Selasa, 01 Juli 2014

S. Wakidjan: PITA BIRU




Data buku kumpulan puisi

Judul : Pita Biru
Penulis : S. Wakidjan
Penerbit : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah
Cetakan : I, 1979
Tebal : 56 halaman (30 puisi)
BP No. 2130

Catatan: Buku ini pernah diterbitkan Balai Pustaka, 1962, Djakarta. Gambar kulit oleh Mes’oet N. Joenoes

Beberapa pilihan puisi S. Wakidjan dalam Pita Biru

Ibu dan Bapak

Ada pangestu dalam sorot mata
dalam gerak bibirnya,
mengelus mesra sepanjang langkah.
Sekarang tulislah:
Kamus lengkap yang acap aku buka-buka!

Ini pengembara yang terus haus
nyeret kaki nurut bisik-bisik halus
tidak lewat di jejak kerjanya melulu,
cuma jadi tukang jual susu.

Dua manusia itu,
bagiku:
Bulan, matahari, pantai
juga lembah indah,
bisa bikin hilang lelah.

Nanti kalau uban sudah tumbuh
dan bentuk-bentuk itu sama luruh
apa mesti membisu di jalan panjang?
Tidak, tidak! Ini ada kaki untuk jalan melenggang…



Malam Jernih

Langit bersih
Bulan putih
Bintang-bintang jauh menepinyisih

Malam yang jernih

Dan aku betah sekali
Membenamkan muka pada bidang malam begini
Biar hanya berteman dengan hati

Dan tidak punya janji

Lihat! bayangan pada girang menari
Kalau angin tiba berkendara cahya

Malam jadi lebih panjang sekali
Hingga pagi merangkak tiba mengganti.


Ulang Usia Kelahiran

Pagi kepucatan di pangkuan bumi
Tiada tingkah bocah membuncah
Hanya sekeping malam bermukim di hati
Beserta secabik cinta yang merah.

Cinta yang merah
Malam sekeping
Pagi kuning
Melekat pada kerdipan netra bening,
Dan aku pantang menyerah!

Sebutir embun putih terlambat netes di tanah


Kenangan
kepada alm. adikku D

Segunduk tanah bertumbuhan rumput jalang
di samping kerampingan kemboja berkembang
jarang:
Tempat istirahat adikku sayang
Tempat yang selalu berselimut tenang
meriba berpuluh tubuh kaku kejang
penuh kasih sayang

Benih muda yang tertimbun batu
Itu engkau, adikku!
Ocehmu: pawana melanda rumpun bambu,
masih membekas panjang di balik dadaku.

Dan kenangan padamu, sayang
Membasah mataku nyalang
melahirkan sajak di malam gersang.

Sepi sendiri
cuma berteman bintang bulan hampir mati
Dan adikku sudah pergi!


Lagu Penidur Bocah

I
Podang pulang perbukitan pudar
Bawa buah cawat cinta
Bawa bulan sarat sinar
Bawa biru langit luas
Tidurlah sayang, tidurlah manik mata
Nanti ibu bikinkan pasaran
Nanti bapa bikinkan mainan!

II
Wajah wingit wiku-wukir
Senyap samadi mendoa dikir
Di alam alim antah berantah
Bulan bulat cahaya cerah
Tidurlah kasih, tidurlah manis
Jangan nakal jangan nangis
Beranjak besar anakku manis!

III
O, malam mabuk tuak tua
Kejang kolik ditekik tinggi,
Bapa bunda merestui
Pada putik belahan nyawa
Tidurlah kasihku, tidur
Tambah umur, tambah subur
Kelak sayangku masyhur!

IV
Ah, betapa rindu rina akan hari
Penuh pencar sinar matari
Tiada lelehan getah gulita,
Dan engkau kenes ketawa.
Kini tidurlah dulu sayang
Pagimu membayang, harimu masih panjang
Tidurlah, tidur, anakku sayang!

*Wajah wingit wiku wukir = wajah tenang tekun pendeta di gunung


Pejuang yang Hilang

Namanya terlalu kudus untuk ditulis dilisankan
Kisahnya begitu agung buat cerita dan kenangan
Mereka hidup dalam hati yang setia
Yang merangkum tanah air dalam dadanya

Di awal, satu sumber gerak gelora
Seketika bisa buyar terbentur kedangkalan rasa
Sedang mereka hidup dalam hati yang setia
Yang merangkum cinta dan keberanian dalam dadanya

Lalu siapa wajib beri isi kehilangan?
Kita semua atau keluarganya yang duka?

Ah, suatu kehilangan yang menjiwai cita
Cita dari cinta yang hingga kini belum sewarna

Karena aku penyair, mereka kuberi tempat dalam sanjak
Karena aku pengembara, terluncur doa dalam jatuh dan tegak


Ibu

Pagi telah lama mati
dan datang malam tebal nyelimuti bumi

Dalam saat-saat begitu
rindu kasih mengucur mesra
membenam lembut setitik kata:
Ibu!

Ke sana tiap pelarian sembunyi berdoa hening
dan musafir menimba restu
sesudah akar harapan satu-satu menguning kering
dan lorong-lorong cita penuh geronjolan batu.

Ibu!
air zamzam penenang kalbu
Aku bentang sayap ke langit biru.


Gadis

Di bawah titian garis alisnya yang gelap
bersarang sinar kembar yang asing berkilauan
dari bibir ke bibir kabar merayap:
siapa memandang ‘kan merasa cinta berdeburan,
menggosong hati
membelah dada.

Siapa dia?
Gadis dari daerah mimpi yang wangi?

Bulan yang tiba pada waktunya
tahu, bahwa tahtanya akan direbut rina
dan aku tahu, gadis lambang keremajaan yang bakal sirna.


Berita Kepada S.K.

Pohon pisang sudah berbuah, nimas
Kelu kejang klaras pucat-menyerah
Merunduk tunduk ke bawah
Mencium tanah pada perpisahan tidak berwatas

Sewaktu terik melepas lecut
Memutus haus dalam jilatan bibir kering rengkah-lisut

Dan
Lengking kelinting penjual es dan manisan
Tinju pukulan bagi tiap saku kempis
Bisa juga bikin diam bocah nangis


Kepada Kekasih yang Lepas

Piring dan senduk membisu
bersama bekas kuah dan butiran nasi,
ini engkau
bikin kucing tambah ingin mau menjilat.
Dan bulan bintang di langit cerah
membuat jarak jauh kita jadi menikam.

Kini kekasih lepas makin lepas
batas berkaratan saksi waktu;

Ah, yang terpandang dan terkenyam langsung mencekik.

Piring dan senduk tetap membisu
bersama bekas kuah dan butiran nasi.
Aku sendiri kelu
bersama kenangan dan bayangan.


Laporan

Itu mata genteng berdebu
Dan tingkah mengendap kelu

Gigi tulang jua menonjol mau bicara
Gelepar nyawa melingkar usia

Ah!
Bikin catatan laporan dengan kepucatan
Yang mematikan
Di sela desis nafas kepayahan

Bilang bibir boleh basah
Langkah lepas melangit cerah.


Malam Larut tiada Omongan

Malam larut tiada omongan
kosong merata

menyurutkan nenek jadi membayi
anak-anak mimpi manis madu kedewasaan
dan kesibukan pikir mencair dingin

Dalam keseluruhan kedamaian ini
ada aku: berdamai dengan hati
pegangan pada siang hari mendatang


Perawan Kota Bengawan

Surut senja di seberang senyum
Terjun teja di tengah tawa
Ke mana lagi hati mau ngembara?
Di kotaku mawar menguntum di mata ranum!


(kepada mungilku: mBong, Ris, dan Ida)

Di atas langit biru memberat
bintang-bintang samar mengabu
tidak sebanyak biasa.

Angin mati
kesepian mengapungkan maharuang
nerawang bayang raut mungilku
menggigilkan kerinduan yang menyemak.

Kita sedarah, buyung
sama merah sama putih;
musim-musim yang mendatang nanti
akan membisik kebenaran kata itu:
Kita sedarah, buyung!

Kelak dengan senyum memagi
dan wajah alam cerah,
engkau kembali
kembali,
dan berkata lunak patuh, penuh
kemesraan menyayu:
Ananda datang, Bapa!

Di atas langit masih biru memberat
bintang-bintang samar mengabu
dan kesepian mengapungkan maharuang

mengapungkan hati mataku…


Prabangkara dan Hapyu
(fragmen)

I
Bulan putih
Malam jernih
Kasih menampung kasih
Merajut cinta telah terpilih.

Silir angin menyegarkan
Harum bunga tanjung berguguran
Janji dikuatkan:
Perkawinan
Atau dua jiwa satu kuburan

Bulan, bunga tanjung dan cemara
Menyimpan janji di bersih udara
(Hapyu dan Prabangkara turun taman
Membawa kemanisan membawa kenikmatan
Dalam dada dalam kenangan)

Malam makin meremang
Cahaya hilang
Angin hilang
Rindu resah mengambang

II
Putik pilihan Prabangkara
Putra mahkota
Hembus halus harapan Hapyu
Perawan ayu juru taman, tersapu
Gertak geram ayahanda prabu
Ratap kasih bunda mencinta.

Maunya prabu
Jelita istana jadi menantu
Sama derajat
Sama ningrat

Asri puri oleh melati dewi
Cinta ayahanda
Cinta ibunda

III
Sendu kelabu di kalbu Hapyu
Gundah membelah dada Prabangkara
Tiada cahya
Tiada lagu

Mana belai bahagia
Mana tangan syahdu
Yang mau menuntun ke sumber gita?

Panah patah tertumbuk batu

IV
Gelap yang menyungkup hari
Gelap yang mengurung diri
Menyimpulkan putusan di hati Hapyu
Lari
Lari!
Membawa hati perih malu
Cinta
Derita

Biar mati dimangsa rimau
Atau terkapar di tanah rantau
Tinimbang s’lalu ditimang risau
Lari
Lari!
Tinggalkan engkau bapak simbok
Daku pergi ninggalkan pondok

Mencari yang tak tercari di luas langit
Jalan jurang pembebas sakit
Selamat tinggal!
Ampunilah anakmu tunggal!

Gadis menangis pergi
Fajar mekar di muka bumi.

V
Kesepian ruang keheningan yang mati
Membuat Nyi Juru mencari-cari
Adakah Hapyu masih nikmat dimabuk mimpi,
Ataukah lungkrah digulung gandrung?

Kamar gadis sayu-suwung
Ke mana pergi nini sepagi ini?
Dalam mencari-cari Nyi Juru hanya bersua sunyi.

‘Duh ketewasan kyai
Hapyu pergi, Hapyu lari
Tiada bekas pesanan…

Juru taman sekalian ditelan kebingungan
Matahari makin meninggi
Rupawan taman tak kunjung kembali


VI
Dengan dada padat duka
Resah melangkah Ki Juru ke kabupaten
Di matanya menggenang bening air mata
Di pusat hatinya mengalir rasa rawan…

Gerisik geser tapak di pasir pura
Meretas rumpun puja pangeran muda
Terusik keasyikan samadi di sanggar panepen
Natap netra memandang Ki Jurutaman

Badai bencana bagai belah di bumi hati
Terasa-rasa risau rangkai-rinangkai
Apa pula bala yang tiba?

Dengan derai suara renyah
Penekan pikir penuh prasangka
Meluncur lincah tanya kata Prabangkara

Gemetar gugup berkisah Ki Jurutaman
Dari awal sampai penghabisan
Tentang Hapyu mabuk rindu kasmaran,
Nyusul lenyap hilangnya rupawan taman;
Sekilat pucat wajah cerah putra mahkota
Di semu senyum sambil berkata:

Saat apa Hapyu berlalu?
Bumi mana titik tuju?
Dan kapan Paman, dia lepas lalu?

(halaman 22 kosong melompong, sepertinya puisinya belum selesai, kesalahan cetak?)


Tentang S. Wakidjan
Tak ada biodata penulis di buku ini.


Catatan Lain
Kumpulan sajak “Pita Biru” terdiri dari empat bagian, yaitu Pita Biru I (8 puisi), Pita Biru II (7 puisi), Pita Biru III (7 puisi), dan Pita Biru IV (8 puisi).
            Oya, saya sempat menduga bahwa penyair ini adalah illustrator di banyak buku terbitan Pustaka Jaya. Ternyata salah. Ada satu huruf yang berbeda: A. Wakidjan dan S. Wakidjan. Ternyata ini adalah dua orang yang berbeda. Karena tak ada biodata penyair di buku terbitan ini, saya berburu di internet. A. Wakidjan (1928-…) adalah pelukis dan illustrator yang lahir di Yogya. Ia bersama pelukis Zaini, Nashar, dll, menggerakkan Sanggar Seniman Indonesia Muda Yogyakarta. Awal belajar melukis pada Jaya Asmoro (1944-1945). Setelah itu, lingkungan belajarnya meluas pada S. Sudjojono, Affandi, Usman Effendi. Ia pernah menjadi pelukis bebas di pasar seni ancol, Jakarta. Pernah bekerja sebagai illustrator majalah Kisah dan penerbit Balai Pustaka (1949-1950).
            Nah, S. Wakidjan, jika benar itu orangnya, pernah menulis puisi di Surat Kabar Asia Raja (surat kabar propaganda Jepang, 29 April 1942 - 7 September 1945). Judulnya “Menoedjoe Tjita”, dimuat 18 Juli 1945. Tercatat nama-nama seperti H.B. Jassin, Usmar Ismail, Rosihan Anwar, Karim Halim, dsb pernah menulis puisi di situ. Literatur lain menyebut puisi S.Wakidjan juga mampir di Mimbar Indonesia (1950-1954). Saya rasa penyair ini tak banyak disebut, dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi, namanya ada di “indeks nama” halaman 171. Tapi ternyata tak ada nama itu di halaman tersebut. Sekali ada juga disebut nama ini dalam Prahara Budaya-nya Taufik Ismail dan D.S. Moeljanto. Ketahuan bahwa pada masa-masa polemik Manikebu-Lekra, ia berada di daerah. Di Solo. Jauh dari hiruk-pikuk. Dan jika benar itu orangnya, huruf S itu adalah Sukono Wakidjan. Termasuk satu dari sekian banyak penyair yang puisinya ikut diterjemahkan ke bahasa Rusia. Entahlah. Salam puisi saja.  

Pita Biru terbitan Balai Pustaka, 1962. Sumber foto: http://fadlizonlibrary.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar