Jumat, 07 Desember 2012

Dinullah Rayes: BERANDA CAHAYA


Data buku kumpulan puisi

Judul : Beranda Cahaya
Penulis : Dinullah Rayes
Cetakan : I, 2001
Penerbit : Yayasan Mitra Sastra Mataram.
Penyunting : Kaharuddin Sarbini, Riyanto Rabbah, Sambirang Ahmadi
Tebal : xxi + 212 halaman (192 puisi)
ISBN : 979-96443-0-5
Desain sampul : Drs. Mayusfri
Ilustrasi : Widodo Arumdono, Ujang Kurniawan
Prolog : Korrie Layun Rampan

Beberapa pilihan puisi Dinullah Rayes dalam Beranda Cahaya

Gunung Tambora

Gunung Tambora
menyundul langit biru Sumbawa
Pagi hari mentari mengirim sinar
Menerpa wajah hijau berseri
Sore hari terpateri
Cahaya layung ramping
Kening gunung menjulang
menyimpan misteri
memendam materi
Air bening mengular
membelit tumit bukit
menuruhi lahan sawah
Mengalun kesuburan
Membuka kelopak senyum warga dusun
Damai pun menyemai
Di mana-mana

Suara Muhammadiyah, No. 14/75/1990



Aku dan Bayangan

Menggores aksara
saat sumpah setia. Atas nama
adam dan hawa.

Kulit pohon palma ini
terbaca wajah zaman
pelepah daun yang luruh
harapan-harapan yang mengubur diri.

Kembali malam ini
aku dan bayangan di bawah bulan tua
melepas angan memburu wajahmu
yang pergi
tiada kembali lagi.

Doa berkendara kereta langit
Tuhan!
warnai hidupku selalu
pancarkan nur-Mu dalam hatiku
kelam berdebu

(Puisi-puisi/Pertemuan Sastrawan 1974)


Jakarta

Pucuk menara
kembang api
telapak kaki
sepi

(majalah Horison, Pebruari 1976 Th. XI)


Pesan Seorang Residivis pada Kekasihnya

Bangku-bangku panjang melingkar
berdesakan bayangan dalam resah
menyimak benturan kata-kata
sejenak lagi namaku terdengar
lima aksara luluh dalam riak waktu.
“Tinggallah engkau di sini: sayang
nasib yang sepi kugenggam
sampai nisan tak bertanda
tiada menyapa siapa.
harap kau catat
pagi ini jarum detik jantungku
terasa begitu laju.”

(Puisi Majalah Sastra, No. 1 Th. 1 Nopember 2000)


Sajak Musim Kemarau

Akar-akar pepohonan di hutan
akar-akar semak belukar di tepi dusun
akar-akar bunga di halaman depan
akar-akar perdu di belakang rumah warisan
Mulut-mulut yang menganga mohon secawan air hujan
basahi kerongkongan kering gersang
Pucuk-pucuk daun pun merunduk, sembah sujud satu tujuan
Dari gumpalan awan hitam, Tuhan menempa jutaan
tempayan
“KUN”
Air pun tercurah dari kerajaan langit
Bulu-bulu akar rambatkan puji syukur
sepanjang jalan kehidupan
Menyentuh lahan hatiku
menguap bau harum surgawi di tanah lahir
Alangkah mesranya cinta yang diukir
jemari tangan-Nya.

(Suara Muhammadiyah No. 7 Th 67 / April I 87)


Reuni

dalam ruang gelap senyap
siapa pula yang bersandar
pada dinding angin. menjilati cairan
gula enau. matahari terpelai dedaunan
tiada terhitung dengus nafas dalam
temaram. menyentuh rumpun bunga
rahasia saling pandang lalu berjalan
berbimbingan tangan angan. dari balik daun
pintu jelaga terdengar suara ketukan
pelan-pelan kemudian nyaring
lalu mendaki lereng malam dan tiba
pada titik puncak lalu menurun
ini sebuah irama hidup, katamu
tetapi mengapa kau tetap diam menunggu?
tak menyapa siapa. di sini suara bicara
dalam isyarat. di luar tak ada sosok misteri
menunggumu lagi. angin mengendap sepi menyergap
segalam melebur dalam gua gelap
berbaur bayang Maha Misteri. barisan roh
menunggu aba-aba akhir-Mu

(Simponi, 17-5-1987)


Brang Bulaeng
Bagi PT. Newmont Nusa Tenggara

Dari hulu pedalaman Sumbawa
Mengalir, menghilir Brang Bulaeng
Harapan anak negeri segera mereguk air jernih bening
Menyirna dahaga deraan kemarau panjang
Tapi orang asing itu merampas cawan dari tangan kerdil kering
Lalu anak negeri memandang kening langit muatan mendung hitam
Batu-batu bisu di lubuk kalbunya yang buram

Aneh!
Tiba-tiba Brang Bulaeng jelma telaga es mengemas
Tapi kita dihalau bagai kucing kurap kurus
Dilarang menyauk apalagi mandi di tepinya
Di sini kita merasa asing dan sepi
Di kampung halaman sendiri

Aneh!
Air Brang Bulaeng membeku warna kuning gading
Jelma pilar-pilar bangunan negeri surga
Anak negeri merekah senyum bersama rembulan
Tiba-tiba dirampok tangan-tangan putih benua jauh
Direbut tangan-tangan sawo matang seberang lautan
Anak negeri pun jelma daun-daun dikerumus ulat
Semakin ganas begitu nekat

Aneh tak aneh saudaraku
Sumbawa bersukma lebah
Jati diri, harga diri kita
Haram tergadai jemari gurita
Yang mengukir bunga kata-kata
Dari lidah hati sarat arogansi

(1999, Kilas, No. 32 tahun I, 2-8 Desember 1999)
Nb. Brang Bulaeng = sungai emas


Kelahiran, Kehadiran di Luar Bandar Melaka

Mari kita tamasya
ke Kampung Sempang, Merlimau
di sini azan awal memecah sunyi
menyelinap telinga Tuan Haji Pit Ismail
menghirup sari daun
menyimak langkah-langkah mega
menelaah kepak burung
menghirup napas cakrawala

Jangan enggan istirah
di Kampung Bertam Malim
ranah ini tangis pertama menggetar lidah
Datuk Haji Mohamad bin Haji Abd. Rahman
menikmati sentuhan gugur daunan
meraba bayangan rebah
membaca sunyi sembunyi
di balik lembaran puisi alam

Kita singgah melemaskan saraf
di Kampung Kuala Sungai Baru
Datuk Borhan bin Md. Yaman
meluncur dari kandungan bunda
mendengar siul burung
merekam seruling gembala
memanggil angin lembah
menyambut udara tiba
membawa sabda sarat rahasia

Pengembara muda belia
mencuci mata hati
dalam Kampung Telok Mas
tanah kelahiran Haji Abdul Samad bin Kasim
menikmati pantun Melayu
menangkap hikayat lama
menguak tradisi leluhur
menopang plapon sejarah akhir zaman

Hari masih segar ketika sampai
di Kesang Tua, Jasin
Tanah tumpah darah Mohd. Adib Haji Mohd. Adam
menatap sayap burung menarikan pucuk pohonan
daun kelapa sawit melambai-lambai pengelana
menyegar sukma suara bocah-bocah mengaji
dara-dara molek merebut rumah Allah
resah gelisah bergegas sirna

Kaki-kaki turis menapaki bukit hijau
di tepi Kampong Jalan Permatang Serai, Merlimau
Di sini lahir Datuk Haji Ahmad Haji Ithnin
gemericik air sungai menghimbau
bebungaan mengirim harum
ikan-ikan gemerlap dalam kolam alam
membuka kelopak mata batin
duhai!

Mari melepas jiwa raga
sekujur Semenanjung Melaka
menjinak mimpi liar letih
dalam gua ranjang batu
dalam laut ranjang karang
dalam kabut dipan awan
menyemai damai hati insani
nyanyian surga mengalun
kita pun pesona baqa

(Kuala Lumpur- Melaka 2000: Perisa, Jurnal Puisi Melayu-Malaysia 2000)


Lembah Harau
Buat mitra: Wisran Hadi dan Upita Agustine

Lidah-lidah air terjun lembah Harau
Jilati bukit-bukit batu cadas terjal
Basahi lambung sukma yang lapar rindu
Dara-dara gelar tari bagi kembara yang tiba
Gerak jemari hati membias wajah cermin alam
Memanggil-manggil dalam isyarat tangan:
Mari pulang penyair meramu rasa di ranah Minangkabau
Padang yang lapang kalbu.

Kita berjalan atas daun-daun
menimbun kerikil jalanan
Mengeja cuaca, rambut-rambut waktu
yang ubanan
Kita segera pulang
‘pabila umur gugur dekat kubur
bunda Mualim Kerajaan.

(1999; Tabloid Kilas No. 50 6-12 April 2000)


Doa

1
Bisik-bisik bunga rasa
Mendaki lereng kening-Mu
Semesta pun pesta cahaya
Tuhan merekah senyum

2
Tangan pun menadah
tetesan embun-Mu
Basah kuyup jemari batinku

3
Kuterbangkan merpati putih
hinggap di kubah benak-Mu
sunyi pun tersipu

4
Engkau diam dalam senyum
Lidah-Mu lisankan aksara cinta
buka pintu bumi sepi kasih

5
Hatiku kertas putih
Kumohon alif-ba-tas-Mu
Luluh dalam kaligrafi
bumi, langit batinku

(1996; Nusa Tenggara Minggu, 5 Januari 1997)


Bayang-bayang Rebah

Bayang-bayang rebah
Sekujur tubuh kota
Mencari jati diri
Di bangku-bangku terminal
Di langit metropolitan
Bulan sepotong pucat pasi
Kehabisan darah

(Jakarta, Agustus 1995/ dari Negeri Poci 3, 1996)


Rumah Kecil di Pucuk Ombak
Buat : Agus Talino, hari-hari melap limbah batin

Rumah kecil di pucuk ombak
laut pasang, langit legam
Payung hitam mengembang
Bulan sepotong. Sebutir bintang rontok
Tiada kepak camar di atasmu
Sayapnya basah, gemetar
gigil dalam senyap

Dalam lambung rumah nelayan
ikan-ikan kecil menggelepar
Nyala pelita condong ke kiri
redup dan sirna
dari bilik hati
Siapakah mengayunkan lengan angin
menampar pipi laut
hingga meraung-raung sepanjang malam?

(1992 / Dari Negeri Poci 2, 1994)


Dinding-dinding Jasad

Siapapun mengerti makna wujud tubuh
yang luar yang dalam
Pilar-pilar putih topang daging bernyawa
Sebuah lahan batin bermata air kasih
Adalah tempat menuai harapan
Kepastian hidup hari esok
menuju pelabuhan janji-Nya

1992


Malioboro
Catatan sepintas buat Emha dan Linus

Lorong-lorong jalan kotamu gemerlap
Malam-malam gagal menitip gelap senyap
di trotowar, emperan toko
Aku bersama Bambang Widiatmoko
melepas kangen di lahan lesehan
selama ini tergadai sang waktu
Sejak senja kita memecah tabung sunyi
Senda gurau, tawa bahak kita
terkadang terhenti getaran tali guitar pengamen
yang membalut nasib terluka
dalam dandanan jaman berlari


Di samping kiri kita ada perempuan mata seribu
menawarkan betinanya yang terkoyak
pada siapa haus birahi malam gerah
Di sebelah kanan kita ada pemuda-pemuda
menggelar diskusi seputar radius pers
Mencakar-cakar pengendali negeri berlidah ganda
Memaki-maki demonstran asing merobek panji jati diri
Ah, belakang depan kita gedung-gedung menghadang
Kita takut melangkah diterkam rahang gurita
Malam ini batuk dan kantuk sirna

Bulan sepotong itu
betapa arif bijaksana
membagi rata cahaya emas
bagi pepohonan rindang perkasa
buat jemari rerumputan yang kerdil kaku

Kita bergegas menatap langit hitam pekat
tiba-tiba dingin mengigit
Kita pun gemetar
merebut mimpi yang buyar

(Yogyakarta, Agustus 1995 / Dari Negeri Poci 3, 1996)


Rindu

Pohon dan hutan                       : rindu merindu
sukma dan badan                      : rindu merindu
burung dan ranting                    : rindu merindu
ikan dan air                               : rindu merindu
bayi dan susu                            : rindu merindu
petani dan sawah                      : rindu merindu
bocah dan mainan                     : rindu merindu
biduan dan lagu             : rindu merindu
penyair dan puisi                       : rindu merindu
tinta dan kertas             : rindu merindu
aksara dan buku                       : rindu merindu
surat dan amplop                      : rindu merindu
tanah dan air                             : rindu merindu
kopi dan gula                            : rindu merindu
kota dan warga             : rindu merindu
kaki dan sepatu                        : rindu merindu
garam dan asam                        : rindu merindu
flora dan fauna              : rindu merindu
dipan dan kasur                        : rindu merindu
kain dan kapas                         : rindu merindu
kekasih dan Kekasih                 : rindu merindu
insan dan Tuhan                        : rindu merindu

(1986 / Suara Muhammadiyah, No 8 Th. Ke-66 , April II-1986)


Tentang Dinullah Rayes
Dinullah Rayes lahir tahun 1937 di desa Kalabeso Kec. Alas, Kab. Sumbawa, NTB. Ia pernah bertugas sebagai guru SD beberapa tahun 1956—1965. Kemudian beralih tugas ke Kabin Kebudayaan Kab. Sumbawa di Sambawa Besar untuk selanjutnya dipercayakan sebagai Kasi Kebudayaan Kandep Dikbud Kab.Sumbawa. Aktif menulis sejak tahun 1956. Selain menulis puisi juga menulis cerpen, esei, naskah drama, artikel kesenian/kebudayaan.

Tulisannya tersebar di media massa: Abadi, Pelita, Suara Karya, Panji Masyarakat, Salemba, Tifa Sastra, Seloka, Sarinah, Suara Muhamadiyah, Harmonis, Amanah, Sinar Harapan, Forum, Tribun, Swadesi, Republika, Bali Post, Nusa Tenggara, Suara Nusa, Dewan Sastra Malasyia.

Karya-karyanya tekumpul dalam : Anak Kecil Bunga Rumputan dan Capung Ramping (Mega Putih Sumbawa, 1975), Hari Ulang Tahun (Sanggar Mayang, Mataram 1980), Kristal-Kristal (bersama Diah Hadaning, Pustaka dan Penerbit Swadesi, Jakarta, 1982), Pendopo Taman Siswa (Sebuah Episode, bersama 28 penyair Indonesia: Sema FKSS Sarjanawiyata Taman Siswa, Yogyakarta, 1982), Puisi ASEAN (Bersama 39 penyair, Yayasan Sanggar Seniman Muda Denpasar 1983), Angin Senja (bersama 3 penyair NTB, PW HSBI, NTB, Mataram, 1983), Nyanyian Kecil (Pusat Dokumentasi Sastra Korrie Layuan Rampan, Jakarta, 1985), Peta Lintas Batas (bersama Sunaryono Basuki KS dan Hariman, Sanggar Bukit Manis, Bali, 1985), Pendakian (Forum Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Sumbawa, Yogyakarta, 1986), Sosok (bersama 17 penyair Nusa Tenggara Barat, HP3N Mataram, 1986), Seutas Tali Emas (bersama Siti Zainun Ismail, Agus Nurdin, Sulaiman Saleh (BKKNI Propinsi NTB, 1986), Spektrum (bersama 32 penyair Nusa Tenggara, Yayasan Mitra Sastra Mataram, bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesan (YLKMP) NTB, 1988), Istiglal (bersama 2 penyair NTP, Depdikbud Kabupaten Lombok Barat, 1990), Dari Negeri Poci 2 (Pustaka Sastra, 1994).


Catatan Lain
Dinullah Rayes, sebuah nama yang telah lama saya dengar tapi tidak puisinya. Sehingga ketika dihadapkan dengan banyak pilihan penyair di rak buku penyair Y.S. Agus Suseno, tanpa ragu saya memilih buku ini. Penyair yang bersahaja, saya kira, yang telah banyak mengembara dan terlibat dalam banyak even sastra. Sehingga tak heran, dalam buku ini bertebaran foto-foto beliau dengan para sastrawan Indonesia. Full colour, dengan kertas yang bening pula. Menurut Y.S. Agus Suseno, Dinullah Rayes adalah figur dituakan di daerahnya sana, semacam Hijaz Yamani untuk wilayah Kalsel. Ia dihormati, kata-katanya didengar, memiliki wibawa, atau semacam itulah, menurut pikiran saya dalam mencerna omongan datu tadung mura. Oya, saya ingin menuliskan komentar penyair Piek Ardijanto Soeprijadi di halaman belakang buku: “Salah satu ragam puisi Dinullah Rayes yang banyak saya baca pada awal tahun 70-an ialah yang berisi lukisan alam yang dibumbui dengan unsur Ketuhanan. Saya senang menikmati puisinya yang semacam itu. Saya rasa memang dia sangat akrab dengan alam dan demikian kuatnya rasa Ketuhanannya. Puisi-puisinya semacam itu hingga kini masih juga ditulisnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar