Jumat, 14 Oktober 2011

K.H. A. Mustofa Bisri: WEKWEKWEK


Data buku kumpulan puisi

Judul : Wekwekwek: Sajak-sajak Bumilangit
Penulis : K.H. A. Mustofa Bisri
Cetakan : I, 1996
Penerbit : Risalah Gusti, Surabaya
Tebal : xiv + 76 halaman (31 judul puisi)
ISBN : 979-556-103-0
Disain Sampul : Amir Kiah


Beberapa pilihan puisi K.H. A. Mustofa Bisri dalam Wekwekwek


 Sajak Cinta

cintaku kepadamu belum pernah ada contohnya
cinta romeo kepada juliet, si majnun qais kepada laila
belum apa-apa
temu-pisah kita lebih bermakna
dibanding temu-pisah yusuf dan zulaikha
rindu-dendam kita melebihi rindu dendam adam hawa

aku adalah ombak samuderamu
yang lari-datang bagimu
hujan yang berkilat dan berguruh mendungmu

aku adalah wangi bungamu
luka berdarah-darah durimu
semilir sampai badai anginmu

aku adalah kicau burungmu
kabut puncak gunungmu
tuah tenungmu

aku adalah titik-titik hurufmu
huruf-huruf katamu
kata-kata maknamu

aku adalah sinar silau panas
dan bayang-bayang hangat mentarimu
bumi pasrah langitmu

aku adalah jasad ruhmu
fayakun kunmu
aku adalah a-k-u
k-a-u
mu

Rembang, 30.9.1995





Negeriku

Negeriku telah menguning

1415


Dalam Tahiat

dalam tahiat
kulihat wajahmu berkelebat
ke mana gerangan kau berangkat?
berhentilah sesaat
beri aku kesempatan munajat
atau sekedar menatap isyarat
sebelum nafsuku menghentikan salat

1415


Doa Rasulullah SAW

Ya Allah ya Tuhanku
AmpunanMu lebih kuharapkan
daripada amalku
rahmatMu lebih luas
daripada dosaku
Ya Allah ya Tuhanku
Bila aku tak pantas
mencapai rahmatMu
RahmatMu pantas mencapaiku
Karena rahmatMu mencapai apa saja
Dan aku termasuk apa saja
Ya Arhamarrahimun!

1415


Rasanya Baru Kemarin
(Versi V)

Rasanya
Baru kemarin Bung Karno dan Bung Hatta
Atas nama kita menyiarkan dengan seksama
Kemerdekaan kita di hadapan dunia. Rasanya
Gaung pekik merdeka kita
Masih memantul-mantul tidak hanya
Dari mulut-mulut para jurkam PDI saja. Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad lamanya

Pelaku-pelaku sejarah yang nista dan yang mulia
Sudah banyak yang tiada. Penerus-penerusnya
Sudah banyak yang berkuasa atau berusaha
Tokoh-tokoh pujaan maupun cercaan bangsa
Sudah banyak yang turun tahta

Taruna-taruna sudah banyak yang jadi
Petinggi negeri
Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka berdemonstrasi
Sudah banyak yang jadi menteri

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad lamanya

Tokoh-tokoh angkatan 45 sudah banyak yang koma
Tokoh-tokoh angkatan 66 sudah banyak yang terbenam

Rasanya
Baru kemarin

Letkol Suharto sudah menjadi
Sesepuh negara-negara sahabat
Wartawan Harmoko sudah menjadi
Pengatur suara rakyat

Waperdam Subandrio sudah hidup kembali
Menjadi pelajaran bagi setiap penguasa
Engkoh Eddy Tanzil sudah tak berkolusi lagi
Menjadi renungan bagi setiap pengusaha

Ibu Dewi sudah kembali
Menjadi penglipur
Buldozer Amir Mahmud kini
Sudah tergusur

Oom Liem dan kawan-kawan
Sudah menjadi dewa-dewa kemakmuran
Bang Zainuddin dan rekan-rekan
Sudah menjadi hiburan

Pak Domo yang mengerikan
Sudah berubah menggelikan
Bang Ali yang menentukan
Sudah berubah mengasihankan

Genduk Megawati yang gemulai
Sudah menjadi pemimpin partai
Ismail Hasan Metarium yang santai
Sudah menjadi politisi piawai

Gusti Mangkubumi di Yogya
Sudah menjadi raja dan ketua golongan karya
Gus Shohib yang sepuluh anaknya
Sudah menjadi pahlawan keluarga berencana

(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Bagaimana rasanya
Merdeka?)

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad kita
Merdeka

Jenderal Nasution dan Jenderal Yusuf yang pernah jaya
Sudah menjadi tuna karya

Ali Murtopo dan Sudjono Humardani yang sakti
Sudah lama mati
Pak Umar dan pak Darmono yang berdaulat
Sudah kembali menjadi rakyat

Pak Mitro dan pak Beni yang perkasa
Sudah tak lagi punya kuasa

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad kita
Merdeka

Kiai Ali dan Gus Yusuf yang agamawan
Sudah menjadi priyayi
Danarto dan Umar Kayam yang seniman
Sudah menjadi kiai

Gus Dur dan Cak Nur yang pintar
Sudah berkali-kali mengganti kacamata
Rendra dan Emha yang nakal
Sudah berkali-kali mengganti cerita

Goenawan sudah terpojok kesepian
Arief Budiman sudah berdemonstrasi sendirian
Romo Mangun sudah terbakar habis rambutnya
Tardji sudah menjalar-jalar janggutnya

(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Sudahkah kalian
Benar-benar merdeka?)

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad lamanya

Negara sudah semakin kuat
Rakyat sudah semakin terdaulat

Rasanya
Baru kemarin

Pejuang Marsinah sudah berkali-kali
Kuburnya digali tanpa perkaranya terbongkar
Preman-preman sejati sudah berkali-kali
Diselidiki dan berkas-berkasnya selalu terbakar

Rasanya
Baru kemarin

Banyak orang pandai sudah semakin linglung
Banyak orang bodoh sudah semakin bingung
Banyak orang kaya sudah semakin kekurangan
Banyak orang miskin sudah semakin kecurangan

Rasanya
Baru kemarin

Banyak ulama sudah semakin dekat kepada pejabat
Banyak pejabat sudah semakin erat dengan
konglomerat
Banyak wakil rakyat sudah semakin jauh dari umat
Banyak nurani dan akal budi sudah semakin sekarat

(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Sudahkah kalian benar-benar merdeka?)

Rasanya
Baru kemarin

Pembangunan ekonomi kita sudah sedemikian laju
Semakin jauh meninggalkan pembangunan akhlak
yang tak kunjung maju
Anak-anak kita sudah semakin mekar tubuhnya
Bapak-bapak kita sudah semakin besar perutnya

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad kita merdeka

Kemajuan sudah menyeret dan mengurai
Pelukan kasih banyak ibu-bapa
Dari anak-anak kandung mereka
Kemakmuran duniawi sudah menutup mata
Banyak saudara terhadap saudaranya

Daging sudah lebih tinggi harganya
Dibanding ruh dan jiwa
Tanda gambar sudah lebih besar pengaruhnya
Dari bendera merah putih dan lambang garuda

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad kita merdeka

Pahlawan-pahlawan idola bangsa
Seperti Pangeran Diponegoro
Imam Bonjol, dan Sisingamangaraja
Sudah dikalahkan oleh Kesatria Baja
Hitam dan Kura-kura Ninja

Rasanya
Baru kemarin

Orangtuaku sudah pergi bertapa
Anak-anakku sudah pergi berkelana
Kakakku sudah menjadi politikus
Aku sendiri sudah menjadi tikus

(Hari ini setelah setengah abad merdeka
Ingin rasanya aku mengajak kembali
Mereka semua yang kucinta
Mensyukuri lebih dalam lagi
Rahmat kemerdekaan ini
Dengan meretas belenggu tirani
Diri sendiri
Bagi merahmati sesama)

Rasanya
Baru kemarin
Ternyata
Sudah setengah abad kita
Merdeka

(Ingin rasanya
Aku sekali lagi menguak angkasa
Dengan pekik yang lebih perkasa:
Merdeka!)

11 Agustus 1995


Tentang K.H. A. Mustofa Bisri
K.H. A. Mustofa Bisri atau biasa dipanggil Gus Mus, lahir 10 Agustus 1944, putra dari KH. Bisri Mustofa, ulama dari Rembang. Masa kecil dan remaja dihabiskan di lingkungan pesantren. Tercatat pernah nyantri di Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Krapyak Yogyakarta dan Pesantren Raudlatut Thalibien Rembang, kemudian melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar Kairo. Saat ini, beliau menjadi pengasuh di Pesantren Raudlatut Thalibien Rembang. Karya tulisnya banyak tersebar di media massa dan dibukukan, mengupas masalah keislaman, politik, sosial, budaya. Gus Mus telah menerbitkan beberapa buku kumpulan puisi, antara lain: (1). Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem, (2). Tadarus, Antologi Puisi, (3). Mutiara-mutiara Benjol, (4). Pahlawan dan Tikus, (5). Syair Asma’ul Husna (bahasa Jawa), (6). Rubaiyat Angin dan Rumput.

Catatan Lain
Buku ini sebenarnya bukan punya saya, tergeletak di rak Hajri di kantornya di Tahura Advertising Banjarmasin. Saya pinjam saja. Di bagian belakang buku stempel harganya masih utuh. Gramedia Banjarmasin dengan harga Rp.4.050,-  

4 komentar:

  1. puisi-puisi Mbah Mus ini memang renyah bagiku. meskipun tak faham sangat.

    terimakasih :)

    BalasHapus
  2. Tak apa tak paham, kadang yang nulis puisi juga ada yang tak paham dengan puisinya sendiri. Hehe. Salam. Mksh dah berkunjung.

    BalasHapus