Minggu, 01 Juni 2014

PUISI-PUISI FARUK HT

Prof. Dr. Faruk HT (kanan) saat menjadi pembicara dalam acara bedah buku di Taman Budaya, Banjarmasin, 13 Maret 2007
Data buku kumpulan puisi

Judul : (Sedang Dipikirkan)
Penulis : Faruk HT
Penerbit : -
Cetakan : -
Tebal : -
Sumber : Facebook (Faruk Tripoli)

Beberapa pilihan puisi Faruk HT

Martabat Dua

kembalilah ke alam
ketika lingkar pohon
kita hitung dengan pelukan
dan panjang kita ukur dengan bayang
tak ada presisi
angka masih keramat
ranting tak dapat dipotong sama panjang
selalu ada yang terasa berbeda di dalam

seperti kita
yang sekarang duduk di bangku yang sama
menemukan jawaban yang sama
atas pertanyaan di papan sana
bahwa 2 + 3 = 5

seperti kita
yang sekarang menunggu usia yang sama
untuk mendapat hak yang sama
sebuah kartu tanda warga negara
yang boleh memberi suara
tentang siapa presiden kita

seperti kau dan aku
yang menunggu dentang lonceng yang sama
tanda waktu istirahat telah tiba
dengan suara perut yang berbeda
bagi yang tadi pagi sarapan atau tidak

seperti mereka
yang juga membawa bekal berbeda
untuk menentukan berapa harga pasaran
suara kita

kembalilah ke alam
kembalilah ke dalam
kembalilah dengarkan suara yang berbisik di sana
maka kita tak akan pernah sama
seperti bekal yang dari rumah kita bawa
dan harga keringat orang tua
yang tadi pagi memasaknya

juga pilihan sikap ibu dan bapak
untuk tetap merasa bahagia
meski kita makan
di alas yang tak sama

(Posting, 7 Mei 2014)



Bila Waktu Melintas

kita berjalan
di genangan harapan
yang tumpah di lantai
hingga tak ada ruang
untuk langkah yang aman

kita berjalan
dengan rasa was-was
dalam genggam
lalu diam

kita berjalan dalam diam
membiarkan waktu melintas
di balik kaca jendela
dari kendaraan yang habis
bahan bakar

kita diam
sampai waktu
mengubur kita
dalam timbun debu

(Posting: 6 Mei 2014)


Kelopak Luka

selalu ada yang mengelupas
dalam sentuhan cuaca
seperti luka yang mengering
menjadi kelopak bunga 
dan melayang terbawa angin
tak penting akan jatuh di mana
karena pesonanya membekas
di mata. berkelip seperti harap
bergetar seperti hidup. berkaca
tapi bukan air mata yang membelah
pipi jadi duka

(Posting, 6 Mei 2014)


Ketika Sang Raja Tiada

untuk sebuah tahta
tuan sudah mengabdi pada setan
yang memberi cahaya pada negeri
membuat semua lupa pada dusta
bahkan tuan sendiri
merasa sebagai sang maharaja
hingga lalai menghatur sembah
dan menyuguhkan tumbal
bahkan mulai main mata
dengan tuhan
yang ternyata juga setan
menurunkan dua anak haram
yang berebut warisan
siap mengikut jejak tuan
memuja yang satu
menista yang lain

(Posting: 6 Mei 2014)


Dua Sihir dengan Dupa yang Sama

senyummu menjelma neraka
ketika kutuk itu dilontarkan
saat itulah semuanya telanjang
pakaian dan perhiasan sirna
tinggal tetes darah dari taringmu
yang tiba-tiba muncul di belakang
senyum itu

kau bukan lagi seorang bapak bijaksana
dengan kesabaran yang tak bertara
pemancing ulung yang selalu dapat bertahan
oleh sentuhan angin dingin yang tajam
karena semua ternyata hanya maya, hanya maya
segala cahaya, pakaian aneka warna
gedung yang tinggi menjulang
mobil mewah dan pesawat terbang
hanya efek dari sihir
yang tercipta dari asap
daging rakyat yang kau bakar
dengan api yang menyala
di atas tumpukan hutang

begitulah
selalu ada celah tempat kebenaran sembunyi
yang menampakkan muka justru ketika kau lupa diri
ketika kau tak lagi bisa terjaga pada janji
yang memisahkan halusnya rias panggung
dengan seringai perih asam lambung
tuntutan jarak pandang dari penonton
dengan bisikan anak dan istri

tapi tidaklah percuma
kau pernah jadi tokoh perkasa
dengan gerilya merebut kembali kota
dari genggaman seradu sekutu dan nica
lalu kau coba menutup taringmu dengan ayat-ayat doa
tapi kau lupa, tuhan sama gaibnya dengan setan
apalagi mereka datang dari tempat yang sama
sedang kau yang dulu akrab dengan tuyul dan buto ijo
hanya bisa melihat bedanya. padahal ular penyihir dan musa
sama jenisnya

sekarang lihatlah
benih dari dua kuasa itu
telah lahir begitu kau sirna
seperti telor naga yang tertinggal di tepi sungai
menetas dengan sendirinya
untuk mengejar bola mustika
membakar rumah dan hati siapa saja
yang begitu mudah terpedaya

(Posting: 9 Mei 2014)


Menjadi Tua
: Mita Widya

menjadi tua
bukan karena terlalu lama
menjadi penghuni dunia
tapi karena rasa bahwa kita tak lagi berdaya
dan membayangkan masa depan
hanya setapak dari kegelapan
sedang di belakang
tinggal comberan

mungkin juga
karena masa muda
adalah perangkap alam maya
yang mengurung kita dalam cita
akan sebuah dunia yang tak pernah ada
seperti bom yang dipasang di jantung kita
yang berdetak memicu kehendak
hingga sampai pada waktunya
ia meledak persis ketika kita sadar
akan adanya. persis pada detik terakhir
dan kemudian gelap

atau, waktu sebenarnya tak pernah ada
ruang adalah dimensi tanpa gerak
dan di sanalah kita makan dan berak
mencinta dan membenci, kecewa dan penuh harap
lahir dan mati. layu dan tumbuh kembali

menjadi tua
bukan karena terlalu lama
menjadi penghuni dunia
tapi karena kita mulai bisa menerima
apa adanya

Posting: 10 Mei 2014


Pengakuan
: Mita Widya dan Dea Karya Adyani

maafkan aku, anak-anakku
telah membisikkan dongeng yang sama
malam demi malam, ranjang demi ranjang
hingga kau tak sempat membaca
lain cerita

maafkan aku, anak-anakku
telah mengajarimu memainkan peran yang sama
dari panggung ke panggung, dari halaman ke halaman
hingga kau tak sempat mencoba
peran yang lain

maafkan aku anak-anakku
telah menyembunyikan sebuah peristiwa
dari dalam semua cerita, juga peran yang kuberikan
hanya karena aku terperangkap dalam sebuah cerita dan peran yang sama
seperti yang pernah kudengar dan kumainkan
semasa kecil dulu

masih selalu terdengar bisiknya
peristiwa itu tak boleh kau dengar atau baca
karena ada dalam sebuah episode
untuk orang dewasa

maafkan aku, anak-anakku
telah mengantarmu ke hanya satu jalan
yang sekarang terus memburumu
hanya untuk menunjukkan
kesetiaanmu padaku

bahwa dirimu sudah berhasil menjadi bagian
dari cerita seperti yang selalu kuharapkan
bukan bagian dari cerita lain
yang kusembunyikan. atau yang kau sendiri
kebetulan temukan

(Posting: 10 Mei 2014)


Ada Apa dengan Kuku dan Rambut

ada dua hal yang terus tumbuh di tubuh
rambut dan kuku kita. aku sungguh tak mengerti
kenapa ia tak berhenti saja memanjang
seperti tinggi badan

kata orang kita bukanlah binatang
dingin malam kita tahan dengan pakaian
sedang senjata untuk berperang sudah kita ciptakan
lebih tajam dari cakar macan

kuku dan rambut, katanya
dua bagian tubuh kita yang tak akan sirna
meski daging kita sudah luluh
dan jiwa kita sudah lenyap entah kemana

kata orang kita bukanlah binatang
sudah kita buat kubur, pusara, dan monumen
bahkan foto diri dan video kalau sekedar untuk dikenang

aku heran
aku heran

(Posting, 10 Mei 2014)


Aku Rapopo

selalu ada jalan tikus
yang tersembunyi di balik
tiap kata yang terucap
yang menuju ke sebuah dunia
menyerupai sorga

seperti lubang pada tiap makam
ketika semua jalan berhenti di tengah
dan tak ada lagi tempat singgah untuk makan
selain mencincang tubuh sendiri
memasukkannya dalam kawah
kemudian ditelan. matang
tak matang

seperti hari-hariku
yang kuhabiskan untuk menanak puisi
hanya untuk memenuhi rasa lapar pada diri
dan berkata sehabis suap terakhir

aku rapopo

(Posting: 11 Mei 2014)


Aku Sudah Lupa

seberapa lama ingatan dapat bertahan? pasti kau akan bilang selama aku terus tinggal di ruang dan waktu yang penuh dengan jejak, yang terus mengundangku untuk mengikutinya dan kemudian memerangkapku dalam putaran waktu. tapi, aku sebenarnya tetap di sini, di kamar kita yang dulu, dengan cermin tempat kau selalu mengeluh tentang jerawat dan kulit yang menghitam, cermin tempat kau duduk di pangkuanku, memandang ke pantulan di kaca itu, dan mencoba menakar apakah kebersamaan kita masih pantas untuk dipertahankan. kudengar lagu-lagu kita berkumandang dari ruang sebelah tanpa mauku. kurasakan tak ada degub pada jantung atau hatiku yang dulu selalu muncul setiap kita saling pandang dalam pertemuan yang tak pernah kekal itu.

sudah berabad-abad aku hidup tanpamu. kamar, cermin, kasur, pintu, dan gorden yang selalu tak pernah dapat sempurna menutup rahasia kita itu telah berubah dengan sendirinya digerogoti waktu. yang selalu kuingat setiap kali kumenatapnya adalah keinginan untuk segera menjual dan menggantinya dengan yang baru. betapa usang. hampir sia-sia untuk dipertahankan. diperlukan cat yang baru pada temboknya, yang tak mungkin lagi dengan warna yang lama karena warna itu tak lagi dapat dijumpai. pasti kau masih ingat bahwa kita pun telah lama tergoda untuk mengubahnya ketika satu saat  tampak di layar televisi, sesaat begitu kita terbangun dari tidur yang teramat panjang dulu. biru yang begitu menyegarkan, merah yang dapat membuat segalanya menjadi tampak muda kembali.

seberapa lama ingatan dapat bertahan jika lupa membebaskan kita dari beban? pasti kau akan berkata, kau telah melupakan semuanya. seperti juga aku.

(by Faruk Tripoli on Saturday, August 18, 2012 at 9:43pm)


Malioboro

sepotong ayam, sesendok sambal, sejumput lalap
wajah itu tak bergeming ketika dompet raib
senyum terkembang bersama lagu keroncong
jalan sesak, andong mendesak, tukang parkir tak kehilangan tongkat

"inilah molioboro," katamu. "bukan sanak bukan kadang
kalau uang melayang, tak ada yang kehilangan."

kaos oblong, sandal jepit dan baju batik
bunyi klakson, gerobag pedagang dan alun suara musik
wajah melayang di sehelai kertas bekas
jatuh di bekas muntahan bakal preman

"inilah molioboro," katamu. "bathi sanak, tambah beban"

malam merayap, kakilima kukut
keroncong berganti suara dangdut
tak lagi penting mana mabuk mana joged
mana jalan, mana gelanggang

"inilah molioboro," katamu, sambil menghitung duit dan sisa potongan lele:
"tuno sathak asor wekasane", lanjutmu dengan suara geram yang tak sempat kudengar

"Jangan-jangan taman budaya udah tutup," batinku bergegas

(by Faruk Tripoli on Thursday, August 2, 2012 at 7:23pm)


Durian Jambi

"biarkan kubelah sendiri durian itu," katamu sambil menancapkan sebuah pisau tepat di ujungnya. "duri-duri ini tak pernah membuat kami gentar," begitu cepat kau memindahkan sehelai lap bekas anduk yang tebal lalu menjadikannya alas pengaman ketika tanganmu dengan penuh determinasi menahan punggung buah. aksimu semakin memukauku begitu dengan cepat buah durian sudah tampak lumat di mulutmu. "negeri kami ini seperti durian," kau bicara sambil menyapu sisa daging buah yang masih melekat di bibirmu. "kau hanya bisa menikmatinya jika kau sudah tahu cara membelah dan memegang durinya. kami punya banyak ruang untuk banyak orang, juga banyak duri, silang sengketa antarbangsa".

aku kembali terpukau dan jadi teringat pada jupe. ia pun tak takut pada duri-duri buah itu karena malam pengantin adalah malam ketika yang berbeda sepakat untuk hidup bersama

(by Faruk Tripoli on Tuesday, July 24, 2012 at 3:12am)


Negeri Kantong Bolong

"entah kenapa," katamu menatapku sayu. "aku selalu disergap perasaan hampa setiap kali membuka laci ini,"kau melanjutkan kata-katamu sambil menarik-surung hampa berkali-kali laci itu. tak ada apa pun kulihat di dalamnya. "sebuah negeri terbangun di sini, negeri tempat semua lemari dan meja tak berlaci, negeri setiap kamar tanpa lemari. negeri kami itu dibangun ketika berkuasa seorang raja sehari. semua penduduk ia masukkan ke dalam saku bajunya yang bolong. dan, kami tiba-tiba merasa terserap ke dalam pusaran angin beliung untuk kemudian sampai ke sebuah tempat tanpa lemari dan tanpa laci itu. orang-orang tak pernah berani ke luar rumah. karena, konon, angin yang menderu di luar membawa serta taring-taring raksasa yang siap memangsa siapa saja. hanya ada televisi yang bisa membuat kami bertahan di rumah. hanya satu acara yang selalu kami tonton berulangkali," kau menatapku seakan memancing rasa ingin tahu. "doraemon," aku tak bertanya karena aku sendiri berasal dari negeri itu.

"entah kenapa," kataku dengan mata tersenyum menatapmu, "aku selalu bahagia tiap kali melihat doraemon membuka kantong bajunya. kulihat petruk  dan negeriku terkurung di dalamnya. semua lemari berisi, semua  laci seakan memberi janji. begitu banyak muatan tapi tak pernah ada satu lubang pun yang dapat menjatuhkan isinya."

(by Faruk Tripoli on Wednesday, July 18, 2012 at 9:14pm)


Arya Penangsang
: Isti Nugroho dan Indra Tranggono

Bukan kesalahpahaman itu yang menusuk kalbu
Tapi keyakinanmu akan kebenaran diri
Yang membuatmu ragu dan menunggu
Sampai sebuah kata terucap
dan kau tancapkan di pinggang sendiri
dan kau tak mungkin lagi paham
bahwa kau sudah kalah sebelum perang
karena kata itu, kawan
kata itu
kata itu
adalah jaring belati
yang tak hanya menikammu sampai mati
tapi bahkan membuatmu tak bisa melawan atau lari

sampai kini

22 Mei 2014 pukul 1:27


Itu Saja

ini bukan luka biasa
lebih dekat dengan senja
yang menyergap tiba-tiba
darah tak berwarna merah
juga tak mengalir dari celah
kita hanya terhenyak sejenak
tak sempat menangkap
apakah sakit atau enak
tiba-tiba sebuah tirai tertutup
seperti di panggung sandiwara
lalu semuanya kembali seperti semula
sebelum kata,sebelum rupa
hanya jalan panjang membentang
mengayunkan langkah kita
ke sebuah muara
atau fatamorgana
atau bukan keduanya
itu saja
itu saja
itu saja
tak ada yang tergores
tak ada darah
hanya langkah
hanya jalan panjang membentang
itu saja

Posting: 22 Mei 2014


Sajak Aneka Lidah

Lidah

jutaan kata
menguburku
meski sudah jadi hantu


Lidah Dua

jalan kata
selicin sorga


Lidah Tiga

bangun kata
istana pasir


Lidah Empat

dusta adalah juru selamat
dunia dan akhirat


Doa Untuk Negeri

bila kami memilih satu di antara kami
makhluk melata di selokan dan rawa
dengan wajah yang jauh dari cahaya sorga
percayalah, kami sungguh sudah putus asa
menunggu pimpinan terpilih yang kau kirim
dari nirwana, orang-orang terpuji dan berhati suci
yang membuat negeri yang sudah karatan ini
kembali bercahaya seperti janji yang pernah kau beri

kami sungguh sudah tak punya harap
bila kami memilih di antara kami
orang-orang yang akan menjadi pemimpin negeri
selalu bicara dengan kepalan tangan
karena kekerasan hanya pantas untuk kami
yang tak pernah bebas dari pertarungan
dan sikut-sikutan untuk memperoleh sesuap nasi
dalam ruang tempat cahaya tak kunjung datang

aku tak tahu pada siapa sekarang aku meminta
setelah sekian lama kirimanmu ternyata palsu
hingga kami menjadi semakin ragu apakah kau ada
atau kami memang harus bertahan hanya di batas
yang kami punya. lalu saling menerkam sampai
punah dengan sendirinya

hai, yang di sana
bila kau memang masih punya telinga dan kuasa
berikanlah untuk kali ini saja sebuah sabda:
kunfayakun atau apa pun namanya
yang membuat segala yang tak mungkin
menjadi nyata

Posting: 23 Mei 2014


Api dalam Sekam

dalam sekam aku terpanggang
tak ada pijar api dan asap hanya angin lewat
hanya seekor sapi yang merasa
dari hawa yang menguap di dalamnya
namun lenguhnya, lenguhnya
adalah suara tanpa makna
seperti sebuah puisi
berita tanpa fakta
cerita tanpa peristiwa
kecuali getar suara
dalam riuh kehidupan kota
atau sebuah nada
dari telepon genggam yang terhimpit
di saku celana

dalam sekam aku terpanggang
itu saja

Posting: 25 Mei 2014


Malam ini Aku Ingin Sembunyi

sayang
malam ini aku ingin sembunyi
di tempat yang sangat sunyi
yang dapat bebas dari mimpi
tentang api yang menyala di sana
dengan lidah yang menjilat apa saja
seperti sebuah dendam lama
dari makhluk yang terusir dari sorga
yang merasa lenyap dari pandang mata
yang tak pernah jadi berita
yang tersisih dari istana
yang selalu terancam oleh nista
yang tak pernah dapat harga
bagi semua jerih payahnya

malam ini aku ingin sembunyi, sayang
di sebuah celah di dinding selokan
hidup bersama segala yang melata
melangkah tanpa suara
namun terus berjaga
karena api itu sayang, api itu
tak lagi bermata
begitu menyala

malam ini aku ingin sembunyi, sayang
dalam hatimu yang selalu hening
yang sudah begitu biasa
atau yang memang selalu terlarang
untuk bicara. entah dalam suka
entah dalam duka

Posting: 25 Mei 2014


Balada Sepatu Becek

sebuah sepatu becek
tergeletak di atas meja
tanpa teman. hanya
beberapa piring kosong
sendok dan garpu
yang terbaring hampa

sudah begitu lama
sepatu itu tergelatak di sana
pemiliknya sudah putus asa
pergi ke kota, tanpa alas kaki
dan membakarnya di panas
aspal jalan yang licin berkilat
pada setiap perempatan

Posting, 27 Mei 2014


Balada Sepatu Boot

sewaktu memancing
kuangkat sepatu boot
aku pun misuh
dan langsung melemparnya
tapi, sepatu itu mungkin jejadian
begitu sampai rumah
kutemukan kembali
berulang-ulang
di atas meja

aku jadi ingat
pada buah si bawang putih
hingga kugosok ia
berharap makanan datang
dengan sendirinya
walau ternyata sia-sia

karena selalu kembali
aku jadi ngeri
mungkin itu sepatu tentara
yang mati tanpa tanda jasa
jadi kuputuskan untuk pergi
tidur di mana saja

Posting, 27 Mei 2014


Hampa

tak mudah berselancar di hati
kadang seperti ombak samudera
dan diri pecah dalam pendar cahaya
kemudian pudar

tak mudah berselancar di hati
kadang seperti gunung pasir
dan diri menggelora dalam api
kemudian musnah

tak mudah berselancar di hati
kecuali dalam hampa udara
ketika tinggi dan rendah
terbang dan jatuh
tak berbeda

Posting: 28 Mei 2014


Langkah

senja ini
kuterima hadirmu
dengan kembang dan kemenyan
seperti janji kita dulu
langkah tak boleh berhenti
entah ke kiri atau ke kanan

karena waktu
seperti juga dirimu
selalu mengintip ambang pintu
sedang nyeri sudah terasa di lututku
tepat dalam sayatan
kilau mentari yang tenggelam

di ufuk sana
diriku tinggal bayang
antara langit yang berkemas
dan bumi yang tak memberi janji
untuk tak lagi membeku

Posting: 29 Mei 2014


Tentang Faruk H.T.
Prof. Dr. Faruk HT lahir di Banjarmasin, 10 Februari 1957.  Sampai SMA di kota kelahiran. S1 sampai S3 di Universitas Gadjah Mada (lulus 1994). Pengalaman sebagai dosen dimulai tahun 1983 di Fakultas Sastra/Ilmu Budaya, UGM. Diangkat menjadi Guru Besar di Fakultas Sastra/Ilmu Budaya, UGM, tahun 2009. Pernah mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korena Selatan (2007—2009) serta aktif melakukan penelitian (1998—2009). Pernah menjabat Kepala Pusat Studi  Kebudayaan, UGM  (2001—2003),  pejabat sementara Kepala Pusat Studi Kebudayaan, UGM (2003—2005), dan Kepala Program Studi Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UGM (2011—sekarang). Menikah dengan Sri Purwiyati (1984) dan dikaruniai dua orang anak, Widya Paramita (1986) dan Dea Karya Adyani (1989). 

            Bukunya al: Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni  dan Resistensi dalam Sastra Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Pengantar Sosiologi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), Hanya Inul (Yogyakarta: Penerbit Galang),  Novel-Novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka  (Yogyakarta: Gama Media,2002), Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi (Yogyakarta: Gama Media, 2001), “The Power of Letter”. In Action and Reflection: Experiences of Globalitation in Asia. (Tokyo:International House of Japan and Japan Foundation Asia Center), Women-Womeni Lupus (Yogyakarta: Indonesia Tera, 2000), Kritik Sastra Tionghoa: Persoalan Etnis dan Ras (Yogyakarta: Indonesia Tera), Hilangnya Pesona Dunia: Siti Nurbaya, Budaya Minang, dan Struktur Sosial   Kolonial (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 1999), “Harga Sebuah Kepekaan dan Suara Sang Lain”. (Pengantar untuk Dirdjosanjoto. Memelihara Umat: Kyai Pesantren-Kyai Langgar di Jawa. Yogyakarta: Lkis), Pengalaman, Kesaksian, dan Refleksi kehidupan Mahasiswa di Yogyakarta: Hasil Penelitian tentang Hubungan Antaretnis dan Antariman di Kalangan Mahasiswa di Yogyakarta (Yogyakarta: Interfidei). Penelitiannya, al: “Pengaruh Epik India terhadap Wayang Kulit Jawa” , Hankuk University of Foreign Studies,  2008—2009 (penelitian mandiri), “Postcolonial Condition of Indonesian Novels”, The Toyota Foundation, 2003—2005 (penelitian mandiri), “Perkembangan Wayang Kulit Jawa”,Pusat Studi Kebudayaan UGM bekerja sama dengan The Toyota Foundation, 1998—2001 (penelitian mandiri), “Pemetaan Sosial Kawasan Industri Jababeka, Pusat Studi Kebudayaan UGM bekerja sama dengan Pengelola Kawasan Industri Jababeka, 2000—2001 (penelitian kolektif). Faruk kini tinggal bersama keluarganya di   Perumahan Sukoharjo Blok E 55, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Email    : faruk psk @yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar