Selasa, 03 Juli 2012

Ahmadun Yosi Herfanda: SEMBAHYANG RUMPUTAN


Data buku kumpulan puisi

Judul : Sembahyang Rumputan
Penulis : Ahmadun Yosi Herfanda
Cetakan : I, Mei 1996
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Tebal : ix + 92 halaman (68 puisi)
ISBN : 979-8793-15-3
Gambar cover  : Mella Jarsma
Disain cover : Buldanul Khuri
Penutup : Afrizal Malna (Totalisasi yang Bertahan dari Perubahan)

Beberapa pilihan puisi Ahmadun Yosi Herfanda dalam Sembahyang Rumputan

Sembahyang Rumputan

walau kaubungkam suara azan
walau kaugusur rumah-rumah tuhan
aku rumputan
takkan berhenti sembahyang
: inna shalaati wa nusuki
wa mahyaaya wa mamaati
lillahi rabbil ‘alamin

topan menyapu luas padang
tubuhku bergoyang-goyang
tapi tetap teguh dalam sembahyang
akarku yang mengurat di bumi
tak berhenti mengucap shalawat nabi

sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan jiwa dan badan
yang rindu berbaring di pangkuan tuhan
sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan habis-habisan

walau kautebang aku
akan tumbuh sebagai rumput baru
walau kaubakar daun-daunku
akan bersemi melebihi dulu

aku rumputan
kekasih tuhan
di kota-kota disingkirkan
alam memeliharaku subur di hutan

aku rumputan
tak pernah lupa sembahyang
: sesungguhnya shalatku dan ibadahku
hidupku dan matiku hanyalah
bagi allah tuhan sekalian alam

pada kambing dan kerbau
daun-daun hijau kupersembahkan
pada tanah akar kupertahankan
agar tak kehilangan asal keberadaan
di bumi terendah aku berada
tapi zikirku menggema
menggetarkan jagat raya
: la ilaaha illallah
muhammadar rasulullah

aku rumputan
kekasih tuhan
seluruh gerakku
adalah sembahyang

1992

*versi pertama sajak ini, lebih pendek, ditulis tahun 1986 dan termuat dalam buku Syair Istirah (kumpulan sajak bersama Emha Ainun Nadjib dan Suminto A. Suyuti, penerbit Masyarakat Poetika Indonesia IKIP Muhammadiyah Yogyakarta). Versi panjangnya (1992) terpilih sebagai pemenang pertama lomba cipta puisi religius Yayasan Iqra Jakarta tahun 1992.



Fragmen Tak Bernama

seperti semula, kaunyanyikan lagu purba
menyatu dalam tarian pohon-pohon akasia
ketika adam meninggalkan tanah asalnya
mencari hawa di belantara luka
dalam kicau burung dan risik serangga
angin bersetubuh dengan musimnya

tiap senja tiba daun pun rontok
mawar mekar merah senyumnya
ketika layu kau tak menjamahnya
kaubiarkan burung meninggalkan kicaunya
kaubiarkan kupu meninggalkan kepompongnya

semesta berproses dalam genggaman kodrat
kehidupan kauciptakan lantas kauremas
pelan-pelan, mengucur darah kefanaan

1980


Obsesi Futurista

manusia masa depan berdiri tegak di layar
komputerku. di tangan kanannya jaringan internet
di tangan kirinya hutan lebat menghijau
rambutnya mengkilat tanpa shampo
giginya kristal-kristal cahaya, mata kanannya
radar, kirinya antena parabola, otaknya einstein
hatinya sunan kalijaga. ia simpan kitab kuning
dalam disket, filsafat di saku baju
sejarah ia lipat dalam sepatu

manusia masa depan mencipta badai dengan
tuts piano, mencipta gelombang dalam lagu sangsai
mencipta hutan di kota-kota beton dan baja, ombak
laut ia tampung dalam katub jantungku. manusia masa depan
tak takut kehilangan kursi dalam syairmu

manusia masa depan membangun sejarahnya sendiri
yang merdeka dari rencanamu hari ini

1989


Nyanyian Kota Peradaban
- jakarta

di kota peradaban orang-orang mencari tuhan
di bar-bar dan bursa-bursa perempuan, bank-bank
dan perkantoran. politikus pun mengaum: di mana
tuhan di mana? birokrat menjawab sambil menguap:
di sini tuhan di sini. ketika orang-orang berdatangan
yang teronggok cuma berhala kekuasaan

meninggalkan tuhan dalam dirinya, orang-orang
makin sibuk mencari tuhan, memanggil-manggil:
tuhan, di mana kau tuhan? di sini tuhan di sini
jawab suara di hotel-hotel dan kelab malam. ketika
orang-orang berdatangan, yang terhampar cuma
kelamin-kelamin rindu bersebadan

di kota peradaban orang-orang mencari tuhan
hilir-mudik di jalan-jalan, berebut keluar masuk
diskotik dan pasar-pasar swalayan
orang-orang lupa, tuhan dalam hati sendiri
tak pernah pergi

1992


Persinggahan
- pantai samas

laut hanya bersajak. cinta
mengendap dalam tubuh tegak
beku memandang dingin matamu

tak kautangkap gairah pagi
mentari menghidupkan percik
ombak di pasir, kini-esok
tanpa akhir
: di sinilah kehidupan
bermula dan berakhir

perahu nelayan melaut
berlabuh kembali
di pelukan terabadi
dan kita, petualang, tergenggam
keangkuhan batu karang
mengunyah duka. diam
dalam ayunan gelombang

tak kau pedulikan tingkah
angin pagi. mengayun mimpi
telah kita ukir kenangan
kepedihan tak terelakkan

1982


Memoriam Peziarahan
- pemakaman kaliwungu

salam padamu, bapak-simbok, kakek-nenek
buyut-biyungku. telah lama kalian tidur
tanpa degup dan gairah hati. sendiri
doa bagimu tanpa bunga tujuh warna
bakti bagimu tanpa kepulan asap dupa
ziarahku dalam sederhana
sebelum diziarahi anak cucu

pohon semboja kutanam
tumbuh subur penuh bunga
ialah saksi waktu dan usia
yang menipis di mulut batara kala
ialah pertanda kesuburan cinta
tertanam abadi di hati kita

takzim padamu, penghuni misteri
penunggu akhir tanpa mimpi

1981


Sajak Ziarah

dengan zikir kuziarahi siti jenarku
yang berpusara di bilik kalbu
dengan cinta kuziarahi adam-hawaku
yang bertenda di pintu mautmu
sepanjang waktu aku berziarah padamu
daun-daun gugur yang mendahului hari tamatku

sepanjang langkah aku berziarah
sepanjang sujud kusebut maut
sepanjang cinta kutabur bunga
sepanjang orgasme kusebut kematiannya
sepanjang hidup kau berziarah-ziarah
sepanjang mati hidup kauziarahi
siapa tak kenal ziarah
takkan kenal makna rumah

dengan ilmu kuziarahi nabi hidirku
yang berpusara di sungai jiwa
dengan kata kubongkar rahasia alima
yang terkunci di bilik sukma
dengan sajak aku pun berdoa
membuka tangan al-malik
yang menggenggam jagat raya

1992


Tahajud Sunyi

kuketuk pintumu. biarkan jemari kasihku
mengusap gerai rambutmu. kau pun membuka
tabir jiwaku, hingga hatiku bisa leluasa
mengeja alif ba ta cintamu
(kata-kata mesra pun bermekaran
lewat pintu jiwa kupetik bagai bunga
hadiah untuk kekasihku kelak di sorga)

malam ini aku pasrah dalam renta
entah esok atau lusa
jika kealpaanku tak lagi kausapa
tenggelamkan diriku yang sarat luka
ke lautan cintamu yang tak terukur dalamnya
-- kan kubasuh segenap nikmat kesesatan!

1980


Sajak Orang Mabuk

karena hidup penuh keterbatasan
kupilih api cinta abadi
membara dalam dadamu
allah, sambutlah hatiku
yang terbakar api itu

karena hidup penuh keterikatan
kupilih kebebasan dalam apimu
bakarlah seluruh diriku
o, allah
kuingin debu jiwaku
mengalir abadi dalam darahmu

bertahun-tahun aku mabuk
bermalam-malam aku tenggelam
dalam gelombang kerinduan
luluh dalam apimu

1991


Sajak Alif

kautulis kearifan pada alif
huruf pertama panggilanmu
gerbang terdepan ke taman hatiku
ketika sunan kalijaga
menggembala umatnya
alif pun menjadi tongkatnya

pada tongkat isa tertulis cinta-kasihmu
pada tongkat musa terukir keajaibanmu
ketika tongkat mengetuk batu
mata air pun terpancar
darah abadi bagi kehidupan

kautulis kemuliaan pada alif
huruf terdepan panggilanmu
kauturunkan alif dari arasy ke bumi
debu pun menjelma kemuliaan sejati
alif terbentang di hati orang pilihan
jalan lurus menuju haribaanmu

1987


Catatan di Pojok Taman
- kepada pahlawan tak dikenal

kini kau berlayar sendirian
di lautan kelam tanpa karang
menuju pelabuhan seberang
untuk tidur di pangkuan tuhan

(sebutir peluru telah merenggut jantungmu
ketika kau nekat melindungiku
dalam penyerbuan ke benteng itu
di pangkuanku kautinggalkan jasadmu
sebelum sempat kausebut namamu
asal dan induk pasukanmu
kecuali seberkas senyum keikhlasan)

lukamu kini tak dapat kuraba lagi
karena dagingmu telah kembali ke asal
tinggal cahaya putih cintamu
membekas dalam di kalbu

1980



Tentang Ahmadun Yosi Herfanda
AHMADUN YOSI HERFANDA, lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta ini menyelesaikan S-2 jurusan Magister Teknologi Informasi pada Universitas Paramadina Mulia, Jakarta. Ia pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1995), dan ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002). Tahun 2003, bersama Hudan Hidayat dan Maman S. Mahayana, mendirikan Creative Writing Institute (CWI).
Ahmadun juga pernah menjadi anggota Dewan Penasihat dan (kini) anggota Mejelis Penulis Forum Lingkar Pena (FLP). Tahun 2007 terpilihmenjadi ketua umum Komunitas Cerpenis Indonesia (periode 2007-2010), tahun 2008 terpilih sebagai presiden (ketua umum) Komunitas Sastra Indonesia (KSI), sejak 1993 sampai 2009 menjadi redaktur sastra Republika, dan tahun 2010 menjadi ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sejak 2007 ia juga menjadi “tutor tamu” untuk apresiasi dan pengajaran sastra Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) RI, dan sejak 2009 menjadi direktur Jakarta Publishing House, serta mengajar sastra dan jurnalistik di sejumlah perguruan tinggi. Selain itu, ia juga sering menjadi ketua dan anggota dewan juri berbagai sayembara penulisan dan baca puisi tingkat nasional.
Selain menulis puisi, Ahmadun banyak menulis cerpen dan esei, serta buku biografi tokoh, buku wisata, dan company profile. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri. Antara lain, Horison, Ulumul Qur’an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), antaologi puisi Secreets Need Words (Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001), Waves of Wonder(Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry, Maryland, USA, 2002), jurnal Indonesia and The Malay World (London, Ingris, November 1998), The Poets’ Chant (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995).
Beberapa kali sajak-sajak Ahmadun dibahas dalam Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) dan dibukukan dalamParadoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura). Tahun 2008 meraih Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa Depdiknas atas buku kumpulan sajaknya yang berjudul Ciuman Pertama untuk Tuhan (Logung Pustaka, 2004).
Sebagai sastrawan dan jurnalis, Ahmadun sering diundang untuk menjadi pembicara dan membaca puisi dalam berbagai seminar serta even sastra nasional maupun internasional. Tahun 1998 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam Festival Kesenian Perak di Ipoh, Malaysia. Tahun 1997 ia menjadi pembicara dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX Padang. Tahun 1999 ia mengikuti PSN X di Johor Baharu, Malaysia, dan menjadi pembicara pada Pertemuan Sastrawan Muda Nusantara Pra-PSN di Malaka. Tahun 2002 ia menjadi pembicara dan membacakan sajak-sajaknya dalam festival kesenian Islam di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir.
Kemudian, pada Agustus 2003 Ahmadun diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam simposium penyair The International Society of Poets di New York, AS. September 2004 menjadi pembicara dalam PSN XIII di Surabaya. Mei 2007 menjadi pembicara dalam Pesta Penyair Indonesia 2007, Sempena The 1st Medan International PoetryGathering, Taman Budaya Sumatera Utara, Medan. Oktober 2005 dan Oktober 2007 menjadi pembicara dan Kongres Cerpen Indonesia (KCI) IV di Pekanbaru, dan KCI V di Banjarmasin. Januari 2008 menjadi pembicara dan ketua sidang pada Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus. November 2009 menjadi pembicara dan membacakan sajak dalam Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) III di Kualalumpur, Malaysia.
Buku-buku Ahmadun yang telah terbit adalah Sang Matahari (puisi, Nusa Indah, Ende, 1984), Sajak Penari (puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, Yogyakarta, 1991), Fragmen-Fragmen Kekalahan (puisi, Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Sembahyang Rumputan (puisi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996), Sebelum Tertawa Dilarang (cerpen, Balai Pustaka, Jakarta, 1997), Ciuman Pertama Untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (cerpen, Being Publishing, 2004), Badai Laut Biru (cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004), dan The Worshipping Grass (puisi dwi bahasa, Bening Publishing, Jakarta, 2005).
Buku-buku terbaru Ahmadun yang sedang dalam proses terbit, antara lain Resonansi Indonesia (kumpulan puisi), Metafor Cinta, Dialektika Antara Sastra, Alquran dan Tasawuf (esei panjang), Kolusi (kumpulan cerpen), Koridor yang Terbelah (kumpulan esei), dan Musang Berbulu Agama (kumpulan sajak). Kini tinggal di Vila Pamulang Mas Blok L-3 No. 9, Phone/Fax (+62-21)-7444765, Pamulang, Tangerang Selatan 15415, Indonesia. Email: ahmadun.yh@gmail.com. Mobile: 081315382096.*

Hal Lain
Buku Kumpulan Puisi Sembahyang Rumputan terdiri dari dua bagian, yaitu Prosesi Penyerahan diri (Sajak-sajak 1989-1994, 26 puisi) dan Tahajud Sunyi (Sajak-sajak 1980-1989, 42 puisi). Afrizal Malna mencatat dalam epilognya: Pada paruh pertama kumpulan puisinya, aku-lirik berada dalam wilayah diksi natur-agraris dan pada paruh terakhir kumpulan puisinya, aku-lirik mulai berada dalam wilayah dunia industri-elektronik. Tetapi aku-lirik menggunakan kedua wilayah ini dalam posisi yang sama, tidak bergeser. Puisi-puisi Ahmadun dalam kumpulan ini, kata Afrizal lagi, akhirnya dapat dilihat sebagai usaha panjang yang (untuk?) tetap bertahan dalam satu konsep harmoni. Yaitu harmoni yang tidak mengandaikan adanya keretakan dalam berbagai hubungan yang dibangunnya. Buku ini aku pinjam dari Perpustarda Prov. Kalsel.
Oya, saya sempat mikir, setelah mengetahui nama blog penyairnya. Ternyata hanya sedikit penyair yang tersangkut paut secara unik dengan karya. Maksud saya, kita bicara tentang puisi yang identik dengan penyairnya. Jika kita menyebut satu judul puisi, otomatis kita teringat dengan penyairnya. Contoh, puisi aku dengan chairil anwar, hujan bulan juni dengan sapardi, celana dengan joko pinurbo, dan tentu saja sembahyang rumputan dengan ahmadun. Khusus yang terakhir, puisinya tidak cuma dijadikan judul buku, tapi juga judul blog. Saya kira, tak (belum) ada penyair Indonesia yang secara sadar mengekploitasi hal itu selain ahmadun. Saya juga pernah dengar selentingan kabar bahwa puisi Sembahyang Rumputan dibeli oleh orang malaysia dengan harga yang wah. Sampai sekarang saya tidak mengerti yang wah itu seberapa dan “membeli” itu seperti apa. Apa tulisan tangan dari puisi itu dipigura dan ditandatangani langsung si penyair yang dijual atau bagaimana. Lagipula itu hanya selenting kabar dari seorang teman kuliah, yang sampai sekarang pun tak begitu jelas jalan ceritanya. Mungkin yang lain ada yang tahu?
     

5 komentar:

  1. yang dimaksud rumputan di puisi sembahyang rumputan itu siapa sih?
    terus kenapa rumputan selalu sembahyang?
    apa bedanya sembahyang rumputan sama sembahyang manusia?
    kenapa rumputan selalu disingkirkan dari kota-kota?
    kenapa rumputan tak pernah mati meskipun ditebang dan dibakar daunnya?
    apa buktinya jika seluruh gerak rumputan adalah sembahyang?

    tolong di jawab ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rhima, banyak sekali pertanyaanmu :D. Sayang, saya bukan ahli mengapresiasi puisi, hanya penikmat saja. Tapi barangkali ini membantu. Saya pikir, rumputan bisa dipahami sebagai rumput yang tanaman, tapi bisa juga metafor dari rakyat kecil. Sembahyang rumputan kayak gimana? saya pikir perlu dicari referensinya di kitab suci. Yang saya ingat al: semua yang di langit dan bumi bertasbih (memuji) Tuhan, atau semua di langit dan di bumi bersujud (tunduk) dengan sukarela atau terpaksa. Bertasbih atau bersujud itulah yang mungkin dipahami sebagai sembahyang. Kenapa rumput disingkirkan, karena hanya dipandang sebagai gulma (pengganggu), kenapa tak pernah "mati", sebaiknya tanya guru biologi... :).

      Hapus
    2. Kalau menurut pemikiran saya, rumputan itu ialah orang orang yang bertaqwa, kenapa dipilih rumput? karena, sebenarnya rumput itu tumbuhan paling kuat. mau diterpa topan juga tetap bertahan, dicabut, tumbuh lagi, dibakar, muncul lagi. itulah yang melambangkan ketaqwaan orang2 yang taat pada Allah, meski ada hambatan, mereka tetap memuji Allah SWT

      Hapus
  2. Sejalan dengan penjelasan di atas, kita perhatikan bagaimana kota-kota besar di pemukiman kumuh, merekalah yang dianggap sebagai rumput. Tentang sembahyang, merupakan suatu kegiatan yang patuh pada pencipta, nah, dalam puisi ini saya kira, seperti apapun mereka menantang, tetap kekuasaan akan mengalahkan semuanya, sama seperti manusia pada hakikatnya (lebih banyak yang tidak mau mati/meninggal, namun akhirnya jika ajal menjemput tiada daya upaya). Pemukiman kumuh selalu saja berusaha disingkirkan dari tengah-tengah peradaban kota, karena dianggap sebagai perusak tata letak perkotaan, transmigrasi masih belum sesukses yang diperkirakan untuk menggusur para rerumputan liar yang terus saja bergoyang di jalanan kota. Tidak mati di sini, karena setiap tahunnya angka perpindahan masyarakat ke kota menanjak tajam sedangkan transmigrasi yang direncanakan untuk mengurangi penduduk perkotaan malah tidak jelas bagaimana kesudahannya. Bahkan akhir-akhir ini sudah tidak terlaksana lagi. Mudik lebaran dan tahun baru setiap tahunnya menambah angka di atas 20% dari penduduk yang meninggalkan kota.

    Pulangnya 6 ribu orang, datangnya kembali 7 ribu lebih. Sehingga masalah kemasyarakatan di perkotaan menjadi hal yang mendasar dari puisi Ahmadun Yosi Herfanda.

    BalasHapus
  3. TERIMA KASIH YA, IJIN BERBAGI DI https://puisibumijatayu.blogspot.com/2020/03/puisi-sembahyang-rumputan-karya-ahmadun.html

    BalasHapus