Minggu, 05 Februari 2017

J.E. Tatengkeng : RINDU DENDAM




Data buku kumpulan puisi

Judul : Rindu Dendam
Penulis : J.E. Tatengkeng
Diterbitkan pertama kali : 1934
Penerbit : PT Dunia Pustaka Jaya, Bandung
Bekerjasama dengan Bakti Budaya Djarum Foundation
Cetakan edisi Pustaka Jaya: V, 2016
(cet. I, 1974; II, 1975; III, 2000; IV, 2001)
Tebal : 48 halaman (32 puisi)
ISBN : 978-979-419-444-7
Gambar sampul : A. Wakidjan

Buku Rindu Dendam terdiri atas 2 bagian, yaitu Buah Tangan (31 puisi) dan Rindu Dendam (1 puisi).

Beberapa pilihan puisi J.E. Tatengkeng dalam Rindu Dendam

MENCARI KATA

1. Gerakan daun
    di taman sari,
    Memberi tahu:
    Adinda ke mari

2. Kulambai lengan,
     Gerakan suka,
     Kupeluk di tangan,
     Dicium di muka.
3. Lupakan waktu
    Tak insyaf tempat,
    Kutahu satu:
    Adinda kudapat!

4. Di kaki belukar,
     Kupandang di mata,
     Kuingin berkabar,
     Ah … di mana “kata”?
Bibir melekat,
Kurasa panas…
“Kata” kudapat,
Adinda lepas…



MULA KATA

Kalau waktu pagi hari,
Matahari naik,
Mencurahkan terangnya di bumi,
Aku berkata dalam hatiku:
O, betapa Setia engkau!
Tak pernah kaulupakan kewajibanmu,
Perintah raja manakah engkau turuti, kalau kau terbit?
Lambaian putri manakah engkau ikuti, kalau kau benam?

Kalau kulihat daunan kayu,
Bergerak diembus angin sepoi,
Aku berkata dalam hatiku:
O, betapa Suka hatimu!
Engkau melambai dan melompat,
Apatah pesanan angin padamu?

Kalau kulihat bunga bakung,
Yang kembang di taman sari,
Aku tercengang dan berkata:
O, kembang, siapakah menjadikan
Engkau seindah itu?
Betapa Putih engkau, betapa suci…

Pada waktu petang,
Kududuk di pantai,
Dan kulihat sepasang pipit riang terbang;
Aku pun terpekurlah dan bertanya:
O, Pipit, betapa manis hidupmu,
Selalu bersama, tak pernah bercerai,
Katakan padaku, hai, Pipit,
Kamu melukiskan Kasih dan Cinta…?

Bila kulihat ke dalam,
Dalam hati kalbu sendiri,
O, kulihat, o, kulihat…
………………………………
Tak lain dalam hatiku,
Tinggal hanya: Rindu-Dendam

Terimalah Buah tanganku,
Lukisan Rindu Dendam…


KUCARI JAWAB

Di mata air, di dasar kolam
Kucari jawab teka-teki alam.

Di kawan awan kian ke mari,
Di situ juga jawabnya kucari.

Di warna bunga yang kembang,
Kubaca jawab, penghilang bimbang.

Kepada gunung penjaga waktu,
Kutanya jawab kebenaran tentu.

Pada bintang lahir semula,
Kutangis jawab teka-teki Allah.

Ke dalam hati, jiwa sendiri,
Kuselam jawab! Tidak tercari…

Ya, Allah yang Maha dalam,
Berikan jawab teka-teki alam.

O, Tuhan yang Maha tinggi,
Kunanti jawab petang dan pagi.

Hatiku haus ‘kan kebenaran,
Berikan jawab di hatiku sekarang…


BERIKAN DAKU BELUKAR

Terhanyut oleh aliran zaman,
Aku terdampar di dalam taman,
Kuheran amat,
Memandang tempat!
Di situ nyata kuasa otak,
Taman dibagi berpetak-petak,
Empat segi, tiga segi…
Yang coreng-moreng tak ada lagi.
Rumput digunting serata-rata,
Licin sebagai birun kaca.
Bunga ditanam beratur-atur,
Tegak sebagai bijian catur.
Jalan digaris selurus-lurus,
Bersih, sehari disapu terus!

            Indahnya taman,
            di mata zaman…

Dan kalau hari sudah petang,
Ribuan orang ke taman datang,
………………………………..

Berikan daku Belukar saja,
Tempat aku memuji Rasa.


PERSATUAN

Dada debar penuh kerinduan,
            akan Kekasih
yang jauh masih,
Hati lemah, mengundang percintaan.

Hasrat tumbuh membawa kepiluan,
Sudah di hati
Serasa mati,
Merindu adindaku di jauhan.

Selalu hatiku berangan-angan,
Kiranya sukma
Tetap bersama,
Bercerai, berpisah, adinda jangan!

Di sinilah kudapat penghiburan:
Kita bersatu
Setiap waktu,
Dalam cinta, kata dan pikiran.

Hasrat tumbuh berkelimpahan,
Yang terutama
Kita bersama
Dalam cinta, adinda, akan Tuhan!


ANAKKU

Ya, Kekasihku…

Engkau datang menghintai hidup,
Engkau datang menunjukkan muka.
Tapi sekejap matamu kututup,
Melihat terang anakda tak suka.

Mulut kecil tiada kaubuka ,
Tangis teriakmu tak diperdengarkan,
Alamat hidup wartakan suka,
Kau diam, anakku, kami kautinggalkan.

Sedikit pun matamu tak mengerling,
Memandang ibumu sakit berguling.
Air matamu tak bercucuran,
Tinggalkan ibumu tak penghiburan.

Kau diam, diam, Kekasihku,
Tak kaukatakan barang pesanan,
Akan penghibur duka di dadaku,
Kekasihku, anakku, mengapa kian?

Sebagai anak melalui sedikit,
Akan rumah kami berdua.
Tak anak tak insyaf sakit,
Yang diderita orang tua.

Tangan kecil lemah tergantung,
Tak diangkat memeluk ibumu,
Menyapu dadanya, menyapu jantung,
Hiburkan hatinya, sayangkan ibumu.

Selekas anakda datang,
Selekas anakda pulang,
Tinggalkan ibu sakit terlintang,
Tinggalkan bapak sakit mengenang.

Selamat datang anakda kami,
Selamat jalan kekasih hati.

Anak kami Tuhan berikan,
Anak kami Tuhan panggilkan.
Hati kami Tuhan hiburkan,
Nama Tuhan kami pujikan.

2-9-1933


NELAYAN SANGIHE

Dilengkungi langit berhias bintang,
Caya bulan di ombak menitik,
Embun berdikit turun merintik,
Engkau menantikan ikan datang.

Mengapa termenung,
Apatah direnung?
Mengapa lagumu tersayup-sayup,
Mengapa mata sesekali kaututup?
Ah, mengapa termenung
Mengapa kaupandang ke kaki gunung?

O, kumengerti,
Kulihat di sana setitik api!
Itukah menarik matamu ke tepi,
Mengharu hati?

O, kulihat tali,
Yang tak terpandang oleh mata,
Menghubung hati,
Kalbu nelayan di laut bercinta…


SUKMA PUJANGGA

O, lepaskan daku dari kurungan,
Biarkan daku terbang melayang,
Melampaui gunung, nyebrang harungan,
Mencari Cinta, Kasih dan Sayang.

Aku tak ingin dipagari rupa!
Kusuka terbang tinggi ke atas,
Meninjau hidup aneka puspa,
Dalam alam yang tak terbatas…

Tak mau diikat erat-erat,
Kusuka merdeka mengabdi seni,
Kuturut hanya semacam syarat,
Syarat gerak sukma seni.

Kusuka hidup! Gerakan sukma,
Yang berpancaran dalam mata,
Terus menjelma,
Ke Indah Kata.


SEPANTUN LAUT

Duduk di pantai waktu senja,
Naik di rakit buaian ombak,
Sambil bercermin di air kaca,
Lagi diayunkan lagu ombak.

Lautan besar bagi bermimpi,
Tidak gerak, tetap berbaring…
Tapi pandang karang di tepi,
Di sana ombak memecah nyaring…

Gerak dalam diam,
Diam dalam gerak,
Menangis dalam gelak,
Gelak dalam bermuram,

Demikian sukma menerima alam,
Bercinta, meratap, merindu dendam.


DI LERENG GUNUNG

                        Di lereng gunung,
                        Aku termenung,
Duduk di sisi
Kekasih hati.

Kami berpandangan sejurus lama,
Dan mengerti bisikan sukma.

Dada yang debar,
Terang menggambar
Keadaan hati,
Sesudah menanti
Sekian lama akan waktu,
di mana jiwa kami bersatu…

O, Hidup! Betapa indah,
Kalau kasih tak diperintah,
hanya dengan sendiri
datang memberi!


MENGEMBARA

Betapa aku telah mengembara,
Di gurun ilmu, di hutan pilsapat!
Tapi yang kucari tidak kudapat,
Hanya hasrat menambah sengsara!

Di barat cemerlang,
Cahaya bintang!
Aku merenang,
Ombak kutentang!

Kata orang,
Di sanalah terang!
Di barat kebenaran dan keadilan,
Di sana kebimbangan tentu hilang…

Makin dekat aku ke sana,
Rupanya hilang gundah gulana,

O, kecewa,
Rupanya dewa,
Sudah berikan padaku bencana,
Karna yang kulihat tak lain: fatamorgana…

Aku pun tidur,
Mencari hidup.
Setelah pagi,
Aku bertanya: Ke mana lagi?

Sukmaku berkata:
Palingkan mata!
Jangan lagi tepekur.
Ke sana, o, di sana, tak lain, di Timur,
Di sana kaudapat
Cinta dihasrat!


KUSANGKA

Kusangka hiduppun sungguh cantik,
Sedang dan indah di taman alam,
Kembang yang harum kuharap petik,
Kurindu terang, tidakkan malam.

Kusangka selalu ‘kan kumenang,
Makin tinggi angan impian,
Badan kuat dan hati senang,
Muda remaja penuh kecintaan.

Datang malang,
Di hidup menjelang,
Kurasa dipalang
Percaya pun hilang.

Kini kudiam, tinggal tepekur,
Menungkan hidup bawaan takdir,
Heningkan hikmat, nasihat, tegur,
Bekalan hati, pelita pikir.


AKHIR KATA

Semalam dingin sekali,
Kini pagi terang cemerlang,…
Kuangkat kaki melangkah masuk ke dalam taman;
Udara yang segar,
Alam yang indah! …
Semua hijau,
Semua hidup…

Apakah yang terang cemerlang,
Tergantung-gantung di ujung daun bunga bakung itu?

Kuhampiri, o, sebutir embun!
O, betapa jernih,
betapa suci dan putih…

Kupandang ke dalam
O, keindahan,
Aku meninjau ke dalam alam,
Yang tak berbatas jauhnya…
Langit bercermin dalamnya,
Matahari berpancaran dalamnya…

Makin tinggi matahari naik,
Makin benderang embun itu memancarkan
terang itu ke luar…
Makin kecil juga ia…
Akhirnya lenyap dari pandangan mata.

O, Tuhanku,
Biarkan aku menjadi embunmu,
Memancarkan terangmu,
Sampai aku hilang lenyap olehnya…
            Soli Deo Gloria!


Tentang J.E. Tatengkeng
Tak ada biodata J.E. Tatengkeng di buku ini. Saya membuka buku Ajip Rosidi “Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia” (1991), hlm 43-45: J.E. Tatengkeng (1907-1968). Sejak semula penyair kelahiran Sangihe dan beragama Kristen ini merupakan seorang yang taat…. Rindu Dendam ialah satu-satunya buku J.E. Tatengkeng yang pernah terbit. Tetapi sebenarnya masih banyak lagi buah tangannya yang masih berserakan dalam berbagai majalah, terutama dalam majalah Poedjangga Baroe. Kecuali sajak, juga kritik-kritik dan esai-esainya penting, terutama karena sikapnya yang tegas dan jujur. Ia tergolong kepada pengarang pujangga baru, berasal dari Sulawesi yang selamanya tidak pernah hidup di Jakarta.


Catatan Lain
Di halaman bagian depan, ada dua kutipan ditulis pengarang. Halaman bagian atas: Seni yaitu gerakan sukma. Bagian bawahnya: Jiwaku takkan dapat damai/sebelum peroleh damai dalam/Allah. (Agustinus). Di sampul belakang ada testimoni dari Ajip Rosidi.

1 komentar: