
dia pasti seorang Titan, yang pernah menaklukkan Yangce-kiang
mengalahkan banjir dan musim kering, yang menciptakan cantata-cantata,
yang melakukan long march, melewati seribu gunung dan seribu sungai.
Dan Titan-titan ada di semua bidang kerja, mulai bidang pemusnahan hama
lewat pengumpulan besi-tua sampai ke pembikinan baja,
dari pemberantasan buta-huruf sampai penciptaan balada Sungai Mutiara.
Daerah antara dua sungai ini adalah daerah Titan-titan, sambil bernyanyi
membangun titi dan bendungan, menegakkan gedung-gedung belasan tingkat
beradu-tahan menghadapi dapur-dapur pengecoran dan api menjilat-jilat
berkompetisi menghasilkan baja, juga berlomba membunuh lalat.
Aku berjumpa dengan mereka, bersalaman dan bersenda-gurau
tawanya lebar, kelakarnya sehat. Mereka anak-anak rakyat
dibesarkan derita dan juang: dengan ideologi mereka tegak dan maju
akhirnya menang. Nyanyi bergema sepanjang hari, musim semi di semua hati
kemakmuran datang ke desa, kemakmuran datang ke desa.


III
Aku datang ke daerah antara dua sungai ini dengan hati terbuka
aku disambut dengan uluran tangan, dengan bunga, dengan rasa persahabatan
yang terasa nyaman segar seperti simburan ombak mendampar ke pantai.
Aku berjumpa dengan seorang Komunar Kanton, dengan dia aku bicara
aku berjumpa dengan peserta long march, padaku dia bercerita
aku berjumpa dengan penyanyi-penyanyi, dengan penari-penari, dengan
            sastrawan-sastrawan
kami cerita-menceritai tentang masa silam yang sudah dikalahkan
dan beradu dalil tentang pemilihan jalan menuju masa depan gemilang.
Di daerah ini jalan sudah dipilih, kuda bersayap sudah mendompak.

Aku bicara dengan seorang buruh tua di Peking
dengan seorang Haji bangsa Hui di Tiencing
dengan direktur pabrik mesin-berat di Senyang
dengan penempa baja di Ansan
dengan penjaga pameran industri di Nanning
dengan pedayung sampan di Sungai Li di Kuiling
dengan penyanyi opera klasik di Kanton
dengan supir-supir taksi, dengan buruh kereta api
dengan petani-petani di Komune Rakyat
dengan penjual buah-buahan di tepi jalan
dengan dokter-dokter, dengan gubernur-gubernur dan walikota-walikota
dengan pemain-pemain sulap dan akrobat-akrobat
ya, aku bicara dengan siapa saja, seperti aku sedang kecarian.
Ai, aku memang mencari: aku mencari petani yang bernyanyi
“Begitu banyak bintang di langit, lebah banyak hutangku pada kaisar”
Aku mencari pengembara seperti digambarkan Li Yu Tang, yang
menikmati kehidupan dengan bermalas-malas, tanpa kerja ialah kebahagiaan.
Aku mencari sisa-sisa sesuatu yang masih ada di pikiranku sendiri.
Dari yang lama hanya ada peristiwa-peristiwa, batu-batu istana yang mati
pengobatan dengan jarum, opera klasik dan tradisi-tradisi
tapi ini semua pun sudah berkembang
yang tiada daya berkembang, yang beku akhirnya musnah sendiri.
Burung Feng Huang lama sudah membakar dirinya menjadi abu
dan dari abu ini lahir Feng Huang baru
yang sudah menjalani pesucian, yang kini bernyanyi:
“Kita kuat, kita bebas
kita tanpa takut, kita abadi!”*


IV
Aku meninggalkan Kanton
dan akhirnya Sumcun, stasiun perbatasan.
Di hatiku Feng Huang bernyanyi:
Aku api
Kau api
Api adalah api
Mari menjulang tinggi
Mari bernyanyi suka, mari bernyanyi!

Negeri Cina
Agustus-Oktober 1959

* Dari kumpulan sajak Kuo Mo-yo “The Goddesses
(dari: Lintasan Ingatan)


Malam

aku melawan malam, memusuhi kelam
yang menyembunyikan wajah-wajah jelek
yang menyuburkan kebejatan
yang mengaburkan kemunafikan.
aku membenci malam
bila anjing-anjing melolongi langit
selagi bintang-bintang gemerlapan.

malam dan kegelapan
sama dengan kepalsuan.
penyulapan putih menjadi hitam
penyajian mesum sebagai suci
pengkhianatan sebagai bakti
yang palsu sebagai yang sejati.

tapi aku pun dilahirkan malam
ketika kelam menyelimuti kekasih berpelukan
dan kerinduan mendengus kepuasan.
malam seperti ini menjadi teman
ketika pikiran menyusuri jalan-hidup
yang ditempuh – larut dalam kenangan.
bila kemilau bintang-bintang menjadi redup
kumbang bercumbu berhenti berdengung
nyamuk-nyamuk kekenyangan menggelimpang tiada daya
aku lena tertelungkup –
air-liurku membasahi lembaran-lembaran kafka
dan embun subuh membasahi kawat-duri.

[Dari kumpulan: Surat-surat Desember, (1965)]


Api yang Nyala

ada kalanya seseorang merasa kesunyian
bila tiada mampu menjawab hati sendiri
dari godaan tanya: mengapa? mengapa?
sedang putra-putri terbaik rebah di mana-mana
seperti batang-batang padi disabit di sawah-sawah
lalu di tiap kata ada prasangka
di tiap mata ada keraguan:
untuk apa? mau ke mana?

di saat-saat seperti ini, ya, di saat-saat ini
hanya cinta-kasihmu, istriku sayang,
yang mengikat aku pada kehidupan ini,
yang menggugah kesadaran diri.
kerinduan padamu dan kepastian bahagia bertemu
adalah api yang nyala,
nyala selalu.

[Dari kumpulan: Surat-surat Desember, (1965)]


Terkadang di Kala-kala tak Terduga

Terkadang di kala-kala tak terduga
di dada luka lama terbuka:
teringat seorang teman yang mati di penjara
jauh di Utara
di masa revolusi, saudara berhadapan dengan saudara.

Empat puluh tahun yang lalu kami bertemu
sama-sama jejaka sedang naik badan, resah dan gelisah
menghadapai masa pendudukan fasisme
yang tak memberi harapan masa depan, kecuali menyerah kalah

dan itu pantang bagi Bangkit Hakim*, temanku itu
ia dilahirkan dan dibesarkan di pantai Danau Toba
terbiasa bebas ditimang permainan ombak di danau
dan berteriak lantang menjeritkan lagu-lagu batak membelah cakrawala.

Di kota kami dia orang pertama menerima tamparan serdadu jepang
karena menolak menyerahkan sepedanya yang dirampas tiada semena-mena;
dengan pipi bengkak dan bibir pecah
ia tertawa terbahak-bahak menceritakan padaku perkenalannya dengan
                                                                        “saudara tua”.
Sejak detik itu kami anti-fasis.

Sekarang mereka semua telah pergi.
Bangkit Hakim dan yang lain-lain lagi
seperti Sakti Lubis, kepala pencopet sebelum perang
si Go Sek anak cina yang bicara dengan lidah Medan;
Maulana, Hasyim Sirait, Muchtar, Syahdon
dan banyak yang raib begitu saja, terlupakan
mati di penjara atau di area-area pertempuran
– tapi banyak pula saat ini yang gemetar takut kusebutkan namanya
karena mereka hidup senang sebagai bunglon –
dan aku menyadari mereka adalah manusia biasa
bukan pahlawan, memang pahlawan tak pernah ada.
Pahlawan adalah ciptaan sekelompok orang
yang ingin berlindung di naungan ciptaannya.

Pernahkah anda dengar kisah Umar Bachsan
proklamator dan yang mengamankan perundingan Rengasdengklok
atau pemuda dan Bung Karno-Bung Hatta?
Ia kulihat sakit terkapar di atas tikar robek-robek
diselubungi selimut kumal
ia bicara dengan lidah kelu, tangannya tergapai-gapai
dan akhirnya menghembuskan napas penghabisan
                                                            di blok-RS penjara Salemba.

Siapa yang bisa menyangkal ia seorang pahlawan?
Tapi tak ada kelompok yang menabalkannya.

Mereka telah pergi, satu demi satu
meninggalkan aku sendirian menghadapi lampu kehabisan minyak dan sumbu
dipermainkan oleh lenggang-lenggok bayang-bayang nyala yang hampir padam
Pernahkan mereka sebenarnya ada
teman-teman yang terdiri dari darah dan daging, bukan godaan angan-angan?
apakah mereka bukan figur-figur khayalan
kuciptakan di masa-masa aku kesunyian
dan kulawan mereka bercakap-cakap, menumpahkan isi hatiku
Yang ingin kusampaikan tak tau entah kepada siapa, lalu bicara
                                                                        dengan bayangan?

Semua seperti mimpi, dalam mimpi aku teringat dan luka kambuh menyayat
antara terasa dengan tidak. Denyut nyeri dalam mimpi
terbawa sampai terjaga, tapi tak tahu di bagian mana.
Kesunyian menghadapi keredupan senja
dari kehidupan, bertambah sunyi… bertambah sunyi.
Dalam pertarungan selalu ada pemenang
yang merasa berjasa, hiruk pikuk membagi pangkat.

Esa hilang – dua terbilang
Hang Djebat hilang, sekalipun ia membela kebenaran.

Bangkit Hakim hilang bersama dia.

1983
* Bangkit Hakim = B. H. Hoetajoeloe
[Dari kumpulan: Terkenang]


Metropolis (1978), X
Untuk Joshi Hota

Hanya kemenangan, percayalah, hanya kemenangan
mampu mendukung kebenaran dan keadilan.
Bukan kejujuran. Kejujuran ada di hati penyair
yang memendam cita-cita dan harapan –
pada hakikatnya itu pun hanya ilusi.
Koruptor jadi penyelamat
karena dia membawa bunga dan madu. Dan nasi
yang harum, tidak bau keringat.
Penyair jadi teroris
karena dia melemparkan sajak. Dan nyanyi
hatinya yang tersayat, teriris.

Hidup ini akhirnya hanya mimpi. Mimpi
yang indah maupun yang ngeri.
Mati berarti bangun tersentak. Dan menyadari:
sekarang baru kehidupan akan dimulai.

Jakarta metropolis, sorga dan neraka
dalam mimpi. Hanya mimpi.
Maka istigfarlah, wahai penyair,
dan berdoa dalam hati

Ya, dalam hati saja

[Dari kumpulan: Metropolis (1978)]


Unyang

bocah itu lahir di hutan rambung

belum sempat belajar dari pepohonan
dan kicau margasatwa
ibu membawanya merantau ke daerah pantai

dilarikan dari suatu peruntungan
ke dalam peruntungan baru

ia tumbuh bermenung
merenungi laut ke pantai menderu
membanting diri dan santai
berpelukan lalu berpisah

bergiliran ombak demi ombak menerpa
mencium pantai dan berdesah memecah
lalu hilang menjadi busa
menyatu kembali dengan keluasan

di matanya bertemu biru laut dan biru langit
dan kilat pasir pantai
yang memancarkan berjuta bias cahaya

hanya berteman unyang yang tua-renta
lebih tua lagi dari pohon-pohon di hutan
tapi bagai batang ranggas tak rela tumbang
tegak bertahan menantang angin

unyang bekas pelayar pengarung lautan
perantau ke pantai yang jauh-jauh
kadang lanun kadang perisau

*

dengan perahu lanun bertiang satu kami berangkat
menuju laut lepas

selama setahun layar tak pernah digulung
tak pernah dibuang jangkar

ketika angin mati perahu mengambang
di atas permukaan laut laksana kaca bersinar emas

pendayung-pendayung telanjang badan mandi keringat
napas berdengus seperti kerbau dipasung

tak ada air tak ada makanan
tak kelihatan tanah tepi tak ada burung terbang
perahu sarat oleh harta rampasan

sesudah lima hari lima malam
pendayung-pendayung tak mampu bertahan
satu demi satu kepayahan dan tumbang

malam keenam angin kencang datang bertiup
tak seorang pun sadarkan diri
aku pingsan terkulai memeluk kemudi

perahu meluncur mengikutkan kehendak angin
diimbangi kemudi dalam pelukanku
dan begitulah berhari-hari kami berputar

bolak-balik masuk pelabuhan
dan bolak-balik ke laut lepas
perahu hantu tanpa awak

akhirnya terdampar
di pulau sunyi

aku tersentak
wajahku ditampar ombak
angin mendesau memintasi pulau

tak ada teman yang bangkit lagi
mereka berkubur di pulau sunyi
dan harta kukuburkan bersama mereka

*

setelah sekian musim merantau
aku pulang seorang diri
terasa kehilangan teman terasa sunyi

berkali-kali aku mencoba berlayar
menyusur dari pulau ke pulau
hasrat mengangkut pulang harta karun

tapi kehilangan arah kehilangan pedoman
terkatung-katung dari pulau ke pulau
ejekan dari kuburan terngiang di telingaku

entah berapa musim aku terlantar di perantauan
ditinggalkan oleh awak perahu yang pulang
kehilangan kepercayaan pada kewarasan otakku

aku pun akhirnya menyangsikan kebenaran
peristiwa yang kualami sendiri, mungkin hanya mimpi
mendengar kisah-kisah pelaut dan melihat hiasan

tato di dada dan lengan mereka tentang harta
tersembunyi di gua-gua di sungai jauh-jauh
tentang perkelahian berdarah perompak lanun

tentang maut menerpa di tengah laut
tentang perempuan-perempuan menanti di pelabuhan
tentang burung kakatua pandai bertutur membawa celaka

aku pulang tapi tak bisa beranjak dari pantai
terikat pada pulau perahu dan laut
menjadi tua menanti mimpikan mimpi tak tercapai

itulah mimpi unyang
dalam mimpi tak berujung

1983
* unyang = ayah dari kakek/nenek 
[Dari kumpulan: Perhitungan]


Aku Hadir di Hari Ini (8)
Untuk anak-anakku, Lia, Adek, Toton, Tjam

rasa-lelah bersarang di dalam tulang
rasa-jemu mengendap di relung-relung hati.
di depan mata maut menerpa berulang-ulang
menyambar cepat seperti kilat, lalu pergi.
atau datang bermukim menyedot kehidupan
perlahan-lahan tanpa terasa tapi terlihat,
dari tubuh-tubuh yang remuk meromok karena derita,
karena rindu dan kecewa, karena harapan yang sia-sia.

[Dari kumpulan: Aku Hadir di Hari Ini (Buru, 1975)]


Aku Hadir di Hari Ini (10)

berapa banyak teman yang mati
nisan-nisan pekuburan berpacakan di semua penjuru.
yang mati sakit didera deritanya sendiri,
yang mati disambar petir atau tewas disambar peluru,
yang mati teraniaya atau mati menggantung diri,
yang mati tidak dikubur
mayatnya hilang di hutan-hutan,
atau mati hanyut di laut
dagingnya membusuk di makan ikan.

satu demi satu mereka bermatian,
berlalu bersama dengan hari berlalu,
jauh anak-istri, jauh kampung-halaman.
untuk apa? – tak seorang pun yang tau
kecuali diri sendiri, dan diri itu berkata:
untuk pembuktian kehadiranku yang nyata,
apakah aku manusia
atau gumpalan daging dan tulang semata.

[Dari kumpulan: Aku Hadir di Hari Ini (Buru, 1975)]


Aku Hadir di Hari Ini (14)

wahai alangkah indahnya hari ini
berlalu sambil menari
lemah-gemulai seperti an-seung-hi
lincah genit seperti kou-mu-lan.
bernyanyi dengan suara empuk memujuk,
kemudian lengking tinggi mendebarkan dada,
setala dengan jeritan hati rindu anak dan istri.

ah, pohon-pohon cemara di depan rumah jadi tinggi-tinggi
anak-anak jadi besar-besar, hampir lupa
pada lelaki
yang pernah sering menimangnya.
istri pun jadi tua dan kesunyian
seperti putri di bulan
menantikan kekasih tak kunjung pulang.

dan ketika senja tiba hari cerah terang,
langit berwarna putih-perak kebiru-biruan.
angin hanya sepoi-sepoi
antara terasa dengan tidak.
lembah wailata sunyi-senyap
seperti terasing dari dunia.
tiada kidung dari hati yang dambakan damai
tiada suara tifa mengiringi kaki merentak,
awan rendah mengendap memeluk puncak batabual,
ranggas-ranggas pohon kering seperti lelah lemah terkulai
dan lambat-lambat langit magrib berangsur memerah jingga:

dan aku, anak manusia, hanya senoktah
di pesawangan luas antara langit dan bumi,
tegak mendukung deritaku sebagai bukti
lalu bersujud – tujuh bagian badan menyentuh tanah.

malam, bulan dan bintang-bintang menjadi saksi
atas hadirku di hari ini.

[Dari kumpulan: Aku Hadir di Hari Ini (Buru, 1975)]


Si Buang (1)

Dia tertegun di depan pintu
Perempuan itu senyum datang menyambut

-    Selamat datang
     Aku sabar menanti sampai hari ini
     hari perkawinan kita 25 tahun yang lalu
     Dan kau pulang

Si Buang memeluk istrinya
tenang memandang ke dalam matanya

-    Alangkah bahagia aku
     Sesudah 12 tahun terbuang
     aku pulang
     ke malam perkawinan perak
     Dan mempelaiku perawan kembali


Si Buang (2)

Dua belas tahun
hidup di penjara dan di tanah buangan
orang merindukan kebebasan
Bebas bergerak dan berbuat
bebas menyatakan dan menolak pendapat
bebas dari rasa takut

Kemudian Si Buang dikembalikan ke masyarakat
dibebaskan
Di kelilingnya Si Buang melihat
orang berlomba mengumpul harta
berlomba mencari hiburan
berlomba berbuat maksiat

Tak seorang pun yang punya pendapat
Ada yang berkaok menyatakan pikiran
tanpa menyadari ucapannya hanya apalan
textbook… textbook…

- Hei, aku punya selera sendiri, kata seorang Ajinomoto
                                                                        Paling gurih
- Tidak! Kata yang lain, pakailah Miwon
- Yang paling enak Sasa, sengau Elvi Sukaesih
Mereka dibayar untuk promosi

Melihat semua ini Si Buang pusing
batuk-batuk, rasa meriang, bersin
Dia dikerumuni orang yang berteriak ‘Inza!’
Mas Kris datang menyerbu, mengacung ‘Miz-a-grip’
Si Buang bersorak ‘Tidak! Rujak yang paling cocok’
Dia dikeroyok ‘Subversi! Tidak bisa menyesuaikan diri!
Selera tidak relevan! Menghambat pembangunan!’

Si Buang lari takut
Lari… takut… iih, takut

1980
[Dari kumpulan: Terkenang]


Laut

(1)
di malam hati rindu
aku mencari laut
ombak senantiasa bawa kenangan

kapan saja ada kapal datang
lampu-lampunya terang-benderang
tapi kesannya keasingan

di pantai ada pengemis mengulurkan tangan
tanpa wajah tanpa suara
dan kurasa dia saudaraku

ada perempuan menawarkan badan
minta makan bukan cumbu
ada tukang-sate manis menyapa
tapi hatinya mengutuki hidup

malam larut dan bintang satu-satu
di langit jauh tambah jauh

(2)
ah, alangkah banyaknya kenangan
silih-berganti datang dan pergi
sebagai buih dijunjung ombak
terbanting bepercikan di tebing karang
atau tersimbur-serak di pasir putih;
tapi dia datang lagi datang mendompak
girang menari lincah melonjak
kemudian sirna di pantai-pantai;
datang pula menyusul yang baru
yang lama-lama mengabur seperti hilang
untuk kemudian tiada terduga datang menerpa.
tiada yang lenyap, semua mengalir bersama waktu
timbul-tenggelam bertambah indah
bertambah dalam tertanam di sanubari.

(3)
ya, tanyakanlah pada laut tentang sungai-sungai
karena semua sungai menyatu ke laut
tanyakanlah pada laut tentang pantai-pantai
karena semua pantai dicium laut

tanyakanlah pada laut tentang kapal-kapal
karena semua kapal didukung laut
sejak Bahtera Nabi Nuh
sampai pun Kapal Tujuh;
tanyakanlah pada laut tentang nakhoda-nakhoda
tentang lanun menjelajahi samudra-samudra
tentang penderitaan dan kegigihan nelayan-nelayan
tentang yang berkubur tanpa keranda
tentang kekasih berdekapan menghadapi maut

tanyakanlah tentang kesunyian pada laut
tentang nyanyian yang tiada berkesudahan
tanyakanlah tentang asal yang bernyawa
tentang binatang-binatang satu sel dan lumut-lumut.

(4)
ah, semata kerinduan melahirkan cinta pada laut
kerinduan pada yang jauh-jauh
kerinduan pada yang lampau-lampau
dan kerinduan akan jawaban
atas tanya hati sendiri.

tapi laut membisu
dia hanya memberikan tamsil

(5)
laut itu laksana telaga-anggur kehidupan
seteguk daripadanya membikin lupa daratan
tapi yang cinta padanya dan mengenalnya
tiada puas-puasnya meneguk
tanpa menjadi mabuk.

Priok, Maret 1962
[Dari kumpulan: Lintasan Ingatan]


Elegi II
untuk Thea

Ada waktu-waktu orang teringat pada yang sudah mati
karena kematian selalu merupakan pengampunan
atas segala keburukan dan tinggallah kebaikan saja
Bagi seorang durjana sekalipun mati itu adalah jasa
yang membuat orang mengucap syukur. Belumlah ada
orang mengutuk jenazah pada pemakaman
(Thea, dengarkan aku. Hidup juga adalah mati
jika hati tiada bicara lagi
Inilah kematian yang mengutuk diri sepanjang zaman)

Kawan-kawan, aku mengingat orang-orang yang sudah mati
karena kematian mereka menunjukkan belang
Ada pencopet yang mati sebagai pahlawan
ada pengecut yang tewas sebagai pemberani
ada tukang omong yang berkorban untuk kaum pekerja
ada pemabuk yang berikan nyawanya untuk perjuangan
ada keturunan asing yang berjuang lebih dari yang asli
Mereka orang-orang biasa, tidak berpangkat, tidak berbintang
mereka hilang – hanya aku kehilangan – namanya pun tak dikenang
Tengah malam ini aku teringat Sakti Lubis, teringat Maulana dan Julu
aku teringat Yahya yang mati di daerah rawa di Asahan
aku teringat Go Sek-liu yang kena disentri di tutupan
Mereka hanya sekelumit dari barisan yang panjang
nama-nama yang hilang dan jarang dikenang di seluruh penjuru
tanahair. Suara lonceng-lonceng malam ini tidak untuk mereka
Tapi kawan-kawan, kau yang masih hidup bicaraku adalah untuk kalian.


Elegi VII

Daerah Asahan-Labuhan Batu selalu kubawa di hatiku
di sana aku mengenal lapar sebagai kawan. Ubi rambat dan biji para
lebih nyaman dari hidangan di meja-santap raja-raja
di sana aku melihat api revolusi menjilat langit
membakar hangus istana-istana serta kursi-kursi keemasan
di sana aku saksikan kekacauan demi kekacauan melumpuhkan
kehidupan Rakyat yang rela menderita, tapi bangkit
dengan murkanya menentang penyelewengan jalan revolusi
Nyala revolusi itu padam, apinya membara di hatiku
dan di hati kaum buruh sejak Bunut sampai Ajamu
di hati kaum tani yang tersebar dari Sipaku sampai Pnipahan
di hati kaum nelayan yang menjelajahi pantai Selat Malaka
Di Asahan-Labuhan Batu anak-anak revolusi berjuang dan yang mati
berkubur di mana-mana, ada yang berserakan tulang-belulangnya
tak sempat ditangisi yang mengasihi mau pun dihormati teman-teman
tapi Merah Putih berkibar di sana dengan megahnya
seperti di Jakarta, seperti di Surabaya, di Yogya, di mana saja
sekalipun daerah ini pernah dilupakan, dia melawan, dia tidak hilang

Dan sekarang ini aku bertanya padamu, kawan-kawan
padamu Sidi Muli, yang di masa gerilya menamakan diri Sutan Tua
padamu Ibrahim, yang di masa NST memproklamasikan
Aslab bagian RI Kesatuan
padamu Haris Fadilah, Bambang, Raja Mengket, Mahris, Darmi
dan kalian yang beratus-ratus, beribu-ribu lagi, yang bersama-sama
pernah menggegarkan daerah gersang ini, pada kalian aku Tanya:
apakah masanya sekarang berpangku-tangan, menyerahkan
segala pada nasib
yang mengumbang-ambingkan kita seperti sabut dari muara ke tangkahan?
Sayuti dan Syaikh Wahab rela mati dengan dada terbuka
dan bersama mereka beratus, beribu yang tewas duluan
Apakah kematian ini tidak bicara lagi pada kalian
apakah kematian ini hanya mengutuk, sepatah pun tidak berpesan?
(Thea, alangkah nikmat hidup ini. Jika hati
tiada diberati oleh sesuatu lagi
tapi alangkah sakit, jika dia seliti duri.
denyutnya terasa ke ujung jari)

Medan, 31/12/59 – 1/1/60
[Dari kumpulan: Lintasan Ingatan]


Dalam Senja-Kehidupan Tambah Mendekat

dalam senja-kehidupan tambah mendekat
telah jauh jalan yang ditempuh
kaki terasa penat
hati gelisah ingin berteduh
sekedar membaringkan tulang delapan kerat

tapi bilakah aku pernah memikirkan rumah?

aneh. aku tak pernah belajar dari burung
yang selalu sibuk membuat sarang
padahal selama bertahun di penjara terkurung
aku rindukan burung di udara bebas terbang

dalam hidupku aku mengalami tahun-tahun celaka
perang, fasisme Jepang, perang kemerdekaan
permusuhan, kurungan, pembantaian manusia
lalu perkelahian antara saudara, penyembelihan
penjara, pembuangan
orang mabuk darah, mabuk kuasa
kalap

jangan bicara padaku tentang balam dan tekukur
atau perling yang pandai bernyanyi
atau merak yang indah bulunya
mereka hidup bagai terkubur
dalam sangkar-sangkar dan kandang-kandang
bersayap tapi tak bisa terbang
makanan dan minuman tersedia
mereka tetap kenyang

aku tak punya rumah
tak mengerti tentang rumah

bicaralah padaku tentang elang laut dan rajawali
yang terbang dari tepi langit ke tepi langit
bersarang tinggi di celah-celah karang di bukit-bukit
berkejaran di atas alun lalu terbang menyongsong matahari

aku tak punya rumah, tak punya harapan
bahkan mimpi pun tinggal sisa-sisa
serpih-serpih yang berantakan
berserakan di jalan kehidupan

aku menyapa Tuhan dan bertanya
tapi Tuhan diam dan memalingkan muka

telah diturunkan kitab-kitab dan suhuf-suhuf
mengatur makhluk dan kehidupannya
semua persoalan telah dijawab
bersama dengan kehadiran manusia di dunia

tapi manusia enggan kembali ke kitab

*
suatu malam aku menempati kamar di pelabuhan
jendelanya terbuka ke laut lepas
ada ranjang besi, satu meja dan satu kursi rotan
ada cermin pecah tergantung di dinding
tak ada isi kamar itu kepunyaanku
selain apa yang lekat di badan

aku berdiri di jendela menatap lampu-lampu
kemerlap di kapal-kapal berlabuh
angin berembus membawa keharuman napas
dan parfum perempuan-perempuan asing
berasal dari pelabuhan-pelabuhan jauh
mereka bagai ingin mengelu-elukan aku
dengan gaya yang ramah dan mata senyum
lengan dan dada terbuka mulus dan harum

sekilas terasa kepedihan kehilangan
yang telah dicapai dan disayangi
tapi dalam perjuangan yang panjang
dikorbankan atau menjadi korban
itulah tuntutan sejarah yang tak bisa dihalangi

sejarah adalah mimpi manusia dalam perwujudan
dan seorang pun tak bisa mengelakkan diri
rela atau tak rela, sadar atau turut-turutan

peluit kapal yang akan bertolak menikam malam
disahut raungan anjing-anjing liar
dari kejauahan yang kelam

*
mimpi kemerdekaan membikin aku jadi pejuang
menentang penjajahan, menentang fasisme, menentang ketidakadilan
mimpi kedaulatan melahirkan revolusi, persaingan
perkelahian saudara dengan saudara, permusuhan
ketika membagi-bagi kue kemerdekaan dan berpesta
aku tak bisa masuk barisan, terdesak ke belakang
kemudian kursi-kursi empuk diperebutkan, aku dilupakan orang

dalam mimpi demokrasi politik dan ekonomi, hak hidup dan hak sama
aku termasuk barisan yang kalah, dicap penentang dan masuk penjara
tak pernah diadili dan dibuang

itu adalah sejarah, penafsiran mimpi manusia
ada yang baik ada yang buruk, ulang-bergantian, pergi dan berbalik
yang baik bisa buruk dan yang buruk bisa baik
tergantung ketepatan memberi jawab pada tantangan
yang tak lain adalah takdir Tuhan yang Maha Esa

menghadapi larut senja kehidupan ini
kebutuhan dan tuntutan hidup manusia jadi berubah
baru terasa kepapaan orang yang tidak punya
Napoleon di St. Helena pun merasakan ini
panglima penakluk Eropa yang menjadi orang buangan
kehilangan mimpi dan harapan, terkucil dari sejarah

tapi aku tak sakit hati, tak menaruh dendam
tak membenci siapa pun, tak iri pada siapa pun
tak mengutuk, tak menyesali diri
hati dan jiwaku merasa tenteram
karena yakin, mimpi yang gagal pun adalah sejarah

apakah aku telah ditetapkan akan mati
sebagai anjing liar di tepi jalan?
Tuhan jua lah yang Maha Mengetahui

1983


Di Mana pun Wajahmu Ada (1)
untuk Abdullah Baraba, guruku

namamu awal segala rupa
puji hakmu tiada bertara
kepadamu kembali kalam dan karya
aku hanya pengemis mesra

[dari kumpulan: di mana pun wajahmu ada (Buru, 1973)]


Tentang Hr. Bandaharo
Hr. Bandaharo, penyair angkatan Pujangga Baru, lahir di Medan tahun 1917. Ia adalah anak H. R. Mohammad Said, konsul muhammadiyah untuk Sumatera Timur pada masa sebelum perang duania II. Ia mendapat pendidikan menengah Belanda MULO. Mulai menulis sejak umur 16 tahun. Dimuat antara lain di majalah Pedoman Masyarakat, Medan, yang dipimpin Hamka dan Yunan Nasution. Juga menulis di majalah kebudayaan Zaman Baru, Zenith, Kebudayaan. Kumpulan puisinya al. Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (Yayasan Pembaruan, 1958), Dari Bumi Merah (Yayasan Pembaruan, 1963) dan Dosa Apa (Penerbit Inkultra, 1981). Bandaharo adalah redaksi Harian Rakyat Minggu, dan salah seorang pengurus pusat Lekra. Ia ditahan sejak tahun 1965 di Jakarta dan kemudian di buang ke pulau buru sampai tahun 1979. Menghembuskan nafas terakhir di Jakarta, meninggalkan 4 anak dan seorang istri.  
            Kira-kira begitu ringkasan biodata Hr. Bandaharo di buku Aku Hadir di Hari Ini. Saya tambahkan dari buku Ajib Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Dikatakan di sana bahwa nama sebenarnya adalah Banda Harahap. Kumpulan sajaknya yang lain adalah Sarinah dan Aku (1940). Majalah yang memuatnya sajaknya antara lain majalah Poedjangga Baroe. Oya, kumpulan puisi Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (1958) memperoleh hadiah dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun 1960, bersama kumpulan puisi Priangan Si Jelita-nya Ramadhan K.H. Untuk lapangan cerpen ada kumcer Trisnojuwono, Pram, dan Ajip Rosidi. Untuk roman, ada Toha Mohtar dengan Pulang. Untuk drama ada Utuy T. Sontani, Nasjah Djamin, dan Mh. Rustandi Kartakusuma.    


Catatan Lain
Aku Hadir di Hari Ini terdiri dari 3 bagian, yaitu Dosa Apa, Lintasan Ingatan dan Mimpi dalam Mimpi.  Dosa Apa dibagi lagi jadi 4 subjudul, yaitu di mana pun wajahmu ada (puisi berangka: 1-12), aku hadir di hari ini (puisi berangka: 1-14), surat-surat desember (10 judul puisi), dan metropolis (puisi berangka I – X). Lintasan Ingatan berdiri sendiri, ada 7 judul puisi. 4 sajak di antaranya beranak pinak, dari yang terpendek 3 anak, hingga paling banyak 8 anak. Kemudian Mimpi dalam Mimpi, dibagi 4 subjudul, yaitu terkenang (4 judul puisi), kisah-kisah pengembaraan (5 judul puisi), mirakel (1 judul puisi) dan perhitungan (3 judul puisi). Sebenarnya, agak susah juga saya menghitung berapa banyak puisi yang ada di buku ini, apakah hanya menghitung judulnya saja atau sekalian anak-anaknya juga. Daftar isinya rada tidak konsisten, ada yang menampilkan dengan anak-anaknya, tapi tidak sedikit yang tidak. Akhirnya saya tetapkan saja, jumlah puisinya berdasarkan daftar isi saja, yang kalau dijumlahkan menjadi 66 puisi.
            Belum pernah ada polemik di Indonesia yang penuh dengan emosi, berdarah-darah, berkepanjangan, dan saling menyenggol “periuk-nasi” pelaku-pelakunya. Secara sederhana, mereka yang cenderung kepada paham realisme-sosialis mendukung “seni untuk rakyat” berhadap-hadapan dengan mereka yang berpaham “seni untuk seni” yang dikatakan sebagai penganjur “humanisme universal”. Polemik mengerucut pada dua kelompok besar, yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Konon, menurut Ajip Rosidi, sebelumnya sudah terjadi polemik itu antara penganut realism social dengan orang-orang di lingkungan ‘Gelanggang Seniman Merdeka’. Dan juga patut dicatat, bahwa pendirian Lekra di Jakarta pada 1950 juga dihadiri oleh H.B. Jassin dan Achdiat K. Mihardja, yang di kemudian hari menjadi orang-orang yang juga diserang. Ya, pada akhirnya, penganut “seni untuk rakyat” tidak punya pilihan lain selain terjun langsung ke masyarakat melalui kegiatan politik praktis. Dan kalau itu pilihannya, risikonya menjadi lebih nyata. Dan saya pikir, risiko itulah yang juga diambil oleh Wiji Thukul di periode berikutnya. Tapi memang tak banyak penyair yang bisa lahir dari lingkungan yang penuh risiko ini. Puisi-puisi mereka berada di antara metafora dan slogan. Banyak penyair yang jatuh hanya menyuarakan slogan, umpatan, pekikan. Saya pikir, mereka yang berhasil di kelompok ini karena mereka juga sebagai perenung. Hr. Bandaharo dan Wiji Thukul, saya kira, termasuk golongan perenung itu.  

3 komentar:

  1. Di mana bisa mendapatkan buku ini, Oom? Trims

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya saya juga nggak tau, tapi coba cari tau ke penerbit ultimus lewat media daring atau ke bilven di facebooknya. Siapa tau bisa bantu...

      Hapus
  2. Puisi-puisi yang indah ... heeemm ...wawasan baru lagi
    (Wisnu Murti,https://tulisandenpasar.blogspot.com)

    BalasHapus