Jumat, 17 November 2023

Norman Erikson Pasaribu: SERGIUS MENCARI BACCHUS

 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Sergius Mencari Bacchus
Penulis: Norman Erikson Pasaribu
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Cetakan: I, April 2016
Tebal: xii + 70 halaman (33 puisi)
Ilustrator, desainer sampul, dan penata letak isi: Leopold A. Surya Indrawan
ISBN: 978-602-03-2789-1
 
Sepilihan puisi Norman Erikson Pasaribu dalam Sergius Mencari Bacchus
 
BERTEMU LEO
 
Di puncak tangga ia belum tahu bahwa
punggung putih di balik pintu kaca adalah Leonya
 
Umurnya dua puluh empat
dan ia menulis surat cinta untuk dirinya sendiri
 
Ia belum tahu bahwa paska-pintu ia berhak
menyebut hidupnya hidup
 
Dan ia tak perlu lagi menabung umur
agar tak terlalu tua ketika ajalnya tiba
 
 
SERGIUS MENCARI BACCHUS

Seperti ular, kau melepaskan kulitmu yang tak baka,
dan memulai/meneruskan perjalanan. Kini sinar dari atas sana

melewatimu. Kau semi-bening berpendar, dan jauh di barat,
di Kota Roma yang sekarat, Galerius tak menyadari ajalnya telah dekat.

Kau akan mencari seseorang yang berharga bagimu, yang
dalam tubuh peraknya mengunjungimu di penjara, dan berbisik, Bertahanlah

sebab aku akan terus memperhatikanmu. Bersamanya
kau akan naik ke surga, dan merasa familiar

untuk kali pertama. Kalian berdua akan berpegangan
tangan, dan mengenalkan satu sama lain ke hadapan tiap-tiap orang.
 

ERRATUM
 
Apa yang ia pikirkan ketika memilih
tubuh ini, di keluarga ini, di mana
seorang lelaki bisa dijodohkan dengan
keponakan ibunya, di mana putra pertama
selalu adalah segala, ketika di sekolah menengah
ia jatuh cinta kepada teman sebelahnya, dan
sisa dari cinta pertama adalah ciuman pertama
saat mereka membolos pelajaran olahraga,
ketika suatu hari, tak lama setelah terbit buku pertamanya,
sambil duduk bersila, dan makan bersama,
ia bilang kepada keluarganya tak akan berakhir
dengan seorang gadis, Toba ataupun Karo,
ketika ia berdiri di pinggir jalan malam itu,
sendirian, mobil-mobil melewatinya,
kata-kata ayahnya menguntitnya:
Jangan kembali lagi, Banci, ketika ia meratap
di bawah tiang listrik, panik saat gerimis pertama
jatuh ke rambutnya, ketika mendapati keganjilan pada teks
hidupnya, dan berharap sebentar lagi Penerbit
mengeluarkan secarik kertas koreksi,
menambahkan baris-baris yang hilang, ketika
mendapati ia adalah segala sekaligus bukan apa-apa,
ketika menyadari sisa cinta pertama
adalah ciuman pertama ketika keluarganya
duduk bersila, makan bersama, bersyukur
karena ia memilih tubuh ini, di keluarga ini?
 
 
PUISI
 
Waktunya membuat surat pengunduran diri
yang dulu sekali kau ingin tulis. Waktunya
memperlihatkan amplop-amplop dari bank. Waktunya
menceritakan segalanya kepada istrimu. Waktunya
mengakui tak pernah ada rapat yang menguras semangatmu.
 
Selama ini kesepian adalah daun-daunmu,
hijau, acak, dan lebat, orang-orang mengira kau
pohon yang sehat, sebentar lagi berlebah dan berbuah.
Meskipun sebetulnya kau sekarat; batang, rantingmu
digerogoti benalu yang telah lama kau harus pelihara.
 
Waktunya berhenti memungkiri segalanya hanya lakon.
Dan kau adalah aktor yang buruk, tanpa naskah
menjadikan kehidupannya panggungmu. Orangtuamu
satu-satunya penonton. Tak ada jeli merah dadu di lampu,
dan mereka masih saja kecewa kepadamu.
 
Di awal segalanya kau terbangun di tengah malah –
memikirkan kehidupanmu kini yang hanyalah bon-bon
hotel murahan dan sepat mani di tenggorokan;
lalu kau dengar ia mengigaukan namamu; Ia sungguhan
mencintaiku; dan kau pun menangis di kamar mandi.
 
Ketika pagi ini akhirnya datang umur kalian berdua telah panjang
seperti alang-alang di belakang rumah kanakmu; kau mengejar
anak-anak anjing – dan senandung mazmur Inongmu.
Kini dari ruang duduk kau dengar istrimu di dapur:
Laos dilanglangi do ahu, tarlungun-lungun…
 
Kau menoleh.
 
Waktunya menceritakan yang habis dalam gelap –
Menunjukkan apa yang tersisa.
 
---
Catatan: Laos dilanglangi do ahu, tarlungun-lungun (kurang lebih maknanya adalah “di tengah perantauanku, aku merasa sedih) diambil dari lagu pop Batak Mardalan Ahu, yang diciptakan oleh N.N., dan dipopulerkan oleh Korem Sihombing dan Vicky Sianipar. Puisi ini adalah untuk Morri Creech.
 
 
SEBELUM AESCHYLUS
 
Satu
 
Suara-suara menyampaikan
kepadamu bahwa kau berada
di sebuah kolam hitam
berhamparkan bintang
maka kau berkhayal ada
di sebuah kolam hitam
berhamparkan bintang
dan mata-mata di sekelilingmu
berkhayal di sebuah kolam hitam
berhamparkan bintang
ada seorang gadis mengapung
sendirian.
 
Dua
 
Kau sedang dalam perjalanan
untuk menyelamatkan kekasihmu;
ia pergi bersama gelombang sebelumnya
dan kau berencana menunggunya, kelak
menjadi nenek yang tak pernah ia punya,
tetapi stasiun di Yupiter mendapatkan
pesan singkat bahwa kapal mereka
diserang makhluk tak dikenal: mereka
selamat, tetapi kapal terlampau rusak.
Sekarang kau malah keluar dari naskah –
bukan karena bohlam-bohlam tak menyala
semua, atau pengeras suara bermasalah,
melainkan banyak anak tak datang – ketika
kapalmu meledak, tak ada satu pun teknisi.
Sementara kau telah bebas – guru dramamu
menghilang setelah berteriak putus asa.
 
Tiga
 
Suara-suara menyampaikan
bahwa kau sedang memutar otak,
mencari jalan selamat – Tak ada mesias!
Tak ada mesias! Seluruh temanmu Yudas!
– maka kau berkhayal bahwa kau
sedang memutar otak, mencari jalan selamat,
sementara mata-mata di sekelilingmu
berkhayal bahwa ada jalan selamat,
bahwa kau sedang memutar otak,
bahwa yang mereka tengah lihat
hanyalah kulit dari sesuatu yang agung
dan kompleks, yang kapan saja
dapat melompat dari balik tirai.
 
 
TENTANG KUE PANEKUK IBU
 
Ibu meninggal ketika sedang memasak panekuk untuk mereka. Ia dan adik
perempuannya menemukan ibu mereka tergeletak di dapur. Badan Ibu masih
hangat, meskipun degup jantungnya berhenti. Ia memanggil tetangga dan
mereka membawa Ibu ke rumah sakit terdekat. Ibu tersadar sebentar dan
berpesan kepada ia dan adik perempuannya untuk saling menyayangi. Mulai
sekarang ibumu Bunda Maria dan ayahmu Yesus, kata Ibu. Bagaimana bisa
sepasang ibu-anak menjadi sepasang ayah-ibu, balasnya heran. Tetapi Ibu tak
lagi punya napas untuk menjawabnya. Ia dan adik perempuannya menangis
sepanjang pagi di rumah sakit. Ketika mereka tiba kembali di rumah, ia
menemukan adik bungsunya, yang pagi tadi masih tidur, di meja makan. Dia
baru saja melahap seluruh panekuk setengah-jadi bikinan Ibu. “Itu hukuman
kalian karena jalan-jalan tanpa mengajakku,” katanya. “Di mana Ibu? Kalian
makan es krim ya?”
 
 
PERIHAL KEAGUNGAN PUISI
 
Tak lama sebelum ia meninggal,
segera setelah Kristus membiarkan ia
mengintip rahasia-rahasiaNya, Aquinas
berhenti bekerja. Kepada sekretarisnya ia bilang,
          “Segala yang kutulis selama ini
          ternyata seperti jerami! Jerami yang sepele!”
Summa Theologiae terlantar, tak pernah selesai.
Yang menarik, kita masih memuji dan mengacu kepada
pendalaman filosofis, teologis, kristologisnya
sampai sekarang. Di mata kita Summa termasuk
buku terbaik yang pernah ditulis anak manusia.
 
 
IA DAN POHON

Siang itu ia meminta maaf kepada satu-satunya pohon
di tepi lahan parkir kantornya, yang memayungi mobilnya
dari terik. Ia minta maaf untuk kakeknya yang adalah
pengusaha kebun sawit, untuk keluarga mereka yang
turun-temurun meyakini seorang tukang kayu sebagai anak tuhan.
Pohon itu meratap, teringat dengan kawannya
yang dicabut dari tanah ketika mereka kanak-kanak,
dengan alasan “terlalu dekat dengan bangunan.” Dari kejauhan
mereka biasa saling tatap dan berkedip, dan berpikir ketika
dewasa kelak dan burung atau kupu-kupu mulai hinggap sebentar
pada cabang serta pucuk mereka, mereka bisa saling menitipkan pesan.
Pohon itu menyesali tak sempatnya ia mengatakan
ia mencintai kawannya itu; ia ingin membawa kawannya itu
ke gereja, dan di depan altar mereka bisa dipersatukan di
hadapan tuhan yang bercabang tiga—seperti pohon—
dan anak-anak mereka bisa memenuhi lahan parkir itu,
sepetak demi petak, hingga kelak orang-orang lewat
mengira ada hutan di tengah kota. Pria itu pun memeluk pohon itu,
dan pohon itu memeluknya.


CURRICULUM VITAE 2015
 
                                                                                            The world I lived in had a soft voice and no claws.
                                                                                                                            –Liesel Mueller

1)             Tiga bulan sebelum ia lahir diktator Rumania beserta istri,
          Nicolae dan Elena Ceauşescu, dihukum mati oleh regu tembak,
          dan sampai hari ini ibunya masih membicarakan kejadian itu.
 
2)            Ketika kanak-kanak ia pernah jatuh dari pohon, dan semenjak itu
          gambaran paling mula tentang ayahnya adalah ia dalam seragam
          Sekolah Dasar, berjongkok di atas kakus. Ia berakar pada
          hari pertama ia masuk sekolah—usianya lima tahun, dan tepat
          sebelum mereka berangkat ia bilang ingin buang air besar.
 
3)            Hal pertama yang ia pelajari di sekolah, melihat para gadis
          ketika jam istirahat, adalah ada seorang gadis di dalam dirinya,
          Ia berpikir kelak ketika dewasa penisnya akan luluh
          dan payudaranya akan tumbuh.
 
4)            Ia tak banyak bicara, dan baru bisa membaca menjelang
          akhir tahun ajaran kelas dua. Di depan sahabat ibunya, ibu
          sahabatnya di kelas menyebut ia “Si Bodoh-bodoh Itu”. Sahabat
          ibunya memberitahu ibunya, dan kelak ketika ia dewasa ibunya
          memberitahunya.
 
5)            Ia tak pandai bergaul, dan menghabiskan sebagian besar waktunya
          membaca dan bermain Nintendo dan Sega. Buku pertama yang ia
          baca adalah buku cerita rakyat Jepang.
 
6)            Beberapa orangtua di tempat ia tinggal tak mengizinkan
           anak mereka bermain dengan ia dan adik-adiknya karena
           keluarganya Batak dan Kristen.
 
7)            Ia tak punya teman dan tak menyadari betapa menyedihkan hal itu.
 
8)           Ayahnya sering memukulinya. Suatu hari ia mencuri dengar
           orangtuanya—ayahnya keberatan dengan sifatnya yang menurut
           ayahnya seperti perempuan. Ia melihat ke cermin, ke gadis kecil di
           dalam dirinya, dan berpikir hal ini baik adanya.
 
9)            Suatu kali ayahnya menendangnya, dan kaki ayahnya terkilir.
           Ayahnya tidak berangkat ke kantor. Ibunya bilang ia sumber
           masalah di rumah mereka.
 
10)        Suatu Minggu ayahnya mengajak ia dan adik-adiknya lari pagi dan
           bermain sepakbola di lapangan bulutangkis dekat rumah mereka.
           Ayahnya meneriaki ia “banci” di depan orang-orang.
 
11)         Ia menerima dirinya sebagai sebuah kesalahan, dan percobaan
           bunuh diri yang pertama terjadi sehari sebelum ia masuk SMP.
 
12)        Ia masuk SMA favorit di kotanya, tempat anak-anak pejabat daerah
           bersekolah. Sahabat di SMP menjauhinya. Tunas-kehilangan
           mekar menjadi cinta pertama.
 
13)        Tak lama setelah lulus kuliah ia mengetahui bahwa di belakangnya
           warga Batak di lingkungan menyebut ia “banci”.
 
14)        Ketika ia berusia dua puluh dua tahun ia mengalami depresi. Suatu
           malam ia kehilangan ingatannya. Adiknya menemukan ia di pom
           bensin di sebelah pusat perbelanjaan di kotanya.
 
15)         Ia kabur dari rumah, dan ia menemukan buku Herta Müller
           di suatu toko buku di Jakarta. Herta menulis tentang sekuritat
           Ceauşescu. Ia teringat ibunya. Ia pun membaca seluruh novel Herta
           yang tersedia dalam bahasa Inggris, dan menyukai semuanya.
 
16)        Pada suatu titik menjelang ulang tahun kedua puluh tiga, tanpa
           alasan yang ia pahami, ia merasa ia adalah seorang laki-laki, dan ia
           pikir itu bukanlah hal buruk.
 
17)         Ia pulang ke rumah orangtuanya.
 
18)        Ia kembali bekerja, dan mulai menulis lagi. Di sebuah kelas menulis
           Novel, ia bertemu denganmu, lelaki yang mencintainya.
 
19)        Ayahnya menikahi ibunya dengan menjual sepeda motor yang
           ayahnya cicil dari kantor. Ia ingin menikahimu dengan royalti
           buku-bukunya.
 
20)       Ia akan menjadi tua. Kau akan menjadi tua. Kalian akan menjadi
           tua, dan dipersatukan di hadapan Tuhan yang bercabang tiga—
           seperti pohon—dan barangkali memiliki satu anak bernama
           Langit. Buah-buah kalian akan memenuhi Bumi ini, sehingga
           kelak ketika seseorang berjalan sendirian dari tiap jendela di tiap
           bangunan di tiap tepi jalan terdengar, “Salam!” “Salam!” “Salam!”
 

INFERNO

Apakah yang kau cari di tempat gelap ini
                                                                                  Selain air mata dan kertak gigi,
Kau datang dengan wajah tanpa pengalaman—
                                                                          Tak ada apa pun yang bisa ditemukan padamu,
Kau muncul sambil memanggil, Virgil! Virgil!
                                                                             Kau sedang berada tepat di tengah hidupmu,
Tersesat dalam kemudaanmu, kau pun ingin
                                                                                  Mencari jalan menuju tua. Kau ingin
Tiba di usia di mana dunia tak lagi misterius:
                                                                                  1) tak lagi perlu seseorang memahamimu,
Karena kau telah memahami dirimu sendiri
                                                                                  2) tak lagi mendamba dicintai
Karena kau telah mencintai dirimu sendiri
                                                                                Kau ingin berhenti menggapai-gapai,
Tak lagi tersedak air kehidupan
                                                                                 Dan hidup biasa saja, toh hidup tak abadi,
Kau paham puisi hanya bagus di dalam buku
                                                                                   Dan surga yang dibicarakan itu, Ada
di puisi lain yang tak membicarakanmu.
 
 
KEPADA ADI
 
Aku tak pernah bertemu
dengan satu pun amplop basah kuyup
di kotak pos depan rumah
ataupun sekilas wajahmu di ujung gang
ketika aku menolehkan kepala.
 
Daun-daun hatiku berguguran,
rahap perlahan ke permukaan telaga,
dan kabut membawa mereka ke gereja tua di seberang sana
yang tak lagi mengadakan kebaktian.
 
Gadis kecil berambut ikat ekor kuda
di hatiku
yang selalu bermain bersamamu
menangis sepanjang sore,
entah karena musim dingin yang tak kunjung selesai
atau musim semi yang tak akan sampai.
 
Apakah kau akan mampir Natal ini
untuk segelas susu cokelat kesukaanmu.
 
Kau tahu, tahun ini kami berlebaran
tanpa Santa.
 
Mengapa kau tak mengirimkan pesan-pesan rindu
melalui desiran angin
atau suara langkah kaki di tengah malam?
 
Aku kah buku
yang tak pernah kau pinjam di perpustakaan? Aku kah
pinggiran roti yang selalu kau lewatkan?
 
Tidakkah kau rindu kepadaku, tidakkah
kau rindu menungguku pulang setiap
tanggal satu, tidakkah kau mendengarkan
 
kami di sini?
 
Apakah kau sudah mengantuk?
tidurlah dengan tenang.
 
 
Tentang Norman Erikson Pasaribu
Norman Erikson Pasaribu lahir di Jakarta, 1990. Bukunya kumpulan ceritanya, Hanya Kami yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku harus Menunggu, masuk 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa kategori Prosa 2014. Dan manuskrip Sergius Mencari Bacchus, menjadi pemenang pertama Sayembari Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015. Tinggal di rumah orangtunya di Bekasi, memelihara seekor angsa bernama Jack dan seekor kucing bernama Jupa.
 
 
Catatan Lain
          Di sampul belakang buku ada separagraf catatan Dewan Juri Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015: “Walaupun manuskrip ini menceritakan sebuah tragedi, kisah-kisahnya disampaikan dengan nada ringan, nyaris komikal (bahkan ada beberapa pastiche ala puisi mbeling), yang justur membuat ceritanya makin tragis. Pemakaian ironi yang mantap! Selain itu, penulis juga menunjukkan kepiawaiannya mencampur aduk berbagai macam referensi, alusi, dan gaya. Dari yang kuno sampai yang kekinian, dari high culture sampai ke pop culture.”
            Halaman vi merupakan halaman persembahan: UNTUK LEO,/yang juga jatuh cinta kepada Footnote to Howl. Halaman v ada kutipan dari Gregory Pardlo: “You are home now, outsider, for what that’s worth.” Dan Jack Cohen: “Meanwhile, we lose our sense of wonder. The world is no longer mysterious.” Halaman ix dan x, ada ucapan terima kasih, salah satunya kepada Dewan Juri Sayembara Manuskrip Buku Puisi DKJ 2015, Oka Rusmini, Joko Pinurbo dan Mikael Johani. Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar