Minggu, 01 Maret 2015

Made Adnyana Ole: DONGENG DARI UTARA




Data buku kumpulan puisi

Judul : Dongeng dari Utara
Penulis : Made Adnyana Ole
Cetakan : I, Mei 2014
Penerbit : Akar Indonesia, Yogyakarta
Tebal : xiii + 112 halaman (57 puisi)
ISBN : 978-979-99838-9-3
Penyunting : Raudal Tanjung Banua
Desain isi dan cover : Frame-art
Gambar cover : Polenk Rediasa

Dongeng dari Utara terbagi atas 3 bagian menurut tahun penciptaan, yaitu 2007-2012 (7 puisi), 1996-2006 (29 puisi) dan 1986-1995 (21 puisi)

Beberapa pilihan puisi Made Adnyana Ole dalam Dongeng dari Utara

Si Tua Penyadap Tuak

Penyadap atau pemabuk, segalanya tak terduga
Si tua itu hanya minum pada setiap hari yang dini
dari sadapan embun sisa-sisa usia

Tuang, Kekasih, tuanglah!
Hempaskan dahagaku
Setelah kudaki tiga ratus ribu pohon lontar
Tiga ratus ribu lagi batang sagu
dan tiga ratus ribu kelapa di tebing curam
pada lintas angin
pantai-pantai yang terlupa

Tuang lagi, larutkan kering usiaku
Seteguk nyeri di ujung ginjal
tak akan membuatku terhuyung
karena maut sudah kerap kusaksikan
saat kutundukkan puncak pohon
yang dicintai langit
dan bintang siang terjatuh di mataku

Si tua itu sangat paham arti tubuh yang terlepas
dari tanah atau roh yang khilaf
Ketika elang liar menyapa di sela udara
dan tangan ramping serangga pohon
meraba pundak tanpa kata

Tuang lagi, Kekasih, tuanglah!
Sekerat usia tak akan tandas, meski segala alas
ditingkap ke seluruh arah
Karena telah kukenal beratus ribu pohon ketinggian
Ingin kukenal juga beratus ribu jurang tanpa akar

2006



Dongeng dari Utara

Di utara, Ibu
Kebun kaktus, hutan bersuara liar
Punggung bukit hitam. Orang-orang Atas
memburu titik lampu
Sembunyi seperti bintang sesat
di atas langit jatuh, puing kota
yang mati dini hari
Lalu membusuk
di mulut ular!

Suara liar, hutan kaktus
Maka simpan suaramu, Ibu!
di goa mati
di tapal batas paling tipis
antara daun peneduh, kayu asam yang rindang
dan kampung pelacur

Simpan suaramu!
Desis ular, lolong anjing
atau raung hewan piaraan
di rumah kesayangan peri kota
Senantiasa memburu tumbal
Untuk menyambung pita tenggorokannya
yang terputus
usai mimpi besar, tadi malam

Di utara, kita terkenang
Dulu, kebun anggur, rambatan hati petani
Di sisi telaga bening. Ada air terjun
bisu tanpa riak
Ular-ular jinak memperlihatkan pelangi
Ekornya yang runcing
memanggil bidadari

Di utara, Ibu
laut kini menganga
seperti kuali
lubang matahari
tempat indah
bagi ikan-ikan kecil
bunuh diri!

2003


Jalan Subak yang Menanjak

Jalan subak
Jauh menanjak
Meminang air di sangkar awan
Yang dijaga pawang muda
Pada jaman kilau cuaca
Sedang taman padi yang selalu berbunga
dan isak penyesalan burung-burung
Kini terperangkap dalam bingkai lukisan

Lalu apa gunanya menangkar musim
dalam upacara kesuburan?
Bahkan perjalanan menemu bulan
telah menyibak kerumun bintang
Dengan kerlip emas
yang telah berabad-abad menemu mimpi
dalam genggaman musim demi musim

Tapi jalan subak
yang deras oleh kesetiaan rumput
Jauh menanjak
Mengabulkan luka
dan riak perih lagu air
dalam parit darahku sejati
Sebagaimana tangis pada awalnya pecah

1997


Desa Palasari, Jembrana

Segala kesejukan terbendung di sini
Waduk bundar bulan
Menganga seluas pikiran!

Terbendung di sini,
Seragam darah yang jemu. Beragam doa yang tak jemu
Ketika bukit kecil menyematkan air
pada dinding-dinding teguh
tubuh si petani
Seragam darah. Beragam doa.
Upacara meminang air digelar
Bersama seluruh joli, umbul-umbul
Dan tetabuh bunga-bunga
Suara jernih azan senja
dan kidung warga sari
dan nyanyian kebaktian di gereja tua
Saling peluk. Saling menanamkan getaran rindu
Di lahan senja yang mengarung hingga bukit kelapa

Di mana tuhan,
Di mana air kehidupan dilahirkan?

Di sini. Segala kesejukan terbendung di sini,
di tengah anak-anak liar bermain lumpur
Di bawah satu langit
yang mereka bayangkan sebagai ibu

2000


Lumbung Kencana

Kujunjung harapan
Memasuki lumbung kencana
Lewat denting piring kaca
Gemericik tuak dan lumpur kental

Dari kerlip derita
Cahaya hidup yang bening
Mengalirkan senyum kita
Ke tengah gaduh pesta para hama
Kita mabuk kegelapan; tergoyah!

Di mana keagungan ditancapkan
Pada masa yang mana
Hidup lebih berharga?

Tajam kerling mimpi
Memanjat tangga bambu, sisa jejak ibu
Kau menanak doa dalam cahaya jiwa
Aku mabuk kenangan. Terbenam
dalam binar harapan

Napas hidup terbenam
dalam lumbung kenangan
Kujunjung doa
Memasuki lumbung kencana

Karena ditolaknya benih nasibku
Diserapnya bias anganku
Kita mabuk doa, sambil menduga-duga
Kapan kebanggaan
dipanen bersama-sama

1996


Keluarga Penuntun Sapi
- sumberkima, gerokgak

Mari kuceritakan kisah si lelaki penuntun sapi:

Suatu senja di tepi laut, ia meninggalkan senja dan laut
tapi tak bisa memisahkan lebam dan asin dari tubuhnya

Seekor sapi, hanya seekor, diikatkan pada jari termanis
Lalu ia melangkah ke rumah. Melangkah dengan satu jari
terkoyak, yang tak mungkin dirajutnya kembali

“Istriku, bagaimana aku bisa menuntunmu dalam rumah
Dalam tali ikatan yang aus ditiup usia, sedangkan angin
berkejaran tak putus-putus,”

Mari kuceritakan kisah istri si penuntun sapi:

Suatu malam di rumah garam
ia menghitung malam dan menidurkan rumah
tapi tak bisa mengumpulkan angka pecahan dari kepalanya

Sepotong suami, hanya sepotong, dibangunkan dari tidurnya
lalu ia melangkah menuruni tangga  pasir. Ia takut
pada uap basah
ia takut membangunkan rumah dari akar yang lemah

“Anakku, jangan meminta terlalu limpah, saat tidur
Saat mimpimu terputus, sedangkan malam memintal gelap
tak putus-putus,”

Mari kuceritakan kisah anak-anak si penuntun sapi:

Suatu pagi di sisi matahari dan sela cahaya,
Mereka benamkan pagi, matahari dan cahaya, di tengah laut
tapi tak bisa mendapatkan riang saat tubuh mereka menjelma
jadi garam

“Ibu, telah kubenamkan sapi itu, ketika ikatannya terputus
Sedangkan laut bergelora, tak putus-putus,”

Apakah akan Engkau paksa aku bercerita sampai kisah itu berakhir?
Maaf, jangan paksa aku memulai!

2006


Dendang Denpasar

Mimpimu, Denpasar
Membuatku terjaga!

Di atas kota yang segar
dalam putaran seribu bulan
terus saja berbiak
Namun waktu dan rasa kehilangan
mengalir ke dalam kubur cahaya. Dan mimpiku
tertidur di atas gelap jalanan

Aku terjaga, namun tersesat dalam dendang keramaian
jiwa sendiri, tempat dari mana kudengar jerit terpatah
rasa napas paling liat
menjelma patung tanah
Lebur diguyur hujan
atau angin kering menyihirnya jadi debu

Patung tanah masa silam
kenangan tak terjaga. Liar dan kesepian
Merangkak. Menggapai diri yang meluncur
di balik cermin kusam
menjelma mimpi. Menara mimpi-mimpi

Dan aku terjaga!
Adalah harapan mendekat
pada cinta yang lebih berjiwa
Bersama napas dewa-dewi, janur paling belia dan
kidung puja yang abadi

Bawalah mimpiku juga, Denpasar
Biarkan aku tetap terjaga!

1996


Sampek Ing Tay dari Banyuning
terkenang: wayan sujana jedur

Kau tutup usia
seperti kaubuka drama cinta itu
dengan kerendahan hati
serta kata maaf yang sangat merdu

Lalu, seluruh tirai digantungkan di tiang latar
Tali-temali direntangkan dengan tarikan napas
yang hangat oleh malam
yang bernas oleh tatap mata
dan drama cinta ini pun dialirkan ke batas pagi

Selembar demi selembar tirai diturunkan
Pada lembar pertama, ada kolam mungil
di tengahnya selalu kaubayangkan sepasang bangau
membagi serpih ikan dan serangga yang tak berdaya
Lembar ketujuh, sebuah sekolah kecil
di dalamnya kaubayangkan sekotak cinta
dan sekeranjang ilmu
untuk memberi nilai pada kematian
Lembar keduabelas, seonggok kuburan
di lubangnya yang gelap kaubayangkan
sepasang kupu-kupu
memadu cinta sebelum mengarung langit menuju sorga

Tapi pada lembar hidupmu, ada drama kecil
di panggung yang luas kau membagi serpih ikan
kepada anak-anak
yang akan terus meminta sepanjang terang

Maka lupakan teka-teki cinta itu, Sampek!
Sebab seluruh hidup adalah tipuan
semua gerak adalah penyamaran
Bahkan sebelum cerita dikarang dengan pikiran sehat
Sebelum drama ditulis dengan alur bersih dan hati gembira

Apakah kau temukan sepasang kupu-kupu
Terbang dari kuburmu. Lalu melayang di langit biru?
Sementara drama cinta yang kaubuka
dengan kerendahan hati
dan kata maaf yang sangat merdu
Tak akan pernah berakhir
Sebab akhir usia adalah awal dari drama cinta
Yang biru
Yang haru
Sepanjang waktu

2012


Tilas Penyeberangan Orang-orang Suci di Selat Bali

Kijang Air:

Hanya kijang ramping yang tahu cara berenang
seringan ranting
ke pulau hutan di seberang
Maka, tunggu senja merah saga
langit awan tembikar. Tunggu, tunggu,
getar seratus kijang menuntun Kita

Tapi Kita; Si Konon dan Si Lampau
sesungguhnya tak pernah tahu tentang jejak
yang selalu hilang
dihapus air atau dipagut ular laut
Ketika usia hanya akan berubah menjadi kelak
dan setiap pesisi di sebuah pulau mesti selalu diberi nama
dengan pongah, untuk sebuah ingatan yang enyah.

Hanya Kijang, Mpu! Kijang air
Ia selalu menetaskan jejak di bibir ombak, usai peram
pada senja, di rawa dan muara
Maka, Selat Bali jadi ringkas seperti parit landai
sedangkan terumbu di balik batu
masih setia
menyimpan lidah garam
Naik, naik ke punggungku. Sebuah pulau mendekat
dengan penghuni macan kerdil dan manusia lumut
mungkin tanpa Tuhan. Tapi mereka memuji segala rahasia
seperti puji besar kepada Tuhan. Naik, naik ke punggungku

Tak perlu mengayuh kayu apung
dengan mantera mujarab
atau kitab ajar dari Gunung Semeru
karena setiap siasat akan selalu menguap di setiap selat
Karena setiap selat akan selalu tega memasang arus pemisah
untuk siapa pun yang berada di seberang
atau siapa pun yang merasa berada di seberang

Tapi di mana batas sebuah daratan
Jika kijang tak berkenan memberi nama
bagi setiap pulau
yang telah lama menjadi rumah?

Pulau Hutan:

Rumah yang tumbuh kemudian. Dari pohon
dan batu-batu tebing
Adalah tempat terhormat segala penat
Tidur, tidurlah. Setengah kerjap saja pada mata yang dalam
Selalu punya arti bagi hari-hari yang dirayakan setiap pagi

Lalu, di sebuah tapal yang samar
Kalian disambut!

Sembilan puluh bocah dengan sembilan puluh kasta berbeda
(tapi dengan warna hari tua yang serupa)
mengibarkan seutas perca selendang
yang dirajut setiap malam
dari serat daun pandan
sambil menabur pudak seladang-ladang
dan tangan yang dikibaskan ke udara
seperti menerbangkan rasa sakit ke segala arah

Di gerbang tanpa pintu
Ada sepasang penjor dari bambu tulang

Pucuk lengkung yang oleng dan rapuh
dihias janur
disumpang bunga pengantin

Batang lurus yang kuat dan matang
dibenamkan
sedalam-dalamnya
ke liang tanah

Kalian disambut dalam hutan gemah yang basah
Buka, buka tangan kalian. Palawija menyembul di tanah datar,
palagantung menggelinding di lereng pangkung
segala gurih daun, segala ranting rambat, segala batang berbuku
menawarkan rupa pada tangan terbuka: Yang meminta
atau memberi!

Apakah yang ingin kalian selamatkan
Di sebuah pulau yang tak pernah dimiliki
dan tak pernah diberi nama
oleh siapa pun yang setia
menjadi penghuni
sepanjang hidup
atau sepanjang mati?

Kalian pun terpental! Tapi tak pernah bisa bertolak
untuk kembali ke asal sarang
Karena kijang air. Dan segala yang dulu ramping
sudah begitu lama menetap jadi gembala
di pulau hijau yang membuat kaki jadi tambun
dan tangan yang payah melambaikan usianya
ke semak-semak

Maka, tinggal, tinggallah kalian di sini!
Lepaskan Tuhan dari kepala dengan anggukan sempurna
Karena tempat yang terlalu suci terkadang membuat kami alpa
kepada waktu yang senantiasa luang

Jukung Labu:

Empat ratus tahun kemudian
Kau diusir dari perang suci yang tak pernah dirancang
bahkan dalam rapat paling gelap sekalipun

Maka, keluarkan dagingnya, Dang Hyang!
Sebutir labu dengan cangkang yang matang
bisa begitu ringan
Untuk membawamu ke arus timur
ke satu daratan dengan tiga gunung api dan empat danau
di mana kelak empat istrimu
(mungkin ditambah dua atau tiga dayang
dengan tugas seperti seorang istri)
menurunkan anak-pinak dengan warna darah berbeda

Apakah yang ingin kalian ajarkan
Di sebuah pulau dengan beratus-ratus perempuan petani
Yang berkali-kali mendinginkan lahar gunung api
dengan tiupan kecil siul kecil
jadi humus dan lumut biru
di kebun datar
pakis payung?

Karena selalu saja akan begitu, Dang Hyang!
Buku ajar yang menebar di tengah daratan
tercabik seperti kue labu
di tengah keluarga besar yang tak begitu riang
Sebelum sempat disalin menjadi puisi suci
atau jadi mantera di tengah pesta anak-anak
yang setiap pagi kehilangan nenek moyang

2008


Kiasan Diri

Apa yang dicari dalam kegilaan,
Kiasan diri: doa atau sajak?

Setelah gelap yang pejam,
Nasib terbaring
Berharap kata jadi suara
Lalu bunga mekar, benih sejati,
dan tunas menyala
di bawah langit yang menyala
di mana berkumpul pasir hari
dan nama. Belajar terbang
Sebelum getar pada dada

Dan mimpi melambaikan cahaya
kepada nasibku di hening malam
Aku silau dalam gelap
Tubuh kepada bayang-bayang

Apa yang dicari dalam kegilaan,
Kiasan diri: tubuh atau rupa?
Setelah bisu yang pejam,
Segalanya serupa!

1994


Rahasia Doa

Hasrat berontak yang terpendam
Bagai sesat angin buta
Terasa, kau telah aduk sunyi-Ku

Senantiasa berhembus lirih
tangis air, kembang doa, puntung dupa
Bintang padam di lubang luka jiwa
Pudar. Terjatuh dari cerlang yang purba
tempat darah menyekat roh-Ku

Hasrat berontak yang terpendam itu
Sekelam nyeri dendam
Sesenyap senja tanpa cahaya
Namun terasa, kau telah isap sepi-Ku

Hingga bisu menjadi rahasia
Doa penghabisan atau rasa putus asa
Roh-Ku mengelupas dari sarangnya

1993


Pura Besakih

Altar pura di lereng gunung tandus
Meluncurkan gairah nyanyian angsa putih
Ke lembah dingin pedusunan hening

Om, Besakih! Om, Besakih!
Pucak meru runcing tusuk langit-langit suaraku
yang merambat pelan
Yang merangkak bagai raksasa mengayun bulan
Mengayun bulan di tengah pulau terang

Tusuk langit-langit suaraku!
Biar hening tumpah
dan pulau para Dewa menghisap napas pedusunan
Sepanjang tegaknya kayu tua dan lembut ijuk hitam
Selama tangga batu melangkah, dan nyanyian angsa putih
Menyembelih kulit tangankku
yang apalah daya, tak sampai memeluk gunung
tapi tiada henti melontarkan mekar bunga

Om, Besakih! Om, Besakih!
Kujaga nyala dupa. Kuhirup dingin tirta
Kukenang kelahiran. Kujaga kanak-kanak
Ketika mata air di bumi memberi dahaga
kepada rusa liar. Dahaga doa dan permainan abadi
Maka anak-anak bersimpuh di atas batu beku
Nyanyiannya mendaki gunung. Hasratnya yang liar
Menyelam ke dalam hati kita, seperti getar genta
Yang berpusing di langit, tapi bergema di ulu hati

Om, Besakih!
Kekenang kelahiran. Kutangkar sejarah.
Tapi tak kusangkarkan permainan kanak-kanak
Ketika altar pura di lereng gunung tandus
Meluncurkan gairah nyanyian angsa putih
Ke lembah pedusunan hening. Tempat kita lahir!

1997


Seorang Penyair di Desa Tembok
- widyazid soethama

Di Desa Tembok, semesta tua
Kau yakin benar tentang pagi yang terbit
tiba-tiba dari sebuah kebun dengan pucuk karang
yang tumbuh di setiap malam

Kau yakin benar
tentang kering yang membuat daun jadi cahaya

Apakah kau telah mendaki terlalu jauh
ke julang lebam, punggung hitam pemetik batu?

Ingat, puisi kadang bisa membantu
dengan sebait hujan dan sebaris serangga
Tapi kau harus turun ke rahim tanah, tanpa kata
Mencari sungai yang tenggelam
arus yang terseret dan lenyap di bawah pasir

Karena di Desa Tembok, katamu
akal dari ketuaan semesta akan memberi denyut
bagi jiwa yang belia, di antara keterjagaan
dan mimpi yang terjaga

Apakah kau telah bermimpi terlalu dalam
di ceruk nanar, mata merah penanam batang tuak?
Lihat, gadis bening itu mengalihkan pinggulnya
ke tepi sumur curam, ke dasar harap paling gelap
Tapi memalingkan mata ke ujung laut paling jauh
Berharap mendapatkan matahari
yang berbeda dari mata milik ibunya

Di Desa Tembok, semesta huyung
Kau menemukan kumpulan lelaki bernyanyi lirih
dari pengeras suara yang oleng mabuk arak
Yang petani menjual sampiran
Si penjual air menanam makna
Dan pengeras suara itu tetap saja oleng
kali ini ditimpa angin dari barat

Tapi kau yakin benar
ruang kosong yang sesak
memberi cinta dan keseluruhan

2006


Mimpi Buruk Layonsari bagi Nasib Buruk Jayaprana

kautulis sebisanya
dengan getah ranting anggur
di rawa, di rawa

Percintaan singkat: embun yang menggantung di ujung daun
sekejap moksah, sebelum pagi mengerjapkan cahaya

Tak ada yang kebetulan, Layonsari!
Ketika pertemuan ditulis di pasar pengap ini. Begitu sesak
keinginan dan pemberian. Tanpa perkenalan lazim,
orang-orang saling membeli hidup, buah semak
dan gurat tangan. Juga dongeng. Juga ramalan basi

Tapi dua orang bertemu, Kau dan Aku
Saling menawarkan cinta
Bekal lahir yang diberikan ibu dari rahimnya

Kauumumkan sekenanya
dengan lontar undangan yang sobek
di bahtera, di bahtera

Pesta temu sekampung tamu: doa bagi dua belia
Berkat dan restu bagi segala yang dipanggil ibu
yang menyambungkan ransum suci dari meja perjamuan
ke meja pembuahan, dan kelahiran, dan pertemuan,
dan seterusnya. Kesetiaan yang penuh. Cemburu yang seluruh.

Tapi ini titah: pupuh manis gurulagu, lirik yang tandfus
terdengar jauh ke celah terumbu yang koyak. Pohon pun sendu
ikan menyimpan lapar, bukan karena cinta yang kenyal,
atau maut
yang enggan. Tapi nasib yang teraba jauh ke sebalik akar

meminta diri untuk ditolak
Tapi tidak kautolak!

kaubaca sekedarnya
dengan mata tajam keris tembaga
di buritan, di buritan

Mimpi buruk dan kenyataan yang buruk: hujan deras
di balik bantal
banjir bandang dari kisi tikar. Menggulungkan segenap rumah
menghanyutkan segala diri yang terjemur di ujung pagar
Segala ketelanjangan! Lalu Naga Gombang,
setarikan nafas tengah malam, mengibaskan ekor di perut bumi
Hingga jalan panas itu terbelah. Jantungku terguncang

Ranjang pengantin dalam bahtera yang oleng itu pun tergerus
ke tepi kamar

Selalu ada yang abadi, Layonsari!
Kelak mimpi terpujimu terlekat pada geligi fosil utuh
macan bali
Di Teluk Terima

Di Teluk Terima, atau pada teluh masa kini
malam ke 1001 triliun, setelah waktu dihitung mundur
dari mata cerlang jarum hari yang patah
di ruang tengah pesta perkawinan
Seorang istri, dengan gelang benang kecemasan
di pergelangan tulang rawan, tidak selalu akan paham
   cara menghitung
dengan fasih nasib cantik yang berwajah sedih
Ia tidak selalu akan mengerti kitab burung dan buku angkasa
Bintang pagi berasap. Atau suara serak induk gagak

Segalanya memiliki tanda-tanda
Tapi ia dimiliki tanda-tanda

Maka jangan pergi, Jayaprana!
Jangan menghunus perjanjian
Dengan dua lawan sekaligus: Raja dan Pengantin
Kadang segala yang masuk ke hutan
dari jalan rawa lumpur panas
akan meninggalkan jejak buruk yang melekat
pada mata kiri kaki sendiri

Jangan berperang, jika tak bisa kautebak dengan cermat
lolong kerang, peluit aba-aba atau lengkin serigala
yang menguntit dari punggung tipis si pencatat arah

Jangan berperang di hutan, jika tak bisa kaurasa bau dinginnya

(Tapi mimpi bisa abai. Titah tidak
I Nyoman Jayaprana tak berhak memilih
Ia dipilih!)
kauikuti sepenuhnya
dengan langkah derap sepasang kuda
di pesisi, di pesisi

Perang kesetiaan: hutan semak bali barat, jalak putih
   jambul hati,
dan pohon jati jurang. Segala onak di kakimu
bukan musuh seratus buyut
ia menunggu dalam sunyi selalu, ia menunggu maut yang bodoh
dari panglima yang diperbudak utang budi. Dan Kekasih,
Kekasih yang menanti, sudah melepas kau pergi, sejak dulu

Apakah mimpi buruk dan tangis pagi seorang perempuan
akan kaukenang ssebagai bekal jalan yang tak habis-habis?
Tak ada jalan untuk kembali, Jayaprana!
Di depan, segala hari yang lewat adalah jebakan tak tertebak
adalah kabar tak terbaca

Seorang patik dengan wajah halus rasa sayang seorang ayah
Menyandarkan nasib buruknya kepadamu

Kau diijinkan menolak
dengan bisik lembut pakis sayur. Atau getar panjang
rumput pedang
Tapi tidak kautolak!

kaututup serapatnya
dengan tirai sobek yang tak lagi putih
di nganga, di nganga

Hidup tak pernah singkat: mimpi buruk seorang perempuan
Tak memberi jalan mati. Tak juga beri jalan kembali

2007


Pasar Sayur Fatuleu

Hari pasaran tiba, setelah seminggu beta bekerja
patah jagung, petik sayur, dan halau babi
tanpa lupa menghapal lagu untuk pesta di hari Minggu

Setelah seminggu beta bekerja, hari pasaran tiba
Beta hanya pajang sayur-sayur, sedikit buah mengkal
beberapa botol madu batu, dan sekadar umbi-umbian

Kambing beta banyak, babi ada, apalagi sapi gemuk
Tapi daging hanya untuk Tuhan. Beta hanya minta sisa
pada hari bahagia di tengah upacara bersama

2012


Tentang Made Adnyana Ole
Made Adnyana Ole lahir di Marga, Tabanan, Bali. Sempat bergabung di Komunitas Sanggar Minum Kopi (SMK) Bali, dan mendirikan Yayasan Selakunda di Tabanan. Puisi dan cerpennya dimuat di berbagai media massa dan antologi bersama. Kumpulan cerpennya Padi Dumadi (Arti Foundation, 2007) mengantarkannya memperoleh penghargaan Widya Pataka di bidang penulisan dari Gubernur Bali. Selama 15 tahun di Kelompok Media Bali Post sebelum memutuskan menjadi penulis lepas. Kini tinggal di Singaraja dan membangun komunitas penulisan kreatif di sana.


Catatan Lain
Halaman persembahan buku ini berbunyi begini : “Kepada buah hatiku, Putu Putik Padi/dan bundanya, Kadek Sonia Piscayanti/beserta para petani Bali, para pencipta lumbung kencana”
            Penyair menulis pengantar yang isinya antara lain menyatakan bahwa ia melewati tiga alam berbeda yang mempengaruhi proses kreatifnya dalam menulis puisi . Pertama alam pertanian di Tabanan, di mana ia lahir dan mengecap masa remaja. Kedua, alam perkotaaan Denpasar, di mana ia menyerap pengetahuan, menggelandang, dan bersenang-senang. Ketiga, alam pesisir Singaraja, di mana ia bekerja seraya serius, membiayai hidup dan menabung materi. Dikatakan: Tabanan relatif dingin, Denpasar gerah, Singaraja panas. Tabanan agraris, Denpasar urban, Singaraja maritim.
            Nah, saat puisi dalam rentang yang panjang itu dibukukan, penyair sadar: ternyata idiom, kosakata dan metafor yang mendominasi berasal dari alam agraris, bahkan pada puisi-puisi yang lahir ketika ia tinggal di alam urban dan alam maritim. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar