Selasa, 30 Januari 2024

Dorothea Rosa Herliany: KEPOMPONG SUNYI

 

Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Kepompong Sunyi
Penulis: Dorothea Rosa Herliany
Penerbit: PT Balai Pustaka, Jakarta Timur.
Cetakan: I, 1993
Tebal: 76 halaman (58 puisi)
Penata sampul: Dinda Mories
Perancang sampul: Supriyono
Penyunting: Kunti Suharti
ISBN: 979-407-557-4
 
Kepompong Sunyi terdiri dari 3 bagian, yaitu Kepompong Sunyi (15 puisi), Kanvas Kekasih (17 puisi) dan Lukisan Terkelupas (26 puisi)
 
Sepilihan puisi Dorothea Rosa Herliany dalam Kepompong Sunyi
 
Sungai Tak Akan Kembali ke Akar
 
sungai tak akan kembali ke akar-akar pohon. bukit-
bukit yang mengirimkan hujan tinggal jadi hikayat.
pergi mengusung lumut-lumut cinta ke samudera
lepas. kehidupan sekadar ikan-ikan dan lumput yang
menyapukan kuas di wajahnya.
 
sungai tak akan kembali ke tangkaitangkai daun yang
mengalirkan embun. tak sekadar umpan dan kail buat
memahami nilai-nilai yang tenggelam di dalamnya.
bahkan si penyelam akan merasa dirinya si buta!
sungai tak akan kembali …
 
Yogya, 1990
 
 
Kepompong Sunyi
 
si tua telah meninggalkan kepompongnya, menggali-
gali tanah,
mencari-cari akar-akar rumput. hidup ingin dibangun
dalam endapan sampahsampah yang menyuburkan
bumi.
jika bertunas, bunga-bunga akan berbuah kupu-kupu.
semut-semut menunggu gugur mayatnya yang manis.
 
si tua telah meninggalkan kepompongnya. sebab hidup
yang telah ditutup, kembali akan diawali. musik-musik
duniawi tak terdengar dalam radionya, koran-koran
yang mencatat kebusukan riwayat, tak lagi bertumpuk
di ruang tunggunya. si tua telah menanamkan dirinya
ke tanah yang digali-gali sendiri.
ingin tanpa hujan ia tumbuh jadi hutan.
 
 
Kanvas Kekasih
 
aku menggambar kembali wajahmu dengan jarikaki
pada pasir pantai. tak jelas senyum pada bibirmu milik
siapa.
kubiarkan ditelan ombak, atau asin laut, atau asin
ikanikan. sebab dengan jarikaki, ternyata wajahmu
taklagi tampan. bahkan kepiting dan ganggang laut
pun menyingkir.
dan gambarmu tak akan dihapus siapa pun. kecuali
matahari yang tak pernah memberi.
aku telah menggambar siapa dengan jari tangan? senantiasa
hilang oleh hembusan napasku sendiri.
 
Yogya, 1989
 
 
Kematian Sajak
 
telah kualir: napasmu dengan doa yang gaib. aku makin
sendirian, dan jendela terbuka, alam terbuka, dunia
asing di seberang rumput. telah kualiri napasmu dengan
doa yang kuucapkan dalam diam.
 
matahari mengalir lewat tahun-tahun yang terlepas
dari tangkainya. tahun-tahun yang berdebu. matahari
mengalir dalam darahmu. lantas kubuka lubang, untuk
melepaskannya ke pintu kematian.
 
Yogya, 1988
 
 
Soliloqui
 
mengapa tak juga tidur? kesangsian telah membatu
dalam kenangan, waktu yang terusmenerus mengalir.
dan potret telah berdebu. segalanya jadi demikian
tua. tinggal detik menunggu, melupakan segenap
kebosanan. – tak juga tidur, sayang ….
 
mengapa tak juga tidur? rumput-rumput telah
berbunga. angin siang, dan keluasan jagad. ruang
dan waktu. (lalu merasa diri seperti debu. senantiasa
menghindar dari jejak gerimis, di luar segala cuaca).
 
Yogya, 1988
 
 
Fragmen Kartun
 
racun yang  berbunga dalam mulutmu, menetes
jadi fragmen-fragmen lucu. tak terbaca peristiwa
demi peristiwa: kehidupan yang berdebu.
 
– manusia hanya boneka yang dipahat dan tak
berdarah, dan berdebu.
ditumpuk-tumpuk kebodohan dalam kertas buram.
 
tak ada yang menunggu, kehidupan yang
tak pernah ditunda. keganjilan, dan hidup
yang senantiasa robek tepi-tepinya.
 
manusia hanya patung, dan lukisan pohon-pohon yang
tak pernah sempurna, dan akar-akar membelit rohani
sendiri: tak bergema!
 
Yogya, 1988
 
 
Sebuah Hotel di Quezon City
 
sekali waktu, kupikir di sinilah tempat yang aman
untuk minggir dari ketakutan. sebuah ranjang yang
putih tanpa minat. dindingdinding tanpa poster dan
kalender dan jam. pada jendela: sebuah tontonan yang
membosankan. kota yang tak juga tenteram, adegan
basi dalam film-film murah.
pada saatnya, kupikir perlu juga aku menjadi penari-
penari di panggung Lady Town
Timog atau di kandang kuda Mabini. sebagai daging
yang siap dipanggang.
 
puisi apa yang bakal mencatatnya? kata burung,
ombak tak pernah bakal diam, sebagaimana hatiku.
tapi, barangkali di sinilah tempat yang paling aman
untuk membedakan siapa kawan siapa lawan, sebab
kekaburan tumbuh di mana-mana.
 
Quezon city, 1990
 
 
Kukirimkan Bangkai Mawar
 
berapa kali kukirimkan bangkai mawar kepadamu?
tak ada jawaban dalam telepon, dan aku berangkat
sendirian. jauh dan menakutkan jalan-jalan menuju
pengasingan. tak kauciumkah bangkai mawar itu?
 
hingga tak bangun tidurmu yang berlumut dan
membatu. aku meninggalkan kerumunan yang asing
itu tanpa lambaian. jalan tanpa lenggang.
 
tak ada kabar bagimu. hanya kesunyian dalam rumah,
dan gambargambar tanpa jiwa. tak berjiwa. hanya ini
barangkali bakal memandang kedatanganmu.
 
Bandung, 1988
 
 
Lukisan Terkelupas
 
akhirnya tak kaubaca apaapa. kanvas yang tua itu telah
sunyi. warna-warna kusam tak meninggalkan makna.
seperti ada sepasang mata yang mengintip. menghardik
kesadaran yang tertidur. lalu keinginan merobek saja
kanvas itu. menyisihkan bingkainya: untuk gambar
nisan yang kita lukis pada kanvas buram.
 
Yogya, 1988
 
 
Karikatur
 
dunia telah terlipat dalam keriuhan pasar. kematian
dan kehidupan ditawartawar. dalam bungkus koran
(abjadabjad kebimbangan yang basi dan gemetar).
pangkuan bunda telah kotor oleh robekanrobekan
daftar harga.
 
aku hidup dalam sampah, memandangnya dan
melipatnya dalam sajak-sajak gelisah.
 
aku hidup, menggeliat, dan jiwa dalam perut
menggeliat. hiburan singkat: kegatalan jiwa yang tak
tergaruk …
 
Jakarta, 1988
 
 
Tanah Airku
 
kurindukan kepompong. pertapaan sekian
abad menunjam tanah tak subur bagi taman
bunga bangkai. kurindukan daun. ulat-ulat
memangkasnya. kupu-kupu tak terbang karena tanggal
sayap-sayapnya. kurindukan kepompong.
tanahairku lumpur dan bebatuan. padang
amat luas. cakrawala dan alang-alang. tak ada
rumah buat ulatulat dan kupu-kupu. tapi selembar
hatiku masih basah. masih kuat aku mengalirkan
darah.
 
tanahairku lumpur dan bebatuan. tanah airku
lumutlumut dan selembar hati. bertapalah!
 
Yogya, 1992
 
 
Orang-orang yang Kosong
 
berabad-abad kita berziarah pada kediaman dalam
ruang yang gelap. pintu-pintu tertutup, jendela-jendela
tertutup.
berabad-abad kita menghitung waktu senggang, untuk
menghunus pedang: orkes kebimbangan.
 
berabad-abad membiarkan burung berlepasan, dan
sangkar pun sunyi.
berabad-abad (dengarlah sungai mengalir)
kita tinggal sendirian. semua telah hanyut dalam
muara, juga kalender dan tiktok jam dan taman bunga:
di kalbu.
 
Yogya, 1988
 
 
Requiem Kepadamu
 
tangan siapa memetik bunga itu. sampai
dipeluk dingin yang fana. atau mengabur
dalam kalender yang mencatat panjang usia.
 
perjalanan dalam pigura: senantiasa
lukisan kita. di pojok ruangan. sendiri.
namun masih tercium bau napasmu:
mengekalkan nisan-nisan.
 
Yogya, 1987
 
 
Old Song of Strange World
 
telah panjang aku menyusun baris-baris
opera. malam ini ada yang akan memainkannya
di atas panggung. bongkahan-bongkahan batu kuno
dan gurun pasir latarnya. altar-altar
berdebu. piramid, dan patung-patung spinx.
 
kursi-kursi teater kosong, tetapi
nyanyian cinta gemuruh dalam bangunan khayalku.
sorak sorai dan tangisan perih yang mengalun.
 
kursi-kursi teater kosong. tetapi
ribuan pasang mata menunggu layar
terbuka. gerakan-gerakan siluet
yang tak tereja mengikuti irama jiwa
yang bimbang.
 
sejarah purba yang prasasti-prasasti.
syair-syair pujangga tua, dan lantunan
musik para primitif. kursi-kursi kosong
aku menontonnya pada larik yang jauh.
khusuk dengan mimpi kekasih yang fana …
 
Yogya, 1992
 
 
Lagu Batin
 
inilah lagu batinku. suarasuara angin di antara musim:
salju, daun-daun membeku, ranting-ranting tak
bergoyang,
dan burung-burung yang mati kedinginan.
 
biarlah akhirnya hanyut oleh suara-suara sungai
mengalir,
dan negeri mimpi, biarlah akhirnya cuma bergumam
dalam pukulan batubatu karang, biarlah akhirnya pulas
oleh alunan riakriak. takkan diam hatiku memetikkan
dawaidawai gitar, menghiburmu!
 
Semarang, 1990
 
 
Tentang Dorothea Rosa Herliany
Tak ada biografi penulis di buku ini.
 
 
Catatan Lain
             Kata pengantar dari penerbit ada di halaman 5, hanya terdiri dari 2 paragraf. Paragraf 1 menjelaskan bahwa buku kumpulan ini merupakan karya penyair muda dan terdiri dari 3 kelompok. Dikatakan bahwa masing-masing berisi puisi-puisi dengan berbagai macam tema dan nuansa, namun utuh. Dikatakan juga kurun waktu proses kreatif 1987-1992. Paragraf 2 berisi harapan saja: “Semoga, usaha kami untuk memberikan warna lain, ataupun memperkaya khasanah perpuisian kita dapat bermanfaat bagi pembaca.” Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar